Tumpang Tindih Sertifikat Tanah Dibatalkan PTUN, Pengadilan Tata Usaha Negara

LEGAL OPINION
Question: Ada sebagian dari tanah keluarga kami yang sudah bersertifikat, ternyata tumpang tindih dengan sertifikat milik orang lain atas bidang tanah yang sama. Bisakah kami meminta Pengadilan Tata Usaha Negara untuk membatalkan sertifikat pihak lain tersebut yang tumpang tindih dengan sertifikat kami?
Brief Answer: Surat ukur sertifikat hak atas tanah yang tumpang-tindih dengan data yuridis sertifikat hak atas tanah milik warga lainnya kerap terjadi. Hal tersebut didapat diselesaikan di hadapan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) selama masih dalam tempo 90 hari sejak diketahuinya surat Keputusan Tata Usaha Negara yang menjadi sumber tumpang-tindih, dan lewat dari itu menjadi kompetensi absolut Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus sengketa.
PEMBAHASAN:
Salah satu ilustrasi sengketa tumpang-tindih tanah terjadi dalam putusan Mahkamah Agung tingkat kasasi register Nomor 144 K/TUN/2016  tanggal 16 Mei 2016 perkara tata usaha negara (TUN), antara:
- WILOPO, sebagai Pemohon Kasasi, semula Pembanding, dahulu Tergugat II Intervensi; melawan
- FITRILAILAH MOKUL, SKM., M. Social Research, sebagai Termohon Kasasi, semula Terbanding, dahulu Penggugat; dan
- Kepala Kantor Pertanahan Kota Kendari, selaku Turut Termohon Kasasi, semula Pembanding, dahulu Tergugat.
Penggugat baru mengetahui adanya objek gugatan berupa Sertipikat Hak Milik (SHM) No. 03366/Kelurahan Lepo-lepo tertanggal 13 September 2013 seluas 420 M2 atas nama Wilopo, pada tanggal 01 Oktober 2014 yaitu pada saat diadakan acara pengembalian batas dan hasilnya yang termaktub dalam Berita Acara Pengembalian Batas oleh Kepala Seksi Survey, Pengukuran dan Pemetaan Kantor Pertanahan Kota Kendari.
Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan perubahan kedua Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyatakan:
“Bahwa gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara.”
Sementara itu Surat Edaran MA Nomor 2 Tahun 1991 angka V.3 mengatur:
“Bagi mereka yang tidak dituju oleh suatu putusan Tata Usaha Negara, tetapi yang merasa kepentingannya dirugikan, maka tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dihitung secara kasuistis sejak ia merasa kepentingannya dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha Negara dan mengetahui adanya Keputusan tersebut.
Oleh karena Penggugat bukan pihak yang dituju oleh Keputusan Tata Usaha Negara (TUN) yang menjadi objek sengketa ini, maka tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari tersebut dihitung sejak ia mengetahui adanya Surat Keputusan TUN tersebut.
Note SHIETRA & PARTNERS: Surat Edaran Mahkamah Agung terbaru mengatur, hitungan 90 hari ialah sejak diketahui olehnya keberadaan Keputusan TUN, tidak lagi dapat dihitung sejak seorang warga negara merasa kepentingannya dirugikan atas keputusan tersebut.
Pada tahun 2007, Penggugat membeli sebidang tanah yang keseluruhannya seluas 825 m2 secara langsung dari pemilik SHM No. 1086, tanggal 5 Juni 1995 dalam Akta Jual Beli yang sah, kemudian dlakukan peralihkan hak, pembebanan dan pencatatan lainnya kepada Penggugat.
Selama Penggugat memiliki bidang tanah miliknya, tidak pernah ada keberatan ataupun klaim pemilikan dari pihak lain. Sejak tahun 2008 Penggugat tidak mengetahui adanya proses pembelian tanah ataupun rencana pendirian bangunan di lokasi yang berbatasan dengan bidang tanah yang dimiliki oleh Penggugat.
