Menggugat Tata Ruang Wilayah oleh Warga

LEGAL OPINION
Question: Saat ini kami dan rekan-rekan pengusaha di daerah kami sedang resah. Pemkot hendak menggusur kami dengan cara mengubah peruntukan penggunaan tanah dalam rencana tata ruang kota, dari yang sebelumnya dapat berdiri usaha dagang, diubah menjadi kawasan non usaha dagang; sehingga dengan kata lain kami digusur dengan peraturan daerah mengenai rencana tata ruang wilayah. Bila kami dilawan dengan instrumen hukum bernama Perda demikian, adakah peluang kami menang dengan mengajukan pembatalan Perda tersebut lewat uji materiil? Saat ini kami mulai kesulitan berusaha, karena Pemkot menolak menerbitkan izin domisili usaha karena tempat usaha kami berdiri bertentangan dengan Perda mereka ini.
Brief Answer: Sampai saat ini tampaknya Peraturan Daerah (Perda) mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tampaknya masih menjadi kewenangan prerogatif Pemerintah Daerah (Pemda) setempat tanpa dapat diganggu-gugat, sekalipun lewat mekanisme judicial review ke hadapan Mahkamah Agung RI.
Satu-satunya hal yang dapat diperjuangkan, ialah dengan berfokus pada maksimalisasi tuntutan ganti-rugi atas bangunan gedung usaha serta kerugian moril akibat relokasi usaha atau kehilangan potential lost akibat “penggusuran secara terselubung” tersebut.
Memang cukup disayangkan, meski Perda mengenai tata ruang mensyaratkan “pendekatan partisipatif” (pendekatan yang mengikutsertakan masyarakat dalam penataan ruang dalam hal perencanaan tata ruang dan pemanfaatan ruang), namun pencantuman ketentuan demikian acapkali hanya menjadi pemanis bibir belaka (gimmick).
PEMBAHASAN:
Sebagai ilustrasi putusan Mahkamah Agung RI perkara permohonan uji materiil register Nomor 45 P/HUM/2011 tanggal 28 Februari 2013, sengketa antara:
- 7 (tujuh) orang Warga Negara perorangan, sebagai Para Pemohon; melawan
- WALIKOTA BANDUNG,, sebagai Termohon.
Para Pemohon adalah perorangan maupun Persatuan Pengusaha Jalan Kiaracondong dan sekitarnya sebagai Para Pengusaha di bidang sektor jasa dan perdagangan, yang menilai haknya atas tanah dan usaha diatas tanah dirugikan dengan berlakunya Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 02 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah dan Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 03 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 02 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah yang dikeluarkan oleh Termohon (Objek Permohonan).
Pasal 1 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2011, menyebutkan:
“Hak Uji Materiil adalah hak Mahkamah Agung Rl untuk menilai materi muatan Peraturan Perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap peraturan Perundang-undangan tingkat lebih tinggi.”
Pasal 31 A Ayat (2) Undang-Undang Rl Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Rl, mengatur:
“Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh pihak yang menganggap haknya dirugikan berlakunya Peraturan Perundang-undangan di bawah undang-undang yaitu:
a. perorangan Warga Negara Indonesia;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat; atau
c. Badan hukum publik atau badan hukum privat.”
Dalam permohonan ini Para Pemohon meminta dan memohon kepada Mahkamah agar Objek Permohonan dinyatakan bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi yakni:
- Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang;
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok pokok Agraria;
- Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.
Objek Permohonan dinilai tidak akomodatif, tidak memperhatikan maupun menampung aspirasi dari masyarakat (aspek sosiologis) yang menempati tanah untuk usaha. Wilayah Bandung Barat, Khususnya Jalan Kiaracondong dan sekitarnya selama puluhan tahun telah berkembang menjadi tempat usaha dari puluhan perusahaan dan menyangkut juga kelangsungan hidup ± 4.000 buruh dan ± 12.000 anggota keluarganya, belum lagi sektor informal yang tidak bisa dipungkiri keberadaannya karena adanya perusahaan-perusahaan tersebut.
Pada tahun 2009, Walikota Bandung mengeluarkan surat yang ditujukan kepada masing-masing perusahaan penyewa tanah tentang pemberitahuan pembatalan/pencabutan sewa-menyewa tanah milik Pemkot Bandung.
Dengan demikian Pemohon mendalilkan, Objek Permohonan  bertentangan dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang menyatakan: “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.”
Kebijakan Termohon yang mengeluarkan kedua Perda tersebut telah menghilangkan fungsi sosial atas tanah, karena pada saat ini Para Pemohon serta Masyarakat Kiaracondong dan sekitarnya beserta kurang lebih 12000 anggota keluarga serta pengusaha sektor non formal yang hidup dari perusahaan milik masyarakat telah tergusur dan terpinggirkan disebabkan oleh karena Kedua Perda tersebut.
