Rekam Medis Dimusnahkan Rumah Sakit, Perbuatan Melawan Hukum atas Hak Keperdataan Pasien

LEGAL OPINION
Question: Rasanya aneh, untuk dokumen perkantoran, hukum mewajibkan pengurusnya untuk disimpan puluhan tahun. Tapi kok, keluaga saya kemarin ada meminta rekam medik pada dokter, tapi rumah sakit bilang rekam mediknya sudah tidak ada lagi. Bagaimana ini, bukankah katanya rekam medik adalah hak pasien?
Brief Answer: Praktik pemusnahan rekam medis ataupun penyembunyian isi rekam medis memang menjadi salah satu modus pihak penyedia jasa kesehatan untuk berkelit dari tanggung jawab pidana maupun perdata.
Dalam kasus dibawah ini pengadilan telah merasionaliasi regulasi terkait hak pasien atas rekam medik, lewat mekanisme partial judicial review. Isi Rekam Medis adalah hak pasien, sehingga tetap wajib dijaga dan disediakan oleh pihak penanggung jawab penyelenggara jasa kesehatan yang sewaktu-waktu yang dapat diminta oleh pasien.
Kelalaian menjaga hak pasien mengakibatkan pelaku jasa kesehatan rentan digugat secara perdata ke hadapan pengadilan. Dokumen Rekam Medis memang milik pihak kedokteran, yang dapat dipindahkan datanya dalam dokumen baru dimana dokumen lama dapat dimusnahkan. Namun mengenai substansi atau isi dari Rekam Medis tidak boleh dimusnahkan dan wajib terbuka bagi akses pasien atas hak informasi medik yang pernah diterimanya dan mengetahui akan diagnosa maupun kebenaran sejarah tindakan medis yang telah dilakukan terhadap diri sang pasien.
PEMBAHASAN:
Sebuah ilustrasi yang menarik untuk diangkat karena kedalaman pencermatan Majelis Hakim yang memeriksa dan menemukan modus kejahatan yang tersistematis dan terselubung instrumen hukum, yakni putusan Pengadilan Negeri Kls lA Bandung perkara gugatan perdata register Nomor 281/Pdt.G/2012/PN.Bdg tanggal 14 Maret 2013, sengketa antara:
- Agus Ramlan, sebagai PENGGUGAT; melawan
1. dr. Maryono Sumarmo, Sp. M, sebagai TERGUGAT I;
2. Rumah Sakit Rajawali (RS. Rajawali), sebagai TERGUGAT II;
3. dr. Frans Suwandi, sebagai TERGUGAT III;
4. Porf. DR. dr. H. Gantira Natadisastra, Sp.M, sebagai TERGUGAT IV;
5. dr. Burhannudin Sabirin, sebagai TERGUGAT V;
6. Ikatan Dokter Indonesia Jawa Barat, sebagai TERGUGAT VI;
7. Rumah Sakit Khusus Mata Cicendo, sebagai TERGUGAT VII;
8. Majelis Kehormatan dan Kode Etik Kedokteran Jawa Barat, sebagai TURUT TERGUGAT I;
9. Departemen Kesehatan RJ Cq Dinas Kesehatan Prop, jawa Barat cq Dinas Kesehatan Kota Bandung, sebagai TURUT TERGUGAT II;
10. Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), sebagai TURUT TERGUGAT III;
11. Majelis Kehormatan dan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKT), sebagai TURUT TERGUGAT IV;
12. Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PERDAM1) cabang Jawa Barat, sebagai TURUT TERGUGAT V.
Pada tahun 1992 Penggugat berobat ke Rumah Sakit Rajawali (Tergugat II) karena mengalami gangguan penglihatan yaitu mata kiri Penggugat memerah, namun pada saat itu sebagaimana klaim Penggugat, kedua mata Penggugat masih dapat melihat dengan baik, serta mata sebelah kanan normal dan diakui tidak mendapat gangguan apapun.
Penggugat dalam rangka memeriksa pada mata kirinya yang memerah pada Rumah Saklt Rajawali, terlebih dahulu mengikuti prosedur yang berlaku pada Rumah Sakit yakni mendaftar kemudian diarahkan oleh petugas agar pengobatannya ditangani oleh tergugat I yang dikenal sebagai ahli spesialis mata.
Tergugat I telah memeriksa dan mengobati Penggugat, dengan cara memberikan obat tetes mata dan tablet, hal mana Penggugat tidak mengetahui dan atau tidak pernah diberitahu oleh Tergugat I maupun pihak Rumah Sakit mengenai merek obat apa yang diberikan kepada Penggugat selaku pasien, namun yang dialami dan dirasakan Penggugat ialah obat tersebut tidak memberikan perubahan yang baik pada kondisi mata.
Oleh karena belum juga baik mata Penggugat, maka pada tanggal 26 Agustus 1992 Penggugat kembali berobat pada Tergugat I, di Rumah Sakit Rajawali. Setelah diperiksa, Penggugat diberikan resep obat salep oleh Tergugat I, digunakan oleh Penggugat sesuai dengan petunjuk penggunaan, namun akibat efek dari penggunaan tersebut penglihatan Penggugat bukan membaik, malah menjadi buram.
Tanggal 4 September 1992, Penggugat kembali kontrol (melakukan pemeriksaan rutin) kepada Tergugat 1, pada sarana kesehatan milik Tergugat II. Pasa saat itu Tergugat I menyatakan kepada Penggugat bahwa obat salep yang diberikan pada Penggugat adalah obat yang tidak tepat/ salah. Kemudian obat salep tersebut diambil oleh Tergugat II supaya tidak digunakan kembali oleh Penggugat, dan pada hari yang sama Tergugat I memberikan resep baru untuk ditebus oleh Penggugat di Apotik Rumah Sakit Rajawali.
