KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Tentukan Batas Akhir Mogok Kerja, PHK Tanpa Pesangon Mengancam Buruh / Pekerja atas Mogok Kerja Tidak Sah

LEGAL OPINION
Question: Kawan-kawan kami sedang merumuskan rencana mogok kerja. Nah, apakah dibolehkan oleh hukum, bila kami mencantumkan bahwa mogok kerja ini berlangsung hingga tuntutan kami dipenuhi perusahaan? Apa wajib, kami menyebut tanggal efektif mulai mogok sampai tanggal berakhirnya aksi mogok? Terlagi pula, apakah resiko bila seandainya pun dinyatakan sebagai mogok kerja tidak sah, hanya akan dikategorikan sebagai mangkir kerja?
Brief Answer: Mogok kerja mengandung resiko yang tinggi bila tidak mengikuti prosedur sesuai hukum ketenagakerjaan, disamping harus direncanakan secara matang dan mendetail.
Pemberitahuan rencana mogok kerja kepada pihak-pihak terkait harus bersifat jelas dan tegas, dalam arti tidak boleh terdapat ketidakpastian didalamnya. Untuk itu perlu dicantumkan secara terang dan detail, seperti lokasi mogok kerja, tanggal dimulai hingga tanggal berakhirnya mogok kerja.
Penggunaan frasa seperti “mogok kerja ini berlangsung sejak tanggal ... hingga tuntutan para buruh dikabulkan pengusaha” bersifat tidak pasti, alias menggantung, sehingga membuka peluang untuk dikualifisir sebagai mogok kerja tidak sah.
Tuntutan buruh/pekerja boleh mulia, namun lakukan dengan langkah cerdas, agar tidak menjadi celah hukum guna menyerang kepentingan para pelaku mogok kerja ketika dihadapkan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
Bila peraturan perusahaan menyatakan mogok kerja tidak sah membawa konsekuensi pemutusan hubungan kerja (PHK) tanpa pesangon, pihak pekerja/buruh masih dapat berkilah, bahwasannya peraturan perusahaan dibuat secara sepihak oleh pengusaha yang memiliki posisi dominan.
Namun bila seandainya norma sanksi mogok kerja tidak sah berupa PHK tanpa pesangon, diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama, tiada lagi terbuka celah bagi pihak pekerja/buruh untuk berkelit dari kemungkinan terburuk yang dapat terjadi ini.
PEMBAHASAN:
Ilustrasi berikut dapat memberi cerminan mogok kerja yang dinyatakan tidak sah akibat tidak tegasnya rencana mogok kerja. Dalam putusan Mahkamah Agung RI tingkat kasasi perkara hubungan industrial register Nomor 802 K/Pdt.Sus/2010 tanggal 21 Desember 2010, sengketa antara:
- ISNU WAHYUDI dan HERMANSYAH, sebagai Para Pemohon Kasasi, dahulu Penggugat; melawan
- PT. MULIA GLASS, selaku Termohon Kasasi, dahulu Tergugat.
Permasalahan bermula sejak didirikannya serikat pekerja yang kegiatannya dituding telah dihalang-halangi oleh Tergugat yaitu dengan melakukan ancaman dan intimidasi berupa mutasi, skorsing, maupun pemutusan hubungan kerja ketika pekerja bersikap kritis terhadap berbagai pemotongan upah yang dilakukan pengusaha.
Kegundahan para buruh memuncak, dengan dilayangkannya surat pemberitahuan rencana aksi mogok kerja pertama, dengan harapan pihak Tergugat mau diajak berunding kembali dan mau mendengarkan apa yang jadi tuntutan para buruh, namun ternyata Tergugat tetap dengan sikapnya tidak mau berunding.
Serikat pekerja kembali mengajukan surat pemberitahuan rencana aksi mogok kerja berikutnya, tetapi Tergugat tetap saja tidak menanggapi. Maka anggota serikat pekerja dengan terpaksa melakukan aksi mogok kerja akibat gagalnya perundingan.
