Menggugat Polisi Republik Indonesia (Polri) dan Tata Cara Pembayaran Ganti Rugi oleh Negara bagi Korban Sipil

LEGAL OPINION
Question: Apakah dimungkinkan menggugat POLRI? Maksudnya menggugat secara perdata untuk meminta ganti-rugi akibat perbuatan anggota POLRI yang sudah membikin rugi seorang warga?
Brief Answer: Dimungkinkan dan telah terdapat landmark decision perihal gugatan ganti-rugi sipil terhadap instansi Kepolisian Republik Indonesia.
Telah dijatuhinya hukuman disipilin, dipecat, atau dipidananya anggota kepolisian, tidak menghapus kesalahan maupun tanggung-jawab Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) selaku instansi puncak kepolisian RI untuk mengawasi serta membina anggotanya untuk tidak melakukan kesewenangan terhadap warga sipil.
Penghukuman secara pidana tidak menghapus tanggung jawab keperdataan pelaku perbuatan melawan hukum. Dalam konsep hukum perdata mengenai tanggung jawab atasan (vicarious liability maupun chain of command), menjadi tanggung jawab atasan untuk memastikan segala perbuatan bawahannya (ought to know).
Sebagai tindak lanjut penegakan hukum keperdataan ini, diatur kemudian dalam Peraturan Menter! Keuangan Nomor 80/PMK.01/2015 Tentang Pelaksanan Putusan Hukum.
Adalah negeri yang ironis bila aparatur penegak hukum justru tidak patuh terhadap hukum, atau bahkan melanggar hukum tanpa tersentuh oleh hukum. Atau, bilamana aparaturnya memandang bahwa diri merekalah sang “hukum” itu sendiri—sebuah negeri penuh tragedi.
PEMBAHASAN:
Sebagai ilustrasi putusan Mahkamah Agung RI tingkat Peninjauan Kembali perkara perdata register Nomor 375 PK/Pdt/2015 tanggal 23 Oktober 2015, sengketa antara:
- PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA cq. Presiden RI, cq. Kepala Kepolisian Republik Indonesia, sebagai Pemohon Peninjauan Kembali, semula Pemohon Kasasi, dahulu Pembanding I, yang pada tingkat Pengadilan Negeri sebagai Tergugat I; melawan
- Tn. NAZAR, sebagai Termohon Peninjauan Kembali, dahulu Termohon Kasasi, semula Terbanding, dahulu Penggugat; dan
- BRIPTU NOFRIZAL, NRP, 78101128, selaku Turut Termohon Peninjauan Kembali, dahulu Turut Termohon Kasasi, semula Pembanding II, dahulu  Tergugat II.
Penggugat merupakan orang tua Iwan Mulyadi, anak yang menjadi korban penembakan anggota kepolisian. Tanggal 29 Januari 2006, telah terjadi penembakan yang dilakukan Tergugat II terhadap korban, yang mengakibatkan korban mengalami Iuka tembak pada rusuk sebelah kiri dan proyektil peluru bersarang di tubuh korban.
Kejadian bermula setelah Tergugat I mengeluarkan Surat Perintah Tugas (SPT) Polisi tertanggal 20 Januari 2006 kepada Tergugat II guna melakukan penyelidikan dan penyidikan tentang terjadinya suatu peristiwa yang diduga merupakan suatu tindak pidana atas adanya laporan / pengaduan oleh salah seorang warga masyarakat Tanjung Medan Kenagarian Kinali.
Atas SPT tersebut, Tergugat II melaksanakan Perintah guna untuk mencari Penggugat dan setelah mendapat informasi dari masyarakat, Tergugat II kemudian berangkat menuju tempat Penggugat. Tergugat II memerintahkan agar korban turun, namun belum sampai dibawah, Tergugat II menembakkan senjatanya dan mengenai korban, mengakibatkan korban jatuh tertelungkup bersimbah darah di tanah.
Tembakan Senjata Api Jenis Revolver Colt 38, mengenai rusuk sebelah kiri dan/atau mengenai syaraf tulang belakang, sehingga menyebabkan korban tidak bisa berdiri ataupun berjalan alias mengalami kelumpuhan permanen / total. Kelumpuhan korban, sesuai dengan Visum Et Revertum Nomor tanggal 30 Januari 2006.
Kondisi yang menyebabkan korban mengalami kelumpuhan permanen, disamping karena tembakan mengenai syaraf tulang belakang sebagaimana yang disebutkan dalam Visum, juga diperparah karena sejak korban dirawat inap di rumah sakit sampai dengan tanggal 23 Maret 2006 proyektil peluru yang menembus syaraf tulang belakang tidak dikeluarkan (tetap bersarang) di dalam tubuh Penggugat.
