Aspek Formal dan Substansi Mogok Kerja yang Sah

LEGAL OPINION
Question: Setelah rencana aksi mogok kami persiapkan dengan baik sesuai tata cara dan prosedur yang diatur undang-undang, adakah lagi yang harus kami antisipasi agar aksi mogok kerja kami tidak berpotensi menjadi bumerang bagi pihak pekerja?
Brief Answer: Mogok kerja yang sah memiliki dua syarat utama yang harus diperhatikan dengan ketat: aspek formal dan aspek subtansinya. Aspek formal rencana mogok kerja artinya prosedur rencana mogok mengikuti rambu-rambu yang telah diatur kaedah hukum, sementara aspek substansi artinya alasan atau latar belakang mogok kerja memang dapat dibenarkan oleh hukum.
PEMBAHASAN:
Untuk lebih jelasnya dapat SHIETRA & PARTNERS ilustrasikan kasus mogok kerja yang dinyatakan pengadilan sebagai tidak sah akibat tidak terpenuhinya aspek substansial dari suatu mogok kerja, sebagaimana tertuang dalam putusan Pengadilan Hubungan Industrial Bandung, register perkara perselisihan hubungan industrial Nomor 231/G/2015/PHI/PN.BDG tanggal 21 Maret 2016, antara:
- PT. VOKSEL ELECTRIC, Tbk, sebagai Penggugat; melawan
- 9 (sembilan) orang pekerja, selaku Para Tergugat.
Penggugat melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada Para Tergugat dengan alasan Para Tergugat telah melakukan mangkir atau talah tidak masuk kerja selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan yang sah setidak-tidaknya sejak tanggal 22 Juni 2015 smapai dengan tanggal 23 Juli 2015.
Penggugat telah melakukan pemanggilan kepada Para Tergugat secara tertulis untuk bekerja kembali di perusahaan sebanyak 2 (dua) kali tetapi Penggugat tidak mengindahkan dan tidak memenuhi panggilan. Para Tergugat dengan demikian diputus hubungan kerjanya dengan alasan dikualifikasikan mengundurkan diri, sedangkan Para Tergugat menolaknya.
Sementara itu pihak Tergugat dalam bantahannya mendalilkan, tidak benar Para Tergugat telah melakukan mangkir kerja, sebab pada saat itu Para Tergugat sedang melakukan aksi mogok kerja secara sah sesuai ketentuan Pasal 137 dan Pasal 140 UU No. 13/2003 ttg Ketenagakerjaan. Aksi mogok kerja dilakukan Para Tergugat sebagai akibat dari gagalnya perundingan.
Menjadi masalah utama disini, apa yang menjadi kriteria “gagalnya perundingan”? Terhadap gugatan Penggugat maupun gugatan balik (rekonvensi) dari pihak Tergugat, Majelis Hakim membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan dalam undang-undang ketenagakerjaan yang sekarang berlaku, aksi mogok kerja dapat dilakukan serikat pekerja/buruh setelah gagalnya perundingan (deadlock) di antara kedua belah pihak yang berselisih dan dinyatakan dalam sebuah notulensi perundingan.
“Menimbang, bahwa selain itu aksi mogok kerja dapat dilakukan setelah sebelumnya pengurus serikat pekerja/buruh dan atau penanghung aksi mogok kerja mengajukan pemberitahuan tentang rencana aksi mogok kerja tersebut kepada perusahaan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum hari pelaksanaan.
“Menimbang, bahwa tidak dipenuhinya kedua aspek/unsur dalam aksi mogok kerja akan berakibat pada keabsahan dan legalitas aksi mogok tersebut. Artinya, bahwa aksi mogok kerja yang dilakukan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu minimal 7 (tujuh) hari sebelumnya dan atau dilakukan tanpa adanya terlebih dahulu gagalnya perundingan (deadlock), maka aksi mogok kerja tersebut dapat dikategorikan sebagai aksi mogok kerja tidak sah (illegal).
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta yang terungkap dan bukti surat di persidangan serta keterangan saksi disumpah SURATMAN dan SUPRIYANTO, ternyata aksi mogok kerja yang dilakukan Para Tergugat, walaupun telah dilakukan pemberitahuian sebelumnya kepada Penggugat pada tanggal 12 Juni 2015 (Bukti T.27), yaitu 11 (sebelas) hari sebelum hari pelaksanaan mogok, tetapi ternyata dilakukan tanpa ada bukti notulensi yang menyatakan telah ada gagalnya perundingan sebelumnya, sebagaimana yang diatur dan ditentukan dalam Pasal 137 dan Penjelasannya dalam UU No. 13/2003 dan Kepmenakertrans RI No. 232/MEN/2004, sehingga dengan demikian aksi mogok kerja yang dilakukan Para Tergugat terhitung sejak tanggal 23 Juni 2015 s.d 30 Juni 2015 menjadi aksi mogok kerja tidak sah atau illegal.
