Beban Pembuktian Terbalik bagi Pihak dalam Posisi Dominan

LEGAL OPINION
Question: Apakah tidak ada kalangan hukum yang merasa aneh, bila seorang karyawan yang menggugat pengusaha, lantas hanya karena karyawan yang berposisi sebagai penggugat, maka karyawan bersangkutan yang diwajibkan membuktikan semuanya.
Logikanya, perusahaan selama ini mana mau mengeluarkan terlebih memberikan bukti bagi pekerjanya yang mana bisa menjadi alat bukti bagi pekerja bila sewaktu-waktu pengusaha bersikap buruk terhadap pegawainya.
Perusahaan ada dipihak yang kuat, masa pekerja yang berada di pihak lemah dipaksa untuk membuktian. Vonis mati ini namanya, bila hukum tidak memihak pihak yang lemah dengan beban pembuktian terbalik bagi pihak yang memiliki posisi kuat.
Perjanjian kerja saya tak diberikan karena perusahaan hanya membuat satu rangkap untuk dipegang oleh pengusaha, slip gaji pun tak dapat, bukti absensi apalagi. Praktis pekerja sama sekali tak punya bukti, sementara disisi lain pihak pengusaha memiliki segala kekuatan. Kontras sekali. Jika pengusaha tak memiliki itikad baik, matilah pekerja.
Brief Answer: Itulah salah satu kendala yang kerap dijumpai dalam praktik peradilan perdata di Indonesia. Hal serupa kita dapati dalam hubungan antara nasabah dengan kreditor perbankan, pasien dengan rumah sakit, dan hubungan hukum yang tidak seimbang lainnya. Namun terdapat segelintir (minoritas) putusan hakim maupun Mahkamah Agung yang mulai merasionaliasi beban pembuktian sebagai suatu best practice.
Salah satunya dalam sebuah putusan Pengadilan Hubungan Industrial Pekanbaru, Majelis Hakim membuat pertimbangan hukum elaboratif sebagai berikut: “Majelis berpendapat bahwa Pembuktian dibebankan terhadap Pihak yang paling mungkin untuk membuktikan atau terhadap Pihak yang paling sedikit dirugikan ketika upaya pembuktian dilakukan.”
PEMBAHASAN:
Dalam putusan Pengadilan Hubungan Industrial Pekanbaru sengketa pemutusan hubungan kerja register perkara Nomor 24/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Pbr tanggal 1 Juni 2016 yang diputus oleh Majelis Hakim AMIN ISMANTO, M. FAUZI, serta ELIAS HAMONANGAN, merupakan salah satu putusan PHI terbaik sepanjang sejarah tahun 2016, yakni dalam memeriksa dan memutus sengketa antara:
- RESY ANRIANI NAPITUPULU, sebagai Penggugat; melawan
- UD MILEK JAYA, selaku Tergugat.
Putusan ini menarik, karena pertimbangan hukum Majelis Hakim PHI yang demikian elaboratif dan penuh kebijaksanaan mendalam—bahkan dalam penilaian SHIETRA & PARTNERS, jauh lebih mawas diri serta rasional ketimbang berbagai putusan Mahkamah Agung yang sumir.
Adapun duduk perkara, Penggugat telah bekerja pada Tergugat sejak tanggal 03 Juli 2012 sampai dengan 16 Januari 2016, dengan jabatan terakhir sebagai Administrator, sebelum kemudian dipecat tanpa alasan yang jelas.
