Kita Tidak dapat Mencurangi Hidup, Hukum Karma Mengikat Setiap Makhluk sebagai Pewaris dari Perbuatannya Sendiri

ARTIKEL HUKUM
Sebenarnya adalah mengherankan adanya orang-orang yang bersikap curang, terlebih mencurangi, menipu, menyakiti, merugikan, ataupun menculasi makhluk atau manusia lainnya. Apapun motifnya, baik dilandasi keterpaksaan, ketamakan, keusilan, kesenangan bodoh belaka.
Seekor hewan saja tidak lagi mau berdekatan dengan seseorang yang telah menyakiti dirinya, memberi kita pemahaman jujur bahwa hewan saja memiliki ketakutan, rasa sakit, keinginan, harapan, serta kecemasan disamping perjuangan untuk hidup.
Mencurangi, pasti kecurangan itu akan berbalik dan berbuah pada diri pelakunya sendiri. Jadi buat apa kita repot-repot mencurangi hidup, terkecoh oleh keyakinan keliru bahwasannya kecurangan dapat dihapus atau tidak akan berbuah pada sang pembuatnya sendiri—entah dengan keyakinan bahwa dirinya telah melupakan semua perbuatan jahatnya, dengan mengingkari perbuatannya, dengan menyembah adikodrati dengan harapan penghapusan dosa.
Salah satu yang membedakan antara hukum karma dengan hukum manusia, hukum karma tidak pandang bulu (ras apapun, warga negara manapun, kulit hitam atau kulit putih) dan bekerja secara otomatis baik diakui maupun tidak diakui, percaya atau tidak percaya pada hukum karma.
Bagaikan sesuatu yang telah patah, nasi yang telah menjadi bubur, tak ada satupun permintaan maaf ataupun pengampunan dosa yang dapat menghapus sejarah atau mengembalikan bubur kembali menjadi nasi. Cobalah ambil sebuah kain kotor, kemudian berdoa dan menyebut secara berulang-ulang (jika perlu dengan toa akan lebih afdol): “Bersih, bersih, bersih, bersih, ...” terus-menerus disebutkan, apakah kain itu akan menjadi bersih sesuai keinginan kita?
Mengharap bahwa harapan kita berjalan sesuai harapan kita, sejatinya melecehkan hukum alam yang bekerja secara teratur dan terpola. Bagaikan menantang dan mendikte hukum karma. Cobalah gosokkan sehelai kain bersih dengan tangan kita, lakukan terus-menerus, dengan penuh keyakinan meyakini bahwa kain putih itu akan lebih putih lagi, atau setidaknya tetap seputih semula. Adapun yang kemudian Anda dapati adalah kain tersebut menjadi lusuh, kucel dengan daki kita.
Buddhisme memiliki analogi berikut: karma buruk ibarat garam yang asin, dan karma buruk ibarat air sejuk yang menyejukkan. Bila kita berbuat buruk, garam itu tetap ada, tak dapat dipungkiri atau diingkari terlebih dibuang (dibuang ke mana?). Hanya saja, ketika karma baik kita lebih banyak, sebanyak danau, segelas garam yang dituang ke danau membuat rasa asin itu hampir tak lagi kentara. Jadi bukan mati-matian mengharap penghapusan dosa, namun perbanyak perbuatan baik, perkecil perbuatan buruk, dan sucikan hati serta pikiran, inilah ajaran para Buddha, baik Buddha yang di masa lampau, kini, dan di masa yang akan datang.
Berani berbuat, berani bertanggung jawab. Berani bermain api, berani terbakar. Inilah prinsip gentlement agreement secara universal yang berlaku pada hukum karma. Buddha mengajarkan umatnya menjadi seorang gentlement sejati. Seorang gentlement senantiasa respek dan penuh keutuhan dengan dirinya sendiri.
Ketika kita menyadari bahwa mencurangi hidup akan berbalik pada diri sang pembuat, akan dicurangi hal yang serupa pada si pelaku itu sendiri ketika buah perbuatannya matang (hanya tinggal persoalan waktu), lantas untuk apa lagi kita mencurangi hidup?
Pepatah mengatakan, lebih baik dirugikan ketimbang merugikan orang/mahkluk lainnya. Lebih baik merugi daripada merugikan. Lebih baik disakiti ketimbang menyakiti.
