Akibat Hukum Mogok Kerja Spontan

LEGAL OPINION
Question: Apa resikonya bila kami, para pekerja, kemudian melakukan mogok kerja secara spontan akibat tekanan manajemen yang melukai perasaan kami?
Brief Answer: Aksi mogok kerja yang tidak mengindahkan prosedur hukum, sejatinya hanya akan membuka celah yang rawan bagi posisi pekerja / buruh itu sendiri, sehingga seyogianya dilakukan sesuai aturan main yang telah ditetapkan hukum.
Guna amannya, aksi demonstrasi, unjuk rasa, atau hal lain sejenisnya, yang tidak diwarnai aksi kekerasan ataupun intimidasi, dapat dilakukan sewaktu-waktu tanpa prosedur apapun selama hal itu dilakukan di luar jam kerja.
Yang dimaksud dengan terminologi “mogok kerja”, ialah suatu ekspresi dari para pekerja dalam beraspirasi yang menggunakan jam kerja dalam pelaksanaannya. Sementara bila aspirasi itu dilakukan diluar jam kerja, maka hal tersebut tidak dapat disebut “mogok kerja”, sehingga Undang-Undang Ketenagakerjaan perihal mogok kerja yang sah atau yang tidak sah tidak mengikat bagi pekerja/buruh yang berdemo diluar jam kerja perusahaan.
Tentunya tetap harus mengindahkan ketentuan perihal aksi unjuk rasa yang berlaku mengenai kebebasan berpendapat di muka umum, seperti dilaporkannya rencana aksi unjuk rasa kepada pihak berwajib.
PEMBAHASAN:
Sebagai ilustrasi putusan Pengadilan Hubungan Industrial Pekanbaru sengketa pemutusan hubungan kerja (PHK) register Nomor 41/G/2013/PHI.PBR tanggal 10 Februari 2014, perkara antara:
- 2 (dua) orang Pekerja, sebagai Para Penggugat; melawan
- PT. PADASA ENAM UTAMA (KEMITRAAN), selaku Tergugat.
Para Penggugat adalah Karyawan yang bertugas sebagai Pemanen sawit. Para Penggugat diputus hubungan kerjanya oleh Tergugat, dengan alasan telah mangkir kerja sejak tanggal 7 Juni S/d 14 Juni 2013.
Adapun Penggugat mendalilkan, sedang melakukan mogok kerja selama 7 (tujuh) hari. Sementara itu pihak Tergugat mendalilkan,  PHK tidak datang atas inisiatif ataupun atas kehendak sepihak dari Tergugat, akan tetapi PHK terjadi atas kehendak Para Penggugat sendiri sebagai akibat perbuatannya yang telah mangkir, tidak masuk kerja selama 5 (lima) hari kerja meski telah dilakukan pemanggilan secara tertulis sebanyak 3 (tiga) kali yang disertai dengan pemberian surat peringatan I (pertama) s/d surat peringatan III (ketiga), namun tidak pernah diindahkan.
Tindakan Penggugat yang tidak melaksanakan kewajibannya untuk hadir/masuk bekerja menjadi bukti bahwa PHK adalah datang dan atas dasar inisiatif Para Penggugat sendiri. Dikualifikasikan mengundurkan diri, sehingga tidak diwajibkan membayar upah selama dalam proses sampai adanya penetapan PHK dari Pengadilan Hubungan Industrial, juga tidaklah berhak atas pesangon.
