Korelasi Upah Proses dengan Larangan Pengusaha bagi Pekerja untuk Bekerja

LEGAL OPINION
Question: Kemarin atasan melarang masuk kerja dengan alasan hubungan kerja saya telah diputus, tidak jelas juga apa alasannya, sehingga terhitung sejak tanggal hari ini saya dilarang masuk ke kantor. Apa yang harus saya lakukan saat ini, untuk mempersiapkan gugatan terhadap perusahaan karena telah memecat seenaknya?
Brief Answer: Kerap terjadi, masa kerja yang kurang dari belasan tahun hanya akan mendapat sedikit pesangon, sehingga mengajukan gugatan menjadi kurang efesien bila yang dikabulkan hakim hanyalah sebatas pesangon. Untuk itu perlu dipastikan, Anda dinyatakan berhak atas Upah Proses oleh Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), setidaknya sebesar 6 (enam) bulan upah.
Hal paling utama yang perlu untuk dilakukan ialah mengumpulkan bukti sebanyak-banyaknya, bahwa pihak perusahaan memang menolak Anda kembali bekerja, seperti berupaya masuk kerja, kronologi peristiwa ketika perusahaan menolak kedatangan Anda, atau tidak memberi Anda tugas untuk dikerjakan guna memberi keyakinan pada hakim bahwasannya Anda memiliki usaha dan kemauan untuk tetap bekerja, namun ditelantarkan pengusaha sehingga pihak pemberi kerja tak lagi dapat berlindung dibalik dalil “no work no paid”.
PEMBAHASAN:
Sebagai ilustrasi tepat sekiranya merujuk putusan Pengadilan Hubungan Industrial Palembang sengketa PHK register perkara Nomor 43/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Plg tanggal 8 Oktober 2015, dimana meskipun Majelis Hakim mengabulkan pesangon, namun menolak pemberian Upah Proses dengan pertimbangan hukum yang penting untuk disimak dan menjadi perhatian, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menyatakan: “selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya”;
“Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 191 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo. ketentuan Pasal 17 ayat (2) Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor KEP-150 tahun 2000, menyatakan: “Dalam hal pekerja/buruh tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) karena dilarang oleh pengusaha dan pengusaha tidak melakukan skorsing, maka pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh selama dalam proses sebesar 100% (seratus perseratus)”;
“Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 191 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo. ketentuan Pasal 17 ayat (3) Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor KEP-150 tahun 2000, menyatakan: “Dalam hal pekerja/buruh tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atas kemauan pekerja/buruh sendiri, maka pengusaha tidak wajib memberikan upah pekerja/buruh selama dalam proses.”
“Menimbang, bahwa ternyata dimuka persidangan Para Penggugat tidak membuktikan ataupun tidak dapat membuktikan adanya larangan dari pengusaha terhadap Para Penggugat sehingga Para Penggugat tidak dapat memenuhi kewajibannya tersebut;
“Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menyatakan: “Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.”
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, oleh karena itu Majelis hakim berpendapat tuntutan Para Penggugat pada angka (6) dalam pokok perkara mengenai pembayaran upah selama proses perselisihan ini berlangsung haruslah juga ditolak.”
Ketika buruh/pekerja di-PHK secara sepihak, dalam arti secara politis dan sosiologis tidak lagi memberikan kesempatan bagi buruh/pekerja untuk tetap bekerja selagi belum terdapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap perihal PHK tersebut, maka hal terpenting pertama ialah memastikan bahwa penolakan untuk bekerja tersebut berasal dari pihak pengusaha, bukan dari pihak pekerja, sehingga pekerja berhak atas Upah Proses.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.