Sang Buddha menyatakan, ketika seseorang merasakan manisnya hidup, hal tersebut hanyalah “nasi basi”, karena hanya sedang menuai buah karma baik yang dahulu ditanamnya. Sehingga kita tak dapat bersikap arogan, sombong, ataupun mengandalkan “nasi basi” yang dapat habis sesuai tabungan karma baik yang kita bawa dalam kehidupan sebelumnya. Hanya sekadar “nasi basi”.
Ketika kita merasakan pahitnya buah dari perbuatan buruk, kita pun mulai merasakan apa yang disebut merana, mati segan hidup enggan.
Mencuri akan dicuri, membunuh akan dibunuh, menipu akan ditipu, memerdaya akan diperdaya, menghina akan terhina, merendahkan akan direndahkan, menculasi akan diculasi, tak ada satupun gua atau pulau yang dapat membuat kita aman dari hukum karma yang bekerja secara otomatis sekalipun tanpa kita minta, tanpa harus kita kutuk sang pelaku perbuatan buruk, tanpa perlu kita bayar, tanpa perlu kita sogok.
Tak ada satupun perbuatan, baik perbuatan kecil maupun perbuatan besar yang tak akan berbuah pada sang pelaku, sehingga kita tidak dapat meremehkan perbuatan kita, mawas diri, alias eling. Malu berbuat jahat (hiri), dan takut akan akibat buah karma buruk (ottapa).
Kita adalah pewaris dari perbuatan kita sendiri, terlahir dari perbuatan kita sendiri, berkerabat dengan perbuatan kita sendiri. Baik ataupun buruk perbuatan kita, perbuatan itulah yang akan kita warisi. Demikian sabda Sang Buddha yang kerap kali patut kita renungkan.
Karma buruk ataupun karma baik yang berbuah, meski acintea alias bekerja diluar daya pikir manusia biasa (lokiya)—dimana hanya seorang arahat (lokuttara) yang mampu memahami cara kerja hukum karma secara utuh karena telah berhasil memutus belenggu rantai karma—namun setidaknya terdapat beberapa indikasi dari hukum karma yang bekerja secara halus dan seringkali tanpa kita sadari.
Ketika kita bicara benar, berkata jujur, berujar baik, memberi nasihat yang tepat, berbuat unggul, bersikap lurus, berniat baik, namun responnya ialah penolakan, tiada dukungan, fitnah, penjegalan, disangsikan, penjatuhan, dan penentangan, itulah ciri-ciri karma buruk sedang berbuah.
Ketika kita bicara secara benar ataupun secara keliru, ketika kita berbuat secara gegabah maupun waspada, ketika kita bersikap lurus ataupun menyimpang, ketika kita berkelakuan sesat ataupun suci, dukungan mengalir, persetujuan deras, dibenarkan, disokong, lancar, serta berhasil, itulah saat-saat dimana karma baik sedang berbuah.
Buah karma baik yang disalahgunakan dapat menjadi malapetaka bagaikan bumerang bagi dirinya sendiri ketika dirinya tidak mamahami prinsip kesetimpalan hukum karma. Ketika ia berupaya melakukan korupsi, dirinya berhasil tanpa adanya hambatan terlebih tindakan hukum terhadap dirinya, atau bahkan bebas dari pidana—semata-mata akibat karma baik kehidupan lampau yang kebetulan berbuah, menyediakan “jalan tol” bagi dirinya menuju neraka.
Kita tak dapat mencurangi hidup, dengan membuang sampah sembarangan atau merusak lingkungan, dengan keyakinan keliru bahwa alam akan peduli pada kita sekalipun kita tidak perduli pada alam. Sekalipun kita mempunyai keyakinan keliru bahwa membuang sampah di sungai akan mendaur ulang sampah rumah tangga kita, namun fakta memperlihatkan bahwa sekalipun kita memiliki keyakinan demikian, tetap saja hukum alam punya cara kerjanya sendiri yang tidak tunduk dengan keyakinan semu kita—akibatnya terjadi pencemaran lingkungan, banjir, penyakit, tidak sedap dipandang, dsb. Imbasnya ialah meminum air tanah yang tercemar, mengkonsumsi biota yang terpapar limbah beracun, menghirup polutan, dsb.
Sama halnya dengan konsep penghapusan dosa, sama dangkalnya dengan perilaku jorok membuang sampah sembarangan, dan berkeyakinan akan ada orang lain atau alam yang akan bekerja secara sukarela membereskan dan membersihkan kekotoran yang akan dilakukan oleh diri mereka. Dengan meyakini sebanyak apapun kekuatan alam, memuji-muji alam, menyembah alam, memberi sesajen pada alam, tetap saja sampah tersebut menumpuk, dan merusak ekosistem disamping menghancurkan daya dukung lingkungan. Hanya aksi nyata berupa pembersihan dan gerakan berkesadaran untuk tidak memproduksi sampah seenaknya dan membersihkan lingkungan yang benar-benar dapat memulihkan kondisi.
