Penelantaran sebagai Bentuk Pelepasan Hak atas Tanah

LEGAL OPINION
Question: Keluarga kami memiliki tanah di kampung, tapi belum pernah dibuatkan sertifikat, hanya diolah turun-temurun untuk kebun. Apa ada resikonya, bila tanah tersebut tidak kami buatkan sertifikat tanah?
Brief Answer: Bila suatu waktu tanah terbengkalai, dalam arti tidak dikelola dengan baik, lantas dikuasai pihak lain sebagai penggarap, maka hak atas tanah dapat beralih kepada pengolah tanah bila tiada bukti kepemilikan apapun berupa sertifikat hak atas tanah yang dapat dipertunjukkan kepada pengadilan.
Terlebih bila luasan tanah mencapai belasan atau bahkan puluhan hektar, yang tentunya penguasaan fisik atas bidang lahan menjadi tidak efektif bila hanya berdasarkan penguasaan fisik tanpa dibarengi penguasaan yuridis berupa sertifikat hak atas tanah.
Namun juga perlu SHIETRA & PARTNERS tegaskan, memiliki sertifikat hak atas tanah sekali pun tidak menjadi pembenaran bagi pemiliknya untuk dikemudian hari menelantarkan tanah, sebab salah satu syarat mutlak permohonan hak atas tanah ialah menguasai fisik objek tanah (mengelola dan mengolahnya dengan baik serta terawat), sehingga syarat tersebut selalu melekat bersama sertifikat hak atas tanah, bilamana syarat demikian kemudian tidak lagi terpenuhi dikemudian hari, maka syarat kepemilikan sertifikat hak atas tanah menjadi teranulir dengan sendirinya dengan dasar alasan telah terjadinya penelantaran.
PEMBAHASAN:
Terdapat perkara yang cukup relevan, sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI gugatan perdata register Nomor 1228 K/Pdt/2004 tanggal 30 April 2009, sengketa antara:
- MAPPASERE DG. MAGGASSING, sebagai Pemohon Kasasi, semula Terbanding, dahulu Penggugat; melawan
- 7 (tujuh) orang warga negara, selaku para Termohon Kasasi, dahulu Para Pembanding, semula Tergugat.
Yang menjadi objek sengketa ialah sebidang tanah kering/tanah perumahan yang kini ditempati Para Tergugat. Tanah perumahan tersebut diklaim sebagai tanah turun-temurun orang tua Penggugat yang diperoleh dari kakek Penggugat.
Penggugat merupakan salah seorang anak/ahli waris yang berhak atas objek sengketa. Tanah tersebut semula lahan yang diolah menjadi kebun kemudian beralih kepada orang tua Penggugat.
Karena adanya kerusuhan sosial yang terjadi pada wilayah tersebut pada saat itu, Penggugat bersama orang tuanya meninggalkan kampung halaman dan tidak mengerjakan lagi tanah objek sengketa.
Pada tahun 1980-an, Para Tergugat mulai dan terus-menerus menguasai tanah objek sengketa tersebut tanpa setahu ataupun seizin dari Penggugat sebagai anak/ahli waris pemilik tanah yang paling berhak.
Penggugat telah berusaha secara damai meminta kembali tanah objek sengketa tersebut, akan tetapi tidak berhasil. Terhadap gugatan tersebut, Pengadilan Negeri Watampone kemudian menjatuhkan putusan, sebagaimana putusan No.69/Pdt.G/2002/PN.WTP. tanggal 6 Maret 2003, dengan amar sebagai berikut:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan tanah sengketa adalah sah tanah turun-temurun orang tua Penggugat bernama Lahuseng Dg. Marala diperoleh dari Darise Dg. Mawelle;
3. Menyatakan bahwa Penggugat adalah salah seorang anak ahli waris dari Lahuseng Dg. Marala yang berhak atas tanah sengketa;
4. Menyatakan bahwa penguasaan Tergugat-Tergugat atas tanah sengketa tersebut adalah perbuatan yang melanggar hukum;
5. Menghukum Tergugat-Tergugat atau kepada siapa saja yang memperoleh hak dari padanya untuk membongkar segala bangunan yang ada diatas tanah sengketa kemudian memindahkan ke tempat lain atas biaya sendiri lalu menyerahkan kepada Penggugat dalam keadaan kosong sempurna;
6. Menghukum Tergugat-Tergugat untuk membayar ongkos perkara sebesar Rp.325.000,- (tiga ratus dua puluh lima ribu rupiah).”