Sementara itu pihak Tergugat mendalilkan, bahwa Penggugat dalam gugatannya hanya melampirkan Anjuran Disnaker, tanpa risalah perundingan bipartit maupun tripartit. Terhadap gugatan Penggugat maupun terhadap berbagai bantahan Tergugat, Majelis Hakim membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap dalil tersebut diatas Majelis mempertimbangkan bahwa Gugatan dalam Perselisihan Hubungan Industril harus melalui Mekanisme Perundingan Tripartit sebagai syarat Materil dan Adanya Anjuran atau Risalah Penyelesaian sebagai syarat Formil, untuk mana terhadap Syarat Materil dan Formil tersebut Majelis Hakim mempertimbangkan sebagai berikut;
- Bahwa Pasal 83 ayat (1) UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang menyatakan “Pengajuan Gugatan yang tidak dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi, maka Hakim Pengadilan Hubungan Industrial wajib mengembalikan gugatan kepada Penggugat” memiliki makna bahwa Tahap Akhir Perundingan sebagai Upaya Penyelesaian Perselisihan HARUS melalui tahapan Perundingan Tripartit yakni dengan melibatkan Mediator atau Konsiliator, sebelum Para Pihak mengajukan Gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial, untuk mana Risalah Penyelesaian dari Mediator dan Konsiliator dapat berfungsi sekaligus Bukti telah dilaksanakannya Tahapan atau Proses Mediasi/ Konsiliasi tersebut;
- Bahwa berdasarkan Pasal 13 ayat (2) dan Pasal 23 ayat (2) UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Mediator atau Konsiliator tidak mengeluarkan Risalah Penyelesaian, melainkan Anjuran, sehingga dengan demikian Anjuran juga dapat berfungsi sebagai bukti bahwa tahapan Perundingan Tripartit melalui Mediasi atau Konsiliasi telah dipenuhi;
- Bahwa berdasarkan Pasal 83 ayat (1) dihubungkan dengan Pasal 13 ayat (2), Pasal 23 ayat (2) UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial tersebut diatas, Risalah Penyelesaian dan Anjuran memiliki Kesamaan Fungsi yakni sama-sama berfungsi sebagai Bukti bahwa Tahapan Perundingan Tripartit melalui Mediasi atau Konsiliasi telah dipenuhi;
“Bahwa ditinjau dari aspek Materi dan Kekuatan Administrasi Kenegaraan,
a. Uraian Materi Permasalahan yang terdapat dalam Anjuran merupakan uraian yang sangat detail/rinci dibandingkan dengan Uraian Materi Permasalahan yang terdapat dalam Risalah Penyelesaian;
b. Anjuran dan Risalah Penyelesaian – sebagaimana bentuk aslinya dalam Format C-5 dan C-6 yang tertuang dalam SK Dirjen. Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial ketenagakerjaan Nomor KEP-96/PHIJSK/2006 -, menunjukkan bahwa Anjuran merupakan Produk Administrasi Negara yang ditandatangani oleh Kepala Dinas Ketenagakerjaan setempat disertai dengan Nomor Surat diatas Kertas yang memiliki Kepala Surat pada Dinas tersebut, sedangkan Risalah Penyelesaian merupakan catatan seorang Mediator atau Konsiliator tanpa Kepala Surat dan Tanpa Nomor serta tandatangan Kepala Dinas yang menangani Ketenagakerjaan setempat, untuk mana dari aspek ini Anjuran lebih memiliki Bobot Materi dan Bobot Keabsahan sebagai Produk Administrasi Negara/Daerah;
c. Bahwa Tujuan Hukum adalah adanya Keadilan, Kepastian, dan Kemanfaatan, untuk mana dengan melampirkan Anjuran dalam Gugatannya, sebagaimana juga diberlakukan di Pengadilan Hubungan Industrial lainnya di Indonesia, Para Pencari Keadilan di Pengadilan Hubungan Industrial tidak memerlukan waktu untuk berulang-ulang mendatangi Mediator atau Konsiliator, sehingga Efektifitas, Kecepatan dan Efisiensi Penyelesaian Perselisihan melalui Proses Pengadilan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 103 UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dan sebagaimana Tujuan Hukum tersebut, telah lebih terakomodir;
