Hukum yang Justru Merenggut Nafas Warga Negara yang Diaturnya

ARTIKEL HUKUM
Mungkinkah kita berharap bahwa warga negara akan patuh membayar pajak bila pelayanan publik masih kerap diwarnai berbagai pungutan liar, penyalahgunaan kekuasaan yang merugikan sipil, penelantaran oleh aparatur penegak hukum, pemborosan anggaran oleh berbagai pegawai negeri sipil yang tidak jelas pekerjaannya, berbagai aksi korup dan kolusi, tiada tansparansi terlebih akuntabilitas?
Mungkinkah warga negara dengan senang hati tergerak membayar pajak bila respek masyarakat terhadap otoritas negara berada pada titik nadir?
Mungkinkah warga negara akan dengan sukarela membayar pajak bila petugas konsultasi pajak di kantor pajak sendiri memberi infomasi yang menyesatkan kepada wajib pajak—sebagaimana dialami sendiri oleh penulis, dimana petugas dari kantor pajak menyatakan wajib bayar sekian jumlah pajak meski senyatanya tidak diwajibkan, alias asal bunyi “yang penting dinyatakan bayar” pajak?
Kebijakan pemerintah lewat penerbitan tax amnesty adalah cerminan dari kedangkalan berpikir pemimpin negeri, yang mencari pemasukan pendapatan negara lewat jalan pintas bernama tax amnesty. Bukan memperbaiki pelayanan publik guna mengundang simpatik warga negara untuk secara sadar dan sukarela bersama membangun negeri lewat membayar pajak, pemerintah justru menakut-nakuti sekaligus disaat bersamaan membodohi warga negaranya lewat tax amnesty.
Jika kualitas pelayanan publik masih demikian bobrok sampai keakar-akarnya seperti saat kini, bila pemerintah masih menggunakan pendekatan-pendekatan tidak kreatif, dan bilamana berbagai instansi pemerintah masih kerap menghambur-hamburkan anggaran untuk hal yang tidak perlu (proyek-proyek buatan yang menjadi objek korupsi), maka siapa yang kemudian harus disalahkan, apakah warga negara yang tidak taat membayar pajak ataukah pemerintah itu sendiri?
Berbagai segi kehidupan penduduk Indonesia penuh oleh berbagai pungutan, mulai dari pungutan kendaraan bermotor, pungutan jalan tol yang sebenarnya tidak lagi diperlukan jika telah tercapai break event point, pungutan iuran kediaman, pungutan parkir, iuran air bersih, PBB, iuran ini itu, lantas belum lagi pungutan liar perizinan usaha, pungutan liar para polisi yang memang kotornya bukan kepalang, pungutan liar tak manusiawi Kantor Pertanahan, pungutan liar setiap instansi negeri, masih harus membayar pajak penghasilan?
Hari gini di Indonesia masih membayar pajak? Apa kata dunia?
Bangga bayar pajak? Ikutilah teladan seorang kepala Badan Pemeriksa Keuangan Indonesia yang melarikan uangnya pada panama paper di negeri surga pajak.
Otoritas mengapa tidak berintrospeksi, bahwasannya penerimaan negara dari sektor pajak yang tidak mencapai targer, adalah bentuk suara / aspirasi dari warga negara itu sendiri, sebagai respon kekecewaan masyarakat atas pelayanan publik.
Jika target penerimaan pajak di Indonesia pada era kini mencapai target, itu baru aneh. Semestinya paradigma yang sesederhana ini mampu dicerna dan disadari oleh setiap kepala yang masih memiliki kewarasan dan akal sehat. Namun mengapa pemangku jabatan pada otoritas memiliki kebijakan lain, dengan memiliki kebijakan yang irasional secara berulang-ulang?
Bukankah Albert Einstein pernah berpesan: “Adalah insane mengharap hasil yang berbeda dengan terus-menerus mengulang cara yang sama”?
Mengapa otoritas hanya mampu “jago kandang” dengan menakut-nakuti dan menjerat warga negaranya sendiri? Bukankah ini dapat disebut sebagai sikap “pecundang” alias “pengecut?