Terhadap dalil Penggugat maupun sanggahan dan gugatan balik (rekonvensi) Tergugat, Majelis Hakim membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa bukti P-1 mengenai permohonan karyawan terhadap bonus tahunan, transportasi untuk antar jemput anak sekolah dan klinik kesehatan khusus kebun kemitraan tanggal 13 Februari 2013 dan karena tidak adanya tanggapan kemudian karyawan mengirimkan surat untuk melakukan aksi mogok mulai tanggal 11 Juni 2012 sampai dengan terealisasinya permohonan tersebut sesuai dengan bukti P-2 tentang pemberitahuan mogok kerja kepada pimpinan PT. Padasa Enam Utama tertanggal 11 Juni 2013 untuk tidak melakukan aktivitas pekerjaan (mogok) terhitung dari 11 Juni 2013 dan atas bukti P-1 dan P-2 dan T-17 Majelis Hakim menilai bahwa bila dicermati surat-surat tersebut hanya mengatasnamakan karyawan tanpa adanya siapa yang mewakili atau bertanggung jawab terhadap aksi mogok yang direncanakan untuk tanggal 11 Juni 2013 tersebut dan juga tentang permohonan karyawan juga tidak ada bukti-bukti lain berupa apakah hal tersebut telah dirundingkan sebelum pemberitahuan mogok dan juga tidak ada bukti berupa surat pemberitahuan kepada instansi yang terkait berupa pemberitahuan mogok seperti Dinas Sosial dan Tenaga Kerja serta ke Kepolisian Kabupaten Kampar dan dari bukti P-3 tentang daftar karyawan Proyek Kebun Kemitraan PT. Padasa Enam Utama Kokar juga tidak ada menjelaskan apakah bukti itu merupakan daftar absensi peserta mogok ataukah absensi biasa dan terhadap bukti T-17 mengenai pemberitahuan mogok untuk tanggal 11 Juni 2013 yang  ditandatangani oleh Jalaludin sebagai perwakilan pekerja dengan surat tertanggal 11 Juni 2013 sehingga terhadap bukti P-1, P-2, P-3 dan T-17 tidak dapat dijadikan pedoman atas mogok yang dilakukan para Penggugat dan karyawan lainya dan sesuai dengan ketentuan Pasal 137 dan Pasal 140 No.13 Tahun 2003 maka mogok yang dilakukan para Penggugat / karyawan Tergugat tersebut adalah tidak sah menurut hukum;
“Menimbang, bahwa dalam permohonan ijin PHK yang diajukan oleh Tergugat tersebut diatas, sesungguhnya Tergugat berkeinginan melakukan PHK terhadap Para Penggugat dengan alasan mangkir karena tidak masuk bekerja selama 3 hari berturut-turut dan telah dilakukan pemanggilan, oleh karena itu Majelis Hakim akan mempertimbangkan permohonan tersebut sekaligus memberi penilaian dan pertimbangan tentang boleh atau tidaknya PHK itu dilakukan dengan alasan itu;
“Menimbang, bahwa oleh karena syarat yang ditentukan dalam Pasal 168 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 telah terpenuhi sehingga Para Penggugat dapat dikualifikasikan mengundurkan diri sebagaimana ketentuan dalam pasal tersebut, oleh karena itu majelis hakim berpendapat terdapat cukup alasan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja karena mangkir, serta para Penggugat memperoleh hak haknya sebagaimana diatur dalam pasal 168 ayat (3) UU No.13 Tahun 2003;
“Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut diatas, oleh karena telah terbukti menurut hukum Penggugat Jalaludin sudah tidak masuk bekerja (mangkir) sejak tanggal 07 Juni 2013 dan Rahmad Tampubolon sejak tanggal 08 Juni 2013 dan surat panggilan Tergugat terhadap para Penggugat telah sesuai dengan ketentuan Pasal 168 UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan serta Tergugat telah berhasil membuktikan dalil-dalil pokok bantahannya tersebut, maka Majelis Hakim berkesimpulan terhadap para Penggugat dapat diputuskan hubungan kerjanya dengan Tergugat sesuai surat permohonan PHK yang diajukan Tergugat kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial terhitung sejak tanggal 19 Juni 2013 sehingga Majelis Hakim menetapkan bahwa pemutusan hubungan kerja antara Para Penggugat dengan Tergugat terhitung sejak tanggal 19 Juni 2013;
