ARTIKEL HUKUM
Alkisah, suatu sosok berpenampilan aneh, berjubah hitam dan kerkerudung
hitam, sorot mata memancarkan bara api, dan nafasnya mengepulkan asap panas,
bertandang pada suatu kantor hukum di suatu sudut kota yang cukup ramai.
“Selamat pagi, Pak Pengacara,” ujar sang tamu. “Mohon perkenalkan, nama
saya Iblis, biasa juga kadang-kadang dipanggil setan. Saya ingin menggugat,
Pak!”
“Hoh?!” sang pengacara terhenyak, mengamati penampilan sang Iblis yang
aneh nan nyentrik, lengkap dengan sepasang tanduk di atas kepalanya ketika
tamunya itu menanggalkan jubahnya. “Sebaiknya saya memanggil Anda apa, Pak
Iblis, Mas Iblis, Bu Iblis, Om Iblis, atau apa?”
“Dipanggil Mbak Iblis atau Mas Iblis, juga Ndak Masalah. Dipanggil Dik
Iblis, juga boleh. Saya sedih sekali,” sang tamu mengambil selembar tissue dan mulai
menangis histeris. “Saya ingin menggugat!”
“Hoh?” sang pengacara terbelalak. “Anda ingin menggugat siapa?”
“Saya ingin menggugat manusia!”
“Hoh?” sang pengacara kian dibuat heran. “Coba jelaskan pelan-pelan.”
“Hink hingk... saya sakit hati,” sang Iblis memulai. “Mengapa kami para
kaum Iblis selalu dikambing-hitamkan oleh para manusia atas seluruh kelakuan
buruk mereka? Sedih sekali. Kami sakit hati. Kaum manusia telah melanggar hak
asasi setan.”
Sang Iblis kemudian membelah dadanya sendiri, dan mengeluarkan jantung
dari dalam tubuhnya, “Kami juga kan, punya hati. Nih lihat!”
Hampir pingsan pengacara itu mengamati jantung yang berdenyut-denyut di tangan
Iblis itu. Untunglah sang Iblis memasukkan kembali jantung mengerikan itu ke
dalam dadanya kembali.
“Hoh?! Maaf, silahkan dilanjutkan.”
“Hink hink... , setiap kali manusia tertangkap berselingkuh, bermain
dengan cinta terlarang, tertanggkap tangan mencuri, menipu, membawa lari anak
gadis orang, kemudian diseret untuk diadili, selalu saja kami, kaum setan yang
disalahkan. Kami dijadikan kambing hitam. Rasanya sedih sekali, kami para setan
ingin gantung diri karena kemunafikan manusia yang selalu menunjuk kami sebagai
biang keladinya.”
“Uhuk uhuk,” sang pengacara yang menyimak merasa tersedak di tenggorokannya.
“Maaf, saya agak kurang sehat hari ini. Silahkan dilanjutkan.”
“Boleh minta tissuenya lagi? Hink hink... Manusia itu sendiri yang ingin
menikmati kesenangan dengan cara tak sehat, yang ingin memupuk kekayaan dengan
mencuri, yang menginginkan harta milik orang lain dengan merampok, yang ingin
bermain api dengan korupsi, yang ingin menjadi kaya dengan memeras orang lain,
yang ingin menikmati hidup dengan memperbudak tenaga kerja, yang ingin
menguasai orang lain dengan memanipulasi, yang ingin dilayani dengan membohongi
orang lain, dan segala hal yang memuakkan kami dan membuat kami jijik melihat
segala ulah dan tingkah para manusia yang sangat tidak manusia. Mengapa juga
manusia diberi nama manusia bila jauh dari nilai-nilai kemanusiaan? Namun kami
ingin menggugat, mengapa kami para setan yang selalu disalahkan?”
