Hukum yang Baik Membatasi Fungsi Uang, Bahaya Dibalik Simbolisasi dan Reduksi Makna Alat Tukar Bernama Uang

ARTIKEL HUKUM
Masyarakat modern hidup dalam simbolisasi dan reduksi makna. Salah satunya ialah “uang” yang telah melenceng/bergeser jauh dari fungsi utamanya sebagai alat tukar / barter.
Zaman ketika alat tukar masih bersifat sederhana, atau belum terdapatnya lembaga seperti perbankan untuk menampung kekayaan, hanya sekedar terdapat celengan kendi, pemerataan kekayaan terjadi mendekati ideal. Kesenjangan ekonomi pun tidak demikian kontras. Namun ketika pemusatan dan penimbunan kekayaan dimungkinkan dalam negara modern, reduksi makna dan simbolisasi menjadi demikian kentara.
Bila zaman dahulu untuk membeli beras dapat ditukar dengan hasil ladang lainnya, kini semua kekayaan itu disimbolikkan oleh alat tukar bernama “uang”, entah “uang” elektronik maupun secara fisik. Uang menjadi = beras, uang = sayur mayur, uang = air bersih, uang = udara segar, uang = hak atas jalan, uang = ... . Sebentuk reduksi makna. Penyimpangan tak lagi terelakkan, manusia makan dan minum uang, bukan beras dan air.
Sebagai contoh, seorang hartawan dengan dalil mampu membayar, mengucurkan keran air dengan membuka lebar hingga meluber dan terbuang percuma, sehingga pasokan “kuota/bandwitdh” air dari pemasok air terhisap habis untuk pembeli/konsumen satu ini.
Alhasil, penduduk lain yang sangat membutuhkan suplai air bersih hanya dapat gigit jari mendapati keran air mereka tidak mengeluarkan air, atau hanya berupa tetesan-tetesan yang memprihatinkan.
Alhasil pula, jadilah simbolisasi makna sumber daya air direduksi menjadi sebatas nilai tukar bernama “uang”. Perhatikan keprihatinan lainnya, korporat tambang maupun perkebunan kelapa sawit membabat hutan gambut dan hutan tropis, menjelma ladang tandus, demi “uang”.
Seakan bahwa manusia memakan “uang” dan meminum “minyak”, bukan sayur-mayur ataupun tanaman-tanaman obat untuk mengobati penyakit. Reduksi makna kehidupan menjadi sebatas “uang”, telah menjelma malapetaka kehidupan peradaban bangsa-bangsa. “uang” = kesehatan, bukanlah lagi tanaman herbal sebagai obat penyakit. Uang mampu membeli kesehatan, sehingga “uang” = sehat. Fungsi alat tukar ini kian lama kian bergeser dan melenceng, jauh lebih parah dari teori hyper-reality simulacra Baudrillard.
Di Jepang, Anda akan mendapati bahwa uang bukanlah segalanya, karena sistem manajemen negara yang tertata baik. Cobalah Anda beli produk sebanyak-banyaknya, Anda akan terbebani sukarnya membuang sampah, dan membuang sampah sembarangan sama artinya akan menyesal oleh tindakan tegas otoritas Negara Jepang. Cobalah Anda menabung uang Anda di bank-bank Jepang, bukan mendapat bunga positif, justru tabungan Anda akan dipotong karena Jepang menerapkan kebijakan suku bunga negatif.
Di China, semampu dan semapan apapun bagi Anda untuk “memproduksi” anak, tetap saja jumlah kelahiran anak dibatasi.
Sistem pajak progresif kepemilikan kendaraan bermotor merupakan salah satu kebijakan rasionalisasi terhadap simbolisasi uang, sehingga membuat mereka yang cukup berpunya untuk berpikir dua kali sebelum memutuskan untuk memiliki banyak kendaraan bermotor dan memadati jalanan dengan kendaraan-kendaraan tersebut.
Uang memiliki unsur kekuatan dan kekuatan mensyaratkan kekuasaan. Uang pula yang memungkinkan faktor modal diakumulasi dan dimonopoli satu pihak. Ketika uang memegang pasar, yang terjadi ialah praktik monopoli usaha, kartel, kapitalisme, dan liberalisme ekonomi yang menekan pengusaha bermodal lemah—bahkan menjadi pintu masuk pemerahan keringat tenaga kerja. Ini yang menjadi falsafah utama pembentukan undang-undang anti monopoli usaha sebagai reaksi atas kecemasan ekses-ekses yang dilahirkan oleh uang. Era zaman batu yang memakai sistem barter, tidak dibutuhkan undang-undang canggih bernama anti monopoli usaha.
