Ambivalensi Pemecatan Direksi, telaah Kasus Karyawan yang Kemudian Ditunjuk / Diangkat RUPS sebagai Direktur Perseroan Terbatas

LEGAL OPINION
Question: Apa benar, meski telah bekerja hampir sepuluh tahun sebagai seorang direktur perseroan, seorang direksi tidak berhak menuntut pesangon ketika diberhentikan oleh perusahaan? Bagaimana sebelum menjabat sebagai direktur, dirinya memang telah bekerja sebagai karyawan perusahaan yang sama?
Brief Answer: SHIETRA & PARTNERS kerap menegaskan, Organ Perseoan bernama Direksi, maupun Dewan Komisaris, bukanlah buruh / pekerja yang berhak atas hak normatif Undang-Undang Ketenagakerjaan, sehingga oleh karenanya semata dirinya tunduk pada Undang-Undang Perseroan Terbatas, maka seorang Direksi atau Komisaris tidak berhak menuntut pesangon ketika diberhentikan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Kecuali, bila direksi yang akan diangkat ialah seorang pekerja memang telah tercantum sebagai karyawan perseroan, dan bila tiada perjanjian mengenai kelanjutan masa kerja dengan pihak perusahaan pasca diangkat sebagai direksi, maka diartikan sang karyawan berhak atas pesangon, karena konstruksi hukumnya ialah pemutusan hubungan kerja (PHK) sebelum kemudian yang bersangkutan diangkat sebagai direksi perseroan.
Pemilahan ini menjadi penting, guna mencegah penyelundupan hukum oleh perseroan dengan menghindari kompensasi pesangon akibat PHK dengan cara secara terselubung menghapus masa kerja seorang pekerja dengan mengangkatnya sebagai seorang direksi.
PEMBAHASAN:
Sebagai ilustrasi guna memberi gambaran utuh, tepat kiranya merujuk putusan Mahkamah Agung sengketa hubungan industrial register perkara Nomor 566 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 26 Juli 2016, antara:
- DAHLIANI, sebagai Pemohon Kasasi, semula Penggugat; melawan
- PT. NITORI FURNITURE INDONESIA, sebagai Termohon Kasasi, semula Penggugat.
Pada tahun 2011, Penggugat diangkat oleh Tergugat untuk menduduki jabatan direktur administrasi hingga kemudian diberhentikan oleh keputusan RUPS pada pertengahan tahun 2015. Fakta hukum pendampingnya, Penggugat sebelum diangkat sebagai Direksi, merupakan karyawan Tergugat sejak tahun 2005.
Pada tanggal 15 Juni 2015, Tergugat melaksanakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB), dan dalam salah satu agenda rapat tersebut adalah untuk melakukan pemberhentian terhadap Penggugat, dan terhadap pemberhentian tersebut, Penggugat menggugat diberikan kompensasi pesangon.
Penggugat mendalilkan, “pemutusan hubungan kerja” tersebut tidak diberitahu terlebih dahulu kepada dirinya, disamping Penggugat sama sekali tidak diberi kesempatan untuk membela diri. Namun fakta hukum berikutnya, pada saat Penggugat diangkat menjadi direktur pada tahun 2011 di perusahaan Tergugat, Penggugat telah diberikan sejumlah kompensasi sebesar Rp155.802.467,00 sebagai uang pesangon.
Penggugat dan Tergugat kemudian dipanggil oleh Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Medan untuk dipertemukan dan telah didengar keterangan masing-masing pihak, akan tetapi di dalam pertemuan tersebut tidak mendapatkan titik temu (jalan keluar), sehingga Mediator menerbitkan anjuran secara tertulis, berbunyi sebagai berikut:
1.1. PT Nitori Furniture Indonesia tidak diwajibkan membayar uang pesangon kepada Sdr. Dahliani, pertimbangan Mediator atas anjuran di atas sebagai berikut:
1.2. Bahwa hubungan kerja antara pekerja dengan Pengusaha diatur melalui perjanjian kerja sesuai Pasal 50 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003, dan putusnya hubungan kerja diatur melalui mekanisme atau prosedur PHK sesuai Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 sedangkan hubungan kerja Direksi dengan perusahaan adalah melalui pengangkatan anggota Direksi pada RUPS demikian halnya putusnya hubungan kerja atau pemberhentian anggota Direksi harus melalui RUPS sesuai Pasal 105 ayat (1) Undang Undang Nomor 40 Tahun 2007;
1.3. Bahwa Sdr. Dahliani sebagai anggota Direksi perusahaan dengan jabatan Direktur diangkat dan diberhentikan melalui RUPS bertanggung jawab atas pengurusan perusahaan dalam hal ini mediator berpendapat Sdr. Dahliani bukan pekerja/buruh sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka (3) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tetapi sebagai pengusaha sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 Angka (5) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003;
1.4. Bahwa oleh karena Sdr. Dahliani saat diberhentikan melalui RUPSLB pada tanggal 15 Juni 2015 bukan sebagai pekerja/buruh, maka tidak berhak atas uang pesangon;
1.5. Bahwa Sdr. Dahliani berhak atas uang pesangon saat statusnya sebagai pekerja/buruh yaitu sejak 5 Januari 1995 sampai dengan 7 Januari 2011;
1.6. Bahwa oleh karena hak atas uang pesangon telah dibayar sebagaimana diterangkan oleh kuasa pengusaha, maka Sdr. Dahliani tidak berhak lagi atas uang pesangon.