Indonesia dikenal di mata dunia, sebagai negara “pengemis”, mengemis agar ada investor asing yang hendak mengeruk dan memeras kekayaan sumber daya alam, sumber daya ekonomi, tak terkecuali sumber daya manusia di Indonesia.
Indonesia negara kaya, katanya, tapi menjual murah dirinya di mata dunia luar. Adakalanya kita perlu untuk mampu membedakan antara “yang murah” dan “murahan”.
Indonesia sudah tidak lagi “virgin”. Lihat saja, paket kebijakan ekonomi “jual murah” ala Daftar Negatif Investasi yang mengobral habis-habisan agar Indonesia menjadi objek eksploitasi asing.
Indonesia tak memiliki daya tawar di mata dunia, selain tawaran upah buruh yang murah, kekayaan alam untuk digali dan ditambang untuk kepentingan pihak asing dengan hanya memberi “remah-remah” pada Indonesia dengan royalti yang kecil, dengan harapan ada korporasi asing yang berminat “menghisap” di bumi Indonesia.
Kontrak tambang perusahaan asing raksasa Freeport dan Newmont, katanya hendak diputus, karena dinilai sebagai penjajahan ekonomi, namun faktanya?
Kewajiban membangun smelter bagi permurnian mineral, larangan ekspor bahan mentah barang tambang demikian dengan tujuan mendesak dan mendorong para korporat tersebut yang telah mencengkeram Bumi Pertiwi ini selama lebih dari separuh abad, kini pun mulai dilonggarkan dengan istilah diplomatis “dirasionalisasikan” oleh pihak pemerintah.
Kebijakan separuh hati. Kapok sambel, kata orang, kapok saat pedas, namun rindu setelahnya. Rindu kembali dan tetap terjajah.
Bila warga negara masih diperlakukan sebagai objek, terlebih “sapi perahan” berbagai aparatur negara, maka adalah berlebihan bila pemerintah/otoritas negara berhap agar warga negaranya memiliki kesadaran untuk membayar pajak terlebih memiliki rasa memiliki terhadap negeri “yang entah mau dibawa kemana” ini.
Jujur saja, hanya orang yang benar-benar dungu yang sudi membayar pajak untuk sekelas negeri korup seperti Indonesia, lengkap dengan aparaturnya yang busuk, sempurna dalam arti kebobrokan sumber daya pemangku wewenang.
Warga negara Indonesia penuh oleh orang kaya raya, namun bermental miskin. Banyak klien penulis yang memiliki objek sengketa senilai miliaran rupiah, namun fee yang tidak seberapa pun digelapkan, tidak kunjung dibayar. Lihatlah fenomena warga yang mengaku tertipu (korban dari ketamakannya sendiri) dimana dijanjikan oleh seorang sakti mandraguna dapat melipatgandakan uang, korban tersebut telah memiliki uang senilai ratusan miliar rupiah namun masih saja tergiur oleh iming-iming demikian.
Ternyata ada bedanya antara “ditipu” dengan “mau ditipu”.
Keganjilan ini pun dapat kita cermati dari berbagai fenomena sosial lainnya. adalah mustahil mengharap para siswa-siswi bersikap jujur, tidak merokok, mengutamakan jiwa ksatria, bila yang dipertontonkan secara vulgar oleh kalangan guru di tanah air justru ialah sikap/teladan yang tidak mendidik, kotor, dan jauh dari kata “terdidik”.
Adalah absurb bila orang tua menuntut sikap baik dari anak-anak mereka bila sang orang tua itu sendiri memberi teladan buruk terhadap kakek-nenek sang anak. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, demikian pepatah berkata.
Hukum dan polisi melarang tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat terhadap anggota masyarakat lain, tapi kerap kali hukum dan polisi menculasi orang-orang lemah yang tanpa daya menjadi “bulan-bulanan” hukum dan pihak kepolisian—hanya karena mereka dilegalkan memegang borgol dan senjata api.
Lebih aneh lagi ketika menelisik lebih dalam, bahwa senyatanya bangsa ini sendiri yang tidak memiliki kemauan komunal untuk bergerak maju meningkatkan peradaban. Yang bergerak lain, disebut sebagai aneh sendiri, dan pastilah akan tergerus bila melawan arus.
