Subrogasi dalam Pertanggungan / Asuransi Terjadi demi Hukum

LEGAL OPINION
Question: Sebenarnya pihak kami yang merupakan penanggung kerugian nasabah pemegang polis asuransi, kami sebagai perusahaan asuransi seketika secara otomatis menggantikan posisi nasabah terhadap pihak ketiga yang telah menimbulkan kerugian, ataukah harus lewat mekanisme formalitas surat kuasa dari tertanggung?
Brief Answer: Mengingat asuransi merupakan perikatan jenis hubungan hukum “alih resiko”, maka secara falsafahnya subrogasi terjadi demi hukum secara otomatis ketika dana pertanggungan dicairkan oleh nasabah tertanggung.
Namun, guna menghindari sebagian kalangan hakim yang masih memandang subrogasi dalam asuransi terjadi lewat pemberian surat kuasa, hendaknya prinsip-prinsip dasar pembuatan surat kuasa diperhatikan oleh pihak Penanggung saat nasabah mencairkan dana penanggungan.
Salah satu bukti bahwa subrogasi dalam konsep asuransi terjadi demi hukum, ialah tiadanya akta tersendiri mengenai peralihan hak tagih maupun piutang. Dalam konsep subrogasi, yang terjadi bukanlah konsepsi pemberian dan penerimaan kuasa, namun peralihan piutang. Sehingga perusahaan asuransi bukanlah berkedudukan sebagai penerima kuasa, namun bertindak untuk dan atas nama sendiri.
PEMBAHASAN:
Terdapat dua ketentuan normatif paling mendasar dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang mengatur perihal asuransi, yakni:
- Pasal 246: “Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian, di mana penanggung mengikat diri terhadap tertanggung dengan memperoleh premi, untuk memberikan kepadanya ganti rugi karena suatu kehilangan, kerusakan, atau tidak mendapat keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dapat diderita karena suatu peristiwa yang tidak pasti.”
- Pasal 284: “Penanggung yang telah membayar kerugian barang yang dipertanggungkan, memperoleh semua hak yang sekiranya dimiliki oleh tertanggung terhadap pihak ketiga berkenaan dengan kerugian itu; dan tertanggung bertanggung jawab untuk setiap perbuatan yang mungkin merugikan hak penanggung terhadap pihak ketiga itu.
Salah satu ilustrasi putusan yang patut diwaspadai serta diantisipasi oleh kalangan perusahaan asuransi, tercermin dalam putusan Mahkamah Agung RI tingkat kasasi sengketa gugatan perdata register Nomor 2579 K/Pdt/2001 tanggal 12 Oktober 2004, antara:
- PT. ASURANSI WUWUNGAN, sebagai Pemohon Kasasi, semula Pembanding, dahulu Penggugat; melawan
- PT. AGUNG WIJAKSANA UTAMA SAKTI, sebagai Termohon Kasasi, semula Terbanding, dahulu Tergugat.
PT. Makindo Perkasa merupakan nasabah pemegang polis Asuransi Pengangkutan (Marine Cargo) yang disediakan oleh Penggugat. Pada tahun 1997, PT. Makindo Perkasa mengirim barang antar pulau lewat jasa pengiriman pihak Tergugat.
Namun PT. Makindo Perkasa kemudian memberitahu Penggugat bahwa barang yang dikirim melalui Tergugat tidak sampai di tujuan dan selanjutnya mengajukan klaim kepada Penggugat.
Sesuai dengan isi Polis Asuransi (Perjanjian Asuransi), Penggugat sebagai tindak-lanjutnya membayar klaim dari PT. Makindo Perkasa sejumlah Rp.93.578.777,21 pada tanggal 27 Mei 1998.
Sesuai dengan kaidah Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), PT. Makindo Perkasa telah memberi kuasa tertanggal 27 Mei 1998 kepada Penggugat untuk menuntut pihak ketiga dalam hal ini Tergugat agar mengganti seluruh biaya yang dikeluarkan oleh Penggugat kepada PT. Makindo Perkasa.
