Pekerja Menunda Gugatan, Hak atas Upah Proses Berpotensi Gugur

LEGAL OPINION
Question: Pasal UU Ketenagakerjaan yang mengatur kadaluarsa hak gugat atas pesangon maupun upah yang belum dibayarkan, sudah dihapus oleh MK (Mahkamah Konstitusi). Jadi, apakah ada resiko bila gugatan terhadap pengusaha baru diajukan oleh karyawan setelah dua atau tiga tahun di-PHK sepihak oleh perusahaan?
Brief Answer: Sebaiknya segera minta difasilitasi perundingan Tripartit dari mediator Disnaker setempat, setelah terbit surat anjuran dari Mediator, kemudian ajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) seketika setelah buruh/pekerja di-putus hubungan kerjanya secara sepihak oleh perusahaan. Hal ini guna menghindari hapusnya hak menuntut Upah Proses, jika gugatan baru diajukan berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun kemudian.
Perlu kalangan buruh/pekerja pahami, kadang dalam kasus-kasus tertentu, nilai Upah Proses meski dalam praktiknya di Mahkamah Agung dibatasi maksimum 6 bulan upah, namun bisa jadi nilainya jauh lebih besar dari pesangon terutama bila masa kerja sang buruh/pekerja kurang dari enam tahun. Untuk itu penting disadari pentingnya memperjuangkan Upah Proses sebagai hal paling utama sebelum berfokus pada perihal hak atas pesangon.
PEMBAHASAN:
Sebagai ilustrasi, SHIETRA & PARTNERS akan merujuk pada putusan Pengadilan Hubungan Industrial Bandung register perkara Nomor 86/PDT.SUS-PHI/2016/PN.BDG tanggal 15 Agustus 2016, antara:
- RUSWANTO, sebagai Penggugat; melawan
- PT. FAJAR SURYA LESTARI PLANT CIKARANG, sebagai Tergugat.
Fakta hukum utama dalam kasus ini, Penggugat baru mengajukan gugatan pada tanggal 25 Mei 2016 pada PHI, adapun dalam dalil gugatannya menyatakan yang pada pokoknya adalah bahwa pemutusan hubungan kerja yang dilakukan Tergugat terhadap Penggugat pada tanggal 3 Agustus 2015 tanpa melalui prosedur yaitu melalui penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sebagaimana diatur dalam Pasal 155 ayat (1) Undang–Undang Nomor 13 tahun 2003.
Sementara itu Tergugat membantah dengan mengemukakan alasan yang pada pokoknya bahwa Tergugat melakukan pemutusan hubungan terhadap Penggugat dengan kualifikasi mengundurkan diri karena Penggugat tidak masuk kerja tanpa keterangan terhitung dari tanggal 9 Juli sampai dengan 29 Juli 2016, Tergugat telah melakukan pemanggilan sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dan Penggugat mengabaikan panggilan, hal ini sesuai Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 168 ayat 1 yaitu pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri.
Terhadap gugatan Penggugat, Majelis Hakim membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa dari pokok–pokok gugatan Penggugat dan jawaban Tergugat tersebut, Majelis Hakim memperoleh permasalahan pokok yaitu: apakah pemutusan hubungan kerja yang dilakukan Tergugat terhadap Pengugat dengan kualifikasi pengunduran diri sudah sesuai dengan Ketentuan Pasal 168 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan?