Yang menjadi pertimbangan mediator dalam menerbitkan anjuran, ialah bahwasannya Penggugat bukan merupakan pekerja, melainkan sebagai direksi perusahaan dengan jabatan direktur administrasi sehingga tidak berhak mendapatkan uang pesangon.
Dalam argumentasinya, Penggugat menyebutkan bahwa jabatan direktur administrasi juga merupakan pekerjaan itu sendiri, dimana Penggugat tidak ada memiliki saham sedikitpun dalam perusahaan Tergugat. Akan tetapi kedudukan Penggugat sebagai direktur hanyalah seorang pekerja yang tetap memperoleh upah/gaji setiap bulannya, dan bukan suatu bentuk pembagian hasil keuntungan para pemegang saham.
Penggugat mendalilkan pula, seorang Direktur yang bukan pemegang saham pada suatu perusahaan dikenal sebagai Direktur Eksekutif yang posisinya sebagai pekerja pada perusahaan sehingga tidak dapat dihapuskan hak-haknya sebagai pekerja sebagaimana diatur dalam Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003. Dalam hal ini dapat dipedomani jabatan-jabatan direksi (bukan pemegang saham) pada perusahaan negara maupun swasta yang tetap menerima hak-haknya sebagai pekerja pada waktu pemutusan hubungan kerja.
Dengan demikian Penggugat meminta agar hakim menyatakan diri Penggugat sebagai pekerja yang berhak menerima upah dan tetap tunduk pada Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan meski dengan jabatan sebagai direktur.
Tergugat secara singkat hanya menyatakan, kedudukan Penggugat adalah Direktur pada Tergugat, karenanya Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana ketentuan Undang Undang RI Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial hanya untuk yang berstatus sebagai pekerja.
Terhadap gugatan tersebut Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan telah memberikan putusan Nomor 218/Pdt.Sus.PHI/2015/PN.Mdn tanggal 2 Februari 2016 yang amarnya sebagai berikut:
“Dalam Pokok Perkara:
Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya.”
Penggugat mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadap permohonan tersebut Mahkamah Agung membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap keberatan-keberatan tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan-keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 24 Februari 2016 dan kontra memori kasasi tanggal 18 Maret 2016 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa Pemohon Kasasi mempunyai hubungan kerja dengan Termohon Kasasi sejak bulan Januari 1995 dan pada tahun 2011 Pemohon Kasasi diangkat sebagai Direktur Administrasi berdasarkan rapat pemegang saham luar biasa (RUPS-LB) dan atau pengangkatan Pemohon Kasasi tersebut telah sesuai dengan ketentuan Pasal 105 ayat (1) Undang Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Terhadap pengangkatan tersebut Pemohon Kasasi telah di-PHK sebagai pekerja dan telah menerima hak-haknya berupa uang pesangon sebesar Rp155.802.467,00 (seratus lima puluh lima juta delapan ratus dua ribu empat ratus enam puluh tujuh rupiah) pada tanggal 19 Januari 2011;
“Bahwa pada tanggal 15 Juni 2015 Termohon Kasasi melaksanakan rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPS-LB) dimana agendanya melakukan pemberhentian terhadap Pemohon Kasasi sebagai Direktur Administrasi;
“Pemohon Kasasi diberikan uang penghargaan sebesar 1 (satu) bulan upah akan tetapi ditolak, namun karena Pemohon Kasasi di-PHK sebagai Direktur Administrasi atas putusan RUPS-LB maka tidak ada kewajiban Termohon Kasasi untuk memberikan pesangon kepada Pemohon Kasasi sesuai ketentuan Pasal 105 ayat (1) Undang Undang Nomor 40 Tahun;
M E N G A D I L I:
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi DAHLIANI tersebut.”
Sebagai re-konstruksi hukum perkara diatas, fakta hukum yang dapat ditarik ialah:
- masa kerja sebagai buruh/karyawan sejak tahun 2005—2011, berhak atas pesangon sebagai hak normatif sebagaimana dilindungi UU Ketenagakerjaan;
- masa bakti sebagai direksi sejak tahun 2011 hingga tahun 2015, tidaklah berhak menuntut pesangon—karena hubungan hukum semata tunduk pada UU Perseroan Terbatas.
Sehingga yang menjadi permasalahan hukum, apakah pada saat Penggugat diangkat sebagai Direksi, dirinya telah di-PHK dengan hak-hak normatif dibayar penuh sesuai ketentuan hukum ketenagakerjaan? Bila jawabnya ialah pesangon telah diberikan secara layak, maka baik PHI maupun Mahkamah Agung telah tepat menjatuhkan amar putusan.
Hanya saja yang perlu diperhatikan sebagai bagian dari etika hubungan industrial, seorang karyawan yang akan diangkat sebagai direksi, bila masa kerjanya memang akan diputus, maka selain pemberian kompensasi pesangon, juga penting untuk diterbitkan penetapan PHK, guna menghindari salah kaprah dari pihak calon direksi yang bisa jadi berasumsi masa kerjanya berlanjut ketika dirinya menjabat sebagai direktur.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.