Berdasarkan “surat kuasa subrogasi” tersebut, Penggugat telah menegur Tergugat untuk mengganti seluruh biaya yang dileluarkan oleh Penggugat kepada PT. Makindo Perkasa, namun tidak mendapat tanggapan.
Sebagai Badan Hukum Lembaga Keuangan bidang “Jasa Asuransi” Penggugat merasa dirugikan sehingga Tergugat diminta membayar ganti-rugi kepada Penggugat yaitu mengganti biaya yang dibayarkan kepada PT. Makindo Perkasa dan bunga yang berlaku standar dalam dunia keuangan.
Adapun pihak Tergugat dalam bantahannya mendalilkan, bahwa gugatan Penggugat kurang pihak, karena tidak mengikut-sertakan PT. Makindo Perkasa sebagai Tergugat dalam perkara a quo, mengingat PT. Makindo Perkasa adalah pemilik barang-barang yang hilang atau yang mempunyai hubungan hukum dengan Tergugat. Oleh karena gugatan Penggugat kurang pihak, maka Tergugat meminta agar pengadilan menyatakan gugatan “tidak dapat diterima”.
Terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Jakarta Barat telah mengambil putusan, yaitu putusannya tanggal 15 Juni 1999 No.424/Pdt/G/1998 /PN.JKT.BAR. yang amarnya berbunyi sebagai berikut :
DALAM EKSEPSI :
- Menolak eksepsi yang diajukan Tergugat Konpensi;
DALAM POKOK PERKARA :
- Menyatakan gugatan Penggugat Konpensi tidak dapat diterima;
Dalam tingkat banding atas permohonan Penggugat, putusan Pengadilan Negeri kemudian dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dengan putusannya tanggal 21 Maret 2000 No. 856/Pdt/1999/PT.DKI, dengan pertimbangan hukum serta amar putusan, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa gugatan Penggugat kurang pihak, karena tidak mengikut sertakan PT. Makindo Perkasa sebagai Tergugat dalam perkara a quo, sedangkan PT. Markindo Perkasa adalah salah satu pihak yang sangat penting dan harus diikut sertakan dalam perkara a quo, mengingat PT. Markindo Perkasa adalah pemilik barang-barang yang hilang atau yang mempunyai hubungan hukum dengan Tergugat;
“Menimbang, bahwa Surat Kuasa Subrigasi tanggal 27 Mei 1998 sesuai bukti P.8 tidak dapat dipakai oleh penerima kuasa Ir. Lis Sarifuddin untuk memberi kuasa kepada Penasehat Hukumnya untuk menggugat Tergugat karena dalam surat kuasa subrogasi tersebut tidak ada diberikan hak untuk memberikan surat kuasa subtitusi, karenanya surat kuasa Penggugat kepada Penasehat Hukumnya tidak sah, karenanya eksepsi Tergugat dapat diterima, sehingga Penggugat tidak dapat diterima;
“MENGADILI :
- Menerima permohonan banding yang diajukan oleh Penggugat dalam Konpensi / Tergugat dalam Rekonpensi / Pembanding tersebut;
- Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat tanggal 15 Juni 1999 No.424 /Pdt.G/1998/PN.Jkt.Bar. yang disbanding;
MENGADILI SENDIRI :
DALAM EKSEPSI :
- Menerima Eksepsi Tergugat / Terbanding tersebut;
DALAM POKOK PERKARA :
- Menyatakan gugatan Penggugat / Pembanding tidak dapat diterima.
Penggugat mengajukan upaya hukum kasasi, dengan argumentasi, bahwa dalam praktik niaga asuransi, penanggung baru berhak mengambil alih hak tersebut setelah penggantian kepada tertanggung dibayarkan, dimana perpindahan hak penagihan piutang ini berlaku secara otomatis walaupun tertanggung tidak memberikan surat kuasa mengenai hal itu.