Obat berdasarkan resep terbaru adalah obat tetes mata yang berbentuk cair dan berminyak (tidak disebutkan jenis obatnya), yang kemudian digunakan oleh Penggugat sesuai petunjuk obat yaitu diteteskan ke kedua mata Penggugat 3x3 tetes sehari (berarti 3 tetes tiap mata, 3 kali sehari), namun ternyata setelah digunakan kedua mata Penggugat tidak membaik malah semakin parah, sampai tidak dapat melihat sama-sekali.
7 September 1992, Penggugat kembali mengunjungi Tergugat I di Rumah Sakit Rajawali, dan menanyakan kondisinya yang menjadi tidak bisa melihat sama sekali. Tergugat I menyarankan Penggugat untuk dirawat inap di Rumah Sakit Rajawali mulai hari itu juga (7 September 1992 s/d 23 September 1992).
Sebelum rawat inap tersebut, keluarga dari Penggugat pernah meminta untuk Tergugat I untuk memberikan rujukan untuk pindah ke dokter lain yang mungkin lebih mampu untuk memberikan perawatan atau peralatan yang lebih memadai bagi Penggugat, namun kemudian Tergugat I memaksa Penggugat dan keluarganya untuk memasukkan Penggugat kedalam perawatan inap di Rumah Sakit Rajawaii.
Pada saat rawat inap tersebut Tergugat I kembali memeriksa rutin Penggugat, dan menyatakan bahwa obat yang menjadikan buta tersebut (merefrensikan pada obat tetes yang terakhir di-resepkan oleh Tergugat I pada Penggugat), agar tidak digunakan lagi, bahkan lebih jauh obat tersebut diambil / diamankan oleh Tergugat I. namun selama Penggugat dalam perawatan inap di Rumah Sakit Rajawali kondisi mata Penggugat tetap dalam kondisi tidak dapat melihat (buta total).
Pada akhir masa rawat inap, Tergugat I menyuruh Penggugat pulang dengan memberi instruksi untuk tetap melakukan pemeriksaan rutin seminggu sekali. Dalam kurun waktu sampai Februari 1993, pasca perawatan tersebut Penggugat mengalami kesakitan berupa efek rasa sakit luar biasa di kepala Penggugat, dimana selain kedua mata Penggugat menjadi tidak dapat melihat, apabila ditekan dan dipegang akan terasa amat sakit hal mana sebelum berobat pada Tergugat I dan Tergugat II, Penggugat tidak memiliki latar belakang sakit penyakit apapun, yang ada hanya ganguan mata kiri yang memerah.
Alhasil, pada Juli 993 sampai dengan September 1995, Penggugat yang tertekan batinya karena senyatanya tidak dapat melihat lagi selayaknya sebagai mana layaknya manusia normal, dipindahkan dari Sekolah Menengah Atas ke Sekolah Luar Biasa untuk mengambil pendidikan dan pelatihan kejuruan atas biaya Penggugat sendiri.
Perawatan mata dengan rawat jalan terus dilakukan penggugat dari tahun 1992 sampai dengan tahun 1996 (4 Tahun), pada kurun waktu tersebut diberitahukan poleh Tergugat I dalam rangka perawatan dan pengobatan mata Penggugat, Penggugat diperintahkan oieh Tergugat I agar tidak perlu melakukan pendaftaran di bagian pendaftaran Rumah Sakit Rajawali sebagaiman biasanya, melainkan diminta agar langsung menemui Tergugat I saja selama mata Penggugat masih tidak dapat melihat.
Masih dalam kurun waktu tersebut juga Tergugat I pernah memerintahkan Penggugat untuk diperiksakan kesehatan kepada bagian penyakit dalam yang saat itu ditangani oleh Dr. Frans Suandi (Tergugat III), seorang dokter ahli penyakit dalam di Rumah Sakit Rajawali. Hal mana Penggugat tidak tahu dan tidak diberitahukan alasan apa penggugat harus diperiksakan oleh Tergugat III, dan senyatanya Penggugat harus diperiksakan oleh Tergugat III, dan senyatanya Pengugat percaya saja pada perintah Penggugat I.
Diketahui kemudian selama dalam perawatan rutin kurun waktu 1992-1996 tersebut ternyata Tergugat I kemudian dipindah-tugaskan ke Rumah sakit lain.
Sampai dengan Tahun 2003-2006 dengan adanya pemindahan tugas dari Tergugat I tersebut, Penggugat tetap menjalani pemeriksaan rutin di tempat tugas Tergugat I yang baru, sampai dengan tahun 2003, dimana pemeriksaan rutin Penggugat dilanjutkan di tempat praktek Tergugat I yang baru.
Dalam seluruh proses perawatan Penggugat tidak pernah mendapatkan informasi baik dari Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III, mengenai perawatan ataupun isi dari rekam medis selama perawatan yang dijalani Penggugat. Sebaliknya, ketika penggugat menanyakan kondisi dirinya yang malah semakin memburuk, penggugat tidak diberikan informasi melainkan dianggap tidak dapat menerima suratan nasib, serta disebut memiliki penyakit lain yang tetap tidak dibuktikan oleh pemeriksaan dokter manapun.
bergulir pada tahun 2004, Penggugat mencoba mencari keadilan dengan mengajukan gugatan nomor perkara : 337/PDT/G/2004/PN.Bdg, dimana terbukalah suatu fakta bahwa rekam medis dari Penggugat telah dimusnahkan oleh Tergugat I dan Tergugat II.
