Menggugat Upah Lembur yang Tidak Dibayar Pengusaha

LEGAL OPINION
Question: Kami dan kawan-kawan pekerja sudah berbulan-bulan ini bekerja lembur di pabrik. Tapi janji pembayaran uang lembur tak juga diberikan hingga kini. Apa saja tahapan langkah hukum yang dapat kami lakukan agar hak kami atas uang lembur ini dapat kami terima? Masalah berikutnya, ialah pengusaha tidak pernah memberi kami bukti lembur berupa surat perintah lembur. Bagaimana ceritanya buruh yang berada di pihak lemah menuntut surat perintah lembur demikian? Jika tak ada bukti surat perintah lembur tersebut, apa artinya pekerja tak bisa menuntut uang lembur ke PHI?
Brief Answer: Ajukan pelaporan kepada Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan untuk menghitung jumlah tanggung jawab pemberi kerja atas upah lembur yang belum ditunaikan. Bila penetapan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan atas perhitungan jumlah beban kewajiban pengusaha tidak kunjung direalisasi, maka para buruh/pekerja dapat mengajukan gugatan perselisihan hubungan industrial ke hadapan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
Pengusaha berada pada posisi dominan, sehingga bila buruh/pekerja tidak mendapat surat perintah lembur, namun perintah diberikan secara lisan, dan secara real lembur tersebut adalah demi kepentingan pengusaha, maka buruh/pekerja tetap berhak menuntut upah lembur—inilah yang disebut sebagai “rasionalisasi beban pembuktian” (equity the burden of prove), yakni pihak yang berada dalam posisi dominan tetap dibebani beban pembuktian meski diposisikan sebagai Tergugat.
PEMBAHASAN:
Dalam putusan Mahkamah Agung RI tingkat kasasi sengketa hubungan industrial register perkara Nomor 809 K/Pdt.Sus-PHI/2015 tanggal 12 Januari 2016, antara:
- PT ARTAWA INDONESIA, sebagai Pemohon Kasasi, semula Tergugat; melawan
- 81 orang pekerja, sebagai Termohon Kasasi, semula Penggugat.
Selama bekerja di perusahaan PT. ARTAWA INDONESIA milik Tergugat, dibelakang hari baru diketahui bila besaran upah yang dibayarkan Tergugat kepada Penggugat di bawah ketentuan ketentuan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo. Peraturan Gubernur Nomor 72 Tahun 2014 tentang Upah Minimum Kabupaten Kota di Jawa Timur Tahun 2015 karena adanya penerapan komposisi antara upah, tunjangan tetap, dan tunjangan tidak tetap yang tidak sesuai.
Berawal dari permasalahan hak normatif tersebut, Penggugat membuat Surat Pengaduan kepada Disnaker (Dinas Tenaga Kerja) Kabupaten Gresik agar Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan menindaklanjuti pelanggaran Normatif terhadap hak–hak Penggugat oleh Tergugat yaitu diantaranya Tergugat membayar upah Penggugat masing-masing di bawah ketentuan Upah Minimum Kabupaten Gresik, perhitungan upah lembur tidak sesuai dengan ketentuan Undang-undang yang berlaku, serta Kontrak Kerja Waktu Tertentu yang terus-menerus tanpa henti hingga bertahun-tahun.
Terhadap pengaduan tersebut, Disnaker melalui Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan melakukan proses pemanggilan–pemanggilan kepada Penggugat selaku pengadu maupun Tergugat selaku teradu, serta dilakukan proses pemeriksaan terhadap perusahaan PT ARTAWA INDONESIA milik Tergugat terkait bukti-bukti pendukung pelanggaran tersebut benar dilakukan atau tidaknya.
Pada akhirnya terbukti bahwa pelanggaran tersebut benar-benar telah dilakukan oleh Tergugat sehingga proses ditingkatkan oleh Pegawai Pengawas kepada Pegawai Penyidik Pegawai Negeri Sipil Disnaker Kabupaten Gresik yang mana kemudian dilakukan pemeriksaan kepada Tergugat terkait pelanggaran membayar upah Penggugat di bawah ketentuan Upah Minimum Kabupaten Gresik, dan ketika proses pemeriksaan dilakukan pihak Tergugat menawarkan perdamaian untuk sepakat melakukan pembayaran kekurangan upah kepada Penggugat masing-masing pada tanggal 5 Nopember 2014 dan untuk pembayaran kekurangan upah lembur menunggu hasil penetapan Dinas Tenaga Kerja yang mana hal tersebut disepakati serta dituangkan dalam Kesepakatan Bersama yang disepakati oleh kedua belah pihak tertanggal 27 Oktober 2014.