Akan tetapi, lanjut Penggugat dalam memori kasasinya, untuk menghilangkan keragu-raguan terhadap pihak ke III (dalam hal ini adalah PT. Agung Wijaksana Utama Sakti (Tergugat) yang bertanggung jawab, biasanya perpindahan hak ini dilaksanakan dengan pemberian sebuah surat yang disebut sebagai Letter of Subrogation.
Sehingga atas dasar tersebut, surat kuasa subrogasi yang diterima Penggugat tidak cacat hukum. Disamping itu, sesuai dengan prinsip legal mandatory yang dikenal Undang-Undang Perseroan Terbatas, pemegang kuasa subrogasi (dalam hal ini PT. Asuransi Wuwungan) menyerahkan kuasa insidentilnya kepada karyawan bagian hukum PT. Asuransi Wuwungan untuk mengajukan gugatan.
Terhadap permohonan kasasi tersebut, Mahkamah Agung membuat pertimbangan hukum serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa atas keberatan-keberatan kasasi tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan-keberatan ini tidak dapat dibenarkan, karena pertimbangan hukum judex factie (Pengadilan Tinggi) yang menjadi dasar putusannya sudah tepat;
“Menimbang, bahwa berdasarkan apa yang dipertimbangkan diatas, lagi pula dari sebab tidak ternyata bahwa putusan Judex Factie dalam perkara ini bertentangan dengan hukum dan / atau Undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi tersebut harus ditolak;
“Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi ditolak, maka Pemohon Kasasi dihukum untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : PT. ASURANSI WUWUNGAN tersebut.”
Note SHIETRA & PARTNERS: dalam konsep hukum perdata mengenai subrogasi, peralihan piutang mengakibatkan pergantian posisi kreditor lama pada kreditor baru. Karena terjadi peralihan hak atas piutang, maka kreditor lama tak lagi memiliki kepentingan untuk turut menggugat.
Berbeda dengan konsepsi pemberian kuasa, dimana penerima kuasa hanyalah sekedar mandataris/delegataris dari pemberi kuasa semata, namun tidak terjadi perpindahan/peralihan hak dan kewajiban. Apa yang dilakukan dan apa yang diterima penerima kuasa tetaplah menjadi hak dan kewajiban pemberi kuasa.
Secara taat asas konsepsi hukum perdata mengenai subrogasi dalam asuransi, subrogasi hanya mensyaratkan akta subrogasi. Namun khusus dalam konteks asuransi, akta subrogasi bersifat perikatan bersyarat tangguh—yakni dibuat saat polis asuransi disepakati antara penanggung terhadap tertanggung, dimana dalam akta “alih resiko” tersebut, subrogasi baru terjadi ketika suatu keadaan/kondisi yang “tidak pasti” kemudian benar-benar terjadi.
Subrogasi dalam asuransi/pertanggungan, telah terjadi secara sempurna ketika penanggung mencairkan dana polis kepada tertanggung—tanpa sekalipun adanya surat kuasa dari kreditor lama kepada kreditor baru.
Yang dibutuhkan Majelis Hakim guna membuktikan telah terjadinya subrogasi dalam pertanggungan, ialah dua dokumen yang bersifat kumulatif mutlak, yakni:
- Akta pertanggungan / perjanjian alih resiko;
- bukti pencairan polis asuransi kepada Tertanggung.
Sama halnya dengan konstruksi hukum perdata borgtocht atau yang juga dikenal dengan istilah personal guarantee, ketika penjamin melunasi hutang debitor, maka penjamin tersebut memiliki hak tagih dari kreditor yang dilunasinya terhadap debitor—dan hal ini terjadi demi hukum (imbued by law) tanpa ada akta subrogasi sekalipun karena memang diatur demikian oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hanya saja subrogasi dalam asuransi diatur secara spesifik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
Namun, sekali lagi, demi mengantisipasi, berhadapan dengan Majelis Hakim yang kurang memahami konsep dasar hukum perdata mengenai subrogasi, ada baiknya untuk membuat “benteng pertahanan” kedua yang dapat dipetik dari pengalaman buruk kasus diatas.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.