d. Bahwa Menurut Pendapat Prof. Dr. Andi Hamzah yang mengatakan dalam hal Ketentuan Materil telah terpenuhi maka Ketentuan Formil dapat diabaikan, Majelis berpendapat bahwa dalam hal Ketentuan Materil yang merupakan syarat Utama Lengkapnya Gugatan yakni Perundingan Tripartit telah terpenuhi, maka Persyaratan Administratif dalam Perselisihan Hubungan Industrial sebagai bukti telah terpenuhinya syarat Materil tersebut, dapat dalam bentuk Anjuran atau Risalah Penyelesaian;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas, Majelis menyimpulkan bahwa Gugatan Penggugat yang melampirkan Anjuran Tertulis menunjukkan bahwa para pihak telah memenuhi Seluruh Mekanisme Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang diisyaratkan oleh Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, yakni TAHAPAN PERUNDINGAN BIPARTIT dan TRIPARTIT melalui Mediasi atau Konsiliasi, dimana Anjuran Tertulis sekaligus juga berfungsi sebagai Bukti telah dilakukannya Upaya Damai melalui Tahapan Perundingan, yang menyangkut Uraian Materi Perkara yang lebih menyeluruh, dan yang Memiliki Kekuatan Administrasi Negara / Daerah serta Memiliki Rasa Keadilan, Kepastian dan Kemanfaatan bagi Para Pihak, sehingga terhadap Pihak yang menolak Anjuran dapat langsung dan segera melanjutkan Upaya Penyelesaian Perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial;
“... Pihak–pihak dalam Pengadilan Hubungan Industrial utamanya Pekerja/Buruh pada umumnya merupakan Pihak yang Memiliki Keterbatasan Hukum, Pendidikan dan Pengetahuan, untuk mana atas keterbatasan tersebut, Pengadilan harus dapat mengakomodir ...;”
“Menimbang, bahwa dalam Pemutusan Hubungan Kerja, terdapat hak hak pekerja / buruh yang nilai besarnya hak-hak tersebut sesuai dengan alasan alasan mengapa Pemutusan Hubungan Kerja tersebut terjadi, namun demikian Komponen hak-hak pekerja / Buruh dalam Pemutusan Hubungan Kerja adalah Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Uang Penggantian Hak, sebagaimana diatur dalam Pasal 156 ayat (1), (2), (3), (4) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
“Menimbang, bahwa dengan Pemberian Uang Terimakasih atau Uang Pisah dari Tergugat kepada Penggugat, tidaklah dapat mengenyampingkan Hak-hak Penggugat lainnya yang mungkin timbul dalam Pemutusan Hubungan Kerja;
“Menimbang, bahwa, gugatan Penggugat disangkal kebenarannya oleh Tergugat maka menurut ketentuan pasal 283 RBg Jo. Pasal 1865 KUH Perdata, Penggugat sebagai pihak yang mendalilkan dibebani kewajiban untuk membuktikan dalil-dalil gugatannya sedangkan pihak Tergugat dapat mengajukan bukti lawan (legen bewijs), dihubungkan dengan asas Eines Manres Rede Ist Keines Mannes atau Azas Audi et alteram Partem, dan pendapat Prof DR. Achmad Ali, SH, MH dan Dr. Wiwie Heryani, SH, MH dalam Bukunya “ASAS ASAS HUKUM PEMBUKTIAN PERDATA”, yang mengatakan bahwa “Penggugat tidak diwajibkan membuktikan Kebenaran sangkalan Tergugat, demikian pula sebaliknya, Tergugat tidak diwajibkan untuk membuktikan kebenaran Peristiwa yang diajukan oleh Penggugat”, maka dengan demikian Azas dan Pendapat tersebut “menempatkan kedua pihak memiliki kedudukan prosesuil yang sama di hadapan Pengadilan” dengan demikian berdasarkan Ketentuan, Asas dan Pendapat para Ahli tersebut diatas, maka pembagian beban pembuktian harus dilakukan secara Patut;
“Menimbang, bahwa terhadap Kepatutan Pembebanan Pembuktian tersebut, dengan mengutip pendapat Paton yang mengatakan “Should not be forced on a person without very strong reasons” yang berarti bahwa Pembebanan pembuktian tidak dapat dilakukan kepada seseorang tanpa alasan yang sangat kuat, maka Majelis berpendapat bahwa Pembuktian dibebankan terhadap Pihak yang paling mungkin untuk membuktikan atau terhadap Pihak yang paling sedikit dirugikan ketika upaya pembuktian dilakukan;
“Bahwa Tergugat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Penggugat tgl 16 Januari 2016 tanpa melalui Proses Pemberian Surat Peringatan dan telah memberikan Uang Pisah sebesar Rp. 4.000.000,-, sedangkan Upah Penggugat yang Terakhir kalinya dibayar untuk Periode Desember 2015 (Bukti P-1);
“Menimbang, bahwa berdasarkan pembebanan Pembuktian, sebagaimana telah diuraikan diatas, maka Majelis Hakim berpendapat terhadap Pembuktian sejak kapan adanya Hubungan Kerja antara Penggugat dan Tergugat, dibebankan Pembuktiannya kepada Tergugat sebagai Pihak yang mengelola dan menguasai kearsipan administrasi sehingga lebih mudah untuk membuktikan hal tersebut;
