Pasca PHK Sepihak, Pengusaha Tidak Lagi Berhak Memanggil Pekerja agar Kembali Bekerja

LEGAL OPINION
Question: Saat ini ada modus baru dari pihak pengusaha, yakni memberi surat PHK kepada pegawainya tanpa alasan yang jelas, lalu memberi surat panggilan masuk kerja kembali pada karyawan yang di-PHK-nya secara sepihak, dimana bila pegawainya ini tidak masuk lantas menjadi dalil sempurna bagi pengusaha untuk menyatakan bahwa pegawainya ini telah mengundurkan diri karena mangkir terhadap panggilan kerja. Apa yang akan terjadi bila seandainya pegawai benar-benar tidak menghiraukan panggilan masuk kerja kembali dan justru menggugat pengusaha ke PHI? Apa pegawai tetap akan dinyatakan berhak atas pesangon?
Brief Answer: Saat ini tindakan pengusaha seperti mem-PHK secara sepihak, dapat menjadi bumerang bagi kedudukan hukum pihak pengusaha itu sendiri. Modus seperti uraian diatas, pernah diadili oleh Pengadilan Hubungan Industrial dan dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum dimana buruh/pekerja tetap berhak atas pesangon bila buruh/pekerja menggugat agar hubungan kerja dinyatakan putus disertai permintaan kompensasi.
PEMBAHASAN:
Dalam putusan Mahkamah Agung RI tingkat kasasi sengketa hubungan industrial register perkara Nomor 847 K/Pdt.Sus-PHI/2015 tanggal 15 Maret 2016, antara:
- PT. BUREAU VERITAS CPS INDONESIA,, sebagai Pemohon Kasasi, semula Tergugat; melawan
- ERWIN RINALDI, selaku Termohon Kasasi, semula Penggugat.
Pada tanggal 20 Januari 2015 setibanya di Kantor Tergugat, Penggugat menerima Surat Mutasi dengan keputusan Pimpinan Tergugat, yang menetapkan:
- Diktum Pertama “Melakukan mutasi terhadap Penggugat dari IAAC Manager (Inspection Audit dan Assessment Manager) terhitung tanggal 19 Januari 2015 menjadi Hard Line Staf hingga waktu yang tidak ditentukan”; namun hal tersebut adalah surat demosi karena Penggugat diturunkan jabatannya, secara sepihak dimana Penggugat diturunkan dari jabatannya dari IAAC Manager menjadi Hard Line Staff;
- Diktum Kedua “Terhadap Penggugat tidak diperkenankan untuk melakukan pekerjaan sebagai IAAC Manager dan dilarang untuk berhubungan dengan Customer, vendor dab Factory maupun pihak lain yang mempunyai hubungan dengan perusahaan”;
- Diktum Ketiga “Memindahkan lokasi kerja Penggugat dari lokasi kantor Tergugat dipindahkan ke Surabaya, Jawa Timur” dimana Penggugat dimutasikan ke lokasi kerja yang baru di Surabaya, Jawa Timur dengan tidak mencantumkan alamat kantor yang jelas dan Tergugat tidak mempunyai cabang di Surabaya. Oleh karena itu penempatan tersebut tidak memberi jaminan keamanan, kenyamanan, dan kebutuhan Penggugat sebagai karyawan. Penempatan/mutasi Penggugat dilakukan oleh Tergugat merupakan penempatan yang melanggar peraturan perundang-undangan mengenai ketenagakerjaan;
- Diktum Keempat “Pemindahan ini tidak disertai pemberian fasilitas perumahan, transportasi ataupun bentuk tunjangan lainnya,” hal ini menyalahi aturan ketenagakerjaan. Sudah sepatutnya Penggugat diberikan fasilitas perumahan di lokasi kerja yang baru, yakni Surabaya. Fasilitas perumahan adalah hak Penggugat sebagai karyawan.
Sementara itu pada Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaa, mengatur:
(1) Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif, serta adil, dan setara tanpa diskriminasi.
(2) Penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum.
Pemindahan/mutasi Penggugat dilakukan oleh Tergugat dinilai dilakukan secara sewenang-wenangan, menurunkan jabatan Penggugat sekaligus memindahkan lokasi kerja, tanpa pemberian fasilitas perumahan, transportasi ataupun bentuk tunjangan apapun dan tanpa perundingan terlebih dahulu dengan Penggugat yang sejatinya telah mengenyampingkan ketentuan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, maka berdasarkan ketentuan hukum tersebut pemindahan/mutasi Penggugat tersebut merupakan hal yang melanggar hukum, dan meski menolak pemindahan/mutasi namun Penggugat tetap masuk kerja sebagai karyawan Tergugat di tempat biasa Penggugat bekerja.