Dengan dibayarnya kekurangan upah Penggugat oleh Tergugat sebagaimana kesepakatan tertanggal 27 Oktober 2014 maka telah jelas diketahui pula dampaknya juga berpengaruh kepada pembayaran kekurangan upah lembur karena penghitungan upah lembur adalah berdasarkan pada upah pokok dan tunjangan tetap sehingga dalam permasalahan ini konsekwensinya Tergugat wajib membayarkan kekurangan upah lembur sesuai jam kerja lembur yang telah dilakukan oleh Penggugat dengan didasari bukti slip upah.
Berulang kali Penggugat memohon kepada Tergugat untuk menyelesaikan masalah kekurangan upah lembur tersebut dengan melalui musyawarah mufakat, tetapi Tergugat tidak pernah memberikan putusan yang maksimal karena setiap kali berunding disampaikan menunggu putusan PT. ARTAWA INDONESIA Pusat Jakarta sehingga pada puncaknya Tergugat melimpahkan penyelesaian permasalahan ini kepada Disnaker.
Terkait tuntutan kekurangan bayar upah lembur oleh Tergugat karena penghitungan upah lembur yang tidak sesuai dengan ketentuan, yang mana hasil dari pemeriksaan pegawai Pengawas Ketenagakerjaan diterbitkan Surat Penetapan Pegawai Pengawas Disnaker Kabupaten Gresik tertanggal 22 Desember 2014 tentang Penetapan Pembayaran Kekurangan Upah Lembur PT ARTAWA INDONESIA sebanyak 95 (sembilan puluh lima) orang sebanyak Rp1.055.764.237,00 tanpa diikutkan denda keterlambatan bayar.
Tergugat melalui Disnaker yang menawarkan pembayaran kekurangan upah lembur kepada Penggugat tersebut sebesar Rp350.000.000,00. Oleh Penggugat belum bisa diterima sehingga Tergugat menambahkan nilai rupiah penawaran menjadi sebesar Rp400.000.000,00, tetapi Penggugat beranggapan nilai tersebut masih terlalu jauh nilainya dari Penetapan Pegawai Pengawas, dan tidak ada titik temu terhadap permasalahan tersebut sehingga oleh Tergugat akhirnya mengajukan masalah ini ke tingkat Tripartit Disnaker dengan surat perihal Pendaftaran Pencatatan Perselisihan Ketenagakerjaan.
Dalam prosesnya, Tergugat tetap hanya memberikan penawaran sebesar Rp450.000.000,00 dari permintaan Penggugat sebesar Rp900.000.000,00 sehingga dalam mediasi tidak terjadi adanya titik temu, dan Disnaker Kabupaten Gresik pada akhirnya menerbitkan Surat Anjuran tertanggal 10 Februari 2015 kepada Tergugat maupun Penggugat yang isinya sebagaimana berikut:
“Menganjurkan:
1. Agar PT Artawa Indonesia membayar sisa kekurangan upah lembur sesuai dengan hasil Penetapan Pegawai Pengawas Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Gresik Bernomor: 560/2609/437-58/2014;
2. Agar kedua belah pihak dapat memberikan jawaban tertulis selambat lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah menerima anjuran.”
Setelah menerima surat anjuran dari Disnaker Penggugat menerima isi anjuran, sementara Tergugat menolaknya. Kekurangan upah lembur Penggugat yang tidak dibayar oleh Tergugat akibat kesalahan hitung upah pokok yang diterima Penggugat selama ini, sehingga hal tersebut adalah murni penghasilan dari upah lembur pekerja sesuai jam kerja lembur. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja / buruh melebihi waktu kerja dihitung lembur, sebagaimana diatur Pasal 78 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan:
“Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur dan wajibnya Tergugat membayar upah lembur Penggugat sesuai ketentuan aturan undang-undang yang berlaku.”
Dalam perjalanan waktu, sebelum gugatan ini diajukan Penggugat yang semula berjumlah 95 orang berkurang dan sekarang yang terakhir mengajukan gugatan secara pasti tinggal 81 orang sehingga nilai upah lembur yang wajib dibayarkan kepada Penggugat semula sebesar Rp1.055.764.237,00 menjadi berkurang sebesar Rp957.677.160,00.
Berdasarkan tidak ada itikad baik dari Tergugat untuk membayar kekurangan Upah Lembur tersebut walaupun telah ada surat Penetapan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan serta anjuran dari Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Gresik maka Penggugat mengajukan Gugatan melalui PHI Gresik agar mendapatkan putusan supaya Tergugat membayarkan kekurangan upah lembur kepada masing-masing Penggugat.