“Menimbang, bahkan saksi disumpah SURATMAN, menyatakan bahwa pihak Disnaker terkait selaku mediator dan instansi yang menangani dan berwenang dalam pengawasan dan urusan ketenagakerjaan di pemerintahan instansi terkait, pernah memberikan saran kepada Para Tergugat untuk tidak melakukan atau meneruskan aksi mogoknya, karena berpotensi dapat menjadi aksi mogok tidak sah/illegal.
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta yang terungkap dan bukti surat di persidangan serta keterangan saksi disumpah, Penggugat telah melakukan pemanggilan 2 (dua) kali dalam waktu seminggu kepada Para Tergugat secara tertulis untuk bekerja kembali di perusahaan Penggugat;
“Menimbang, bahwa perbuatan Para Tergugat yang tidak memenuhi panggilan Penggugat untuk bekerja kembali di perusahaan Penggugat selama 2 (dua) kali tanpa keterangan yang jelas, berdasarkan ketentuan perundang-undangan, maka Para Tergugat dapat dikualifikasikan telah mengundurkan diri sebagaimana telah diatur dalam Pasal 168 ayat (1) dan (2) UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan Kepemenakertrans RI No. 232/MEN/2004, yang menyatakan bahwa setiap pekerja/karyawan yang mangkir selama 5 (lima) hari atau lebih secara berturut-turut dianggap/dikualifikasikan mengundurkan diri karena melakukan mogok yang tidak sah dan telah dipanggil 2 (dua) kali secara tertulis dan secara patut oeh perusahaan, dalam waktu seminggu dengan tenggang waktu minimal antara panggilan ke-1 dengan panggilan berikutnya selama 3 (tiga) hari.
“Menimbang, bahwa dengan demikian berdasarkan fakta dan bukti surat yang terungkap di persidangan, tindakan Penggugat yang telah melakukan PHK terhadap Para Tergugat dengan alasan mangkir selama 5 (lima) hari atau lebih secara berturut-turut dan dianggap/dikualifikasikan mengundurkan diri sesuai Pasal 168 ayat (1) dan (2) UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan Kepemenakertrans RI No. 232/MEN/2004, telah terbukti dan beralasan secara hukum.
“Menimbang, bahwa dengan demikian keputusan Penggugat yang menyatakan melakukan PHK kepada Para Tergugat karena Para Tergugat dianggap atau dikualifikasikan telah mengundurkan diri sesuai Pasal 168 ayat (1) UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan Kepemenakertrans RI No. 232/MEN/2004, cukup beralasan secara hukum dan dapat dipertimbangkan terhitung sejak tanggal 1 Septemberi 2015.
“Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan perundang-undangan Pasal 168 ayat (1) dan (2) UU No. 13/2003 ttg Ketenaakerjaan, maka kepada Penggugat selain diberikan uang penggantian hak sebesar 15 % dari 1 X (uang pesangon dan uang pengharaan masa kerja) karena tugas dan fungsi Para Penggugat tidak mewakili kepentingan perusahaan secara langsung, maka kepada Para Penggugat diberikan pula uang pisah serta hak-hak Penggugat lainnya yang belum diberikan sesuai dengan yang diatur dalam perundang undangan.
“Menimbang, bahwa untuk Para Tergugat yang hubungan kerjanya masih terikat berdasarkan PKWT, walaupun dalam PKB perusahaan tidak ada kewajiban bagi perusahaaan untuk memberikan uang penggantan hak maupun uang pisah, dengan berpedoman pada unsur pertimbangan keadilan dalam Pasal 100 UU No. 2/2004 ttg PPHI serta untuk mengapresiasi dan menghargai pengabdian Para Tergugat selama bekerja pada Penggugat, maka adalah adil dan layak kepada Para Tergugat untuk tetap diberikan uang kebijakan sebesar 1 (satu) x bulan upah terakhir Para Tergugat, yaitu 1 X Rp 3.110.000,00 (Tiga juta seratus sepupuh ribu rupiah), masing-masing untuk Tergugat ANDRI ANTO, ERI SANJAYA, GUNAWAN SUHARI, HASAN BASRI, HERIYANTO, MAHMUD, MUHAMMAD TALIM.dan SURYADI.
“Menimbang, bahwa atas terjadinya PHK, untuk Tergugat MUSLIM T. Yang masa kerjanya lebih dari 3 (tiga) tahun, yakni 23 tahun 1 bulan 21 hari, dinyatakan sebagai tenaga kerja tetap dan kepada Tergugat, selain uang penggantian hak, karena tugas dan fungsi Tergugat tidak mewakili kepentingan perusahaan secara langsung, maka kepada Tergugat diberikan pula uang pisah, yaitu uang pengantian hak sebesar 15% dari total uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja yang diterima sebesar Rp 9.307.500,00 dan uang pisah (sesuai Pasal 53 ayat (3) PKB perusahaan) 3 X bulan upah sebesar Rp 10.200.000,00, sehingga hak yang seluruhnya Tergugat MUSLIM T sebesar Rp 20.257.500,00.
