Tindak Pidana Korporasi Menjelma Tindak Pidana Pribadi Direktur Perseroan

LEGAL OPINION
TINDAK PIDANA PERSEROAN MENJELMA TINDAK PIDANA PRIBADI DIREKTUR PERSEROAN DENGAN SANKSI PIDANA PENJARA
Question: Bila yang menjadi pihak penjual tercatat atas nama badan hukum perseroan terbatas, apa bisa bila kemudian penjual ternyata memberi barang yang tidak sesuai dengan apa yang dahulu ditawarkan dan disepakati dibeli oleh pihak pembeli, bukankah resiko yang dihadapi penjual hanyalah berupa sanksi pidana berupa denda? Saya dengar bila tindak pidana korporasi maka tak mungkin memidana penjara sebuah badan hukum. Apa benar demikian adanya dalam praktik?
Brief Answer: Berbagai tren putusan pengadilan kontemporer terkait tindak pidana korporasi telah menerobos konsepsi klasik tindak pidana korporasi yang menganggap ancaman sanksi pidana yang dapat diterapkan bagi sebuah korporasi hanyalah sanksi pidana cabut izin ataupun denda semata. Telah terdapat berbagai yurisprudensi putusan teraktual Mahkamah Agung RI, dimana pihak direksi suatu badan hukum perseroan terbatas dijerat pidana penjara akibat aksi korporasi yang dijalankan olehnya. Hal ini akan bertambah resikonya bilamana terungkap fakta bahwa direksi yang menjadi organ pengurus perseroan adalah pihak yang sama dengan pemilik perseroan.
PEMBAHASAN:
Sebagai ilustrasi, tepat sekiranya SHIETRA & PARTNERS mengangkat contoh kasus sebagaimana dapat dijumpai dalam putusan Mahkamah Agung RI tingkat kasasi perkara tindak pidana korporasi register Nomor 824 K/Pid/2013 tanggal 04 November 2013 yang diputuskan oleh Majelis Hakim Agung Artidjo Alkostar, Sri Murwahyuni, Dudu D. Machmudin.
Dalam dakwaan primair, Terdakwa didakwa melakukan penipuan. Sementara dalam dakwaan subsidair, Terdakwa didakwa dengan tuduhan dengan sengaja menyerahkan barang lain daripada yang telah ditunjuk oleh pembeli sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 383 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Terdakwa selaku direktur sekaligus pemilik dari PT. Nusamandala Artha Cipta Tehnik dimana sebagai pimpinan perusahaan bertanggung jawab terhadap semua kegiatan atau operasional perusahaan. Berawal ketika korban membutuhkan alat tehnik yang susah dicari di pasaran, lalu mengecek dan menemukan nama perusahaan milik Terdakwa di buku industrial Indonesia edisi 2008-2009 yang langsung menelepon ke perusahaan Terdakwa menanyakan apakah menjual control brake unit 2C-AMB 10 TR (TOTR) AC:220V, DC: 24V/10A dan disanggupi oleh karyawati Terdakwa selaku Marketing.
Pada tanggal 05 April 2010 korban menerima penawaran harga melalui faximile dari perusahaan Terdakwa. Percaya akan pernyataan kesanggupan perusahaan Terdakwa yang disampaikan oleh markerting Terdakwa berikut penawaran harga yang telah diterima, sehingga pada tanggal 23 April 2010 korban menyuruh karyawannya untuk mengirimkan surat pesanan barang (PO) berupa 2 (dua) unit control brake unit dengan spesifikasi diatas, dimana pada hari itu juga saksi korban datang ke perusahaan Terdakwa untuk membayar tunai uang maka pembelian barang sebesar Rp.2.600.000,- dan diterima oleh karyawati Terdakwa.
Kemudian perusahaan Terdakwa kembali mengirimkan melalui faximile yaitu invoice tertanggal 11 Mei 2010 berupa 2 (dua) unit control brake unit dengan spesifikasi tersebut seharga Rp.5.200.000,- dimana karyawati Terdakwa yaitu saksi mengatakan pada saksi korban agar melunasi pembayarannya terlebih dahulu baru akan diproses.
Percaya akan perkataan akan diproses oleh perusahaan Terdakwa yang disampaikan oleh karyawatinya, sehingga pada tanggal 19 Mei 2010 kembali saksi korban mentransfer sebesar Rp.2.600.000,- ke rekening perusahaan Terdakwa.
Keesokan harinya, korban mendatangi perusahaan Terdakwa untuk mengambil pesanan barang. Namun setelah diperiksa kondisi barang olehkorban, ternyata tidak sesuai dengan jenis barang yang dipesan dimana barang yang diberikan perusahaan Terdakwa adalah (dua) push button switch yang ditempelkan labelnya menjadi control brake unit 2C-AMB 10 TR (TOTR) AC:220V, DC:24V/10A. Selain terdapat perbedaan cara mengoperasikan dan penggunaannya, barang yang diberikan perusahaan Terdakwa tersebut adalah barang umum dan harga kedua unit push button switch tersebut pasaran hanya Rp.60.000,- sedangkan control brake unit 2C-AMB 10 TR (TOTR) AC:220V, DC: 24V/10A merupakan barang inden dan harga kedua unitnya sebesar Rp.5.200.000,-. Akibat perbuatan Terdakwa, korban menderita kerugian kurang lebih sebesar Rp.5.200.000,-.