“Hoh!” sang pengacara kian
terbenam dalam kursinya, seakan dirinya sendiri yang dilukiskan oleh sang tamu
atau pernah tertanggap basah oleh sang tamu ketika menggugat seorang nenek tua
renta tak berdaya demi klien yang tamak. “Maaf, silahkan dilanjutkan.”
“Dengan mudahnya manusia selalu mengkambingkan kami, para setan, sebagai
biang keladinya. Memang apa salah kami pada manusia?”
Sang pengacara hanya mengangkat bahu, terheran-heran dengan sang tamu
yang tidak pernah ia bayangkan akan mendapat klien semacam ini sebelumnya dan
sepanjang karir hukumnya.
“Saya ingin agar manusia berhenti mengkambinghitamkan kami, kaum setan,
atas setiap perilaku manusia. Yang bagus-bagus selalu diklaim milik manusia
pelakunya. Yang jelek-jelek selalu setan yang ditunjuk pelakunya. Mengapa manusia
tidak jantan dengan menunjuk hidung mereka sendiri? Ndak gentlement, kan, Pak
Pengacara?”
Sang pengacara hanya mengangguk dan tersenyum seraya menggaruk-garuk
kepala.
“Apa saya bisa menang, Pak Pengacara?” tanya sang Iblis.
“Ehem,” sang pengacara mulai menegakkan punggungnya dari sandaran kursi, mencari-cari
sesuatu yang tak ada di mejanya sekadar untuk memikirkan kata-kata yang tepat
untuk disampaikan kepada klien barunya ini. “Saya rasa dapat dicoba. Tapi yang
memutus adalah hakim. Dan hakim adalah manusia juga yang mungkin suka
mengkambinghitamkan Anda, Bung Iblis. Bila sudah terbiasa mengkambing-hitamkan
setan, sukar rasanya membujuk hakim agar berpihak pada Anda, Bung Iblis yang
malang.”
“Apa?” sang Iblis terkejut. Tangisnya kian bertambah hebat. “Habislah
kami. Hink hink ... Ini namanya kriminalisasi. Kalau begitu saya ingin
menggugat Tuhan.”
“Wah, kalau itu lebih sukar lagi,” sahut sang pengacara. “Karena para
hakimnya ialah para pemuka agama sok suci, sok alim, sok bersih, sok mulia, sok
kenal Tuhan. Sementara itu mereka selalu mencuri dan merampas hidup makhluk lain
dengan mengatasnamakan Tuhan. Mereka-mereka ini yang selama ini mendikte Tuhan,
bukan sebaliknya, dengan panjang lebar berpidato bahwa Tuhan begini, begitu,
suka ini, tak suka itu, memerintahkan ini, membolehkan itu, dan sebagainya. Kelihatannya
kans Anda untuk menang, kecil sekali, Bung Iblis. Saya turut prihatin.”
Sang pengacara mengelap peluh yang bermunculan di keningnya. Sementara sang
Iblis duduk terpaku pada kursinya dengan pandangan kosong.
“Kalau begitu saya mau gantung diri !”
pekik sang Iblis, berlari menuju suatu sudut ruangan, melingkarkan tali untuk
menggantung diri.
“Iblis ngak mirip kambing, apalagi kambing hitam. Kenapa kami, kaum
setan, selalu dikambing-hitamkan? Ndak adil, kami sedih, kami frustasi,” pekik
sang Iblis dengan logat bicaranya yang mendok. “Manusia sangat mengerikan,
manusia sangat menakutkan, manusia sangat pendusta!”
Sang pengacara gagal menghalangi niat sang Iblis untuk gantung diri. Para
kaum setan mengikuti jejak sang Iblis, dengan gantung diri secara massal karena
frustasi selalu dikambing-hitamkan kaum manusia atas setiap perbuatan buruk
mereka.