Adapun yang menjadi tuntutan, ialah sebagai berikut:
1. Hentikan PHK sepihak dengan alasan rasionalisasi;
2. Berikan upah layak untuk buruh PT. Mulia industrindo Tbk. dan anak perusahaannya;
3. Hapuskan sistem kerja kontrak dan outsoursching di PT. Mulia Industrindo Tbk. dan anak perusahaannya;
4. Hentikan intimidasi, interfensi, dan diskriminasi serta agar diakuinya kebebasan dalam berserikat.
Selama Penggugat melakukan persiapan aksi mogok kerja, Tergugat berupaya menghalang kegiatan Penggugat dengan cara menerbitkan pengumuman yang isinya mengancam akan mem-PHK tanpa pesangon terhadap para buruh yang akan mengikuti kegiatan aksi mogok.
Mogok kerja yang dilakukan Penggugat mengalami dead lock akibat tidak dipenuhinya tuntutan, maka serikat pekerja pada tanggal 15 Januari 2009 kembali melakukan mogok kerja. Namun ternyata dalam perundingan pada tanggal yang sama yang diadakan di Kantor Disnaker Kabupaten Bekasi tetap saja tidak membawa titik temu, Tergugat tetap pada pendiriannya.
Keesokan harinya, Para Penggugat kembali bekerja seperti sedia kala, namun ternyata Tergugat melakukan serangkaian tindakan balasan terhadap para pekerja yang tergabung dalam serikat pekerja termasuk Para Penggugat yang mengikuti mogok kerja, berupa dikeluarkannya kebijakan sanksi skorsing.
Selanjutnya dengan dalih bahwa Para Penggugat melakukan serangkaian tindakan mogok kerja yang tidak sah, pihak Tergugat menerbitkan kebijakan berupa Pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak terhadap Para Penggugat.
Terhadap gugatan tersebut, Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung kemudian mengambil putusan No. 68/V/2009/PHI.SMG. tanggal 19 Mei 2010, dengan pertimbangan hukum serta amar putusan sebagai berikut :
“"Menimbang bahwa pemberitahuan mogok kerja yang disampaikan para Penggugat sebanyak 3 (tiga) kali yaitu tanggal 24 Desember 2008, 6 Januari 2009 dan pada tanggal 12 Januari 2009 tidak menyebutkan kapan aksi mogok berakhir karena hanya menyebutkan "sampai dikabulkannya tuntutan”, hal ini menimbulkan ketidakjelasan hukum yang diamanatkan Pasal 140 ayat (2a) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 jo. Ketentuan Khusus tentang prosedur mogok kerja yang diatur dalam Pasal 70 Perjanjian Kerja Bersama (PKB);
“Menimbang, bahwa dalam surat pemberitahuan mogok kerja akan dilaksanakan pada tanggal 14 Januari 2009, akan tetapi pada kenyataannya pelaksanaan mogok kerja dilaksanakan 2 (dua) hari yaitu pada tanggal 14 dan 15 Januari 2009 sehingga melampaui pemberitahuan mogok kerja dan mogok kerja tersebut tidak sah dan melanggar prosedur yang dituangkan dalam Pasal 140 ayat (2a) UU No. 13 Tahun 2003 jo. Pasal 70 ayat (1 s/d 6) PKB PT. Mulia Industrindo Tbk beserta anak-anak perusahaan, oleh karena itu patut dikenakan sanksi sesuai ketentuan Pasal 65 ayat (14) adalah PHK tanpa Pesangon;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas Majelis Hakim berpendapat bahwa mogok kerja yang dilakukan Penggugat tidak sesuai dengan prosedur yang ditetapkan dalam Pasal 70 PKB PT. Mulia Glass jo. Pasal 140 ayat (2a) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
“... , Majelis menilai bahwa oleh karena para pihak secara hukum telah terikat/sepakat melaksanakan ketentuan yang diatur pada perjanjian kerja bersama, maka mogok kerja yang tidak memenuhi prosedur Pasal 70 Perjanjian Kerja Bersama, sehingga patut dikenakan sanksi sesuai ketentuan Pasal 65 Perjanjian Kerja bersama;
MENGADILI :
DALAM POKOK PERKARA :
PRIMAIR :
1. Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan mogok kerja yang dilakukan Penggugat pada tanggal 14, 15 Januari 2009 melanggar Pasal 70 jo Pasal 65 ayat (14) Perjanjian Kerja Bersama;
3. Menyatakan putus hubungan kerja antara para Penggugat dengan Tergugat terhitung sejak tanggal 28 Februari 2009 tanpa pesangon;
SUBSIDAIR :
Memerintahkan Tergugat untuk membayar uang pisah kepada para Penggugat sejumlah Rp.8.436.028,00 dengan perincian untuk masing-masing Penggugat sebagai berikut :