Penggugat yang kemudian mendapati sebagian lahannya telah diserobot sebuah rumah kost, lalu menyampaikan perihal tumpang tindih tersebut kepada Saudara Wilopo selaku pemilik bangunan rumah kost tersebut, Saudara Wilopo tidak mengakui perihal tumpang tindih tersebut dan menyatakan bahwa kalaupun ada tumpang tindih kemungkinan hanya pada lokasi septic tank. Saudara Wilopo juga menyatakan bahwa ia memiliki SHM yang sah atas bidang tanah di mana ia mendirikan bangunan rumah kost, tower penampungan air dan septic tank.
Untuk memperoleh kepastian tentang ada tidaknya SHM di atas bangunan rumah kost dan kemungkinan tumpang tindih, Penggugat pada pertengahan bulan September 2014 datang menghadap ke Kantor Badan Pertanahan Kota Kendari mengkonsultasikan hal tersebut. Penggugat disarankan untuk mengajukan permohonan pengembalian batas.
Pada bulan September 2014, tiga orang staf Badan Pertanahan Kota Kendari melakukan acara pengukuran dalam rangka pengembalian batas. Acara ini dihadiri oleh para pemilik lahan yang berbatasan dengan bidang tanah milik Penggugat dan disaksikan oleh Lurah Lepo-lepo, Perwakilan Kepolisian Sektor, dan Ketua Rukun Warga.
Dalam Acara ini, Penggugat mendapatkan fotokopi resmi dari objek gugatan yaitu SHM No. 03366/Kelurahan Lepo atas nama Wilopo yang mana terdapat kejanggalan, yaitu pada gambar tanah di dalam objek gugatan tertulis bahwa bidang lahan yang seharusnya dimiliki oleh Penggugat dinyatakan dikuasai oleh seorang Ketua RT.
Pada tanggal 01 Oktober 2014, Kepala Seksi Survey, Pengukuran dan Pemetaan Kantor Pertanahan Kota Kendari menerbitkan Berita Acara Pengukuran Pengembalian Batas. Berdasarkan Berita Acara tersebut, Penggugat mengetahui bahwa bidang lahan yang berbatasan pada bagian timur telah tumpang tindih sebagian dengan lahan yang dimiliki oleh Saudara Wilopo berdasarkan SHM No. 03366/Kelurahan Lepo-lepo. Luasan bidang yang tumpang tindih adalah 58 m2.
Dengan diterbitkannya Sertipikat yang menjadi objek sengketa, Penggugat merasa dirugikan kepentingannya karena Penggugat yang secara hukum memiliki bidang tanah berdasarkan SHM Nomor 1086, tanggal 5 Juni 1995 tidak dinyatakan kepemilikannya di dalam objek gugatan. Hal ini menunjukkan bahwa objek gugatan memiliki cacat administrasi, yang jika tidak dibatalkan akan berpotensi untuk memicu sengketa pemilikan lahan secara berkelanjutan.
Penggugat juga merasa dirugikan karena sebagian tanah milik Penggugat telah diterbitkan sertipikat tanah lain di atasnya, tanpa sedikitpun melibatkan Penggugat dalam proses penetapan batasnya dan dengan demikian Penggugat berhak dan berkepentingan mengajukan gugatan ini ke PTUN Kendari, sesuai dengan ketentuan Pasal 53 ayat (1) UU PTUN, yang mengatur:
“Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi.”
Penerbitan objek sengketa demikian cacat hukum karena tidak prosedural, yakni tidak melalui penelitian data fisik dan data yuridis yang benar, serta pengukuran lapangan yang sesuai dengan kenyataan riil di lapangan, karena pada kenyataannya yang menguasai dan memelihara tanah tersebut adalah Penggugat berdasarkan SHM yang terbit sebelumnya tertanggal 5 Juni 1995 juga memiliki surat ukur untuk dijadikan landasan.