Peraturan Menteri Kesehatan No. 749/Menkes/Per/XII/1989 tentang Rekam Medis, mengatur kaedah sebagai berikut :
Pasal 10
Pemilik berkas rekam medis adalah sarana pelayanan kesehatan dimana pasien mendapat pelayanan kesehatan, sedangkan pemilik isi dari kandungan rekam medis adalah pihak pasien.
Pasal 5
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak:
a. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);
b. meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
c. mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
d. menolak tindakan medis; dan
e. mendapatkan isi rekam medis.
Atas anjuran dari pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Kelas 1A Bandung dalam perkara No. 337/PD.T/G/2004/PN.Bdg, maka Penggugat menempuh upaya pengaduan kepada Tergugat IV, dan kemudian diadakan sidang untuk mendengarkan serta pemeriksaan terhadap Penggugat atas perintah dari Tergugat IV dengan menugaskan para anggota majelis pimpinan Tergugat IV, pada Tergugat V untuk melakukan pemeriksaan visum terhadap Penggugat, namun alangkah kagetnya karena ternyata dengan berbagai alasan Tergugat V menolak memberikan resume hasil pemeriksaan pada kuasa sah Penggugat, dengan alasan harus memberikan hasil pemeriksaan kepada Penggugat yang sampai gugatan ini diajukan di muka pengadilan Penggugat belum menerimanya atau dengan kata lain baik Tergugat IV maupun Tergugat V belum pernah memberikannya.
Penggugat telah menempuh prosedur pengaduan kepada Tergugat VI (IDI Jawa Barat), dan seharusnya hal tersebut oleh Tergugat VI ditindaklanjuti kepada Turut Tergugat 1 (Majelis Kehormatan dan Kode Etik Kedokteran Jawa Barat). Namun, Penggugat Hanya mendapat undangan dari Tergugat VI untuk menghadiri pertemuan, yang mana selain Penggugat dihadapkan pada majelis pimpinan IDI, dan dilakukan pemeriksaan terhadap Penggugat oleh Tergugat IV di laboratorium dan tempat pemeriksaan dari Tergugat VIl, dan seharusnya diberikan suatu rekomendasi tindak penyelesaian, atau risalah kesimpulan pertemuan oleh majelis kehormatan dan kode etik Kedokteran Jawa Barat (Turut Tergugat I) namun hingga kini tidak ada tindak-lanjut yang nyata dalam bentuk apapun, sehingga dengan terpaksa Penggugat menempuh jalur hukum yaitu mengajukan gugatan meminta pertanggungjawaban para pelaku profesi kedokteran.
Penggugat mempostulasikan, dokumen rekam medis adalah milik dokter (tenaga kesehatan) dan/atau rumah sakit (sarana kesehatan), sementara itu ISI REKAM MEDIS adalah milik pasien sehingga antara Dokter, Rumah Sakit dan Pasien adalah para pemilik (eigenaar) yang memiliki kepemilikan bersama (medeeigendom) terhadap rekam medis tersebut—yang SHIETRA & PARTNERS sebut sebagai para stakeholders alias pemangku kepentingan.
Terhadap gugatan tersebut, Majelis Hakim yang memeriksa membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, ... bahwa Penggugat mengalami kebutaan dengan. demikian terbukti bahwa peristiwa kebutaan yang dialami oleh Penggugat terjadi dalam kurun waktu ketika Penggugat berobat kepada Tergugat I di Rumah Sakit Rajawali (Tergugat II), pada tahun 1992. Oleh karena itu terbukti telah terjadi keadaan yang tidak diinginkan oleh semua pihak selama Penggugat diobati oleh tergugat I di Rumah Sakit rajawaii (Tergugat 2).
“Namun demikian mengingat gugatan ini bukanlah gugatan mal praktik kedokteran majelis tidak akan mempertimbangkan lebih lanjut mengenai peristiwa tersebut, namun jelas telah yakin bahwa peristiwa kebutaan terseout merupakan tonggak awal persengketaan antara Pengugat dengan Tergugat 1 yang akhirnya Penggugat mengajukan Gugatan ke Pengadilan Negeri Bandung;
“Bahwa berdasarkan keterangan Dadan Sukmana yang dibawah sumpah menyatakan “pertengkaran sebagaimana dimaksud adalah disebabkan karena Penggugat ngotot akan meminta rekam medis dari Tergugat II, Namun Tergugat I ngotot dan bersikeras untuk melarangnya dan menolak memberikan rekam medis yang dikuasainya di tempat praktek pribadinya".
“Bahwa berdasarkan bukti P-13 (Putusan pengadilan Negeri Bandung No. 337/ Pdt.G/2004/PN.Bdg). terbukti Penggugat pernah mengajukan gugatan malpraktik kedokteran dengan putusan menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima. Dalam persidangan tersebut berdasarkan pengakuan Tergugat II (dahulu sebagai Tergugat I) sebagaimana tertulis dalam putusan perkara No. 337/Pdt.G/2004/PN.Bdg halaman 9, terbukti rekam medis milik Penguggat telah dihancurkan oleh Tergugat II (dahulu sebagai Tergugat 1) dengan mengacu pada Permenkes No: 749a/MENKES/PER7XII/1989. Padahal sebelumnya Penggugat telah berkali-kali meminta rekam medis tersebut atau setidaknya memberikan salinan isi rekam medis atau resume medis Penggugat, untuk mengetahui penyebab kebutaannya.
Akibatnya dalam persidangan tersebut tidak dapat diajukan bukti formil berupa rekam medis yang merupakan bukti terpenting untuk membuka kebenaran atau kesalahan tindakan medis oleh Tergugat I, bahkan selamanya Pengugat tidak akan dapat membuktikan secara formal dalam persidangan apapun terkait penyebab kebutaannya. Fakta pemusnahan rekam medis milik Penggugat juga telah diakui kembali dengan tegas oleh Tergugat II dalam persidangan perkara ini.
