Syarat Mutlak Dikualifikasi Mengundurkan Diri sebagai Pekerja

LEGAL OPINION
Question: Apa yang menjadi syarat mutlak agar seorang pekerja dapat dikualifikasi sebagai mengundurkan diri? Bisakah bila telah berminggu-minggu pihak pekerja tak juga kunjung masuk kerja, maka seketika pihak perusahaan mengartikannya karyawan tersebut telah mengundurkan diri?
Brief Answer: Terdapat dua syarat minimum yang sifatnya imperatif serta kumulatif untuk dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasi sebagai “mengundurkan diri”, yakni:
- Pekerja/buruh mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah; dan
- telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis.
Meski demikian, dalam beberapa putusan PHI, hakim berprinsip bahwa sekalipun karyawan / pekerja hanya menjadi tenaga lepas paruh waktu pada pemberi kerja lain, maka pekerja dianggap mengundurkan diri pada sang pemberi kerja asal. Pandangan demikian bersifat ekstrim sehingga dirasa kurang arif bila tetap diberlakukan.
Ketika karyawan full time (waktu penuh) ternyata telah menjadi pekerja full time pada pemberi kerja lain, barulah dapat dianggap juga telah mengundurkan diri pada pemberi kerja semula—karena secara hakikinya tidak mungkin seorang pekerja dapat bekerja full time disaat bersamaan dan terus-menerus.
Sementara bila karyawan/pekerja kedapatan menjadi tenaga paruh waktu atau insidentil (temporer sifatnya) untuk kepentingan pemberi kerja lain, maka hal tersebut hanya masuk dalam kategori pelanggaran indisipliner berupa tidak masuk kerja, yang cukup diberi teguran/peringatan.
Perlu juga untuk dipahami, tidak masuknya pekerja / buruh karena dilatarbelakangi adanya larangan dari pengusaha, mengakibatkan tertutup sudah keberlakuan pasal mengenai dapat dikualifikasikannya pekerja sebagai mengundurkan diri.
PEMBAHASAN:
Dalam putusan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Surabaya sengketa hubungan industrial register Nomor 22/G/2016/PHI Sby tanggal 26 Mei 2016, antara:
- HERRY SANTOSO, sebagai Penggugat; melawan
- PT. MULTI ARTHAMAS GLASS INDUSTRY, selaku Tergugat.
Penggugat merupakan pekerja tetap pada Tergugat dengan jabatan terakhir sebagai Staf Gudang Material, masa kerja mencapai lebih dari 25 tahun, dimana Tergugat merupakan badan hukum perseroan terbatas dengan kegiatan usaha dibidang produksi dan temperet kaca.
Pada saat suplier mengambil kaca dari gudang, Penggugat lupa menempel stiker pada kaca tersebut, akan tetapi sudah disertai surat jalan. Beberapa hari kemudian, saat Penggugat hendak masuk kerja dilarang oleh satpam dengan menyuruh menemui petugas HRD perusahaan Tergugat, kemudian dalam pertemuan tersebut Penggugat dituduh menggelapkan kaca padahal yang terjadi adalah percepatan proses milik suplier.
Atas permasalahan tersebut, Penggugat diminta untuk mengundurkan diri akan tetapi Penggugat menolaknya, selanjutnya Penggugat dilarang masuk di area perusahaan, dengan adanya larangan tersebut Penggugat sudah tidak masuk kerja lagi karena Penggugat menganggap telah di-PHK oleh Tergugat.
Oleh karena sudah tidak ada keharmonisan lagi dengan Tergugat maka Penggugat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan menuntut kompensasi berupa uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan yang berlaku.
Sementara itu Tergugat dalam bantahannya menyebutkan, Tergugat tidak pernah melarang Penggugat untuk masuk kerja serta tidak pernah melakukan PHK, akan tetapi Penggugat sendirilah yang menafsirkannya serta menginginkan adanya PHK.