1.SNU WAHYUDI Rp. 3.480.000,00
2. HERMANSYAH Rp. 4.956.028.00.”
Para Penggugat terkena PHK oleh sebab keberlakuan Pasal 65 Ayat (14) Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang memiliki bunyi sebagai berikut:
“Pekerja yang melakukan pelanggaran berat dapat dikenakan sanksi pemutusan hubungan kerja tanpa mendapatkan uang pesangon, adapun pelanggaran tersebut antara lain: Melakukan mogok kerja tanpa prosedur yang diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama ini / peraturan perundang-undangan.”
Adapun yang menjadi dalil Penggugat, ialah bila kita berpijak pada ketentuan Pasal 6 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.232/MEN/2003 Tentang akibat mogok kerja yang tidak sah, terdapat pengaturan:
1) Mogok kerja yang dilakukan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dikualifikasikan sebagai mangkir.
2) Pemanggilan untuk kembali bekerja bagi pelaku mogok sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Pengusaha 2 (dua) kali berturut-turut dalam tenggang waktu 7 (tujuh) haruslah dalam bentuk pemanggilan tertulis.
3) Pekerja/buruh yang tidak memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka dianggap mengundurkan diri.
Jikalau mogok kerja yang dilakukan oleh Para Penggugat adalah tidak sah, maka berdasarkan ketentuan Pasal 6 Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 232/Men/2003 tersebut diatas, maka mogok kerja yang dilakukan oleh Para Penggugat tidak bisa dikenakan PHK tanpa pesangon, melainkan harus dinyatakan mangkir, yang kemudian para Para Penggugat harus dipanggil kembali oleh Termohon 2 (dua) kali berturut-turut dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari, sehingga sanksi PHK yang dijatuhkan oleh Termohon kepada Para Penggugat adalah tidak sah.
Perjanjian Kerja Bersama (PKB) antara para buruh/pekerja dan Tergugat khususnya isi Pasal 65 Ayat (14) PKB yang berkaitan dengan sanksi PHK tanpa pesangon atas mogok kerja yang tidak sah adalah batal demi hukum karena tidak memenuhi syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), karena cacat unsur objek objektif syarat sah perjanjian, yakni tiadanya causa/dasar yang sahih.
Adapun berdasarkan ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata yang menjelaskan yang dimaksud dengan “causa yang sahih” ialah tidak bertentangan dengan ketertiban umum, tidak bertentanqan dengan kesusilaan, dan juga tidaklah bertentangan dengan perundang-undangan.
Dalam dalil pamungkasnya, pihak pekerja menyatakan, oleh karena berdasarkan ketentuan Pasal 142 ayat (1) dan (2) UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan memerintahkan agar aturan hukum mengenai sanksi atas mogok kerja yang tidak sah harus diatur dalam Keputusan Menteri, maka isi PKB yang mengatur tentang sanksi atas mogok kerja yang tidak sah adalah batal demi hukum.
Ketentuan batal demi hukum ini lebih lanjut diatur berdasarkan Pasal 124 ayat (2) dan (3) UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, yakni:
2) Ketentuan dalam perjanjian kerja bersama tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3) Dalam hal isi perjanjian kerja bersama bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka ketentuan yang bertentangan tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 124 Ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, ketentuan tersebut telah menegaskan yang batal dalam PKB tersebut bukan isi seluruh PKB, melainkan hanya ketentuan ketentuan/isi yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan saja.