“Dengan demikian, sesuatu yang telah diakui tidak perlu lagi untuk dibuktikan lebih lanjut karena pengakuan merupakan alat bukti dalam persidangan perdata sebagaimana dimaksud dalam pasal 164 HIR. Oleh karena itu majelis berpendapat memang telah timbul kerugian yang tidak terkira secara moril yang dialami oleh Pengugat.
“Menimbang Permintaan Tergugat I untuk memeriksa Penggugat di tempat praktek pribadi, merupakan hak dari Tergugat I maupun Penggugat untuk saling mengikatkan diri dalam hubungannya antara dokter dan pasien dimanapun berada, namun demikian mengingat terdapat peristiwa musibah yang tidak diinginkan berupa kebutaan sebagai pemicu terjadinya persengketaan selama pengobatan Penggugat di Rumah Sakit Rajawali (tergugat II), majelis berpendapat seharusnya Tergugat I menyelesaikan dulu perselisihan tersebut secara tripartide antara Penggugat, Tergugat I dan Tergugat II, bukan kemudian membawa Penggugat berobat di tempat pribadinya, sehingga menimbulkan kesan Tergugat 1 hendak menyembunyikan masalahnya dengan Pengugat dari pihak Tergugat II serta mengulur waktu agar rekam medis atas nama Penggugat dapat dimusnahkan berdasarkan ketentuan yang berlaku saat itu, mengingat kebutaan yang dikira Pengugat akibat kesalahan Tergugal I menjadi pemicu perselisihan, tercatat dalam rekam medis pada Tergugat II, bukan dalam rekam medis baru yang dibuat kemudian pada tempat praktek pribadi Tergugat I;
“Menimbang terhadap sikap Tergugat I tersebut majelis berpendapat Tergugat II tidak boleh menghalang-halangi Pengugat untuk memperoleh isi rekam medis baik dari Tergugat I maupun dari Tergugat II terlepas dari apapun penyebab kebutaannya.
“Hal ini mengingat betapa pentingnya rekam medis sebagai sarana perlindungan kesehatan bagi pasien dan sarana perlindungan hukum bagi pasien dan dokter sebagaimana dikatakan oieh ahli Eva Riska Simbolon, drg., dibawah sumpah dalam persidangan menyatakan “rekam medis merupakan dokumen yang sangat penting, karena didalamnya memuat anamnesa, diagnosa dan terapi yang akan menjadi acuan dokter baik dokter yang bersangkutan maupun dokter lainnya yang dirujuk melanjutkan pengobatan untuk melakukan tindakan medis. Selain itu rekam medis merupakan sarana pembuktian mengenai benar atau tidaknya tindakan medis yang dilakukan oleh seorang dokter”.
“Mengenai status kepemilikan rekam medis, ahli tersebut menyatakan “dokumen rekam medis milik rumah sakit atau sarana penyedia pelayanan kesehatan, sedangkan isinya milik pasien, sehingga menjadi hak pasien untuk mengetahui dan mendapatkan isi rekam medis tersebut manakala diminta dan dikehendakinya. Untuk itu dokter maupun pihak penyedia layanan kesehatan tidak boleh menolak untuk memberikan isinya kepada pasien”.
“Untuk memisahkan antara dokumen rekam medis dengan isinya, ahli menjelaskan “pihak penyedia layanan kesehatan dapat memberikan salinan/fotokopinya untuk diberikan kepada pasien”. Selanjutnya ahli menjelaskan “lama penyimpanan, rekam medis dapat disimpan selama 5 tahun, kecuali hal-hal khusus yaitu untuk kepentingan penelitian mengenai penyakit yang belum diketahui penyebab dan atau obatnya atau untuk kebutuhan pembuktian hukum penyimpanan rekam medis sebaiknya disimpan lebih dari lima tahun”;
“Menimbang Pendapat ahli diatas selanjutnya dikuatkan oleh keterangan/pendapat ahli yang lainnya yaitu Utari Dewi Fatimah, S.H., M.Hum, Staff Pengajar Hukum Kesehatan Universitas Pasundan yang menyatakan rekam medis merupakan dokumen yang sangat penting karena “merupakan sarana komunikasi antara dokter dengan, pasien, dasar perencanaan pelaksanaan pengobatan, bukti tertulis atas segala tindakan medis, dasar analisis, penelitian serta sarana perlindungan hukum bagi dokter, Pasien serta pelaksana pelayanan kesehatan lainnya. “lama penyimpanan rekam medis ahli tersebut mengacu pada ketentuan Permenkes No. 749a/MENKES/PER/XIl/1989, mengingat kejadiannya terjadi dalam kurun waktu sekitar tahun 1997-2004, dimaria pada saat itu berlaku ketentuan aquo sesuai asas non retro aktif. Adapun lama penyimpnan rekam medis berdasarkan pasal 7 Permenkes No. 749a/MENKES/PER/XII/1989 selama 5 tahun, dalam hal-hal yang bersifat khusus dapat disimpan lebih dari 5 tahun.
“Apa yang menjadi kriteria hal-hal khusus menurut keterangan ahli adalah “bila ada penyakit baru untuk penelitian, diperlukan untuk pendidikan dan penelitian lanjutan serta bila masih ada perkara hukum. Perkara hukum dimaksud disini termasuk perselisihan yang belum diperiksa dalam persidangan pengadilan, sehingga tidak terbatas hanya terhadap perkara yang diperiksa di persidangan;”
Ahli Utari Dewi Fatimah, S.H., M.Hum, lebih lanjut menyatakan “rekam medis merupakan perwujudan perlindungan atas hak atas informasi (right to information), untuk itu menurut pasal 10 ayat (1) Permenkes No. 749a/MENKES/PER/XH/1989 dokumen rekam medis adalah milik rumah sakit, sedangkan isi rekam medis merupakan milik pasien. Adapun yang dimaksud dengan isi rekam medis merupakan milik pasien adalah milik atas kebendaan tidak berwujud yaitu hak informasi tersebut. Unluk mendapatkan hak informasi tadi, pasien dapat diberikan salinan/fotokopi yang dilegalisasi oleh sarana penyedia pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan rekam medis tersebut.”