Dalam tingkat banding atas permohonan para Tergugat, putusan Pengadilan Negeri tersebut kemudian dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Makassar lewat putusannya No.255/PDT/2003/PT.Mks. tanggal 29 September 2003, dengan amar sebagai berikut :
- Menerima permohonan banding dari para Tergugat/Pembanding ;
- Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Watampone tanggal 6 Maret 2003 No.69/Pdt.G/2002/PN.Wtp. yang dimohonkan banding tersebut ;
MENGADILI SENDIRI :
- Menolak gugatan Penggugat/Terbanding seluruhnya.”
Penggugat mengajukan upaya hukum kasasi, berkeberatan terhadap pertimbangan hukum Pengadilan Tinggi Makassar yang menyebutkan bahwa sesudah peristiwa kerusukan sosial terjadi, orang tua Penggugat dan Penggugat sendiri tidak pulang kampung dan tidak mengerjakan tanah sengketa sehingga menjadikan tanah terlantar, padahal menurut Hukum Agraria tanah adalah berfungsi sosial artinya tidak boleh diterlantarkan dan harus dimanfaatkan untuk diambil hasilnya.
Sementara itu Penggugat mendalilkan, fungsi sosial dari tanah tidak meniadakan hak seseorang untuk menuntut pengembalian haknya atas tanah yang dikuasai orang lain. Ditinggalkannya kampung dan tanah sengketa pada masa kerusuhan adalah keterpaksaan guna keselamatan hidup (keadaan darurat). Dalam keadaan demikian tidak ada haI yang menurut hukum dapat dinilai adanya pelepasan hak.
Putusan Pengadilan Tinggi Makassar juga mempertimbangkan bahwa Penggugat sejak ± tahun 1980 sudah tahu adanya penguasaan tanah sengketa oleh Para Tergugat jadi sudah lebih dari 20 tahun, akan tetapi mengapa pada tahun 1980 Penggugat tidak mulai menggugat.
Pengadilan Tinggi Makassar mempertimbangkan bahwa Penggugat tidak mengajukan bukti surat yang dapat membuktikan kakek Penggugat pernah memiliki tanah sengketa setidak-tidaknya pernah membuka tanah hutan menjadi tanah kering.
Penggugat berkeberatan terhadap pertimbangan Pengadilan Tinggi Makassar tersebut, dengan argumentasi karena tanah sengketa berada dalam lingkungan masyarakat hukum adat yang pembuktian atas pemilikannya tidak bertumpu pada bukti surat (tertulis) tetapi pada fakta konkrit (nyata). Fakta konkrit dari pemilikan kakek dan orang tua Penggugat atas tanah sengketa sudah diterangkan secara jelas dan tegas sebab-sebabnya oleh saksi-saksi yang Penggugat ajukan di persidangan, dimana keterangan saksi-saksi tersebut sudah tertuang dalam Putusan Pengadilan Negeri Watampone secara rinci.
Fakta pemilikan kakek, orang tua Penggugat dan Penggugat sendiri atas tanah sengketa, dalam pertimbangan selanjutnya dibenarkan oleh Pengadilan Tinggi Makassar, hanya saja mempertimbangkan bahwa pemiIikan telah dilepaskan (pelepasan hak).
Terhadap alasan-alasan kasasi Penggugat, Mahkamah Agung membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, karena Judex Facti-Pengadilan Tinggi yang membatalkan putusan pengadilan Negeri sudah tepat dan tidak salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku sebab dari keterangan saksi kedua belah pihak di persidangan telah terbukti bahwa Penggugat telah berdiam diri selama lebih dari 20 tahun membiarkan tanah sengketa dikuasai dan diusahakan oleh para Tergugat yang sebelumnya Tanah Sengketa hanya pernah dikerjakan dan digarap oleh kakek Penggugat (tidak jelas kapan) kemudian diterlantarkan dan Penggugat tidak pernah meneruskan penggarapan kakeknya tersebut sedangkan kakek Penggugat tidak terbukti sebagai pemilik(;) atau pernah memiliki Tanah Sengketa sehingga menurut hukum Penggugat dianggap telah melepaskan haknya yang mungkin ada atas tanah sengketa (rechtsverwerking);
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, ternyata bahwa putusan judex facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi : MAPPASERE DG. MAGGASSING tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L l :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : MAPPASERE DG. MAGGASSING, tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.