Walaupun Penggugat tetap masuk kerja sesuai jam kerja yang berlaku, tetapi Tergugat tidak lagi menganggap Penggugat sebagai karyawan, dan sebagai tindak-lanjut Penggugat melalui email tanggal 22 Januari 2015 telah mengundang Tergugat duduk bersama menyelesaikan perselisihan ini secara bipartite akan tetapi Tergugat mengabaikan undangan tersebut.
Pada tanggal 2 Februari 2015 Penggugat menerima Surat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan oleh Tergugat dengan Keputusan Pimpinan Perusahaan. Tergugat telah melakukan PHK secara sepihak terhadap Penggugat tanpa mengirim surat peringatan terlebih dahulu yang secara jelas melanggar ketentuan Pasal 161 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur:
“Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama dapat melakukan pemutusan hubungan kerja setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua dan ketiga secara berturut-turut.”
Adapun Anjuran hasil mediasi oleh Suku Dinas Tenaga Kerja Kota Administrasi Jakarta Pusat serta telah, menyatakan:
“Bahwa secara hukum hubungan kerja antara Perusahaan dengan Pekerja, masih berjalan karena pemutusan hubungan kerja belum sah secara hukum sebelum mendapatkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial.”
Adapun dalil Tergugat dalam bantahannya, lewat sebuah upaya “akrobatik hukum”, mendalilkan bahwa Tergugat telah mengirimkan 3 (tiga) Surat Penggilan Masuk Bekerja namun Penggugat mengabaikan Surat Panggilan tersebut. Adapun masing-masing Surat Panggilan sebagai berikut:
1) Surat Panggilan Masuk Bekerja tanggal 5 Mei 2015;
2) Surat Panggilan Masuk Bekerja tanggal 13 Mei 2015; dan
3) Surat Panggilan Masuk Bekerja tanggal 15 Mei 2015;
Didasarkan pada penolakan untuk masuk bekerja maka berdasarkan kaedah Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013, mengatur: “Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.” Dan di dalam Penjelasan Pasal tersebut diterangkan bahwa “Ketentuan ini merupakan azas yang pada dasarnya berlaku untuk semua pekerja/buruh, kecuali apabila pekerja/buruh bersangkutan tidak dapat melakukan pekerjaan bukan karena kesalahannya.”
Penolakan Penggugat untuk masuk bekerja meskipun telah dilakukan 3 kali Surat Panggilan Bekerja, diartikan oleh Tergugat sebagai mangkir, dan merujuk pada ketentuan norma Pasal 168 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003:
“Pekerja yang mangkir selama lima hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah, dan telah dipanggil oleh pengusaha secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri.”
Didasarkan pada Pasal tersebut diatas, Tergugat telah mengeluarkan Surat Perihal: Pemberitahuan Pemutusan Hubungan Kerja Dikualifikasikan Mengundurkan Diri, sehingga Tergugat hanya bersedia memberi kompensasi berupa Uang Pisah sesuai ketentuan  Pasal 168 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003:
“Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pekerja/buruh yang bersangkutan berhak menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) dan diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.”
Terhadap gugatan tersebut Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kemudian menjatuhkan Putusan Nomor 100/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Jkt.Pst. tanggal 10 Agustus 2015, dengan pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa saksi yang diajukan Penggugat menerangkan bahwa Penggugat tidak melaksanakan mutasi karena Tergugat tidak memiliki kantor di Surabaya;
“Menimbang, bahwa mencermati diktum kelima dari surat mutasi Penggugat tersebut, Majelis Hakim berpendapat bahwa wajar dan beralasan apabila Penggugat tidak melaksanakan mutasi tersebut kalau mutasi dilakukan didasarkan pada itikad baik, kewajiban pengusaha incasu Tergugat adalah memfasilitasi mutasi tersebut, sekurang-kurangnya menyediakan fasilitas atau biaya transportasi. Kalau Tergugat tidak memberi biaya transportasi tidak logis bagi pekerja incasu Penggugat melaksanakan mutasi dengan biaya sendiri;
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta yang tegas oleh Tergugat di dalam bukti P-1 Majelis Hakim mengatakan bahwa sikap Penggugat menolak melaksanakan mutasi dimaksud tidak dapat dipandang sebagai penolakan. Penggugat baru dapat dikatakan menolak mutasi jika terkait dengan mutasi itu, Tergugat memberikan fasilitas berupa biaya transportasi;
“Menimbang, bahwa oleh karena Tergugat tidak membuktikan lain alasannya melakukan PHK tidak bertentangan dengan hukum, Majelis Hakim mengatakan bahwa Tergugat sudah melakukan PHK terhadap Penggugat sejak tanggal 2 Februari 2015 dengan cara bertentangan dengan Pasal 151 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
“Menimbang, bahwa oleh karena Tergugat sudah melakukan PHK terhadap Penggugat sejak tanggal 2 Februari 2015, maka surat panggilan bekerja sebanyak 3 (tiga) kali yang dikirimkan oleh Tergugat kepada Penggugat, masing-masing tanggal 5 Mei 2015, tanggal 13 Mei 2015, dan tanggal 15 Mei 2015, merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan hukum.