“Selanjutnya mengenai unsur perbuatan melawan hukum, ahli Utari Dewi Fatimah, S.H., M.Hum berpendapat harus memenuhi unsur komulatif berupa kesalahan, kerugian dan adanya kausalitas antara kesalahan dengan kerugian. Dengan demikian pemusnahan rekam medis yang dilakukan oleh Tergugat II tersebut dalam perkara aquo merupakan Perbuatan Melawan Hukum karena masih meninggalkan persoalan hukum antara Penggugat dengan tergugat I, sehingga pasal 7 ayat 1 Permenkes No. 749 a/Per/XII/1989 tidak dapat dijadikan dasar hukum dari tindakan tergugat II tersebut, karena peristiwa antara Penggugat dan tergugat 1 dapat dikategorikan sebagai keadaan khusus yang memerlukan penyimpanan rekam medis lebih dari 5 tahun;
“Selanjutnya dalam lapangan hukum kesehatan ahli menerangkan dikenal dengan asas kejujuran, asas itikad baik serta asas kepatuhan terhadap aturan. Untuk itu terhadap perbuatan pemusnahan rekam medis sebagaimana dimaksud dalam gugatan ini ahli berpendapat telah bertentangan dengan ketiga asas tersebut.
“Menimbang, bahwa dari fakta tersebut diatas tidak berlebihan jika majelis mendapat persangkaan Tergugat 1 dan Tergugat II, telah beritikad buruk guna memusnahkan bukti atas dugaan malpraktik yang dilakukan oleh Tergugat I, dengan cara setelah perselisihan antara Pengugat dengan Tergugat I dengan Penggugat dan adanya indikasi kesalahan yang terekam dalam rekam medis pada Tergugat II, Tergugat I Selanjutnya memindahkan pengobatan Penggugat ke tempat praktek pribadinya;
“Dengan dibuatkan rekam medis baru. Selanjutnya di tempat berobat yang baru tersebut Tergugat I mengobati Pengugat agar dapat mengulur waktu selanjumya setelah lewat lima tahun sejak terakhir Penggugat berobat di Rumah Sakit Rajawali (Tergugat II). Persangkaan ini ditarik berdasarkan asas Res Ipsa Loquitor, yang menyatakan: dalam hal terjadi Perbuatan Melawan Hukum, Penggugat hanya cukup membuktikan fakta kejadian yang dialaminya, dimana dari fakta tersebut selanjutnya ditarik suatu conclusie yang mengarah pada suatu rangkaian peristiwa Perbuatan Melawan Hukum tersebut.
“Adapun penerapan asas Res Ipsa Loquitor dalam perkara aquo mengingat penggugat telah membuktikan hal sebagai berikut: Tahun 1992 Pengugat berobat di RS. Rajawali dan ditangani oleh Tergugat I, dan mengalami kebutaan; Selama pengobatan Pada Tergugat II, terbukti terjadi perselisihan antara Penggugat dengan Tergugat I yang diketahui oleh Tergugat II; Penggugat selanjutnya berobat di tempat praktek pribadi di Jl. Solontongan No. 25 Bandung; Setelah lima tahun sejak terakhir Penggugat berobat pada Tergugat II, Rekam Medis Penggugat dimusnahkan;
“Selama pengobatan di tempat pribadi Tergugat I, perselisihan tidak berakhir dan akhirnya tahun 2004 mengajukan gugatan, dan gugatan Pengugat tidak dapat dibuktikan akibat pemusnahan rekam medis;
“Menimbang terhadap perbuatan pemusnahan rekam medis sementara diketahui adanya perselisihan antara dokter dengan pasien (meski perselisihan tersebut belum masuk kedalam ranah persidangan), majelis berpendapat merupakan perbuatan melawan hukum, karena bertentangan dengan hak informasi yang dimiliki oleh pasien termasuk hak untuk melakukan pembuktian dalam persidangan. Bahwa berdasarkan asas Res Ipsa loquitur, tidaklah perlu Penggugat membuktikan niat yang sesungguhnya dari Tergugat I dan Tergugat II guna memusnahkan bukti dugaan malpraktik, tetapi dari rangkaian peristiwa yang sistematis tersebut dapat ditarik suatu persangkaan ada upaya pemusnahan yang sengaja dilakukan oleh Tergugat I dan Tergugat II guna menyembunyikan fakta kebenaran yang diperlukan dalam persidangan yang tersimpan dalam rekam medis Penggugat. Dengan demikian, terbukti ada itikad buruk Tergugat I dan Tergugat II terhadap Penggugat yang merugikan hak informasi Penggugat;
“Menimbang ketentuan mengenai vvaktu penyimpanan rekam medis pada saat terjadinya Pemusnahan rekam medis Pengugat, diatur dalam pasal 7 Permenkes No. 749 a/Per/XII/1989 yang berbunyi :
(1). Lama penyimpanan rekam medlk sekurang-kurangnya untuk jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung dari tanggal terakhir pasien berobat;
(2). Lama penyimpanan rekam medik yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat khusus dapat ditempatkan tersendiri.