Terhadap tuntutan Jaksa, Pengadilan Negeri Jakarta Barat dalam putusannya Nomor 2155/PID.B/2011/PN.JKT.BAR tanggal 01 Februari 2012 menjatuhkan vonis yang amar lengkapnya sebagai berikut:
1. Menyatakan Terdakwa HALIMAH binti WAHUD tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dalam dakwaan primair;
2. Membebaskan Terdakwa tersebut oleh karena itu dari dakwaan tersebut;
3. Menyatakan Terdakwa HALIMAN binti WAHUD terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja menyerahkan barang lain dari pada yang ditunjuk untuk dibeli;
4. Menghukum Terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara selama 4 (empat) bulan;
5. Menetapkan pidana tersebut tidak perlu dijalani, kecuali dikemudian hari dengan putusan Hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, Terdakwa dinyatakan terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana sebelum lewat masa percobaan selama 8 (delapan) bulan.
Adapun pada tingkat banding sebagaimana putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 363/Pid/2012/PT.DKI tanggal 16 Januari 2013 yang amar lengkapnya sebagai berikut:
- Menerima permintaan banding dari kuasa Hukum Terdakwa tersebut;
- Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor: 2155/Pid.B/2011/PN.JKT.BAR. tanggal 1 Februari 2012 yang dimintakan banding tersebut;
Terdakwa mengajukan upaya hukum kasasi, dimana atas permohonan tersebut Mahkamah Agung membuat pertimbangan hukum serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
- Bahwa alasan-alasan kasasi Terdakwa tidak dapat dibenarkan, putusan Judex Facti sudah tepat dan benar dan tidak salah menerapkan hukum karena telah mempertimbangkan mengenai fakta beserta alat pembuktian yang menjadi dasar penentuan kesalahan Terdakwa bahwa Terdakwa sebagai direktur PT. Nusamandala Artha Cipta Tehnik yang telah menerima pemesanan 2 (dua) unit control brake unit dengan kode 2C AMB 10 TR (TOTR) AC:220V, DC: 24V/10A dan telah menerima pembayaran dari saksi korban Halomoan L. Napitupulu akan tetapi ketika mau mengambil pesanannya tersebut, yang diberikan adalah 2 (dua) unit push button switch yang ditempelkan labelnya menjadi control brake unit 2C-AMB 10 TR (TOTR) AC:220V, DC: 24V/10A sehingga saksi korban menolak tidak mau terima tetapi perusahaan tidak mengindahkan;
- Bahwa perbuatan Terdakwa menyerahkan barang yang dibeli oleh Ir. Halomoan L. Napitupulu tetapi tidak sesuai dengan barang yang ditunjuk untuk dibeli, telah mengakibatkan saksi korban menderita kerugian sebesar Rp.5.200.000,- (lima juta dua ratus ribu rupiah);
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata, putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi / Terdakwa : HALIMAH binti WAHUD tersebut.”
Satu dekade lampau, adalah benar tindak pidana korporasi hanya sebatas ancaman sanksi pidana denda atau pencabutan izin terhadap badan hukum yang menjadi pelaku. Namun kini kalangan hakim telah menyadari masifnya penyalahgunaan lembaga hukum berupa badan hukum perseroan terbatas sebagai tameng pelaku kejahatan untuk berkelit dari tanggung jawab pidana.
Secara falsafah, asas fiksi hukum yang mempersonifikasi suatu badan hukum (rechtspersoon) menjadi layaknya manusia pribadi (natuurlijk persoon) dimana memiliki hak dan kekayaan sendiri, dapat menggugat dan digugat, dapat melakukan hubungan hukum; namun secara real/faktual setiap asas fiksi hukum bersifat tidak genap secara utuh—dalam arti setiap konstruksi hukum dapat dirasionalkan lewat putusan hakim ketika pembentukan hukum stagnan.
Contoh, asas fiksi hukum menyatakan: setiap orang dianggap tahu hukum (eidereen wordt geacht de wette kennen), sehingga tidak dapat dibenarkan seorang warga negara melakukan suatu tindak pidana maupun perbuatan melawan hukum perdata dengan alasan lalai atau tidak tahu adanya hukum/undang-undang yang mengatur.
Anehnya, kerap dijumpai putusan hakim yang menyimpang dari hukum seakan-akan hakim tidak mengerti atau tidak memahami hukum yang mengatur suatu perkara yang dihadapkan padanya untuk diadili. Padahal, hakim juga terikat pada asas fiksi hukum: bahwa hakim selalu tahu/mengerti hukumnya (ius curia novit).
Rasionalisasi ini tampak ketika Majelis Hakim Pengadilan Negeri lalai atau keliru menerapkan hukum, maka dapat dikoreksi oleh Pengadilan Tinggi ataupun oleh Mahkamah Agung. Sehingga menjadi aneh pula ketika secara strict setiap pribadi individu dianggap tahu hukumnya tanpa toleransi sedikit pun meski secara senyatanya tiada satupun sarjana hukum di Indonesia maupun di dunia ini yang mengerti dan memahami hukum dan segala aturan atas berbagai bidang hukum. Terlebih menguasai seluruh bidang hukum, butuh pengabdian seumur hidup untuk dapat memahami sepenuhnya satu bidang spesifik hukum.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.