Oleh karena isi PKB khususnya yang berkaitan dengan isi Pasal 65 Ayat (14) PKB batal demi hukum, maka isi pasal tersebut adalah sudah cacat sejak lahir karena tidak memenuhi syarat objektif dari perjanjian yang sah, sehingga walaupun isi PKB tersebut belum pernah diajukan pembatalan maka bukan berarti ketentuan tersebut masih memiliki kekuatan hukum, melainkan Hakim demi hukum harus menyatakan bahwa isi PKB yang bertentangan tersebut dinyatakan tidak dapat diberlakukan.
Terhadap permohonan kasasi yang diajukan oleh pihak pekerja sebagaimana dalil-dalil diatas, Mahkamah Agung membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, karena putusan Judex Facti/Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung sudah tepat, dan tidak salah menerapkan hukum yang berlaku, namun demikian Mahkamah Agung memberikan tambahan pertimbangan sebagai berikut :
- Bahwa Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dalam perkara a quo telah dibuat dan ditandatangani oleh para pihak sesuai ketentuan Pasal 116 s/d 135 Undang Undang No.13 Tahun 2003 jo. Kepmenakertras No.Kep.48/Men/IV/2004, lagi pula dalam PKB tersebut tidak ada catatan mengenai pasal-pasal yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan terutama Pasal 65 ayat (4) jo. Pasal 70 PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (6) dan (7) Kepmenakertrans tersebut, dengan demikian PKB tersebut sah dan mengikat bagi para Penggugat dan Tergugat;
- Bahwa selain itu juga tidak ada bukti adanya putusan Pengadilan yang menyatakan batal demi hukum (null and void) Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak karena Pasal 65 ayat (4) jo. Pasal 70 PKB bertentangan dengan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud Pasal 124 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003;
- Bahwa sesuai bukti T.19 berupa Surat Pentapan Penghentian Penyidikan (SP3) dari Kepolisian, membuktikan bahwa tindakan Tergugat mem-PHK para Penggugat akibat mogok kerja tidak sah, tidak melanggar hak berorganisasi sebagaimana ketentuan Pasal 43 Jo Pasal 28 Undang-Undang No. 21 Tahun 2000;
- Bahwa dari uraian diatas maka petitum primair gugatan para Penggugat harus ditolak;
“Menimbang, bahwa namun demikian dengan mendasarkan pada petitum “subsidair” gugatan para Penggugat yang memohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono), Mahkamah Agung memandang adil dan dapat menerima serta menguatkan putusan Judex Facti yang mewajibkan kepada Tergugat untuk membayar uang pisah sebesar 1 (satu) bulan upah untuk sdr. ISNU WAHYUDI dan 2(dua) bulan untuk sdr. HERMANSYAH yang besar dan rinciannya akan disebutkan dalam amar putusan;
“Menimbang, bahwa dengan demikian gugatan para Penggugat dapat dikabulkan sebahagian;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, ternyata putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi : ISNU WAHYUDI dan HERMANSYAH tersebut harus ditolak dengan memperbaiki “amar putusan” Judex Facti sedemikian rupa sehingga berbunyi seperti tersebut dibawah ini;
M E N G A D I L I :
“Menolak permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi : 1. ISNU WAHYUDI, 2. HERMANSYAH tersebut;
“Memperbaiki putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Kelas I A Bandung No. 12/G/2010/PHI/PN.BDG. tanggal 7 Mei 2010 sedemikian rupa sehingga amarnya berbunyi sebagai berikut:
DALAM PROVISI :
- Menolak tuntutan provisi Penggugat untuk seluruhnya;
DALAM POKOK PERKARA :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan putus hubungan kerja antara para Penggugat dengan Tergugat terhitung sejak tanggal 28 Februari 2009 tanpa pesangon;
3. Menghukum Tergugat untuk membayar uang pisah kepada para Penggugat sejumlah Rp.8.436.028,00 dengan perincian untuk masing-masing Penggugat sebagai berikut :
1. ISNU WAHYUDI Rp. 3.480.000,00
2. HERMANSYAH Rp. 4.956.028,00.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.