Lihat saja, ketika berbagai negara berlomba-lomba menerapkan kebijakan kantong kresek/plastik berbayar untuk berbelanja di toko swalayan dengan harga yang demikian tinggi per kantung plastik, Indonesia justru hanya menjadi eforia yang hanya menyebar kehebohan, blunder, lantas redup, mati sebelum sempat bertumbuh.
Indonesia telah memiliki peraturan menteri, yang mengatur bahwa produsen bertanggung jawab atas hasil produknya yang mencemari lingkungan. Fakta riset menunjukkan, separuh dari sampah yang mencemari lingkungan adalah sampah plastik, adakah bos-bos pabrik / industri plastik dibebani kewajiban demikian? Jawabnya, sama sekali tidak.
Peraturan tinggal peraturan. Peraturan yang ditinggal sebagai “huruf2 mati” diatas kertas, macan ompong.
Negara sendiri kerap membodohi rakyatnya, bahwasannya menjaga kesehatan tak lebih penting ketimbang menjadi peserta “jaminan” kesehatan nasional. Kesehatan adalah terjamin, tak penting lagi menjaga kesehatan. Demikian mindset yang pasti timbul akibat konsekuensi logis kebijakan yang akan mendatangkan gelombang pesakitan baru dalam skala masif—dan sudah terbukti, rumah sakit peserta jaminan sosial kesehatan tak pernah sesibuk ini dikunjungi pasien setia.
Negara dan bangsanya sendiri tidak serius untuk menghentikan produksi dan konsumsi tembakau. Dari puluhan tahun lampau telah digaungkan perang terhadap rokok, berwacana untuk mengalihkan tanaman yang dibudidaya para petani tembakau, namun hingga kini tiada pengarahan konkret dari kementerian dibidang terkait untuk secara berangsur melakukan alih budidaya.
Yang saat ini terjadi ialah, dipekerjakannya anak dibawah umur untuk menyirami tumbuhan tembakau dengan pestisida yang merusak kesehatan sang anak. Buruh pekerja linting rokok dibayar dengan upah yang sangat rendah—tingkat sektor upah paling rendah di Indonesia.
Otoritas juga bersikap setengah-setengah dalam mengambil kebijakan. Sedikit di-“gertak” korporasi, negara mundur untuk meningkatkan cukai tembakau sehingga hanya berani menaikkan cukai sebesar 10 % yang tidak lain hanya gimmick belaka, tiada akan ada pengaruh apapun terhadap tingkat konsumsi tembakau. Yang ada ialah kian berkurangnya alokasi anggaran belanja gizi bagi keluarga para pekerja tani dan buruh bagi keluarganya.
Presiden berulang-kali mengingatkan berbagai instansi agar bersikap jujur, bersih, tidak korup. Namun berbagai tindak pidana korupsi, pungutan liar, pemerasan, penelantaran, kesewenang-wenangan kerap terjadi dalam skala masif “berjemaah”.
Lagi-lagi ujungnya regulasi yang disalahkan, harus dibuat lebih banyak undang-undang perihal anti korupsi, katanya, sementara sudah demikian banyak regulasi dibidang anti korupsi dibentuk dan disahkan, namun hanya menjadi seremonial dan “kegenitan” regulator belaka.
Hukum yang kemudian di-“kambing hitam”-kan, meski tak jelas apa salah si kambing hitam.
Partai politik yang terkenal dengan sejarah kebusukannya sejak era Orde Baru, hingga kini tetap eksis dan tetap saja ada pendukung serta pemilih / pemberi suara dalam pemilihan umum. Tak lain cerminan bangsa Indonesia yang memang tidak mau berubah. Bahkan kini diketuai oleh seorang pejabat negara kontroversial yang sempat disidik oleh kejaksaan karena diberitakan mencatut nama presiden dalam bisnis tambang.
Pejabat negara korup kembali terpilih dalam pemilihan kepala daerah, padahal katanya masyarakat Indonesia sudah cerdas, takkan memilih calon ataupun parpol pengusung yang memiliki banyak sejarah catatan hitam. Namun tetap saja pejabat korup dan parpol kotor tersebut terpilih.
Sebetulnya kita tengah membohongi siapa?