Meski seluruh kaum Iblis telah binasa dari muka bumi, hanya karena kaum
setan memang tidak kasat mata, para manusia dengan mitos dan dongeng penuh
kebohongan mereka tetap menganggap dan mewariskan cerita pada anak cucu mereka,
bahwa Iblis alias si setan hidup di tengah manusia, membujuk manusia untuk
berbuat jahat, menggoda manusia untuk melakukan perbuatan buruk, dan tak kenal
letih membisiki manusia untuk bertindak tidak terpuji.
Meski senyatanya kaum setan telah punah, para manusia tetap saling
membunuh, saling memfitnah, saling menculasi, saling melukai, saling mencuri,
saling menjatuhkan, saling menyakiti, dan saling berbuat buruk.
Namun mitos tentang Iblis tetap dihidupkan dan digaungkan, bahan ceramah
yang selalu laku dikumandangkan sekadar untuk memcuci tangan atau sekadar
memuaskan sifat munafik umat manusia.
Manusia telah terbiasa dan cukup puas untuk melimpahkan semua kesalahan
itu pada makhluk malang bernama Iblis, yang seakan tercipta hanya untuk menjadi
kambing hitam, stigma mana bisa jadi diciptakan sendiri oleh manusia tanpa
campur tangan Tuhan guna membohongi diri. Sungguh tak ada yang lebih malang
dari Iblis, dan tak ada yang lebih mengerikan dari makhluk bernama manusia.
Inilah legenda mengenai kepunahan kaum setan dari muka bumi. Ketika Iblis
gagal menggugat, manusia buas kian merajalela, menguasai planet bumi ini dengan
segala kepongahannya.
...
Dalam Buddhisme, yang menjadi musuh setiap manusia ialah kebodohan
batinnya sendiri, yang menjelma lewat kehendak buruk seperti ketamakan,
kebencian amarah murka, maupun kebodohan dari pandangan benar. oleh karenanya
umat Buddhist senantiasa mawas diri terhadap kelakuan dirinya sendiri.
Pandangan-pandangan diluar Buddhisme menjadikan pihak di luar diri
sebagai biang keladi segala catatan kelam dalam sejarah peradaban umat manusia.
Berbagai organisasi massa mensimbolikkan otoritas negara sebagai pengikut
setan yang harus diwaspadai dan diberantas. Sebaliknya, penguasa yang lebih
beruntung dari kalangan sipil kebanyakan, berkolusi dengan kalangan pengusaha
untuk menghisap darah tenaga kerja. Lagi-lagi, yang disalahkan ialah kaum
setan.
Buddhisme sangat kental akan praktik latihan diri yang ketat dalam
mengawasi setiap pikiran, ucapan, dan perbuatan diri kita sendiri. Oleh karenanya
negeri-negeri yang mayoritas penduduknya menganut Buddhisme, dikenal sebagai negeri-negeri
yang damai, makmur, tenteram, dan sejahtera. Bahkan tercatat sebagai negeri-negeri
dengan indeks kebahagiaan tertinggi di dunia meski kehidupannya sangat
bersahaja. Di tempat-tempat tersebutlah kaum setan akan dapat hidup dengan
damai berdampingan dengan kehidupan manusia tanpa saling mengganggu ataupun
memfitnah satu sama lain. Manusia yang bersalah akan mengakui kesalahannya
dengan jantan, tanpa bersibuk diri menyalahkan pihak lain.
Sebaliknya di Indonesia, dukun-dukun dan pemuka agama tampil bak
pahlawan, dengan kekuatan sakti memasukkan dan memenjara para jin dan setan
dalam bolol kecil. Lagi-lagi dijadikan simbol kambing-hitam. Setan-setan
diusir, sementara kebodohan batin dalam hati manusia itu sendiri dibiarkan liar
tak terkendali alias dipelihara dan dibiakkan.
Kita selama ini telah salah memilih lawan. Bukanlah pihak diluar diri
yang harus diwaspadai, tapi kebodohan dan kegelapan batin diri kita sendiri.
…
© SHIETRA & PARTNERS Copyright.