Ketika pemodal menguasai unsur uang (capital), yang terjadi ialah pemodal mampu membeli penguasa, regulator, aparatur penegak hukum, bahkan hukum itu sendiri diarahkan untuk hanya membentuk kebijakan yang populis terhadap posisi kepentingan sang pemodal demi mengamankan pundi-pundi dan sumber perahan mereka agar tetap menjadi dinasti kekayaan yang semarak dan megah. Itulah sebabnya kemudian dibentuk Mahkamah Konstitusi dengan fungsi uji materil (judicial review) terhadap undang-undang.
Uang terbukti mampu menggerakkan massa, dukungan dan memobilisasi ideologi. Uang yang dibiarkan memiliki kekuatan tanpa batasan, mengakibatkan hukum menjelma hukum rimba: siapa menguasai uang akan menguasasi politik, dan politik yang dikuasai akan mendapat kekuasaan atas negara, negara yang dikuasai pemilik uang akan membawa para penduduknya pada kemerosotan dan “tuna wisma”. Itulah falsafah berdirinya undang-undang mengenai anti pencucian uang dan dibentuknya Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Pemodal memiliki kekuatan untuk membeli dan menguasai beribu-ribu hektar bidang tanah, mengakibatkan Warga Negara Indonesia menjadi “tamu” yang harus menyewa tempat tinggal bagi keluarganya sendiri. “Papan/rumah tinggal” bukan lagi menjadi kebutuhan pokok, namun menjelma barang mewah bagi kaum papa.
Sebagaimana judul pembuka artikel ini, hukum yang ideal adalah hukum yang mampu bersikap tegas dengan memangkas fungsi absolut dari alat tukar bernama “uang” ini.
Secara kategorisasi, kebutuhan penduduk dibagi menjadi tiga tingkatan: primer, sekunder, dan tersier. Primer adalah kebutuhan pokok, sementara itu tersier menjadi kebutuhan yang sifatnya mewah.
Otoritas negara yang baik akan membatasi kewenangan uang untuk memiliki daya beli pada kebutuhan pokok, dengan memberi kuota pembatas perolehan yang dapat dimiliki seorang warga negara terlepas dari sebanyak apapun harta yang ia miliki. Kebutuhan primer harus merata, dan terdistribusi dengan sama rata.
Kebutuhan pokok/primer ini terdiri dari kepemilikan sebuah (satu buah) rumah untuk satu keluarga inti, kebutuhan akan air bersih sesuai kebutuhan rata-rata seorang penduduk sesuai umur, kebutuhan akan akses transportasi publik, makanan empat sehat lima sempurna yang terjangkau karena pasokan tersalur secara merata tanpa terganggu oleh faktor pemodal atau konsumen kelas atas yang menyedot aliran pasokan sembako, pendidikan minimum Sekolah Menengah Atas, perlindungan hukum dari hadirnya peran dan pelayanan yang efektif serta efesien dari kepolisian, serta akses pendanaan modal usaha UMKM, akses pelayanan publik, begitu pula hak akses atas penghiburan paling minimum dari kepenatan kerja, hak atas udara yang bersih, dan hak atas bebas dari gangguan kedamaian hidup.
Barulah untuk kebutuhan tersier, tidak terbatasi oleh kuota, namun wajib menggunakan kebijakan pajak progresif, karena bagaimana pun ruang terbuka publik terbatas, sementara setiap anggota masyarakat saling berbagi ruang, semisal seorang milioner mampu membeli banyak kendaraan roda empat, namun ruas jalan yang dapat dilintasi sesama warga negara tetap saja terbatas tak dapat mengejar pertumbuhan kepemilikan kendaraan bermotor.
Kepemilikan rumah/tanah lebih dari satu merupakan kebutuhan tersier, oleh sebab bukan lagi menjadi kebutuhan primer, namun sebentuk investasi yang merupakan sebentuk kemewahan terentu bagi pihak yang tidak mampu untuk sekadar memiliki satu buah rumah atau ladang milik sendiri.