Bangsa Indonesia memang rapuh serapuh-rapuhnya karena mental dangkal yang telah menjelma jati diri sejati setiap insan Bangsa Indonesia.
Tak perlu memungkiri, adalah aneh bila masih ada yang memungkiri fakta aktual tersebut diatas.
Pemuka agama rajin beribadah, setelahnya menunjukkan perbuatan-perbuatan kotor dan tidak senonoh secara vulgar. Lupa, bahwa teladan lebih hebat dampaknya dari ucapan semanis dan sebaik apapun. Tapi, tetap saja, pemuka agama semacam ini makin kontroversial makin laku. “Gosip”, makin digosok makin sip, katanya.
Seorang pemuka agama, yang juga sekaligus bintang film, ketika telah menjabat sebagai kepala daerah, tetap saja menjadi bintang iklan sebuah produk larutan penyegar, dengan mengatakan bahwa tuhannya adalah “badak” karena ia tetap sehat berkat “badak”. Inilah yang penulis sebut sebagai pejabat publik bermuka “badak”.
Inkonsistensi antara teori dan praktik, inilah biang keladinya. Bahkan dibanggakan dan kerap digaungkan dengan senyum di bibir seolah menjadi bahan guyonan sepanjang masa tanpa ada yang merasa risih terhadapnya.
Teori secanggih apapun, sebaik apapun pula hukum yang mengatur, adalah percuma bila dalam tahap implementasinya “imp*ten”. Lihatlah, sejak presiden berganti presiden, menteri berganti menteri, diwacanakan berdikari soal pangan, swasembada, katanya.
Tetap saja, yang kemudian bertumbuh ialah kelapa sawit, tambang, perumahan, sementara ladang tani kian menyempit. Keran ekspor dibuka lebar sebagai andalan yang dibanggakan tanpa rasa malu sedikitpun. Bukankah ini namanya munafik?
Indonesia katanya bangga memakai produk dalam negeri. Bagaimana mungkin, garam dapur saja kita impor. Bawang yang notabene dapat dibudidaya di dalam negeri pun kita impor dengan harga jual di pasaran yang demikian tinggi harganya.
Katanya bangsa kita bangsa yang cerdas, diakui dunia, jawara dan langganan sebagai pemenang olimpiade sains, fisika, matematika, namun mengapa juga dapat terjadi dikenal oleh berbagai produsen dunia untuk menjual produk-produk mereka di Indonesia yang terkenal sebagai bangsa konsumsi belaka, penonton belaka, sebagai pasar belaka.
Banyaknya sarjana-sarjana cerdas, mengapa yang ter-“pilih” sebagai aparatur negara justru adalah rata adalah orang-orang “buangan” yang tak terpakai di instansi swasta? Katanya ada proses seleksi CPNS. Rupanya si licik lebih unggul dari si cerdas.
Beda di mulut, beda di hati, dan beda di praktik, inilah yang disebut sebagai munafik tulen
Tidak aneh lagi bila kita kerap menjumpai orang tidak jujur di republik ini. Yang anehnya ialah mereka acapkali menuntut diperlakukan secara jujur. Cukup membuat frustasi memikirkan kejanggalan sosial ini.
Teori-teori asing, konsep-konsep canggih yang terbukti efektif di negeri asing yang kemudian diimportasi ke Indonesia, ketika dipraktikkan dan diimplementasi oleh otoritas Indonesia, yang terjadi ialah semua teori itu tumpul, majal, dan kontradiktif. Mengapa dapat terjadi demikian?
Jawabnya, tiada kemauan dari bangsa Indonesia untuk mau berubah. Bangsa Indonesia merasa lebih nyaman dengan segala “banjir” ini. Lihatlah, sekalipun kerap dilanda banjir, tetap saja membuang sampah sembarangan sebagai bagian dari rutinitas yang menjelma ritual sehari-hari.
Dikumandangkan, stok dunia atas bahan bakar minyak menipis. Krisis energi, namun faktanya, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang paling boros soal listrik dan BBM.