Perbuatan Tergugat I dan ll bertentangan dengan hak-hak konstitusional dari korban selaku sipil dan sekaligus warga negara yang masih di bawah umur. Penggugat merujuk pada ketentuan Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia:
“Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk fisik atau mental ...”
Penggugat merujuk pula Pasal 9 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia:
“Tidak seorangpun yang dapat ditangkap, ditahan atau diasingkan secara sewenang-wenang.”
Menjadi kontradiktif ketika Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyatakan:
“Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan Negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.”
Pasal 13 UU Kepolisian RI:
“Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: ... c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.”
Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia:
“Dalam rangka kehidupan bernegara dan masyarakat, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib: (f) Menjunjung tinggi hak asasi manusia; (g) menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik yang berhubungan dengan tugas kedinasan maupun yang berlaku secara umum.”
Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 disebutkan pula:
“Bahwa dalam pelaksanaan tugas, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib:
a. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan dengan baik-baiknya kepada masyarakat;
b. memperhatikan dan menyelesaikan dengan sebaik-baiknya laporan dan/atau pengaduan masyarakat;
d. melaksanakan tugas sebaik-baiknya dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab;
f. Menaati segala peraturan perudang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku.”
Penembakan oleh Tergugat II terhadap korban timbul karena SPT dari Tergugat I, maka Tergugat selaku pejabat publik yang dalam satu kapasitas jabatan resmi, yang digerakkan dan atau pengetahuan Tergugat I. dengan demikian secara hukum Tergugat I sebagai instansi atasan mempunyai kewajiban hukum yang melekat padanya untuk melakukan pengawasan dan mengevaluasi dalam wilayah tugas, fungsinya terhadap Tergugat II, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, yang berbunyi:
“Pimpinan Kepolisian Negara Republik Indonesia di daerah hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasai 6 ayat (2), bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan wewenang KepoIisian secara hierarki.”
Namun Tergugat I tidak melaksanakan tugas-tugas dan kewajibannya dan/atau Tergugat I telah gagal mengambil Iangkah-Iangkah / tindakan-tindakan untuk melakukan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 PP Nomor 2 Tahun 2003, yang menyatakan:
“Dalam pelaksanaan tugas, anggota Kepolisian Republik Indonesia wajib: (h). Membimbing bawahannya dalam melaksanakan tugas; (I). memberikan contoh dan teladan yang baik terhadap bawahannya;”
KegagaIan Tergugat I mengambil tindakan-tindakan untuk melakukan pencegahan atau menahan perbuatan melawan hukum Tergugat II sehingga dengan demikian perbuatan Tergugat I yang tidak melakukan tugas dan fungsi pengawasan dan pencegahan sehingga perbuatan dan/atau tindakan dari Tergugat I tersebut dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan yang melawan hukum.
Atas perbuatan Tergugat II, oleh Jaksa / Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Lubuk Sikaping telah diajukan ke Pengadilan Negeri Lubuk Sikaping, dan oleh Pengadilan Negeri Lubuk Sikaping yang memeriksa dan mengadilinya perkara atas nama Tergugat II sesuai dengan Putusan Pidana Nomor 190/Pid.B/2006/PN.LBS tanggal 4 Desember 2006 telah menjatuhkan Pidana tehadap Terdakwa, yang amarnya:
1. Menyatakan bahwa Terdakwa Nofrizal telah secara sah dan meyakinkan bersalah meIakukan tindakan Pidana “Penganiayaan Berat”;
2. Menghukum Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan;
3. Memerintahkan barang bukti berupa;
- 1 (satu) pucuk senjata api Revolver Colt 38 Merk Taurus Nomor XK 253941 dikembalikan kepada Kepolisian;
- 1 (satu) butir Proyektil peluru dirampas untuk dimusnahkan.
Meskipun Tergugat II telah dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, dengan putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, namun Tergugat II masih berdinas dan memperoleh gaji dan tunjangan yang selalu dibayarkan Tergugat I kepada Tergugat II setiap bulannya—sehingga melukai hati nurani warga sipil yang menjadi korban penyalahgunaan wewenang.
Lumpuh total telah menimbulkan dampak berupa kerugian yang sangat besar terhadap diri Penggugat maupun anaknya yang menjadi korban, yaitu kelumpuhan permanen, kerusakan mental dan fisik, kehilangan pekerjaan, kehilangan pendidikan, rusaknya kesehatan mengalami penderitaan, traumatis yang cukup kuat, kehilangan masa depan tak dapat dipungkiri.