“Menimbang, bahwa perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) antara Pengugat dengan Tergugat berawal dari adanya surat tugas yang ditujukan kepada Penggugat untuk melaksanakan tugas bekerja di PT. Fajar Surya Lestari plant Cikarang dari sebelumnya PT. Fajar Surya Lestari plant Narogong;
“Menimbang, bahwa demi kelancaran kegiatan produksi perusahaan, pada tanggal 9 Juli 2015 Tergugat melakukan mutasi terhadap Penggugat dengan memberikan Surat Tugas No. 025/FSL/VII/2015 kepada Penggugat untuk melaksanakan tugas bekerja di PT. Fajar Surya Lestari plant Cikarang dari sebelumnya PT. Fajar Surya Lestari plant Narogong yang efektif dilaksankan pada tanggal 23 Juli 2015;
“Menimbang, bahwa Penggugat sudah menerima Surat Tugas No. 025/FSL/VII/2015 pada hari Jum’at tanggal 10 Juli 2015 dan terhadap surat tugas tersebut selanjutnya Penggugat menanyakan tentang surat tugas kepada Bapak Rahman, Bapak Triadi, Bapak Heri tetapi tidak mendapat penjelasan mengenai surat tugas tersebut (bukti P-4);
“Menimbang, bahwa terhadap Surat Tugas No. 025/FSL/VII/2015 tersebut, Penggugat tidak memberikan tanggapan dan tidak melaksanakan tugas untuk bekerja di PT. Fajar Surya Lestari plant Cikarang dari sebelumnya PT. Fajar Surya Lestari plant Narogong sesuai dengan perintah Tergugat (bukti T-10);
“Menimbang,bahwa selanjutnya karena Penggugat dari tanggal 23 Juli 2015 belum hadir di plant cikarang untuk menjalan kewajiban dan tugas-tugasnya sebagaimana Surat Tugas No. 025/FSL/VII/2015, maka Tergugat melakukan surat pemanggilan ke 2 kepada Penggugat pada tanggal 27 Juli 2015 berdasarkan Surat Tugas Nomor:026/ST/FSL/VII/2015 yang isinya mohon untuk Penggugat hadir esok hari tanggal 28 Juli 2015 mulai aktif untuk bekerja di PT. Fajar Surya Lestari plant Cikarang dari sebelumnya PT. Fajar Surya Lestari plant Narogong;
“Menimbang, bahwa Penggugat sudah menerima Surat Tugas Nomor 026/ST /FSL/VII/2015 pada tanggal 27 Juli 2015, karena belum mendapat penjelasan dari perusahan tentang surat tugas tersebut, Penggugat tetap bekerja seperti biasanya di plant Narogong (bukti P-4);
“Menimbang, bahwa karena Penggugat tetap tidak hadir untuk bekerja di plant cikarang, maka Tergugat melakukan surat pemanggilan ke 3 kepada Penggugat pada tanggal 29 Juli 2015 berdasarkan Surat Tugas Nomor : 027/ST/FSL/VII/2015 mohon untuk Penggugat hadir esok hari tanggal 30 Juli 2015 mulai aktif kerja di plant cikarang (bukti P-1C dan T-3), dalam hal ini Penggugat sudah menerima surat tugas tersebut pada tanggal 29 Juli 2015 (bukti P-4) dan Penggugat tetap bekerja seperti biasanya di PT. Fajar Surya Lestari plant Narogong;
“Menimbang, bahwa alasan Penggugat tidak melaksanakan surat tugas tersebut karena tidak mendapat penjelasan mengenai surat tugas tersebut, Majelis Hakim berpendapat bahwa dalam surat tugas tersebut dengan jelas dan tegas disebutkan Penggugat untuk melaksanakan tugas bekerja di PT. Fajar Surya Lestari plant Cikarang dari sebelumnya PT. Fajar Surya Lestari plant Narogong, sehingga alasan Penggugat tersebut tidak dapat dibenarkan;
“Menimbang, bahwa Pengusaha mempunyai hak dan kewenangan terhadap pengelolaan perusahaan termasuk penempatan dan mutasi pekerja demi kelancaran produksi, dengan demikian Majelis Hakim berpendapat mutasi terhadap Penggugat oleh Tergugat adalah hak mutlak Tergugat sehingga tindakan Penggugat yang tidak melaksanakan perintah Tergugat untuk melaksanakan tugas bekerja di PT. Fajar Surya Lestari plant Cikarang dari sebelumnya PT. Fajar Surya Lestari plant Narogong dapat dikategorikan sebagai tindakan indisipliner;
“Menimbang, bahwa Tergugat telah memberikan Surat Pemutusan Hubungan Kerja kepada Penggugat Nomor: 030/SPHK/FSL/VII/2015 tanggal 3 Agustus 2015 karena Penggugat menolak terhadap penugasan, pengabaian surat panggilan baik secara lisan ataupun tulisan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 168 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yaitu pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri;
“Menimbang, bahwa berdasarkan penjelasan Pasal 168 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, yang dimaksud dengan dipanggil secara patut dalam ayat ini adalah pekerja/buruh telah dipanggil secara tertulis yang ditujukan pada alamat pekerja/buruh sebagaimana tercatat diperusahaan berdasarkan laporan pekerja/buruh, tenggang waktu antara pemanggilan pertama dan kedua paling sedikit 3 (tiga) hari kerja;
