Hak Prerogatif Tidak dapat Dikungkung oleh Norma yang Lebih Rendah dari Norma yang Memberi Mandat Hak Prerogatif tersebut

ARTIKEL HUKUM
Apa yang dimaksud dengan “hak prerogatif”?
Mungkin tepat sekiranya dijawab dengan sebentuk ilustrasi kasus, perihal aplikasi “hak prerogatif”. Pada tanggal 15 Juni 2016 dalam amar putusannya perkara pengujian undang-undang (judicial review) register Nomor 107/PUU-XIII/2015, Mahkamah Konstitusi RI telah memutuskan bahwa grasi dapat diajukan terpidana tanpa batasan waktu kadaluarsa.
Kemendesakan apa yang menjadikan Mahkamah Konstitusi tetap membatalkan ketentuan yang membatasi hak terpidana dalam mengajukan grasi, meski legal stansding Pemohon dinyatakan tidak terpenuhi?
Adapun yang menjadi objek pengujian ialah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, yang diajukan oleh seorang warga binaan lembaga pemasyarakatan bersama dua orang warga negara lainnya.
Adapun yang dinilai telah merugikan hak konstitusional Pemohon, ialah keberlakuan Pasal 7 Ayat (2) UU Grasi, yang mengatur:
Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Ketentuan diatas dinilai telah mengeliminir hak konstitusional Pemohon dengan membatasi akses mengajukan grasi, sehingga mencederai prinsip persamaan kedudukan di hadapan hukum (equality before the law).
Sementara itu yang dimaksud dengan “grasi” sebagaimana disebutkan oleh Pasal 1 UU Grasi, ialah: “pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.”
Pemohon menyebutkan, bahwa sesungguhnya grasi bukanlah sebuah upaya hukum, karena yang disebut dengan upaya hukum hanya terkait pengajuan permohonan kepada Lembaga Yudikatif seperti pengajuan banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Grasi lebih kepada upaya non-hukum yang didasarkan pada hak prerogatif seorang Kepala Negara maupun Kepala Pemerintahan (Lembaga Eksekutif), sehingga dikabulkan atau tidaknya permohonan grasi dilandasi oleh pertimbangan subjektif diri sang pemangku jabatan Presiden semata.
Menjadi menarik ketika Pemohon mendalilkan, pembatasan grasi maksimum paling lambat diajukan setahun dalam pengaturan oleh undang-undang yang stratanya dibawah konstitusi adalah jelas dan nyata bentuk pengurangan bahkan peniadaan—jika tak dapat disebut sebagai pengingkaran—terhadap kewenangan Presiden yang diberikan langsung oleh amanah UUD RI 1945.
Atas permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa para Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang menganggap hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran wajar dapat dipastikan terjadi kerugian oleh berlakunya Pasal 7 ayat (2) UU 5/2010. Menurut para Pemohon, para Pemohon memiliki kepentingan konstitusional agar norma-norma a quo yang diuji memberikan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil kepada setiap warga negara;
“Bahwa menurut Pemohon, karena UU 5/2010 sama sekali tidak memuat aturan peralihan, bagaimana dengan kasus-kasus yang diajukan sebelum 2010 dan hanya sekadar membatasi pengajuan grasi yang diajukan berdasarkan berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Grasi apakah akan diproses sampai dengan akhir 2012, padahal terdapat ketentuan asas hukum Pasal 1 ayat (2) KUHP yang mengatur apabila terjadi pergantian peraturan maka dipakai aturan yang menguntungkan. Oleh karena itu, untuk menghindari tabrakan dengan Pasal 1 ayat (2) KUHP maka sudah semestinya Pasal 7 ayat (2) UU 5/2010 dicabut dan tidak berlaku;
“Bahwa menurut Pemohon, grasi telah dijamin oleh konstitusi sehingga tidak dapat direduksi atau dibatasi oleh undang-undang dibawahnya dalam hal ini Pasal 7 ayat (2) UU 5/2010. Grasi tidak termasuk open legal policy yang diserahkan kepada pembuat undang-undang untuk mengatur lebih lanjut dengan cara membatasi.
“Menimbang, bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
“Bahwa Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 7 ayat (2) UU 5/2010. Alasan Pemohon dirugikan adalah bahwa Pemohon perseorangan WNI sebagai Terpidana dalam kasus pembunuhan berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor ... tanggal ... yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
“Pemohon tidak memiliki upaya untuk mendapatkan keringanan hukuman atau penghapusan pidananya karena adanya pembatasan jangka waktu pengajuan grasi dalam Pasal 7 ayat (2) UU 5/2010 sebab Putusan resmi Mahkamah Agung yang mempunyai kekuatan hukum tetap tersebut diterima Pemohon setelah melewati waktu satu tahun sehingga Pemohon tidak lagi mendapatkan kesempatan untuk mengajukan grasi.