“Menimbang, bahwa dalam fakta yang terungkap di persidangan dalam perkara a quo, sebagaimana yang diungkapkan sendiri oleh Para Tergugat dan Pengguigat, bahwa kedua belah pihak pada tanggal 4 Juni 2015 bersepakat untuk melanjutkan perundinan di tingkat mediasi di Disnakertrans Kab. Bogor (Bukti T.20 s.d. 26). Artinya, Penggugat masih tetap membuka diri dan bersedia untuk melakukan perundingan dengan Tergugat. Dengan demikian perundingan dalam penyelesaian perkara a quo pada waktu itu tidak buntu dan masih terus berlanjut ke dalam proses berikutnya sebagaimana yang telah ditentukan dalam proses perundang-undangan dan Penggugat masih tetap bersedia melanjutkan perundingan. Sehingga klaim Para Tergugat bahwa perundinan telah buntu (deadlock) dan perundingan telah gagal tidak terbukti.
“Menimbang, bahwa tindakan Para Tergugat untuk tetap melaksanakan aksi mogok kerja pada tanggal 23 Juni 2015 melalui surat No. 22/PUK.SPMM-VE/FSPASI/VI/2015 tanggal 12 Juni 2015 menjadi tindakan yang cacat secara hokum dan menjadikan aksi mogok kerja tersebut menjadi aksi mogok kerja yang tidak sah dan illegal. Adanya pemberitahuan tersebut kepada penggugat dan intansi-intansi lain yang walaupun dilakukan 7 (tujuh) hari sebelum hari aksi mogok itu dilaksanakan tetap tidak dapat melegalkan atau menjadikan aksi mogok kerja kerja tersebut menjadi sah. Sebab, secara substansif alasan hukum aksi mogok itu sendiri tidak terpenuhi.
“Menimbang, bahwa dengan demikian berdasarkan fakta dan bukti surat yang terungkap di persidangan, tindakan Penggugat yang telah melakukan PHK terhadap Para Tergugat dengan alasan mangkir selama 5 (lima) hari atau lebih secara berturut-turut dan dikualifikasikan mengundurkan diri sesuai Pasal 168 ayat (1) dan (2) UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan Kepemenakertrans RI No. 232/MEN/2004, cukup terbukti dan dapat dipertimbangkan.
MENGADILI
DALAM KONPENSI
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian.
2. Menyatakan putus hubungan kerja antara Penggugat dengan Para Tergugat dengan alasan dikualifikasikan mengundurkan diri terhitung sejak tanggal 1 September 2015.
3. Memerintahkan kepada Penggugat untuk membayar Para Tergugat berupa uang kebijakan sebesar 1 (satu) x bulan upah terakhir sebesar Rp 3.110.000,00 (Tiga juta seratus sepupuh ribu rupiah), masing-masing kepada Para Tergugat ANDRI ANTO, ERI SANJAYA, GUNAWAN SUHARI, HASAN BASRI, HERIYANTO, MAHMUD, MUHAMMAD TALIM.dan SURYADI.
4. Memerintahkan kepada Penggugat untuk membayar hak Tergugat MUSLIM T berupa uang pengantian hak sebesar 15% dari total uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja dan uang pisah yang seluruhnya berjumlah sebesar Rp 20.257.500,00 (Dua puluh juta dua ratus lima puluh tujuh ribu lima ratus rupiah).
5. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.
DALAM REKONPENSI
- Mengabulkan gugatan untuk Para Pengguga dr/Tergugat dk untuk sebagian.
- Memerintahkan kepada Penggugat dk/Tergugat dr untuk membayar upah Para Penggugat dr.Para Tergugat dk yang belum dibayar terhitung sejak Juni 2015 s.d. Agusutus 2015, yaitu 3 X Rp 3.110.000,00 sebesar Rp 9.330.000,00 (Sembilan juta tiga ratus tiga puluh ribu rupiah) masing-masing untuk Para Tergugat: ANDRI ANTO, ERI SANJAYA, GUNAWAN SUHARI, HASAN BASRI, HERIYANTO, MAHMUD, MUHAMMAD TALIM.dan SURYADI, serta 3 X Rp 3.650.000,00 sebesar Rp 10.950.000,00 (Sepuluh juta sembilan ratus lima puluh ribu rupiah) untuk Tergugat MUSLIM T
- Menolak gugatan Para Penggugat dr/Para Tergugat dk untuk selain dan selebihnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.