“Menimbang, bahwa Tergugat telah melakukan surat pemanggilan kepada Penggugat sebanyak 3 (kali) sebagaimana bukti P-1A, P-1B, P-1C yang identik dengan bukti T-1, T-2, T-3 akan tetapi tenggang waktu kurang dari 3 (tiga) hari, sehingga Majelis Hakim berpendapat surat pemanggilan yang dilakukan Tergugat terhadap Penggugat adalah tidak patut sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 168 ayat (1) Undang-undang No. 13 Tahun 2003;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan–pertimbangan tersebut diatas, dapatlah disimpulkan bahwa alasan pemutusan hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat dikarenakan ketidakhadiran Penggugat ditempat kerja baru sehingga dikatagorikan sebagai mangkir dan dianggap mengundurkan diri, Majelis Hakim berpendapat tidak dapat dibenarkan;
“Menimbang, bahwa sekiranya terhadap ketentuan dalam Pasal 151 dan 161 Undang–Undang 13 Tahun 2003 tersebut belum dipenuhi, maka belumlah dapat dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja, ataupun sekiranya telah dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja secara sepihak yang ditandai dengan adanya surat PHK atau dipersamakan dengan surat PHK, tertanggal 3 Agustus 2015, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 155 Undang-Undang 13 Tahun 2003 maka Pemutusan Hubungan Kerja sepihak tersebut yaitu Pemutusan Hubungan Kerja antara Penggugat dengan Tergugat, haruslah dinyatakan Batal Demi Hukum;
“Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 100 Undang-Undang No 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan mempertimbangankan azas kemanfaatan bagi kedua belah pihak, sekiranya hubungan kerja diantara keduanya dilanjutkan tentu tidak akan membawa kemanfaatan bagi keduanya karena tidak ada lagi keharmonisan antara satu dengan yang lain, oleh karena itu Majelis Hakim berpendapat hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat dinyatakan putus terhitung sejak tanggal 3 Agustus 2015 karena pelanggaran indisipliner;
“Menimbang, bahwa oleh karena pemutusan hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat terhitung sejak 3 Agustus 2015, maka terhadap tuntutan untuk membayar upah/gaji selama proses Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial setiap bulannya kepada Penggugat sebagaimana petitum Penggugat angka 3 adalah beralasan hukum untuk ditolak;
“Menimbang, bahwa oleh karena putusnya hubungan kerja tersebut, Majelis Hakim mengkualifikasikan sebagai pelanggaran indisipliner dan berdasarkan Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 161, maka Penggugat berhak atas, Uang Pesangon sebesar 1 (satu) kali pasal 156 ayat (2), Uang Penghargaan masa kerja sebagaimana pasal 156 ayat (3) dan Uang Penggantian Hak sebagaimana pasal 156 ayat (4) Undang–Undang No. 13 tahun 2003;
“Menimbang, bahwa terhadap petitum penggugat dalam pokok perkara untuk primair ditolak untuk seluruhnya, maka majelis hakim berpendapat lain dalam subsidair menyatakan putus hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat terhitung sejak 3 Agustus 2015 dan Menghukum Tergugat untuk membayar Uang Pesangon sebesar 1 (satu) kali pasal 156 ayat (2), 1 (satu) kali Uang Penghargaan masa kerja sebagaimana pasal 156 ayat (3) dan Uang Penggantian Hak sebagaimana pasal 156 ayat (4) Undang–Undang No. 13 tahun 2003;
M E N G A D I L I :
DALAM POKOK PERKARA
PRIMAIR
- Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
SUBSIDAIR
1. Menyatakan putus hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat terhitung sejak 3 Agustus 2015;
2. Menghukum Tergugat untuk membayar Uang Pesangon sebesar 1 (satu) kali pasal 156 ayat (2), 1 (satu) kali Uang Penghargaan masa kerja sebagaimana pasal 156 ayat (3) dan Uang Penggantian Hak sebagaimana pasal 156 ayat (4) Undang–Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan kepada Penggugat dengan jumlah total sebesar Rp. 50.719.863,- (lima puluh juta tujuh ratus sembilan belas ribu delapan ratus enam puluh tiga rupiah), dengan perincian sebagai berikut:
• Uang Pesangon : 1 x 9 x Rp. 3.392.633,- = Rp. 30.533.697,-
• Uang Penghargaan Masa Kerja: 1 x 4 x Rp. 3.392.633,- = Rp. 13.570.532,-
• Uang Penggantian hak : 15% x Rp. 44.104.229,- = Rp. 6.615.634,-
Jumlah = Rp. 50.719.863,-
3. Membebankan seluruh biaya yang timbul dalam perkara ini kepada sebesar Rp 356.000,- (tiga ratus lima puluh enam ribu rupiah) kepada Negara.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.