Selanjutnya mekanisme pemusnahan rekam medis juga diatur dalam Keputusan Dirjen Pelayanan Medik No. 78/Yanmed/RS Umdik/YMU/I/91 tentang Penyelenggaraan Rekam Medis di Rumah Sakit. Pada Bab III tentang Tata Cara Penyelenggaraan Rekam Medis di Rumah Sakit huruf d menyatakan:
d. Penyimpanan rekam medis:
1. Penyimpanan rekam medis dapat dilakukan dengan cara sentralisasi dan desentralisasi. Yang dimaksud: sentralisasi adalah penyimpanan rekam medis dipusatkan di satu tempat / unit rekam medis / medical record. Yang dimaksud desentralisasi adalah penyimpanan rekam medis di masing-masing unit pelayanan. Rumah sakit yang beium mampu melakukan penyimpanan rekam medis dengan sistem sentralisasi, dapat menggunakan sistem desentralisasi.
2. Rekam medis rumah sakit disimpan sekurang-kurangnya 5 tahun, terhitung dari tanggal terakhir berobat.
3. Dalam hal rekam medis yang berkaitun dengan kasus-kasus tertentu dapat disimpan lebih dari 5 tahun.
4. Penyimpanan rekam medis dapat dilakukan sesuai dengan perkembangan teknologi penyimpanan, antara lain dengan microfilm.
“Dengan demikian majelis sependapat dengan kelerangan ahli Eva Riska Simbolon, drg dan ahli Utari Dewi Fatimah, S.H., M.Hum memandang kondisi yang dialami Penggugat sebagai kondisi khusus dan hal-hal yang termuat dalam rekam medisnya sebagai hal-hal yang khusus serta perselisihan antara penggugat dan tergugat II merupakan kasus tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (2) Permenkes No. 749 a/Per/Xli/1989 dan Keputusan Dirjen Pelayanan Medik No. 78/Yanmed/RS Umdik/YMU/I/91 tentang Penyelenggaraan Rekam Medis di Rumah Sakit. Pada Bab III tentang Tata Cara Penyelenggaraan Rekam Medis di Rumah Sakit huruf d, sehingga memerlukan penyimpanan rekam medis sampai perselisihan tersebut selesai baik secara kekeluargaan maupun secara hukum.
“Menimbang pasal 7 Permenkes No. 749 a/Per/XII/1989 jo Keputusan Dirjen Pelayanan Medik No. 78/Yanmed/RS Umdik/YMU/I/91 tentang Penyelenggaraan Rekam Medis di Rumah Sakit. Pada Bab III tentang Tata Cara Penyelenggaraan Rekam Medis di Rumah Sakit huruf d, harus ditafsirkan secara arif dan bikasana termasuk pula terhadap kasus-kasus hukum yang terjadi antara dokter dengan pasien.
“Hal ini sesuai dengan asas kepastian, dimana kebenaran atau kesalahan atas tindakan medis harus secara pasti dapat dibuktikan dan bukti paling akurat adalah rekam medis, asas keadilan dan manfaat mengingat rekam medis merupakan sarana perlinduhgan hukum bagi dokter, pasien dan rumah sakit untuk secara adil dapat saling membuktikan kebenaran dalam persidangan dalam hal terjadi kasus/sengketa hukum.
Dengan demikian majelis hakim memutuskan perkara dengan berpihak pada kebenaran yang sebenarnya dan keadilan. yang seadil-adilnya bagi siapapun tanpa terbelenggu oleh pemikiran legal formalistic yang tidak didasari oleh rasa kemanusiaan serta jauh dari bisikan kata hati nurani.
“Menimbang bahwa status kepemilikan rekam medis diatur dalam pasal 10 Permenkes No.749/Menkes/Per/XIl/1989 tentang rekam rnedis yang menyatakan berkas rekam medis adalah milik sarana pelayanan kesehatan dalam hal ini Tergugat II sedangkan isi rekam medis adalah milik pasien dalam hal ini Penggugat.
Terminologi kata milik haruslah ditafsirkan secara sistematis. Hal ini mengingat Peraturan Menteri Kesehatan aquo tidak mengatur secara khusus mengenai defmisi kata "milik atau hak milik", sehingga pengertian milik atau hak milik harus ditafsirkan secara sistematis dengan Pasal 499 KUHPerdata yang menyatakan: Menurut Undang-undang, kebendaan adalah barang dan tiap hak yang dapat menjadi obyek dari hak milik.
“Apakah rekam medis sebagai barang atau hak? Untuk menjawab pertanyaan tersebut harus pula ditafsirkan secara sestematis dengan ketentuan pasal 503 KUHPerdata yang membagi benda menjadi benda yang berwujud, dan ada benda yang tak berwujud.
“Untuk itu majelis sependapat dengan pendapat ahli Utari Dewi Fatimah. S.H., M.Hum yang mengklasifikasikan media penulisan (kertas) rekam medis sebagai benda berwujud/barang sedangkan isinya termasuk benda tidak berwujud (intangible) yaitu hak informasi pasien sehingga kepemilikan rekam dokumen rekam medis sebagai kepemilikan bersama sebagaimana dimaksud dalam gugatan Penggugat.
“Penafsiran semacam ini dirasa akan lebih mencerminkan keteraturan sistem hukum, tidak saling bertentangan dan lebih menjamin rasa keadilan bagi siapapun. Oleh karena itu kepemilikan rekam medis merupakan kepemilikan bersama antara pasien dengan penyedia layanan kesehatan dimana dokumen (benda berwujud) rekam medis milik rumah sakit, isinya (benda tidak berwujud/hak informasi) adalah milik pasien.
Dengan demikian penafsiran ini dirasa lebih mencerminkan keteraturan hukum sebagai suatu sistem dimana ketentuan perundang-undangan yang satu tidak bertentangan dengan ketentuan perundang undangan yang lainnya yang saling melengkapi dan tidak terpisahkan satu sama lainnya.
