Magna Culpa Dolus Est, Great Fault (or Gross Negligence) Is Equivalent to Fraud

ARTIKEL HUKUM
Fenomena unik kerap terjadi dalam dinamika masyarakat. Hartawan yang telah memiliki kekayaan ratusan miliar Rupiah tetap tergiur untuk terjebak modus penipuan seorang yang mengaku memiliki kekuatan supernatural yang mampu melipat-gandakan harta. Alhasil, korban bergelimpangan. Apakah ini lebih tepat disebut sebagai tragedi, ironi, ataukah dagelan?
Modus-modus demikian kerap terdengar, namun sama seringnya dengan kembali berulang dan disiarkan tanpa pernah ada habisnya. Korban-korbannya bukanlah orang tidak mampu yang terdesak kebutuhan ekonomi sehingga berpikir irasional untuk tergiur janji-janji lipat ganda uang oleh sang “sakti mandraguna”.
Fenomena unik demikian bukan merupakan anomali, bukan pula fakta faktual kontemporer, namun sudah dicatat dalam sejarah yang dapat ditarik runut jauh ke belakang sejarah peradaban manusia. Bukanlah kesalahan hasil evolusi manusia yang menyisakan otak limbik pada homo sapiens.
Seorang suami yang telah beristri, tidak puas dengan seorang wanita yang telah dipersuntingnya, tejadilah poligami, hingga ped*filia meski sains menyatakan wanita baru dapat disebut cukup umur untuk menikah ialah ketika memasuki umur 25 tahun dimana keseimbangan hormonal baru dicapai.
Sama halnya dengan kekuasaan, seorang kepala desa takkan merasa cukup dengan jabatannya tersebut, mencari segala cara tampuk kekuasaan yang lebih tinggi. Ketika telah menjadi wakil rakyat di dewan perwakilan rakyat, tergiur oleh harta materi, terjadilah tindak pidana korupsi.
Seorang pemadat tidak merasa cukup dengan nikotin pada rokok, mulai memasuki fase peminum miras. Merasa belum juga terpuaskan, masuklah pada fase konsumsi obat-obatan terlarang. Belum juga terpuaskan, terjadilah over dosis.
Pengusaha properti yang telah demikian besar bahkan dapat disebut raksasa tambun, mengklaim masih belum merasa cukup dengan dinasti perusahaan property yang dimiliki dan dikuasainya, kemudian bersikukuh pula untuk mereklamasi teluk utara Jakarta dengan alasan “terancam gulung tikar bila tak diizinkan pemerinah mereklamasi dan membangun di teluk utara Jakarta”—sementara daerah-daerah lain seperti Papua, Sumatera, Kalimantan, dibiarkan dengan kondisi infrastruktur dan pembangunannya yang merangkak jika tak ingin disebut mangkrak.
Dengan segala cara seorang gubernur hendak menjadi presiden, dan seorang presiden hendak menjadi penguasa dunia. Ketika telah menjadi penguasa dunia, ketidakpuasan tetap melekati dirinya. Dimulailah fantasi mengenai “perang bintang” yang termasyur itu.
Seorang kriminal bukan hanya menjadi predator anak berjumlah satu atau dua korban dibawah umur, namun tercatat hingga belasan bahkan puluhan korban. Dasariah manusia memanglah tiada terpuaskan, karena kepuasan tidak kekal, dan tidak kekal akibat memang tiada suatu entitas yang dapat disebut “AKU” (sabbe sangkhara anicca, anatta, dukkha). Untuk selengkapnya dapat dibaca pada Anatthalakkhana Sutta yang dikomentari Mahasi Sayadaw dalam versi terjemahan Bahasa Indonesia pada situs Dhammacitta.
Fenomena demikian terjadi ketika seorang suami lalai untuk menyadari keberadaan sang istri, sehingga terjadilah perselingkuhan, poligami, fenomena kawin-cerai-kawin-cerai.
Seorang hartawan gagal menyadari keberuntungan dirinya, terus mengeruk sumber daya alam hingga daya dukung ekosistem rusak, hanya demi memuaskan apa yang tidak dapat dipuaskan, karena memang dasariah manusia ialah menyerupai kendi yang memiliki lubang pada dasarnya, sehingga diisi sebanyak apapun tidak akan pernah penuh, demikian sabda Sang Buddha.
Senada dengan khotbah-khotbah Sang Buddha, Sigmund Freud mengemukakan hipotesis psikoanalisis yang disebut sebagai alam bawah sadar berupa antinomi insting-insting hidup dan insting-insting mati. Kedua insting tersebut bersifat laten dan selalu muncul ke permukaan silih-berganti. Sifat destruktif manusia dan sejarah peperangan, bunuh diri, kekerasan, agresifitas, menjadi afirmasi terhadap teori insting-insting mati.
Seorang anggota keluarga tidak mampu menyadari hidangan yang disuguhkan di meja makan rumahnya, merasa menderita, menuntut untuk diberikan junk food yang dijual di swalayan. Alhasil, mengidap diabetes dan penyakit-penyakit yang ditimbun dan disuntikkanya sendiri.
Seorang berpunya lalai untuk memahami betapa kaya-raya dirinya, sehingga tergila-gila akan janji lipat-ganda uang—menjadi korban dari kebodohan dirinya sendiri yang melahirkan ketamakan yang menyandera indera dan pikirannya.