“Menimbang, bahwa oleh karena Pemutusan Hubungan Kerja telah ditetapkan oleh Pengadilan terhitung mulai tanggal 19 Juni 2013, dan dalam faktanya terhitung tanggal tersebut dan untuk seterusnya Penggugat tidak masuk kerja lagi sampai dengan selama proses perkara ini berjalan dan diputus oleh Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Pekanbaru, maka tidak menjadi kewajiban Tergugat untuk membayarkan upah proses kepada para Penggugat tersebut;
“DALAM REKONVENSI:
“Menimbang, bahwa dalam rekonvensi ini, pihak para Penggugat konvensi Jalaludin dan Rahmad Tampubolon disebut para Tergugat Rekonvensi sedangkan semula pihak Tergugat Konvensi PT. Padasa Enam Utama disebut Penggugat Rekonvensi;
“Menimbang, bahwa dalam gugatan rekonvensi Penggugat Rekonvensi pada pokoknya mendalilkan bahwa khusus terhadap tindakan Sdr. JALALUDIN yang mengajak beberapa karyawan perusahaan Tergugat untuk tidak melakukan aktivitas pekerjaan (mogok) pada tanggal 11 Juni 2013 (setelah mangkir/tidak masuk kerja sejak tanggal 07 Juni 2013) adalah suatu tindakan dan perbuatan yang dipaksakan sepihak oleh Sdr. Jalaludin secara personal/individual tanpa prosedural sesuai tata cara dan mekanisme mogok kerja yang berlaku karena selain surat pemberitahuan mogok kerja yang spontan yaitu surat pemberitahuan disampaikan pada hari bersamaan saat dilaksanakan mogok kerja, surat pemberitahuan mogok kerja tertanggal 11 Juni 2013 juga disampaikan kepada Tergugat pada tanggal 11 Juni 2013 saat melaksanakan aksi mogok kerja sehingga mogok kerja tidaklah memenuhi syarat yang diatur dalam UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sehingga mogok kerja tersebut tidak sah, dan akibat mogok yang dilakukan tanggal 11 Juni 2013 tersebut mengakibatkan kerugian yang cukup besar terhadap terhentinya panen buah sawit sebanyak lebih kurang 368.000 Kg buah dengan harga buah sebesar Rp. 1.511,56 per-kilogram sehingga kerugian perusahaan sebesar Rp.556.254.080,-;
“Menimbang, bahwa dalam pertimbangan konvensi Majelis Hakim telah berkesimpulan bahwa mogok kerja yang dilakukan oleh para Tergugat Rekonvensi adalah tidak sah serta para Tergugat Rekonvensi dapat diputus hubungan kerjanya dengan Penggugat Rekonvensi dengan alasan mangkir;
M E N G A D I L I
DALAM KONVENSI
DALAM POKOK PERKARA
- Menolak gugatan Para Penggugat untuk seluruhnya;
DALAM REKONVENSI
1. Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi untuk sebahagian;
2. Menetapkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan oleh Penggugat Rekonvensi terhadap Para Tergugat Rekonvensi terhitung mulai tanggal 19 Juni 2013;
3. Memerintahkan kepada Penggugat Rekonvensi untuk membayarkan hak-hak Para Tergugat Rekonvensi akibat Pemutusan Hubungan Kerja tersebut sebagai berikut:
a. Untuk Tergugat Rekonvensi : Jalaludin mendapatkan hak berupa:
• Uang Pisah = Rp 785.000,-
• Upah sampai PHK 19/30 x Rp.1.629.000,- = Rp. 1.031.700,-
J u m l a h = Rp 1.816.700,- (satu juta delapan ratus enam belas ribu tujuh ratus rupiah);
b. Untuk Tergugat Rekonvensi : Rahmad Tampubolon mendapatkan hak berupa: Upah sampai PHK 19/30 x Rp.1.629.000,- = Rp. 1.031.700,- (satu juta tiga puluh satu ribu tujuh ratus rupiah);
4. Menolak gugatan Penggugat Rekonvensi untuk Selebihnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.