“Oleh karena itu dengan menafsirkan secara sistematis kesejajaran kedudukan hukum pasien, dokter serta rumah sakit lebih diakui sehingga lebih memenuhi rasa keadilan, sesuai dengan pengakuan kesamaan derajat, hak dan kewajiban sebaaiman dimaksud falsafah negara kita Pancasila. Untuk itu melalui penafsiran ini tidak hanya asas kepastian, keadilan dan manfaat yang dikedepankan, tapi nilai kemanusiaan terhadap Penggugat yang telah 20 tahun berjuang mencari kebenaran atas kebutaannya, lebih dari itu kehomatan profesi dokter akan lebih terjaga serta rule of etics yang sesungguhnya termaktub dalam keagungan semangat praktek kedokteran dapat terjaga dengan baik.
“Menimbang jika lebih dicermati dan diresapi, pembatasan penyimpanan rekam medis selama 5 tahun apalagi jika didukung oleh pendapat mengaburkan makna hak milik pasien atas isi rekam medis tanpa merujuk pada KUHPerdata, majelis berpendapat hanya akan berpihak pada kepentingan pihak dokter dan rumah sakit, tidak untuk kepentingan hukum pasien dan masyarakat.
“Hal ini dengan pertimbangan bahwa bisa saja dampak malpraktik kedokteran tidak hanya muncul dalam kurun waklu 5 tahun pasca pengobatan terakhir, tapi bisa saja setelah itu. Kesulitan juga akan muncul manakala pasien hendak melakukan upaya hukum pidana maupun perdata setelah 5 tahun berobat terakhir, mengingat daluarsa laporan pidana dan gugatan perdata jauh melampaui 5 tahun.
“Hal ini juga untuk menghindan tudingan masyarakat ketentuan penyimpanan rekam medis selama 5 tahun semata mata wujud itikad buruk praktisi kedokteran yang menghendaki agar setelah 5 tahun tidak ada akan lagi laporan dan gugatan malpraktik kedokteran yang dapat dibuktikan secara hukum (bagaimanapun rekam medis merupakan alat bukti utama mengenai kebenaran atau kesalahan tindakan medis), akibatnya para korban pasca 5 tahun berobat terakhir tidak dapat membuktikan kesalahan tindakan medis.
“Menimbang bahwa pemusnahan rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Dirjen Pelayanan Medik No. 78/Yanmed/RS Umdik/YMU/1/91 Tentang Penyelenggaraan Rekam Medis di Rumah Sakit tidak mensyaratkan atau mewajibkan Rumah Sakit sebagai pemilik fisik dokumen untuk memberikan isi rekam medis.
“Untuk itu dengan berpedoman pada asas itikad baik sebagaimana dimaksud dalam keterangan ahli Utari Dewi Fatimah, S.H., M.H., adalah hal yang mulia jika rumah sakit sebagai pengemban amanah perlindungan hak paling fundamental yang dimiliki manusia yaitu hak untuk hidup dan menikmati kesehatan, sebelum melakukan pemusnahan rekam medis dengan itukad baik memberitahukan terlebih dahulu mengenai rencana pemusnahan rekam medis dengan mengacu pada hakikat kepemllikan bersama atas rekam medis diatas.
“Oleh kerena itu dapat terjalin keselarasan hubungan antara pemilik dokumen dan pemilik hak informasi atas rekam medis sehingga dalam hal ini Mejelis setelah melalui proses perenungan yang mendalam dan hanya perlu untuk menemukan kaidah hukum mengenai tata cara pemusnahan rekam medis yang tidak diatur dalam 7 Permenkes No. 749 a/Per/XII/1989 jo Keputusan Dirjen Pelayanan Medik No, 78/Yanmed/RS Umdik/YMU/I/91 tentang Penyelenggaraan Rekam Medis di Rumah Sakit.
“Untuk itu melalui putusan ini majelis menyatakan “terhadap rekam medis yang telah memenuhi syarat untuk dimusnahkan, setiap penyelenggara rekam medis (rumah sakit dan Dokter) wajib untuk memberitahukan secara tertulis perihal rencana pemusnahan rekam medis kepada pasien atau orang tua, wali atau pengampunya (mengingat salah satu isi rekam medis adalah identitas pasien) sebagai pemilik hak informasinya, dan diberi waktu guna menentukan sikap apakah isi rekam medis tersebut akan diambil atau dibiarkan musnah bersama dokumennya.
“Apabila waktu yang diberikan telah lewat, tidak ada jawaban dari pasien, maka bolehlah pemilik dokumen tersebut memusnahkannya, meski milik pasien juga ikut musnah, selidaknya asas itikad baik penyelenggara rekam medis telah dipenuhi.
“Penemuan hukum ini selain didasari oleh penafsiran rekam medis berstatus kepemilikan bersama, juga sesuai dengan tata pergaulan yang baik serta norma hukum tidak tertulis lainnya dalam masyarakat meski aturan legal formal, belum mengatur demikian.
“Menimbang dalam persidangan yang terbukti pemusnahan rekam medis dilakukan oleh Tergugat II, namun dari rangkaian peristiwa yang terbukti perbuatan tergugat II tersebut tidak lebih sebagai wujud kerja sama atau permufakatan yang didasari oleh itikad buruk dari tergugat I, sehingga majelis berpendapat Tergugat I dan Tergugat II terbukti telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum yaitu memusnahkan rekam medis milik penggugat secara melawan hukum yang telah nyata-nyata merugikan Penggugat karena kehilangan hak pembuktian dalam persidangan, atau secara moril selama hidupnya tidak mendapatkan ketenangan batiniah akibat rasa penasaran mengenai penyebab kebutaan yang sebenarnya.