Penggugat mengutip ketentuan Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang mengatur:
“Penetapan batas bidang tanah yang sudah dipunyai dengan suatu hak yang belum terdaftar atau yang sudah terdaftar tetapi belum ada surat ukur/gambar situasinya atau surat ukur/gambar situasi yang ada tidak sesuai lagi dengan keadaan yang sebenarnya, dilakukan oleh panitia ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran secara sporadik, berdasarkan penunjukan batas oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan dan sedapat mungkin disetujui oleh para pemegang hak atas tanah yang berbatasan.”
Meski terdapat frasa “sedapat mungkin” dalam kutipan kaidah diatas, Penggugat tetap menilai tindakan Tergugat dalam menerbitkan sertipikat objek sengketa sebagai melanggar ketentuan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang menyatakan secara tegas:
“Untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 huruf a kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan diberikan sertipikat hak atas tanah.”
Penggugat mengutip asas-asas umum pemerintahan yang baik yang telah dilanggar oleh Tergugat, antara lain:
- Asas Kepastian Hukum (rechtzekerheid), yang mengharuskan setiap keputusan Badan/Pejabat TUN dapat memberikan kepastian hukum, tidak hanya kepada penerima surat keputusan tapi juga masyarakat, hingga tidak menimbulkan hilangnya kepercayaan terhadap setiap tindakan yang dilakukan oleh Badan/Pejabat TUN;
- Asas Kecermatan (zorgvuldigheids beginsel), yang menghendaki agar Badan/Pejabat TUN senantiasa hati-hati dan cermat dalam menerbitkan suatu surat keputusan sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi warga masyarakat;
- Asas Profesionalitas, yang menghendaki agar setiap keputusan Badan/Pejabat TUN didasarkan atas pertimbangan atau alasan yang jelas, benar dan dilakukan secara profesional.
Adapun yang menjadi tanggapan Tergugat, terjadinya tumpang tindih hak di atas tanah, sepatutnya gugatan ini diajukan ke hadapan Peradilan Negeri yang berwenang memeriksa sengketa kepemilikan, dengan demikian PTUN Kendari diminta untuk menolak gugatan Penggugat dengan menyatakan tidak berwenang memeriksa sengketa ini.
Saat calon SHM yang dipermasalahkan Penggugat akan dibuat surat ukur, keberadaan Penggugat tidak diketahui, karena objek tanah hanya berupa sebidang lahan kosong, sehingga tidak mungin dimintai keterangan.
Penggugat menyatakan luasan bidang tanah yang tumpang tindih adalah 58 m2; hal ini menunjukkan bahwa yang menjadi persoalan dalam perkara ini adalah sengketa hak (perdata). Oleh karenanya, sesuai dengan kaidah hukum dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 88/K/TUN/1993, tanggal 7 September 1994, yang menyatakan: Jika dalam perkara tersebut menyangkut pembuktian hak milik atas tanah, maka gugatan atas sengketa tersebut harus diajukan terlebih dahulu ke Peradilan Umum karena merupakan sengketa perdata.