Kehidupan sehari-hari telah memberikan sinyalemen dan bahasa isyarat pada kita, bahwa adalah percuma mencoba segala daya untuk mencurangi hidup. Namun tetap saja sang dungu mengulangi hobinya berbuat curang, melekat pada pandangan keliru demikian, dan menjadikan perbuatan curang sebagai indentitas pola hidupnya sendiri. Seakan tak bisa hidup tanpa berbuat curang. Seakan hidup adalah dukkha tanpa berbuat curang. Curang atau tidak curang, kaya ataupun miskin, berkuasa ataupun tak berkuasa, hakekat semua bentukan adalah dukkha (sabbe sangkhara dukkha). Jadi buat apa berbuat curang?
Hukum karma tak dapat ditawar-tawar, dinegosiasi, disogok, diuji-materil, diintervensi dengan makhluk adikokradi manapun (suatu sosok yang diberi merek “tuhan”)—karena bila terjadi intervensi sejatinya sang adikodrati telah bersikap tidak adil dengan mengistimewakan satu makhluk—dan tak dapat pula hukum karma didikte dengan keyakinan semu kita bahwa segala kotor yang telah dibuat akan terhapus oleh waktu, terampuni dengan puja-puji yang sebenarnya tak berbeda dengan praktik persembahan dan ritual-ritual zaman prasejarah: sembah sujut, pengurbanan, dan permintaan-permintaan serta harapan surga disamping penghapusan dosa.
Sang Buddha menyatakan, yang tak waspada terhadap setiap pikiran, ucapan dan perbuatannya, bagaikan makhluk yang telah mati meski masih bernafas. Dan mereka yang waspada terhadap setiap aktifitas pikiran, ucapan, dan perbuatannya, bagaikan makhluk yang telah menyelamatkan dirinya sendiri.
Pikiran adalah pelopor dari segala perilaku, baik buruk maupun baik. Menjaga pikiran sejatinya telah menjaga kehidupan.
Bila kita tak mampu “menyogok” matahari agar senantiasa bersinar di tempat yang sama sepanjang hari, bagaimana mungkin kita dapat “menyogok” suatu adikodrati dengan sembah-sujud-puja-puji?
Jangan meremehkan kekotoran batin, karena bila kita belum terlatih untuk berkesadaran penuh dalam setiap tarikan dan hembusan nafas kita, dalam  setiap langkah kita, dalam setiap postur kita, maka kita akan babak-belur dan menjadi “bulan-bulanan” kekotoran batin kita sendiri, babak belur pada akhirnya membuat kita merasa malu sendiri.
Ketika ada pikiran buruk yang telah terbit, segera diputus. Ketika pikiran buruk belum tercipta, tutup keran pikiran demikian rapat-rapat. Ketika terbesit pikiran baik, segera realisasikan. Ketika pikiran baik belum terbentuk, segera munculkan.
Menyadari hidup harus gentle, untuk apa lagi kita berbuat curang. Sekalipun hukum manusia dan hukum negara tidak mengambil tindakan, hukum karma bekerja dibalik latar belakang (background). Tiada satupun tempat untuk bersembunyi, karena dalam Buddhisme, surga dan neraka pun tidak kekal, surga dan neraka akan kiamat pada suatu waktu nanti, dan penghuninya pun akan meninggal dan terlahir kembali sesuai sisa tabungan karma baik atau karma buruknya. Semua yang terbentuk akan melebur, dan segala yang melebur akan terbentuk kembali. Siklus kehidupan dan siklus bentukan-bentukan.
Jika tahu berbuat curang hanya akan dicurangi pada akhirnya, untuk apa pula kita egois pada diri kita sendiri? Bukankah artinya kita telah menculasi diri kita sendiri di masa depan?
Hukum negara dan hukum manusia dapat Anda curangi, namun jangan overestimated untuk menantang terlebih berduel dengan hukum karma, bila menghadapi sang raja kematian saja kita belum sanggup.
Kecuali Anda telah menjadi seorang Arahat, minimum tingkat kesucian Sottapana. Seorang Sottapana, minimum sudah menanggalkan keyakinan keliru bahwa ritual dapat membuat seseorang tersucikan mencapai kebebasan sempurna—break the chain of kamma, no more rebith, Nibbana.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.