Tiada Kepastian dalam Hukum, Kasus Prosedural Sengketa Gugatan Pembatalan Merek di Pengadilan Niaga

ARTIKEL HUKUM
Aturan Hukum dibentuk guna memberi kepastian hukum bagi setiap pengemban hukum. Setidaknya begitulah kesan yang hendak dibangun negara berhukum. Hukum bagai kegiatan eksperimental yang tiada berkesudahan.
Bila dalam metode ilmiah saintifik ilmu alam, disebut ilmiah bila dengan suatu metode tertentu akan menghasilkan output yang seragam dilakukan oleh beragam peneliti, semisal mencampur senyawa X ke dalam senyawa Y akan menghasilkan reaksi senyawa Z. Maka dalam hukum para ilmuan hukum bagaikan “ber-ju-di” pada pusaran arus “tak beraturan”.
Kasus serupa, dengan dasar hukum yang sama, hasil putusan hakim bisa beragam, bahkan saling bertolak belakang. Dilematika ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Semua negara hukum mengalami fenomena serupa. Hukum menjelma menjadi “selera hakim” ketika aturan tertulis ditafsirkan sesuai “kacamata” masing-masing hakim. Disini kita masuk dalam ranah psikologi sang pemutus.
Karena rumusannya menjadi “Fakta hukum” + “Pasal hukum” + “Persepsi manusia”, maka terang tiada akan pernah didapatkan hasil reaksi / respon yang saling seragam, apapun metodenya. Dalam hukum, metode tidaklah memainkan peran penting. Bagaikan seekor kucing, yang penting bukanlah warna kucing tersebut, namun apakah ia dapat menangkap tikus ataukah tidak.
Dalam putusan Mahkamah Agung RI tingkat kasasi sengketa hak kekayaan intelektual register perkara Nomor 513 K/Pdt.Sus-HKI/2014 tanggal 17 Februari 2015, antara:
- DJOHAN LILI, sebagai Pemohon Kasasi, semula Tergugat; melawan
- HARMAN INTERNATIONAL INDUSTRIES, INCORPORATED, badan hukum dibawah Undang-Undang Negara Bagian Delaware, Amerika Serikat, sebagai Termohon Kasasi, dahulu Penggugat; dan
- Pemerintah Republik Indonesia cq. Kementerian Hukum dan HAM cq. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual cq. Direktorat Merek, sebagai Turut Termohon Kasasi, semula Turut Tergugat.
Penggugat merupakan produsen perangkat keras audio dan pengeras suara (sound system), telah berdiri selama 40 tahun sebagai pemilik Merek “dbx”. Penggugat mendalilkan dirinya sebagai pemilik merek terkenal berdasar Undang-Undang No. 15 tahun 2001 tentang Merek, yang menyebutkan:
”.... Disamping itu, diperhatikan pula reputasi Merek terkenal yang diperoleh karena promosi yang gencar dan besar-besaran, investasi di beberapa negara di dunia yang dilakukan oleh pemiliknya, dan disertai bukti pendaftaran Merek tersebut di beberapa negara.”
Pada tahun 2007 Penggugat mengajukan pendaftaran merek “dbx” kepada pemerintah, namun ternyata dalam Daftar Umum Merek pada Dirjen HKI telah terdaftar merek yang sama pada tahun 2006 atas nama Tergugat dengan kelas barang yang sama. Dirjen HKI memiliki kecenderungan untuk menolak pendaftaran merek yang diajukan belakangan.
Penggugat keberatan dengan terdaftarnya Merek atas nama Tergugat, mengingat bahwa Merek tersebut memiliki persamaan pada keseluruhannya atau pada pokoknya dengan Merek milik Penggugat yang mana sudah lama dikenal masyarakat internasional, sehingga patut diduga bahwa permintaan pendaftaran Merek oleh Tergugat diajukan atas dasar itikad tidak baik.
Apabila diperhatikan dengan saksama antara elemen dominan yang membentuk Merek “dbx” milik Penggugat dengan Merek “dbx” Tergugat dapat dilihat bahwa unsur huruf yang identik adalah elemen essensial yang membentuk kedua merek. Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang Undang Merek:
"Yang dimaksud dengan persamaan pada pokoknya adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara Merek yang satu dan Merek yang lain, yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur-unsur ataupun persamaan bunyi ucapan yang terdapat dalam merek-merek tersebut."
Meniru/menyaru dengan adanya persamaan huruf-huruf dan kata-kata dengan warna serta lukisan yang sama, sehingga dapat menyesatkan konsumen karena konsumen akan mengira bahwa produk dengan merek milik Tergugat adalah produk yang sama dengan produk milik Penggugat yang telah digunakan oleh Penggugat sejak lama.
Merujuk pada Pasal 6 bis Konvensi Paris, merek terkenal milik anggota Konvensi Paris, harus diberikan Perlindungan Hukum di semua negara-negara peserta Konvensi Paris, di dalamnya adalah Singapura dan Indonesia.