Perbuatan Tergugat II yang melakukan penembakan terhadap korban, bukan hanya menimbulkan kerugian terhadap Penggugat, akan tetapi juga menimbulkan kerugian juga secara materi maupun kerugian moril, oleh karena tertembaknya Iwan Mulyadi sehingga orang tuanya terhalang untuk bekerja dan mencari nafkah, yang harus merawat Iwan Mulyadi yang menjadi lumpuh secara terus-menerus sehingga orang tuanya kehilangan penghasilan selama korban mengalami kelumpuhan.
Merujuk pada ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:
- Pasal 1365 KUHPerdata: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”;
- Pasal 1366 KUHPerdata: “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja kerugian untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tapi juga untuk Kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya.”
- Pasal 1367 ayat (3) KUHPerdata: “Majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang-orang Iain untuk mewakili urusan-urusan mereka, adalah bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau bawahan-bawahan mereka didalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang ini dipakainya.”
Yang dimaksud dengan perbuatan “Perbuatan Melawan Hukum” adalah: KeaIpaan berbuat, yang melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau melanggar kesusilaan ataupun yang bertentangan dengan kepatutan yang harus dindahkan dalam pergaulan masyarakat tentang orang Iain atau barang (Arrest Hoge Raad 1919 Cohen Vs. Lindenbaum).
Terhadap gugatan sang orang tua korban, Pengadilan Negeri Pasaman Barat kemudian menjatuhkan putusannya sebagaimana Nomor 04/PDT.G/2007 tanggal 18 Juni 2008, dengan amar sebagai berikut:
Dalam pokok perkara:
- Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
- Menyatakan Tergugat II melakukan penembakan kepada Anak Penggugat adalah perbuatan melawan hukum;
- Menetapkan Tergugat I berkewajiban menanggung ganti rugi yang timbul dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Tergugat II tersebut;
- Menghukum Tergugat I untuk membayar ganti rugi (immateriil) kepada Penggugat sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah);
- Menolak gugatan Penggugat selebihnya.'
Sementara itu, amar Putusan Pengadilan Tinggi Padang Nomor 56/PDT/2009/PT.PDG tanggal 18 Januari 2010 adalah sebagai berikut:
- Menerima permohonan banding dari Tergugat I / Pembanding;
- Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Pasaman Barat tanggal 18 Juni 2008 Nomor 04/Pdt.G/2007/PNPSB. yang dimintakan banding tersebut.
Adapun kemudian dalam tingkat kasasi yang menjadi pertimbangan hukum serta amar putusan Mahkamah Agung RI Nomor 2710 K/Pdt/2010 tanggal 19 Mei 2011 yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut:
“Bahwa Tergugat II (Briptu Nofrizal) terbukti melakukan penembakan kepada anak Penggugat, maka sesuai Prinsip Vicarious Liability (Pasal 1367 KUH Perdata) kesalahan yang dilakukan pada saat tergugat II melakukan tugas, resiko pembayaran ganti rugi adalah menjadi Tanggung Jawab Tergugat I;
MENGADILI :
Menolak permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi: PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA Cq. PRESIDEN RI di JAKARTA, Cq KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA (KAPOLRI) di JAKARTA, Cq. KEPALA KEPOLISIAN DAERAH SUMATERA BARAT (KAPOLDA) di PADANG, Cq. KEPALA KEPOLISIAN RESOR PASAMAN BARAT (KAPOLRES PASAMAN BARAT) Cq. KEPALA KEPOLISIAN SEKTOR KINALI (KAPOLSEK KINALI) tersebut.”
Ganti rugi yang dibebankan pengadilan terhadap POLRI adalah hanya senilai tiga ratus juta untuk sebuah masa depan seorang anak yang direnggut oleh seorang penguasa bersenjata api, suatu nilai yang jauh dari rasa keadilan. Namun apa yang kemudian teladan yang diberikan POLRI?
Alih-alih mengakui kesalahan, segera memberikan hak-hak keperdataan warga sipil yang menjadi korban, melakukan introspeksi atau sekedar reformasi diri, namun dengan sangat melanggar kepatutan negara berhukum, POLRI justru melakukan upaya hukum Peninjauan Kembali terhadap Penggugat—sehingga kian mencederai keadilan bagi warga sipil yang merupakan kaum lemah di mata kepolisian yang seakan menguasai dan kebal hukum dengan senjata api di tangan. Dalam konteks ini, POLRI dan jajaran anggotanya justru menjelma sumber teror bagi masyarakat. POLRI telah memposisikan dirinya sebagai musuh masyarakat.