“Untuk itu berdasarkan pertimbangan diatas dirasa adil majelis berpendapat hanya Tergugat I dan Tergugat II lah yang patut dinyatakan melakukan Perbuatan Melawan Hukum dan harus bertanggung jawab atas kerugian Penggugat sesuai dengan ketentuan pasal 1365KUHPerdata.
“Kesalahan, perbuatan Tergugat 1 dan Tergugat II yang telah memusnahkan rekam medis Penggugat bertentangan dengan ketentuan pasal pasal 7 ayat 2 Permenkes No. 749 a/Menkes/Per/XII/1989 tentang Rekam Medis, jo. Dirjen Pelayanan Medik No. 78/Yanmed/RS Umdik/YMU/I/91 Tentang Penyelenggaraan Rekam Medis di Rumah Sakit. Pada Bab III tentang Tata Cara Penyelenggaraan Rekam Medis di Rumah Sakit huruf d jo. KUHPerdata jo. norma hukum tidak tertulis serta tata pergaulan yang baik dalam masyarakat; Kerugian, akibat perbuatan yang dilakukan Tergugat I dan Tergugat II, Penggugat merasa dirugikan baik secara moril maupun meteril karena kehilangan hak pembuktian dalam persidangan, atau secara moril selama hidupnya tidak mendapatkan ketenangan batiniah akibat rasa penasaran mengenai penyebab kebutaan yang sebenarnya serta harus mengeluarkan biaya-biaya guna pengobatan dan biaya ongkos dan akomodasi dalam rangka pencarian fakta dan keadilan; kausalitas antara kesalahan dengan kerugian, bahwa kerugian moriil dan materiil tersebut jelas baik secara langsung maupun tidak langsung merupakan akibat dari Perbuatan Melawan hukum Tergugat I dan Tergugat II;
“Menimbang, bahwa berdasarkan adanya fakta-fakta dan pertimbangan pertimbangan tersebut majelis hakim berpendapat bahwa petitum Penggugat tentang perbuatan Tergugat I dan Tergugat II merupakan perbuatan melawan hukum yang menyebabkan dan menimbulkan kerugian terhadap Penggugat dapat dikabulkan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata menyebutkan tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain mewajibkan orang yang karena salahnya menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut;
“Menimbang, bahwa dengan demikian kerugian tersebut timbul sebagai akibat dari perbuatan seseorang jika tidak ada perbuatan (sebab) maka tidak ada kerugian (akibat) dan kerugian yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum dapat berupa kerugian materil dan immateril;
“Menimbang dikarenakan Tergugat I dan tergugat II telah terbukti melakukan Perbuatan Melawan hukum, meskipun penderitan akibat kebutaan yang dialami oleh Penggugat tidaklah dapat diukur secara materiil, majelis berpendapat adalah adil dan layak serta wajar jika Tergugat I dan tergugat II sesuai dengan kemampuan dan kedudukan sosialnya dalam masyarakat dihukum secara tanggung renteng guna membayar kerugian materiil karena penggugat kehilangan hak pembuktian dalam penyelesaian masalah kebutaan yang dialaminya serta harus mengeluarkan biaya biaya guna pengobatan dan biaya ongkos dan akomodasi dalam rangka pencarian fakta dan keadilan Sebesar Rp 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah);
“Menimbang, bahvva mengenai hal tuntutan immateriil tersebut, Majelis Hakim mempertimbangkan sebagai berikut;
“Bahwa Penggugat secara moril selama hidupnya tidak mendapatkan ketenangan batiniah akibat rasa penasaran mengenai penyebab kebutaan yang sebenarnya serta penderitaan kebutaan secara permanen yang dialami olehnya.
“Menimbang. ... oleh karena itu sesuai Asas kepantasan dan keadilan serta kewajaran majelis mengabulkan sebesar Rp. 500.000.000 (Lima ratus juta rupiah) yang dibebankan kepada Tergugat I dan Tergugat II secara tanggung renteng;
“Menimbang bahwa meski kesalahan Tergugat I dan Terguat II secara makro dapat pula mencerminkan kegagalan pembinaan pihak-pihak yang menaungi praktek kedokteran, namun tidaklah adil dan bijaksana jika majelis harus menghukum pihak pihak lain selain Tergugat I dan tergugat II.
“Namun demikian majelis merasa perlu untuk menekankan pentingnya pemahaman penafsiran dalam penerapan aturan-aturan kedokteran sehingga perkara ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih yang tiada ternilai bagi perkembangan praktek kedokteran.
“Untuk itu adalah adil apabila majelis menghukum para Tergugat selain Tergugat I dan terguat II serta para turut tergugat untuk tunduk dan patuh terhadap putusan ini.
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan Gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Tergugat I, Tergugat II telah melakukan PERBUATAN MELAWAN HUKUM;
3. Menghukum Tergugat I dan tergugat II secara tanggung renteng untuk membayar ganti rugi secara tunai dan seketika kepada Penggugat yang diperinci sebagai berikut:
- Kerugian Material berupa biaya-biaya yang telah dikeluarkan Penggugat dalam rangka perawatan dan pengobatan sebesar Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah);
- Kerugian Immaterial sebesar Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah);
4. Memerintahkan kepada Tergugat III, Tergugat IV, V, VI, VII serta Para Turut Tergugat I, II, Ill, IV dan V untuk tunduk dan patuh terhadap putusan perkara ini;
5. Menghukum untuk membayar seluruh biaya perkara secara tanggung renteng kepada Tergugat I dan Tergugat II dalam perkara ini sebesar Rp. 1.216.000,- (satu juta dua ratus enam belas ribu rupiah).”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.