Merujuk pada yurisprudensi putusan MA RI Nomor 3045 K/Pdt/1992 tanggal 21 September 1993, Nomor 1274 K/Pdt/1994 tanggal 18 Januari 1996, Nomor 3677 K. Pdt/1992 tanggal 30 Januari 1995, Mahkamah Agung memberikan pertimbangan hukum bahwa kriteria hukum yang dikategorikan tidak baik, apabila meniru membonceng, membajak atau mereproduksi merek milik pihak lain yang sudah terdaftar.
Yang menjadi esensi utama pengaturan mengenai merek, ialah untuk membedakan barang-barang milik suatu pihak dan milik badan hukum atau orang lain yang sejenis, sehingga konsumen tidak terkecoh oleh “kesesatan” merek. Tindakan meniru atau membonceng ketenaran milik pihak lain, dapat menyesatkan masyarakat yang akan sukar membedakan masing-masing produk disamping merugikan pemilik sah yang telah mengeluarkan biaya promosi dan pendekatan merek terhadap publik.
Secara regulasi, sebenarnya telah diatur secara tegas dalam penjelasan Pasal 4 Undang-Undang Merek Nomor 15 Tahun 2001, yang berbunyi:
“Pemohon yang beritikad baik adalah Pemohon yang mendaftarkan mereknya secara layak dan jujur tanpa ada niat apapun untuk membonceng, meniru atau menjiplak ketenaran merek pihak lain demi kepentingan usahanya yang berakibat kerugian pada pihak lain itu atau menimbulkan kondisi persaingan curang, mengecoh atau menyesatkan konsumen …”
Yang bila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 68 ayat (1) jo. Pasal 4 Undang-Undang Merek:
“Merek tidak dapat didaftar atas dasar permohonan yang diajukan oleh pemohon yang beritikad tidak baik.”
Sementara itu sebagai bantahannya pihak Tergugat berlindung pada prosedural yang diatur dalam Pasal 68 Ayat (2) UU Merek bahwa Pemilik Merek yang tidak terdaftar dapat mengajukan gugatan setelah mengajukan Permohonan kepada Direktorat Jenderal (Turut Tergugat).
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, masih memerlukan proses pemeriksaan untuk didaftarkan serta keputusan dari Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual untuk menolak atau mengabulkan permohonan permintaan pendaftaran merek Penggugat. Akan tetapi permohonan pendaftaran merek yang diajukan oleh Penggugat sudah berlangsung lebih dari 6 (enam) tahun, sehingga dapat dipastikan bahwa proses pemeriksaan atas permohonan pendaftaran merek sudah selesai dan diputuskan oleh Dirjen HKI dikabulkan atau ditolaknya.
Terhadap gugatan tersebut Pengadilan Niaga Jakarta Pusat telah memberi putusan Nomor 63/PDT.SUS-Merek/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst, tanggal 12 Maret 2013 yang amarnya sebagai berikut:
“Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Penggugat sebagai pemakai pertama dan pemilik satu-satunya yang sah atas Merek dbx untuk membedakan hasil produksi/produk-produk Penggugat dengan hasil produksi/produk-produk lainnya;
3. Menyatakan Merek dbx milik Penggugat sebagai merek terkenal;
4. Menyatakan Merek dBX Tergugat di bawah daftar Nomor IDM000210670 untuk melindungi produk-produk dalam Kelas 9 milik Tergugat memiliki persamaan pada keseluruhannya atau pada pokoknya dengan Merek dbx milik Penggugat;
5. Menyatakan Merek dBX Tergugat terdaftar di bawah daftar Nomor IDM 000210670 untuk melindungi produk-produk dalam Kelas 9 milik Tergugat didaftarkan atas dasar itikad tidak baik;
6. Membatalkan atau setidak-tidaknya menyatakan batal pendaftaran Merek dBX Tergugat di bawah daftar Nomor IDM000210670 untuk melindungi produk-produk dalam Kelas 9 milik Tergugat Merek;
7. Memerintahkan Turut Terugat untuk membatalkan pendaftaran Merek dBX Tergugat di bawah daftar Nomor IDM000210670 yang melindungi produk produk dalam Kelas 9 milik Tergugat.”
Tergugat mengajukan upaya hukum kasasi, dengan argumentasi bahwa Penggugat sedang mengajukan banding pada Komisi Banding Merek atas penolakan pendaftaran merek, sehingga Penggugat belum dapat mengajukan gugatan pembatalan Merek. Upaya administratif belum tuntas, sehingga Penggugat dinilai melangkahi prosedur (Note: yang mana sebetulnya hanya dikenal dalam konsepsi Pengadilan Tata Usaha Negara yang mensyaratkan objek sengketa berupa Keputusan Tata Usaha Negara harus bersifat final).