Setelah kejadian pelanggaran SOP tersebut, Penggugatlah yang melakukan tindakan indisipliner yakni tidak masuk kerja secara terus-menerus tanpa keterangan yang sah, maka Penggugat hanya berhak menerima uang penggantian sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Terhadap gugatan tersebut, Majelis Hakim membuat pertimbangan hukum sebelum tiba pada amar putusannya, sebagai berikut:
“Menimbang, ... telah dilakukan perundingan bipartit antara Penggugat dengan Tergugat dimana Penggugat menyatakan bersedia diperkerjakan kembali dengan meminta upah proses dibayarkan, sedangkan pihak Tergugat berpendirian mempekerjakan pihak Penggugat tanpa syarat apapun, dengan demikian perundingan bipartit tersebut tidak tercapai kesepakatan;
“Menimbang, ... terhadap perselisihan tersebut telah dilakukan upaya penyelesaian melalui mediasi oleh Mediator Hubungan Industrial pada Dinas Tenaga Kerja Kota Surabaya, namun demikian upaya mediasi tersebut juga tidak mencapai kesepakatan, oleh karenanya Mediator mengeluarkan anjuran Nomor ... tertanggal 15 September 2015, yang isinya pada pokoknya menyatakan sebagai berikut “Agar pengusaha memanggil pekerja Sdr. Herry Santoso untuk bekerja kembali pada PT Multi Arthamas Glass Industry dan membayar upah pekerja, sejak Sdr. Herry Santoso tidak diperbolehkan bekerja yaitu pada tanggal 19 Desember 2013 sampai dengan bulan Agustus 2015”;
“Menimbang, bahwa terhadap anjuran dari Mediator pada Dinas Tenaga Kerja Kota Surabaya tersebut, Penggugat dalam gugatannya menyatakan keberatan dengan alasan:
- Bahwa Penggugat sebelumnya telah dilarang oleh Tergugat masuk kerja sejak tanggal 19 Desember 2013 meskipun Penggugat telah berulang-ulang untuk masuk kerja akan tetapi jangankan masuk kerja masuk perusahaan pun dilarang;
- Bahwa Penggugat menyadari bahwa apabila dipaksakan untuk menjalin hubungan kerja kembali, maka tidak ada keharmonisan dalam hubungan kerja (disharmonis);
“Menimbang, bahwa menurut Tergugat isi anjuran tersebut sudah jelas yakni menganjurkan Penggugat untuk masuk kerja kembali, akan tetapi Penggugatlah yang mengajukan keberatan atas anjuran tersebut, hal ini membuktikan bahwa Penggugatlah yang sudah tidak mau bekerja lagi dengan Tergugat dan juga setelah Penggugat melakukan tindakan indisipliner (tidak menjalankan prosedur kerja) Peggugat juga tidak masuk kerja secara terus-menerus tanpa keterangan yang sah maka berdasarkan ketentuan Pasal 168 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, Penggugat dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri;
“Menimbang, bahwa mengenai keberatan Penggugat terhadap anjuran dari Mediator pada Dinas Tenaga Kerja Kota Surabaya, menurut Majelis Hakim oleh karena sifat anjuran tersebut tidak mengikat dan belum mempunyai kekuatan hukum tetap sehingga anjuran tersebut dapat ditolak oleh para pihak atau salah satu pihak, yang selanjutnya para pihak atau salah satu pihak tersebut dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat;
“Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan apakah tindakan Pengugat yang telah tidak masuk kerja tersebut dapat dikualifikasikan sebagai mengundurkan diri atau tidak ?, maka akan dipertimbangkan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa ketentuan Pasal 168 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menyatakan bahwa “Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri”;
“Menimbang, bahwa merujuk pasal tersebut Penggugat dapat dikualifikasikan mengundurkan diri, apabila dalam hal ini Tergugat telah memanggil Penggugat untuk bekerja sebanyak 2 (dua) kali secara patut dan tertulis, oleh karena dalam perkara ini Majelis Hakim tidak menemukan adanya bukti surat panggilan kerja dari Tergugat sebagaimana dimaksud dan tidak masuknya Penggugat tersebut karena dilatarbelakangi adanya larangan dari Tergugat, maka dengan demikian Majelis Hakim dapat menyimpulkan bahwa Penggugat dalam perkara ini tidak dapat dikualifikasikan mengundurkan diri;
“Menimbang, bahwa terhadap perselisihan ini para pihak telah menempuh upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit dan melalui upaya mediasi namun tidak tercapai kesepakatan, serta Penggugat juga sudah tidak menghendaki menjalin hubungan kerja dengan Tergugat, dengan alasan karena sudah tidak ada keharmonisan dalam hubungan kerja, kemudian apabila hubungan kerja ini tetap dipertahankan menurut Majelis Hakim akan menimbulkan konflik ketenagakerjaan yang berkepanjangan yang pada akhirnya akan merugikan para pihak maka dalam kondisi seperti ini undang-undang memberikan kewenangan kepada Majelis Hakim untuk mencarikan jalan keluar yang terbaik dan bermanfaat bagi kedua belah pihak;
“Menimbang, bahwa didalam alinea ke III Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, menyebutkan, “Hubungan antara pekerja/buruh dan pengusaha merupakan hubungan yang didasari oleh kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri dalam suatu hubungan kerja secara sukarela. Dalam hal salah satu pihak tidak menghendaki lagi untuk terikat dalam hubungan kerja tersebut maka sulit bagi para pihak untuk tetap mempertahankan hubungan yang harmonis, oleh karena itu perlu dicari jalan keluar yang terbaik bagi kedua belah pihak untuk menentukan bentuk penyelesaiannya.”;