Apakah sistem tersebut diatas akan mengarahkan bandul sistem negara kepada sifat paham “kom*nisme”?
Konsep tersebut diatas sama sekali berbeda dengan konsep “kom*nisme” yang sepenuhnya menutup akses kebutuhan tersier, sehingga seluruh lapisan dan golongan masyarakat berbaur dalam masyarakat komunal yang dipaksakan hanya berputar pada kebutuhan pokok belaka. Ini disebut diktatoriat pengekangan, bukan republik.
Hukum yang baik bukanlah sama sekali tidak mengakui peran dan fungsi alat tukar bernama “uang” (money), namun membatasi/melemahkan kekuatan mutlaknya yang luar biasa dahsyat bahkan mampu menjelma destruktif layaknya nuklir yang memiliki dua sisi bagaikan dua sisi berlawanan pada sekeping uang logam.
Alat tukar yang diperoleh dan diakumulasi merupakan wujud prestasi atas kinerja, upaya, usaha, perasan keringat maupun inovasi pelaku usaha yang memang harus dihargai, tanpa dapat dipungkiri. Begitupula pengumpulan materi/uang sebagai wujud penghematan—terkenal dengan pepatah menabung pangkal kekayaan—juga bukan merupakan sesuatu yang ilegal, bahkan sah-sah saja dalam rangka pembentukan budaya kompetitif disamping tumbuh-kembang sikap inovatif.
Hanya saja kita perlu bersikap rasional, bahwasannya sumber daya alam, sumber daya akses, sumber daya transportasi, sumber daya kebutuhan pokok, sumber daya air, sumber daya udara, sumber daya-sumber daya lainnya ialah terbatas, sementara itu kita saling berbagi ruang, bukan hidup dalam sekat dunia yang saling terpisah satu sama lain sama sekali—oleh karenanya hukum yang baik mengenal istilah “fungsi sosial” sebagai wujud pengakuan (bukan pengingkaran) terhadap fakta faktual “berbagi ruang hidup” ini.
Yang tidak perlu, maka tidak perlu untuk diadakan, karena hanya akan mengganggu keseimbangan masyarakat. Semisal tempat ibadah yang mengumandangkan ritualnya justru dengan membuat polusi suara, dengan mengingkari bahwa mereka berbagi ruang dan berbagi udara yang menjadi media rambat suara dengan pemeluk agama lainnya.
Tanah memiliki fungsi sosial, begitupula harta kepemilikan lainnya, tidaklah mutlak dimata hukum. Setiap penghasilan dikenakan pajak, sebagai bentuk fungsi sosial itu sendiri, dan penggunaan kekayaan itu sendiri pun tidak dapat lepas dari fungsi sosial.
Oleh sebab itu kepemilikan atas kebutuhan pokok dilindungi oleh hukum secara mutlak—semisal kepemilikan atas rumah tempat tinggal satu-satunya. Sementara itu disaat bersamaan kepemilikan atas kebutuhan tersier tunduk sepenuhnya pada fungsi sosial.
Bila hukum yang baik memastikan keterjangkauan dan pemerataan kebutuhan pokok, maka warga negara yang baik memahami bahwa sikap yang berkemewahan secara berlebihan merupakan sikap yang tidak pada tempatnya untuk dipertontonkan terlebih dibiarkan mengingkari dengan merenggut hak warga negara lain untuk mendapat akses terhadap kebutuhan pokoknya—seperti dikuasainya berbagai hak atas tanah oleh segelintir partikelir tanah, atau pelaku usaha kartelisasi yang menumpuk bahan kebutuhan pokok dengan tujuan menciptakan kelangkaan barang di pasaran sehingga terjadi lonjakan harga yang merugikan konsumen, mematikan pesaing usaha sehingga dapat memonopoli pasar, dsb.
Warga negara yang baik tidak akan mencoba untuk merusak tatanan keseimbangan ini. Kita saling berbagi ruang. Kemewahan tidak dilarang, tidak juga dibatasi, sepanjang kebutuhan pokok setiap warga negara lainnya terjamin dan terjangkau secara layak serta memadai. Kemewahan tidak dilarang, sepanjang kemewahan dan sumber “uang” tersebut memang didapat dengan cara-cara yang legal dan bermartabat.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.