Argumentasi Tergugat didasarkan pada putusan Mahkamah Agung RI dalam putusan tingkat Peninjauan Kembali tertanggal 29 Juli 2010, register Nomor 086 PK/PDT.SUS/2009, dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah Agung menyatakan:
"Bahwa dengan meneliti kontra memori peninjauan kembali dari Termohon Kasasi, ternayata bahwa Termohon Peninjauan Kembali pernah mengajukan permohonan Pendaftaran merek tetapi masih dalam tingkat Komisi Banding Merek, dan untuk menghindari penolakan gugatan pembatalan merek "Serba Cantik" dari Majelis Hakim Pengadilan Niaga, maka Termohon Peninjauan Kembali telah menarik dan mencabut permohonan banding Termohon Peninjauan Kembali tersebut pada Komisi Banding Merek tersebut.
"Bahwa dengan adanya penarikan atau pencabutan banding oleh Termohon Peninjauan Kembali tersebut, berarti belum ada putusan dari Komisi Banding Merek terhadap permohonan pembatalan Merek yang diajukan oleh Termohon Peninjauan Kembali tersebut, maka demi hukum gugatan pembatalan Merek oleh Termohon Peninjauan Kembali dalam perkara aouo tidak dapat diajukan atau tidak dapat dipertimbangkan oleh karena tidak memenuhi kreteria ketentuan Pasal 68 ayat (1) dan (2) Juncto Pasal 80 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek."
Singkat kata, bilamana belum ada keputusan dari Komisi Banding atas permohonan banding dari penolakan pendaftaran merek maka Penggugat tidak dapat mengajukan gugatan pembatalan merek sesuai ketentuan Pasal 68 ayat (2) Undang-Undang Merek.
Tergugat mendalilkan pula, sistem konstitutif dalam pendaftaran merek yang dianut dalam Pasal 3 UU Merek yang dibuktikan dengan Sertifikat Pendaftaran Merek adalah merupakan bukti otentik untuk membuktikan kepada pihak lain bahwa pendaftar pertama (first to file) yang tercantum dalam Sertifikat Merek adalah pihak yang memiliki dan berhak atas merek yang bersangkutan. Terhadap permohonan kasasi Tergugat, Mahkamah Agung membuat pertimbangan hukum sebelum tiba pada amar putusannya:
“Menimbang, bahwa terhadap keberatan-keberatan tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:
“Alasan-alasan kasasi tidak dapat dibenarkan, karena Judex Facti/dalam hal ini Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tidak salah menerapkan hukum sebab putusan dan pertimbangannya telah tepat dan benar yaitu mengabulkan gugatan untuk seluruhnya karena Penggugat berdasarkan bukti- bukti surat bertanda P.l sampai dengan P.46B telah berhasil membuktikan dalil gugatan untuk seluruhnya yaitu bahwa merek dBx milik Tergugat diajukan dengan itikad tidak baik, sebaliknya Tergugat berdasarkan bukti- bukti 13 (tiga belas) lembar surat tidak dapat mematahkan bukti- bukti yang diajukan oleh Penggugat;
“Bahwa ketentuan Pasal 68 ayat (2) UU Merek tidak mensyaratkan bahwa untuk dapat mengajukan gugatan pembatalan merek maka permohonan pendaftaran merek oleh pihak berkepentingan in casu Penggugat haruslah dikabulkan oleh pihak berwenang in casu Turut Tergugat sehingga alasan kasasi bahwa Penggugat dalam perkara a quo tidak memiliki kualifikasi adalah alasan yang tidak berdasar alasan sah, karena itu layak untuk ditolak;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, ternyata bahwa putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: Djohan Lili tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: DJOHAN LILI tersebut;”
Menghadapi realita tiadanya kepastian yang dapat ditawarkan oleh hukum, apakah artinya kita harus bersikap pasrah tanpa daya? Disitulah profesi jasa hukum dibayar mahal atas keterampilannya menyusun argumentasi.
Dalam artikel-artikel sebelumnya penulis sempat mengangkat topik “Profesi Hukum adalah Profesi Pemahat Argumentasi”. Masalah utamanya bukanlah adanya kekosongan hukum sehingga timbul ketidakpastian, namun bagaimana caranya meyakinkan hakim bahwa pada titik itulah terdapat kebenaran yang perlu ditegakkan—alias hukum yang perlu diisi dan dibangun dalam praktik peradilan.
Aturan hukum tertulis tidak akan pernah lengkap, selalu terdapat “lubang hukum” (loophole) karena fenomena dan dinamika masyarakat serta dunia niaga selalu berkembang tanpa dapat di-“bonsai” oleh aturan hukum yang selalu tertinggal satu langkah dibelakang realita.
Argumentasi dalam perkara diatas sebenarnya sangatlah sederhana. Lembaga Eksekutif bukanlah lembaga ajudikatif, sehingga yang paling berhak memutus suatu sengketa keperdataan memang adalah Lembaga Yudikatif sesuai sifat konsepsi dasar negara berhukum.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.