“Oleh karena itu tindakan Tergugat menerbitkan surat tanggal 25 Mei 2015 (bukti T/PR-3), yakni mengkualifikasi Penggugat mengundurkan diri, tidak dapat dibenarkan secara hukum, dengan alasan sebagai berikut: (a) Tergugat tidak pernah mencabut surat PHK Nomor 01/SK-HRD/BV/II/2015, tanggal 2 Februari 2015. Oleh karena itu, surat keputusan PHK tersebut sudah mengikat sejak diterbitkan; (b) sebagai akibat dari surat PHK tersebut Mediator Hubungan Industrial pada Kantor Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jakarta Pusat, pada tanggal 27 Maret 2015, telah menerbitkan anjuran dengan menganjurkan Tergugat membayar uang pesangon; (c) Berdasarkan keterangan yang terdapat didalam anjuran mediator, Tergugat terbukti menghadiri proses mediasi yang dilaksanakan oleh mediator pada kantor Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Jakarta Pusat; (d) Tergugat memanggil Pengugat sebanyak 3 (tiga) kali supaya masuk bekerja, setelah mediator menerbitkan anjuran tertulis; (e) Seseorang yang sudah di PHK, seperti yang dialami oleh Penggugat, kepada pekerja tidak dapat lagi dilakukan pemanggilan untuk masuk bekerja, apalagi ketika surat panggilan masuk bekerja itu diterbitkan setelah mediator menerbitkan anjuran untuk membayar uang pesangon”;
“Menimbang, bahwa Penggugat didalam surat gugatannya menuntut upah proses PHK dihitung sejak bulan April 2015 sampai Putusan berkekuatan hukum tetap. Untuk mengadili tuntutan tersebut majelis hakim memperhatikan bukti T/PR-5 berupa slip pembayaran gaji 2015. Berdasarkan bukti T/PR-5 tersebut, Tergugat terbukti telah membayar upah Penggugat sampai dengan bulan April 2015;
“Menimbang, bahwa mengingat hubungan kerja Penggugat dinyatakan putus sejak putusan ini diucapkan maka Majelis Hakim menghukum Tergugat untuk membayar upah proses PHK kepada Penggugat sejak bulan Mei 2015 sampai dengan Agustus 2015 atau selama 4 (empat) bulan”;
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebahagian;
2. Menyatakan putus hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat sejak putusan ini diucapkan;
3. Menghukum Tergugat membayar kepada Penggugat berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak, dan upah proses PHK sebesar Rp701.014.000,00 (tujuh ratus satu juta empat belas ribu rupiah);
4. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya;”
Tergugat mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadap permohonan tersebut Mahkamah Agung membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan kasasi tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan-keberatan kasasi tidak dapat dibenarkan karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 8 September 2015 dan kontra memori kasasi tanggal 1 Oktober 2015 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah benar menerapkan hukum, dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Bahwa mutasi terhadap Termohon Kasasi/Pekerja wajar tidak dilaksanakan karena sesuai Penilaian Hasil Pembuktian oleh Judex Facti tidak diberikan biaya transportasi pindah (vide bukti P-1) dan fasilitas lainnya;
2. Bahwa panggilan masuk kerja tidak dapat dipertimbangkan karena panggilan dilakukan setelah surat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) diberikan kepada Termohon Kasasi/Pekerja;
3. Bahwa telah tepat PHK dengan tanpa kesalahan dengan uang kompensasi 2 kali uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), (3), (4) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003, namun adil tanpa upah proses karena tidak ada alat bukti Termohon Kasasi masuk kerja atau setidak-tidaknya ada upaya masuk kerja di tempat biasa/asal sehingga berlaku asas no work no pay;
4. Bahwa amar Judex Facti telah tepat, dengan perbaikan yaitu tanpa memberikan upah proses selama 4 (empat) bulan kepada Termohon Kasasi;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, maka permohonan Kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi PT. BUREAU VERITAS CPS INDONESIA, tersebut harus ditolak dengan perbaikan amar putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 100/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Jkt.Pst. tanggal 10 Agustus 2015 sehingga amarnya berbunyi seperti yang akan disebutkan dibawah ini;
M E N G A D I L I :
“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT. BUREAU VERITAS CPS INDONESIA, tersebut;
“Memperbaiki amar putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 100/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Jkt.Pst. tanggal 10 Agustus 2015, sehingga amar selengkapnya sebagai berikut:
MENGADILI SENDIRI:
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebahagian;
2. Menyatakan putus hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat sejak putusan Judex Facti diucapkan;
3. Menghukum Tergugat membayar kepada Penggugat berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak sejumlah Rp612.278.000,00 (enam ratus dua belas juta dua ratus tujuh puluh delapan ribu rupiah);
4. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya;”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.