“Menimbang, bahwa Tergugat mengakui adanya Hubungan Kerja antara Penggugat dengan Tergugat sejak Tahun 2014, namun hal tersebut tidak dapat dibuktikannya, maka dengan demikian Pengakuan Penggugat yang mengatakan adanya Hubungan Kerja sejak Tahun 2012, Tidak Terbantahkan;
“Menimbang, bahwa Pasal 50 dan 56 ayat (1) dan (2) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menegaskan bahwa hanya ada 2 (dua) Sifat Hubungan Kerja, yakni Hubungan Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Hubungan Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) yang lazim disebut Permanen;
“Menimbang, bahwa Pasal 57 ayat (2) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengisyaratkan bahwa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang tidak tertulis dinyatakan sebagai Perjanjian Kerja untuk Waktu Tidak Tertentu, dengan demikian bila dihubungkan dengan Pasal 53 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka Tidak adanya Perjanjian Kerja antara Penggugat dengan Tergugat merupakan Kelalaian dan Tanggungjawab dari Tergugat, oleh karena itu Majelis Hakim berpendapat bahwa Hubungan Kerja antara Penggugat dan Tergugat dinyatakan sebagai Hubungan Kerja dengan sifat Perjanjian Kerja untuk Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) atau Permanen;
“Menimbang, bahwa Ketentuan Pasal 151 ayat (1), (2) dan (3) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menegaskan bahwa PHK merupakan Langkah Terpaksa yang Terakhir, setelah sebelum dilakukan – terhadapnya harus dilakukan Upaya Pencegahan, Upaya Perundingan dan Upaya Permohonan Legalisasi atas Rencana PHK tersebut;
“Menimbang, bahwa Tergugat tidak pernah melaksanakan Upaya Pencegahan, Perundingan dan Permohonan Legalisasi atas Rencana PHK tersebut, dihubungkan dengan Ketentuan Pasal 161 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengisyaratkan agar sebelum melakukan PHK Tergugat melakukan Upaya Pembinaan terhadap Pekerja/Buruh dalam hal ini Penggugat, maka berdasarkan Ketentuan Pasal 155 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan Tergugat terhadap Penggugat, Batal demi Hukum;
“Menimbang, bahwa dengan Batalnya Pemutusan Hubungan Kerja sebagaimana dimaksud dalam pertimbangan diatas, maka Hubungan Kerja antara Penggugat dan Tergugat berikut Upah Penggugat harus tetap berjalan sebagaimana mestinya, sebagaimana diisyaratkan dalam Pasal 155 ayat (2) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo Pasal (2) PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan jo. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 37/PUU-IX/2011 tanggal 19 September 2012, namun karena Penggugat meminta agar Hubungan Kerja diakhiri melalui Perkara aquo, sebagaimana dimaksud dalam Petitum Butir 2 gugatannya, Majelis berpendapat bahwa Hubungan Kerja antara Penggugat dan Tergugat dinyatakan Putus, sejak Putusan ini dibacakan, untuk mana Petitum Butir 2 Gugatan Penggugat, Dikabulkan;
“Menimbang, bahwa dengan Putusnya Hubungan Kerja antara Penggugat dan Tergugat sejak Putusan ini dibacakan yakni 1 Juni 2016, maka hak-hak Penggugat dalam Pemutusan Hubungan Kerja yang diuraikan dalam Petitum Gugatan Penggugat Butir 3 dan 4, adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 164 ayat (3) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yakni Uang Pesangon sebesar 2 (dua) kali Ketentuan Pasal 156 ayat (2), Uang Penghargaan Masa Kerja sebesar 1 (satu) kali Ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan Uang Penggantian Hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan terhadap Upah Penggugat Harus dibayarkan oleh Tergugat dari Periode Januari s/d Mei 2016, sedangkan Uang Pisah yang telah diterima oleh Penggugat dari Tergugat sebagai Kompensasi PHK akan diperhitungkan dalam Hak-hak Penggugat tersebut;
M E N G A D I L I :
DALAM POKOK PERKARA
1. Mengabulkan Gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan oleh Tergugat terhadap Penggugat, Batal Demi Hukum;
3. Menyatakan Hubungan Kerja antara Penggugat dan Tergugat PUTUS sejak Putusan ini dibacakan;
4. Menghukum Tergugat untuk membayar secara Tunai dan Sekaligus hak hak Penggugat akibat Pemutusan Hubungan Kerja sebesar Rp. 31.300.000,- (Tiga Puluh Satu Juta Tiga Ratus Ribu Rupiah);
5. Menolak Gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.