Para Pemohon dan Masyarakat Kiaracondong sekitarnya telah membangun wilayah Kiaracondong dan sekitarnya sejak puluhan tahun yang lalu sebagai wilayah Industri. Untuk itu Para Pemohon Masyarakat Kiaracondong sekitarnya telah menjalin kerjasama dengan Termohon, yang dituangkan dalam sebuah kesepakatan dimana dalam kesepakatan tersebut jelas dinyatakan bahwa Penyewa (Para Pemohon dan Masyarakat Kiaracondong sekitarnya) mempunyai Hak Penguasaan dan Pengelolaan lahan untuk Pengembangan Industri.
Namun dengan terbitnya Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 02 Tahun 2004 dengan lampiran gambar peta daerah Batununggal yang diarsir warna pink adalah untuk kawasan Jasa, sedangkan dalam surat kesepakatan sebagaimana tersebut di atas adalah untuk industri dan pada saat adanya perubahan peruntukannya pun masyarakat tidak tahu dan tidak diajak dialog sehingga tidak adanya aspiratif dari masyarakat dan tidak dipertimbangkan kegiatan usaha industri masyarakat yang telah berjalan puluhan tahun.
Para Pemohon dan Masyarakat Kiaracondong sekitarnya juga telah memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang dibuat untuk keperluan Industri dan bukan Jasa.
Para Pemohon maupun warga sekitar wilayah Kiaracondong dan sekitarnya telah jauh-jauh hari sebelum jangka waktu Sewa/Perjanjian dengan Termohon (Pemda Bandung) habis, telah mengajukan permohonan untuk perpanjangan kesepakatan, namun secara sepihak dan tanpa alasan yang jelas, Permohonan Perpanjangan Kesepakatan tersebut tidak pernah ditanggapi dengan layak.
Pihak Termohon dengan mendasarkan pada Objek Permohonan, secara paksa melakukan pengosongan wilayah dan memberikan HGB atas tanah HPL yang disewa oleh Para Pemohon dan Masyarakat Kiaracondong sekitarnya ke tangan PT. Megacandra Purabuana selaku kontraktor, tanpa mempertimbangkan para Pemegang Hak Pakai atas tanah sebelumnya yang telah mengajukan permohonan perpanjangan sewa dengan Pihak Pemda.
Tanah diharuskan berfungsi sosial, sementara dalam Objek Permohonan fungsi sosial tersebut telah dieliminir, demi hanya untuk menguntungkan pihak swasta tertentu.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang dalm Pasal 2 butir (b), mengatur: “Penataan ruang berasaskan: keterbukaan, persamaan, keadilan, dan perlindungan hukum.”
Meski undang-undang tersebut menyatakan setiap orang berhak berperan serta dalam penyusunan rencana tata ruang, namun tidak terdapat keterbukaan tercermin dari tidak diajaknya masyarakat untuk membicarakan penataan ruang di wilayah mereka. Termohon tidak memberikan Izin Perpanjangan Perjanjian Sewa Menyewa dibarengi penerbitan keputusan pengosongan lahan terhadap bangunan yang berdiri di atas tanah yang bersertipikat HGB tersebut kepada pihak kontraktor rekanan pemerintah yang ditengarai bernuansa kolusif.
Terhadap permohonan Para Pemohon sebagaimana terurai diatas, Mahkamah Agung membuat pertimbangan hukum serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa dari alasan-alasan keberatan Para Pemohon tersebut, dihubungkan dengan bukti-bukti yang diajukan oleh Para Pemohon, Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan keberatan Para Pemohon tidak dapat dibenarkan, dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa Peraturan Daerah menyangkut Rencana Tata Ruang Wilayah pasti telah diatur sinergi dan telah dilakukan pertimbangan teknis dan yuridis serta disinkronisasikan dengan peraturan perundang-undangan yang terkait dan telah diatur secara linear (Rencana Pusat, Rencana Provinsi, dan Rencana Kabupaten/Kota), juga dengan memperhatikan aspek AMDAL yang bersinggungan dengan lingkungan hidup;
- Bahwa terhadap kepentingan/hak-hak Para Pemohon hak uji materiil yang dirugikan dapat diselesaikan melalui lembaga “ganti rugi” sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
MENGADILI,
“Menolak permohonan Keberatan Hak Uji Materiil dari Para Pemohon: 1. Tony Tjahjadi, 2. Liauw Wu Shea, 3. Hendra Tedjawisastra, 4. Herry Budihardja, 5. Teguh Pranata, 6. Arianto Darmawan, 7. Listijanti Hidayat tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.