“Menimbang, bahwa oleh karena terhadap perselisihan ini para pihak telah menempuh upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit maupun melalui mediasi dan dengan mempertimbangkan kepentingan para pihak, serta merujuk pada Penjelasan Umum Alinea III Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, maka menurut Majelis Hakim penyelesaian yang adil dalam perkara ini adalah dengan menyatakan “PUTUS” hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat terhitung sejak putusan ini diucapkan;
“Menimbang, bahwa dengan demikian berdasarkan pertimbangan pertimbangan tersebut diatas, Majelis Hakim berpendapat bahwa terhadap tuntutan Penggugat agar menyatakan putus hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat terhitung sejak putusan ini diucapkan, telah beralasan hukum dan dapat dikabulkan;
“Menimbang, bahwa dengan demikian selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan mengenai hak dan kewajiban para pihak terhadap adanya pemutusan hubungan kerja tersebut, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menganut perbedaan dalam penghitungan jumlah uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak, dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK), hal ini erat kaitannya dengan alasan yang mendasari pemutusan hubungan kerja (PHK) tersebut;
“Menimbang, bahwa setelah memeriksa dan mencermati gugatan Penggugat dan Jawaban Tergugat serta dihubungkan dengan bukti-bukti yang diajukan para pihak di persidangan, dengan demikian Majelis Hakim akan berpedoman pada permohonan subsider yang diajukan oleh Penggugat maupun Tergugat dalam gugatan dan jawabannya yang memohon kepada Majelis Hakim untuk menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya apabila Majeliis Hakim berpendapat lain;
“Menimbang, bahwa Penggugat dalam gugatannya telah mengakui bahwa pada waktu itu saat suplier mengambil kaca Penggugat lupa menempelkan stiker, dimana menurut Tergugat kejadian tersebut menunjukkan bahwa Peggugat dalam bekerja tidak menjalankan prosedur kerja yang benar sesuai dengan Standart Operasional Prosedur (SOP) yang berlaku di perusahaan, oleh karenanya berdasarkan fakta-fakta tersebut Majelis Hakim berpendapat bahwa tindakan Penggugat tersebut dapat dikatagorikan sebagai pelanggaran kerja;
“Menimbang, bahwa oleh karena Penggugat telah melakukan perbuatan yang dapat dikatagorikan sebagai pelanggaran kerja maka terhadap pemutusan hubungan kerja tersebut, Majelis Hakim berpendapat bahwa Penggugat berhak mendapatkan uang kompensasi berupa uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, yang harus dibayarkan oleh Tergugat;
“Menimbang, bahwa terkait dengan tuntutan mengenai upah yang belum dibayarkan mulai Desember 2013 sampai dengan Agustus 2015 dan upah selama proses penyelesaian perselisihan mulai bulan September 2015 sampai dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap, namun demikian sekalipun secara yuridis Tergugat berkewajiban membayar upah Penggugat sebagaimana dimaksud, mengingat Penggugat juga tidak melakukan tugas dan kewajiban kerjanya secara aktif di perusahaan terhitung sejak bulan Desember 2013, maka menurut Majelis yang adil dan patut mengenai besarnya upah yang harus dibayar oleh Tergugat kepada Penggugat adalah sebesar 6 (enam) kali upah per bulan, dengan demikian tuntutan Penggugat tersebut harus dikabulkan sebagian, dengan mengabulkan upah selama proses penyelesaian perselisihan dalam perkara ini yang ditentukan sebesar 6 (enam) kali upah perbulan;
“Menimbang, bahwa oleh karena upah terakhir yang diterima oleh Penggugat pada bulan November 2013 adalah sesuai dengan UMK Kota Surabaya tahun 2013 yang ditetapkan sebesar Rp.1.740.000,00 mengacu pada ketentuan Pasal 157 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka yang dijadikan dasar perhitungan hak-hak yang harus diterima Penggugat atas pemutusan hubungan kerja tersebut adalah upah terakhir tersebut, dan perhitungan masa kerja Penggugat adalah 25 tahun 11 bulan;
“Menimbang, bahwa dengan demikian berdasarkan pertimbangan tersebut diatas Tergugat diwajibkan membayar hak-hak Penggugat, berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak dan upah selama proses penyelesaian perselisihan dalam perkara ini;
M E N G A D I L I :
“DALAM POKOK PERKARA
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan putus hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat terhitung sejak putusan perkara ini diucapkan;
3. Menghukum Tergugat untuk membayar secara tunai dan sekaligus kepada Penggugat berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak dan upah selama proses penyelesaian perselisihan dalam perkara ini, yang besarnya sesuai dengan perincian sebagai berikut:
a) Uang pesangon (UP) 1 x 9 (bulan) x Rp.1.740.000,00 Rp.15.660.000,00.
b) Uang penghargaan masa kerja (UPMK) 10 (bulan) x Rp.1.740.000,00 Rp. 17.400.000,00.
c) Uang penggantian hak (UPH) 15 % x Rp.33.060.000,00 Rp. 4.959.000,00
d) Upah selama proses penyelesaian perselisihan 6 (bulan) x Rp.1.740.000,00 Rp.10.440.000,00.
Total keseluruhan Rp. 48.459.000,00. Terbilang : empat puluh delapan juta empat ratus lima puluh sembilan ribu rupiah;
4. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.