“Terhadap argumentasi Pemohon tersebut, Mahkamah tidak sependapat sebab putusan dinyatakan telah mempunyai kekuatan hukum tetap terhitung sejak putusan tersebut diberitahukan kepada yang bersangkutan, sehingga dalam konteks permohonan a quo jangka waktu 1 (satu) tahun dimaksud dihitung sejak putusan tersebut diberitahukan kepada yang bersangkutan;
“Bahwa oleh karena hak untuk memberikan grasi adalah Hak Konstitusional Presiden yang secara umum disebut sebagai hak prerogatif yang atas kebaikan hatinya memberikan pengampunan kepada warganya maka tergantung pada Presiden untuk mengabulkan atau tidak mengabulkan.
“Grasi ini memang sangat penting tidak hanya untuk kepentingan terpidana, juga bisa jadi untuk kepentingan negara terhadap besarnya beban politik yang ditanggung atas penghukuman yang diberikan kepada terpidana yang mungkin ada kaitannya dengan tekanan rezim kekuasaan sehingga akan melepaskan dari beban politik sedemikian rupa.
“Kepentingan lainnya adalah bahwa terpidana tersebut sangat dibutuhkan oleh negara, baik atas keahliannya maupun perannya dalam mengangkat nama baik bangsa di luar negeri atas prestasi tertentu. Demikian pula dengan adanya rencana kebijakan Presiden antara lain seperti untuk mengurangi kelebihan kapasitas lembaga permasyarakatan yang luar biasa sehingga sudah tidak manusiawi lagi bagi narapidana.
“Demikian pula grasi dapat dipergunakan sebagai jalan keluar terhadap seorang narapidana yang sangat memilukan keadaannya yang mengalami sakit keras, sakit tua, penyakit menular yang tidak mungkin dapat bertahan hidup dalam lembaga permasyarakatan, terpidana menjadi gila, sehingga secara akal yang sehat dan atas dasar pertimbangan perikemanusiaan haruslah diberi kesempatan secara hukum dalam hal ini melalui pemberian grasi.
“Namun demikian, untuk mencegah digunakannya hak mengajukan grasi oleh terpidana atau keluarganya, khususnya terpidana mati, untuk menunda eksekusi atau pelaksanaan putusan, seharusnya jaksa sebagai eksekutor tidak harus terikat pada tidak adanya jangka waktu tersebut apabila nyata-nyata terpidana atau keluarganya tidak menggunakan hak atau kesempatan untuk mengajukan permohonan grasi, atau setelah jaksa selaku eksekutor demi kepentingan kemanusiaan telah menanyakan kepada terpidana apakah terpidana atau keluarganya akan menggunakan haknya mengajukan permohonan grasi. Menurut Mahkamah, tindakan demikian secara doktriner tetap dibenarkan meskipun ketentuan demikian tidak diatur secara eksplisit dalam undang-undang a quo, sehingga demi kepastian hukum tidak ada larangan bagi jaksa selaku eksekutor untuk menanyakan kepada terpidana atau keluarganya perihal akan digunakan atau tidaknya hak untuk mengajukan grasi tersebut.
“Menimbang, berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat bahwa permohonan Pemohon beralasan menurut hukum.
AMAR PUTUSAN
Mengadili.
Menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2. Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5150) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
3. Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5150) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
4. memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.”
Meski Mahkamah Konstitusi menyatakan dalam amar putusannya “mengabulkan seluruhnya”, sebenarnya tak semua petitum Pemohon dikabulkan; karena dalam permohonannya pihak Pemohon meminta satu butir petitum berikut untuk diputuskan, yakni:
“Menyatakan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi berlaku kembali dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, sehingga Pasal 7 ayat (2) berbunyi, ‘Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dibatasi oleh tenggang waktu tertentu.”
Menjadi mengherankan ketika Mahkamah Konstitusi tidak mengabulkan butir petitum yang dimohonan Pemohon diatas. Mengapa hal dapat menjadi berbahaya bahkan menimbulkan efek “bumerang” dikemudian hari?
Dari amar putusan MK RI diatas, tersirat bahwa dengan dibatalkannya suatu norma pasal undang-undang, artinya norma pasal pada undang-undang yang sebelumnya telah dicabut/direvisi, kembali aktif (efektifitas) dan memiliki daya keberlakuan (validity).
Hal demikian membawa berbahaya laten, oleh sebab tampak kontradiksinya terhadap putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya yang menganulir pasal mengenai kadaluarsa hak menggugat upah seorang pekerja/buruh sebagaimana diatur UU Ketenagakerjaan.
Dengan dianulirnya pasal dalam UU Ketenagakerjaan, berarti pasal-pasal normatif dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata kembali aktif dan berlalu, yang mana tetap saja menyatakan hak atas upah gugur / kadaluarsa jika tak dituntut dalam tempo satu atau dua tahun.
Dari cerminan kejanggalan sistem hukum di Indonesia ini, sekadar memberi cerminan belum lengkap dan belum sempurnanya hukum di Republik Indonesia, yang mensyaratkan pembangunan berkelanjutan dibidang hukum terapan yang belum terselesaikan hingga saat ini. Masih jauh dari kata “sempurna”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.