Terhadap permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan POLRI, Mahkamah Agung membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan Peninjauan Kembali tersebut tidak dapat dibenarkan, dengan pertimbangan sebagai berikut;
“Bahwa didalam putusan Judex Juris dan Judex Facti juga tidak terdapat kekhilafan hakim atau sesuatu kekeliruan yang nyata;
“Bahwa didalam perkara pidana Nomor 160/Pid.B/2006/PN.LBS atas nama terdakwa Nofrizal (Tergugat II), Nofrizal dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana “penganiayaan berat” sehingga secara perdata Tergugat II terbukti melakukan Perbuatan Melawan Hukum, bahwa oleh karena pada saat melakukan penganiayaan / penembakan terhadap Iwan Mulyadi, Tergugat II dalam rangka menjalankan tugas Kepolisian yang didahului adanya Surat Perintah Tugas dari Tergugat I, maka berdasarkan Pasal 1367 KUHPerdata Tergugat I sebagai atasan Tergugat II, harus bertanggung jawab untuk membayar kerugian yang dialami Penggugat;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh para Pemohon Peninjauan Kembali: Pemerintah Republik Indonesia Cq. Presiden RI di Jakarta, Cq Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) di Jakarta, Cq. Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Barat (Kapolda) di Padang, Cq. Kepala Kepolisian Resor Pasaman Barat (Kapolres Pasaman Barat) di Cq. Kepala Kepolisian Sektor Kinali (Kapolsek Kinali) tersebut harus ditolak;
MENGADILI
Menolak permohonan peninjauan kembali dari para Pemohon Peninjauan Kembali: PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA Cq. PRESIDEN RI di JAKARTA, Cq KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA (KAPOLRI) di JAKARTA, Cq. KEPALA KEPOLISIAN DAERAH SUMATERA BARAT (KAPOLDA) di PADANG, Cq. KEPALA KEPOLISIAN RESOR PASAMAN BARAT (KAPOLRES PASAMAN BARAT) Cq. KEPALA KEPOLISIAN SEKTOR KINALI (KAPOLSEK KINALI) tersebut.”
PERATURAN MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 80/PMK.01/2015
TENTANG
PELAKSANAN PUTUSAN HUKUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
1. Putusan Hukum adalah putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan atau lembaga arbitrase yang telah mendapat penetapan pengadilan.
2. Penerima Hak Tagih adalah pihak yang memenangkan perkara dan mempunyai hak untuk mengajukan tagihan kepada Negara terhadap Putusan Hukum yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pasal 2
(1) Dalam rangka pelaksanaan Putusan Hukum yang ditujukan kepada Menteri Keuangan, Penerima Hak Tagih dapat mengajukan permohonan kepada Menteri Keuangan untuk melaksanakan putusan.
(2) Penerima Hak Tagih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk ahli waris Penerima Hak Tagih.
(3) Dalam hal Penerima Hak Tagih lebih dari 1 (satu), permohonan diajukan oleh salah satu pihak yang diberikan kuasa oleh para Penerima Hak Tagih, yang dibuktikan dengan surat kuasa.
(4) Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dokumen-dokumen sebagai berikut:
a. lembar asli Putusan Hukum yang mempunyai kekuatan hukum tetap; dan
b. fotokopi identitas diri Penerima Hak Tagih.
Pasal 3
Putusan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
b. terdapat perintah untuk membayar sejumlah uang; dan
c. bukan merupakan tugas dan fungsi kementerian negara/lembaga.
Pasal 4
Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Sekretaris Jenderal c.q. Kepala Biro Bantuan Hukum melakukan verifikasi terhadap dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
Pasal 5
(1) Dalam hal hasil verifkasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 telah terpenuhi, Sekretaris Jenderal menyampaikan laporan hasil verifkasi kepada Menteri Keuangan.
(2) Berdasarkan laporan hasil verifkasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan membentuk tim percepatan penyelesaian putusan hukum dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(3) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat ad hoc.
(4) Petunjuk pelaksanaan tugas (Standard Operating Prosedure/SOP) yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas tim percepatan penyelesaian putusan hukum diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Pasal 6
Dalam hal hasil verifkasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 belum terpenuhi, Kepala Biro Bantuan Hukum menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Penerima Hak Tagih.
Pasal 7
(1) Tim percepatan penyelesaian putusan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, menyampaikan laporan pelaksanaan tugas tim kepada Menteri Keuangan melalui Sekretaris Jenderal untuk mendapatkan persetujuan.
(2) Persetujuan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(3) Dalam hal hasil laporan tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak disetujui oleh Menteri Keuangan, laporan dimaksud dikembalikan kepada tim untuk dilakukan pengkajian ulang.
Pasal 8
Persetujuan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 disampaikan oleh Sekretaris Jenderal kepada pimpinan unit eselon I yang berkepentingan di lingkungan Kementerian Keuangan.
Pasal 9
Pimpinan unit eselon I yang berkepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 melanjutkan penyelesaian pelaksanaan Putusan Hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.