Warga Indonesia dapat menghirup udara segar karena berada pada negara dengan jalur khatulistiwa dengan iklim tropis yang subur dengan berbagai tumbuhan menyuplai oksigen, kekayaan sumber daya alam, dsb—sehingga menjadi lalai untuk menghargai dan menjaga kelestarian semua itu.
Pepatah mengatakan, seekor ikan tidak mengenal dan tidak menyadari apa itu “air” terlebih memahami bahwa dirinya selama ini hidup dan tumbuh berkembang dalam air. Barulah ketika ia mengharap-harap apa itu dunia luar, meloncat keluar dari kolam, terkapar di tengah udara terbuka, termegap-megap, sekarat, dan meninggal. Sesaat sebelum menjelang ajal, dirinya mulai merindukan dan mengharapkan air. Namun sudah terlambat.
Demikian halnya dengan seekor ikan yang dungu, begitupula kelakuan seorang manusia.
Kerap penulis jumpai, manusia-manusia Indonesia yang lebih pandai mengkomentari, menguliahi, menghakimi pihak lain, namun kelakuannya sendiri tak lebih baik dan tak kalah buruk dengan tokoh-tokoh yang korup yang mereka laknat.
Lantas, apakah hukum akan menjadi “kepo” terhadap kelakuan manusia-manusia yang “lalai untuk bersikap eling” demikian?
Pada dasarnya hukum menghargai pihak-pihak yang beritikad baik, dimana salah satu bentuk indikasi itikad tersebut ialah suatu upaya yang sungguh-sungguh penuh perhatian dan kesadaran untuk tidak menjadi korban kelalaian dirinya sendiri.
Ketika dirinya kemudian menjadi korban dari kelalaian dirinya sendiri, sejatinya ia hanya diperkenankan menuntut dirinya sendiri.
Hukum bersifat mencerdaskan, bukan menina-bobokan ataupun membodohi. Hukum memiliki fungsi edukatif, dengan demikian hukum tidaklah dapat bersikap naif terhadap warga negaranya.
Dalam ilmu hukum di negara Anglo Saxon, terdapat sebuah adagium yang menarik untuk kita simak: Magna culpa dolus est. Great fault (or gross negligence) is equivalent to fraud—Bahwasannya kelalaian berat sama derajatnya dengan kesengajaan itu sendiri.
Bila seseorang dengan dikualifikasi menjadi korban secara sengaja, maka siapa yang akan perduli?
Masalahnya, hukum hanya mampu mengatur dan me-“rekayasa” alam sadar manusia, dengan segala ancaman pidana bila suatu perbuatan melanggar hukum dilakukan oleh seorang warga negara. Namun mengapa tindak pidana dan kejahatan terus terjadi?
Disitilah titik dimana hukum tidak lagi mampu berkontribusi. Dalam ilmu psikoanalisis yang menjadi bagian dari disiplin ilmu psikologi, alam pikir manusia dibagi menjadi dua: alam sadar dan alam bawah sadar. Hukum hanya mampu menjamah alam sadar manusia, dengan segala aturan normatif dan kelemahannya. Namun hukum terbukti gagal merekayasa hingga mencengkram erat alam bawah sadar para warga negaranya. Hukum harus menyadari dan mengakui kelemahan dirinya dan mulai memberi ruang pada disiplin ilmu lain untuk menonjol dan berkiprah memberi sumbangsih.
Adalah tugas utama para orang tua, pendidik, dan masyarakat itu sendiri dalam membentuk dan menata pola alam bawah sadar setiap individu. Alam bawah sadar bagaikan mengukir batu keras yang hanya dapat dipahat sedikit demi sedikit, berbeda dengan karakter hukum yang bersifat keras namun seketika sehingga jelas tidak akan mampu membentuk ataupun memperbaiki alam bawah sadar penduduknya.
Bagaikan mencoba memahat batu dengan kapak.
Sebagai contoh, dalam ilmu psikologi hanya dibenarkan membesarkan anak dengan pola didik disiplin ala militer bila sang anak memiliki karakter plegmatis. Bila sang anak berkarakter melankolis ataupun koleris, yang terjadi ialah rusaknya karakter sang anak.
Hukum tak dapat bersikap naif layaknya seorang Ayah yang memandang dirinya dapat mendidik anak-anaknya seperti halnya dirinya dahulu dididik dengan pola militer. Ia harus mampu menyadari adanya perbedaan dan ragam-ragam dalam alam bawah sadar yang membutuhkan perlakuan tertentu sesuai karakter alam bawah sadar masing-masing individu.
Psikologi sangat mengedepankan upaya “pendekatan”, sementara hukum mengedepankan ancaman dan sanksi yang bersifat instan.
Psikologi berperan dalam upaya preventif,  sementara hukum kuratif. Oleh karenanya, sinergi kedua disiplin ilmu tersebut menjadi keharusan pada abad ke-22. Seyogianya, seseorang baru dapat menempuh bangku pendidikan tinggi hukum setelah setidaknya mengenyam studi strata satu ilmu psikologi (bedanya bila di Amerika Serikat, untuk menjadi seorang bachelor of law wajib memiliki gelar sarjana dari disiplin ilmu non hukum terlebih dahulu sebagai prasyarat mutlak).
Menata (defrag) alam bawah sadar membutuhkan segenap waktu, kesungguhan, kepekaan, kepedulian, afeksi, sensitifitas, konsistensi, perhatian, kesinambungan, serta perlakuan tertentu. Oleh sebab itu, seorang sarjana hukum yang baik dan terampil, adalah seorang sarjana hukum yang juga menguasai seni ilmu psikologi, apapun profesi hukumnya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.