Terhadap gugatan tersebut, Pengadilan Tata Usaha Negara Kendari telah mengambil putusan, yaitu Putusan Nomor 34/G/2014/PTUN-Kdi, tanggal 16 April 2015, dengan pertimbangan hukum serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa oleh karena tanah yang disengketakan hanyalah sebagian dari luas tanah sertipikat hak milik objek sengketa yaitu seluas 58 m2 tersebut, maka mengenai tanah yang tidak dipersoalkan dalam perkara ini dapat diterbitkan sertipikat hak baru tanpa memasukkan tanah sengketa”;
 “MENGADILI:
Dalam Eksepsi:
Menyatakan Eksepsi Tergugat dan Tergugat II Intervensi tidak diterima untuk seluruhnya;
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan Gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan batal Keputusan Tata Usaha Negara yang diterbitkan oleh Tergugat berupa Sertipikat Hak Milik Nomor 03366/Kelurahan Lepo-Lepo, Kecamatan Baruga, Kota Kendari, tanggal 13 September 2013 Surat Ukur Nomor 294/Lepo-Lepo/2013, tanggal 16 Agustus 2013, seluas 420 m2 atas nama Wilopo;
3. Mewajibkan Tergugat untuk mencabut Keputusan Tata Usaha Negara yang diterbitkan oleh Tergugat berupa Sertipikat Hak Milik Nomor 03366/Kelurahan Lepo-Lepo, Kecamatan Baruga, Kota Kendari, tanggal 13 September 2013 Surat Ukur Nomor 294/Lepo-Lepo/2013, tanggal 16 Agustus 2013, seluas 420 m2 atas nama Wilopo;”
Dalam tingkat banding, atas permohonan Tergugat dan Tergugat II Intervensi, putusan PTUN Kendari tersebut telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi TUN Makassar dengan Putusan Nomor 91/B/2015/PTTUN.MKS, tanggal 12 Oktober 2015.
Tergugat II mengajukan upaya hukum kasasi, dengan dalil bahwasannya putusan PTUN adalah salah dan keliru, dimana PTUN menilai objek sengketa adalah kewenangan PTUN sementara gugatan Penggugat seharusnya diselesaikan terlebih dahulu di Pengadilan Negeri dalam hal sengketa kepemilikan (perdata), karena yang dipersoalkan oleh Penggugat adalah tumpang-tindih sebagian objek tanah seluas 58 m2.
Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 88/K.TUN/1993, tanggal 7 September 1994, terdapat kaidah hukum yang menyatakan: “Meskipun sengketa itu terjadi dari adanya Surat Keputusan Pejabat tetapi jika dalam perkara tersebut menyangkut pembuktian hak milik atas tanah, maka gugatan atas sengketa tersebut haruslah diajukan terlebih dahulu ke Peradilan Umum karena merupakan sengketa Perdata”; maupun kaidah dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 16/K.TUN/2000, tanggal 28 Februari 2001 terdapat kaidah hukum yang menyatakan bahwa “Gugatan mengenai sengketa kepemilikan adalah kewenangan Peradilan Umum untuk memeriksanya.”
Memang, menjadi tampak ironis, baik Penggugat maupun Tergugat II sama-sama memiliki sertifikat hak atas tanah, yang sayangnya tidak dijamin oleh lembaga negara penerbitnya. Terhadap permohonan kasasi tersebut, Mahkamah Agung membuat pertimbangan hukum serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan kasasi tidak dapat dibenarkan, putusan Judex Facti sudah tepat dan benar serta tidak terdapat kesalahan dalam penerapan hukum, dengan pertimbangan sebagai berikut: Bahwa dari aspek prosedur dan substansi, penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa cacat yuridis karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, lagi pula ternyata putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan Pemohon Kasasi: WILOPO tersebut harus ditolak;
MENGADILI :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: WILOPO, tersebut.”
Seandainya Kantor Pertanahan mengikuti prosedur yang diatur oleh PP No. 24 Tahun 1997 sebagai solusi bagi surat ukur sertifikat tanah yang akan diterbitkan agar tidak berujung sengketa tumpang tindih dengan sertifikat hak atas tanah lain, seyogianya Kantor Pertanahan menempuh upaya legal berupa pengumuman pada lokasi objek pengukuran sehingga bila tiada keberatan dari pihak manapun maka sertifikat beserta surat ukur yang kemudian diterbitkan tidak dapat lagi dibantah oleh pihak lain, bukan dengan cara meminta ketua Rukun Tetangga setempat untuk menandatangani berita acara pengukuran objek tanah.
Meski demikian, sebenarnya putusan PTUN bersikap solutif, yang dalam pertimbangan hukumnya menyebutkan bahwa meski SHM milik Tergugat II dibatalkan, dirinya tetap dapat mengajukan permohonan hak ulang atas bidang tanah yang tidak tumpang-tinduh.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.