Kita selama ini menjadikan pejabat sebagai musuh, sebagai lawan yang harus diberantas dan diantisipasi. Tapi kita lupa, pejabat dan penguasa dipilih oleh serta dari tengah masyarakat itu sendiri. Masyarakat yang kotor hanya dapat memilih dan menyodorkan pemimpin yang kotor. Mereka tidak memiliki calon lain untuk dipilih. Calon yang buruk yang disodorkan dan dipilih, karena tak ada yang lebih baik dari calon yang buruk tersebut, karena masyarakat Indonesia sendiri yang sudah busuk dari akarnya.
Katanya masyarakat Indonesia bertipe patrimonial, patronase, sehingga masyarakat akan ikut pola keteladanan pemimpin. Bandingkan dengan paradigma sebelumnya, pernyataan mengenai konsep patrimonial-patronase ini menjadi terdengar getir di telinga.
Ketika telah dipilih, yang terjadi kemudian juga ialah didemo, dihujat, ditentang, dan dikutuk dengan mengatakan: “Saya menyesal telah memilihnya dahulu.”
Penulis menengarai, kebiasaan terbutuk nomor satu dari bangsa Indonesia, ialah pandai dalam mengomentari pihak lain, namun gagal total intropeksi diri sendiri.
Lihat saja, sebuah organisasi persepak-bolaan di Indonesia yang hiruk-pikuk dibrendel lalu berlanjut hingga perkara hukum agar dihidupkan kembali, bagaimana bisa sementara pemainnya sendiri tidak ribut-ribut antar pemain, sementara pengurusnya lebih ricuh dari pemainnya sendiri.
Lebih aneh lagi, para penontonnya lebih heboh dari para pemain sepak bola, seakan para supertor (bonek) sebenarnya bukan paling menghendaki untuk menyaksikan aksi bintang mereka berlaga di lapangan hijau, namun ingin mencari dan melihat aksi anarkis seolah itulah wadah bagi mereka untuk berlaga menyalurkan hasrat destruktif primitif otak limbik mereka.
Sungguh, Indonesia negeri yang kaya, kaya dari segi budaya, kemajemukan, sumber daya alam, potensi strategis geopolitik, namun sumber daya manusia yang menghuninya amat memprihatinkan.
Adalah bodoh hendak menjadi pemimpin negeri ini, entah sebagai gubernur atau sebagai presiden (bahkan sampai rela mati dibenci para penduduknya sendiri), selama bangsa yang akan dipimpinnya sendiri belum siap untuk dipimpin bergerak maju, adalah hanya membuang energi dan waktu.
Pepatah bijak mengatakan, ketika murid siap, guru pun siap. Ketika masyarakat siap, pemimpin siap. Ketika sebuah bangsa siap, peradaban pun siap untuknya. Hukum alam demikian tercermin pada berbagai negara-negara yang telah terlebih dahulu menjadi negara-negara maju.
Indonesia belum siap untuk maju, belum memutuskan dengan kebulatan hati untuk melepas sikap masa bodoh terhadap keadaan bangsa, tetap melekat erat dan menggenggam lekat keyakinan keliru bahwasannya semua akan baik bila dibiarkan mengalir seperti air.
Padahal kita sendiri juga menyadari, naluriahnya air selalu mengalir ke bawah, bukan natural mengalir ke atas.
Acuh tak acuh, mungkin itu juga masalah kita.
Akhir kata, penulis hendak menyampaikan, bahwa kita selama ini telah salah menargetkan lawan. Bukanlah penjajah ataupun penjahat berdarah dingin yang harus kita waspadai dan lawan, namun adalah kebodohan kita sendiri yang perlu kita perangi.
Hukum yang mengatur sudah demikian banyak. Jujur saja, penulis sendiri muak dan mual melihat aturan hukum yang setiap hari dicetak dan ditelurkan oleh otoritas. Seakan tidak cukup-cukupnya aturan hukum yang memualkan itu.
Diatur, mengatur, padahal yang mengatur sendiri harus diatur lebih dahulu. Jadi mana dahulu dan siapa yang sebaiknya mengatur dan diatur?
Negara yang baik mensyaratkan masyarakat yang baik, dan masyarakat yang baik tidak membutuhkan segudang perangkat hukum. Bukankah memprihatinkan sebuah negara yang membutuhkan seorang “pahlawan” dan segudang perangkat hukum yang bisa jadi hanya akan menjerat leher kita sendiri ketimbang memberi ruang bernafas?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.