Upah lembur tersebut wajibnya dibayarkan oleh Tergugat dan diterima oleh Penggugat terhitung sejak 2 (dua) tahun yang lalu sehingga terjadi keterlambatan bayar, dan terhadap keterlambatan Tergugat membayar upah lembur tersebut maka berlaku denda keterlambatan yang pengaturan tentang pengenaan denda atas keterlambatan pembayaran upah diatur menurut Pasal 95 Ayat (2) dan Ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang mengatur:
a. Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan presentase tertentu dari upah pekerja/buruh.
b. Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada pengusaha dan/atau pekerja/buruh, dalam pembayaran upah.
Terhadap gugatan tersebut Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Gresik telah memberi putusan Nomor 9/Pdt.Sus PHI.G/2015/PN.Gsk., tanggal 4 Agustus 2015 yang amarnya sebagai berikut:
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Tergugat terbukti melanggar ketentuan Pasal 78 ayat (2) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
3. Menghukum Tergugat untuk membayar kekurangan upah lembur kepada para Penggugat sebanyak 81 (delapan puluh satu) orang masing-masing sesuai dengan Penetapan Pegawai Pengawas Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Gresik Nomor: 560/2609/437-58/2014 sebesar Rp953.149.826,00 dengan perincian sebagai berikut: ...
4. Menolak gugatan Para Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Tergugat mengajukan upaya hukum kasasi, dimana salah satu dalih ialah dengan mengemukakan ketentuan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan juncto Pasal 6 Ayat (1) Kepmenaker R.I. Nomor KEP.102/MEN/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Waktu Kerja Lembur, yang mensyaratkan bahwa kerja lembur harus ada perintah tertulis dari pengusaha dan persetujuan tertulis dari pekerja/buruh yang berfungsi juga sebagai landasan perhitungan upah kerja lembur. Penggugat tidak dapat membuktikan adanya surat perintah tertulis dalam hal ini Surat Perintah Lembur dari Tergugat kepada Penggugat sebagai bukti formil adanya kerja lembur tetapi hanya menunjukkan Surat Penetapan Pegawai Pengawas tentang kekurangan pembayaran upah kerja lembur yang dilakukan oleh Penggugat dan penetapan tersebut tidak mempertimbangkan sama sekali adanya Surat Perintah Lembur.
Apakah Mahkamah Agung akan terkecoh oleh modus “menutup jejak” pelaku usaha yang bersikap curang demikian? Perhatikan pertimbangan hukum Mahkamah Agung berikut menindaklanjuti permohonan kasasi Tergugat:
“Menimbang, bahwa terhadap keberatan-keberatan tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan-keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 24 Agustus 2015 dan kontra memori kasasi tanggal 8 September 2015 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Gresik tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa putusan Judex Facti telah tepat dan benar dalam menilai, menimbang dan menerapkan hukum;
- Bahwa Pemohon Kasasi telah menerapkan sistem kerja yang melebihi jam kerja normal dengan argumentasi sudah menjadi kebiasaan dari Pemohon Kasasi dan hal ini telah dibuktikan hasil dari pemeriksaan Pegawai Pengawas Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Gresik, maka Pemohon Kasasi telah melakukan pelanggaran jam kerja lembur dan Pemohon Kasasi berkewajiban membayar lembur dari kelebihan jam kerja normal;
- Bahwa berdasarkan bukti hasil perhitungan oleh Pengawas Ketenagakerjaan bukti (P16, P17) ternyata Pemohon Kasasi tidak mengajukan keberatan kepada Pegawai Pengawas tersebut sebagaimana yang diatur berdasarkan ketentuan Pasal 13 ayat (1), (2) dan (4) Kepmenaker Nomor 102 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa:
(1) Dalam hal terjadi perbedaan perhitungan tentang besarnya upah lembur, maka yang berwenang menetapkan besarnya upah lembur adalah Pengawas Ketenagakerjaan Kabupaten/Kota;
(2) Apabila salah satu pihak tidak dapat menerima penetapan pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka dapat diminta penetapan ulang kepada pengawas ketenagakerjaan di Provinsi;
(4) Apabila salah satu pihak tidak menerima penetapan pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2), dapat diminta penetapan ulang kepada pengawas ketenagakerjaan di Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata bahwa putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Gresik dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau Undang-Undang sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi PT. ARTAWA INDONESIA tersebut harus ditolak;
MENGADILI :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT. ARTAWA INDONESIA tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.