Strict Liability Usaha Perkebunan, Dilarang Lalai untuk Menjaga Kondisi Lahan Hak Guna Usaha

LEGAL OPINION
Question: Apa yang menjadi the worst case bila seandainya pengusaha perkebunan membuka lahan perkebunan dengan cara membakar lahan gambut di kawasan suaka alam? Apakah dicabutnya izin usaha perkebunan sudah cukup membebaskan tanggung jawab perdata pengusaha?
Brief Answer: Berhubung hukum lindungan hidup mengadopsi prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sehingga pelaku usaha bertanggung jawab atas setiap kerugian warga maupun kerugian negara yang terbit akibat kondisi objek lahan, maka ada atau tidaknya kesalahan pada pelaku usaha maka kondisi faktual terbakarnya lahan telah menjadi bukti yang cukup untuk dihukum sejumlah ganti-rugi.
Karena sifatnya strict liability, oleh karenanya setiap pelaku usaha pemilik Hak Guna Usaha tidak boleh serta tidak dapat lalai untuk menjaga kondisi lahannya.
Falsafah yang bekerja dibalik cara berhukum ini, ialah penerapan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) yang memang berlaku dalam hukum lingkungan secara internasional.
Perlu juga diperhatikan, dalam perkara penanganan kerusakan lingkungan hidup, praktik peradilan perdata dan ketentuan hukum memungkinkan hakim menjatuhkan amar putusan melampaui apa yang diminta oleh penggugat—alias dimungkinkannya prinsip ultra-petita.
Dicabutnya izin usaha perkebunan tidak menghapus tanggung jawab pidana maupun perdata pelaku usaha.
PEMBAHASAN:
Salah satu landmark decision terkait pembukaan lahan dengan cara membakar lahan gambut, dapat dijumpai dalam putusan Mahkamah Agung tingkat kasasi perkara gugatan lingkungan hidup register Nomor 651 K/Pdt/2015 tanggal 28 Agustus 2015, antara:
- PT. KALLISTA ALAM, selaku Pemohon Kasasi, semula Pembanding, dahulu Tergugat; melawan
- MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA, sebagai Termohon Kasasi, dahulu Terbanding, semula Penggugat.
Pemerintah, dalam hal ini instansi yang bertanggung jawab dalam bidang lingkungan hidup diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk melakukan upaya hukum guna menuntut ganti-rugi serta dilakukannya tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang telah menyebabkan perusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup melalui gugatan perdata. Hak Pemerintah tersebut diatur dalam Pasal 90 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU Lingkungan Hidup).
Tergugat telah memperoleh Izin Usaha Perkebunan Budidaya yang diberikan Gubernur Aceh dengan luas wilayah kurang lebih 1.605 hektar. Sesuai dengan peta kawasan yang menjadi lampiran tidak terpisahkan dari Izin Usaha, seluruh perkebunan milik Tergugat berada dalam kawasan yang disebut dengan “Kawasan Ekosistem Leuser” (KEL).
KEL ditetapkan sebagai kawasan konservasi (kawasan yang dilindungi oleh undang-undang) berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1998 tentang Kawasan Ekosistem Leuser.
Menurut Peraturan Gubernur Aceh Nomor 52 Tahun 2006 tentang Pembentukan Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser di wilayah Aceh adalah seluruh kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan yang terdiri dari KEL sebagai Kawasan Suaka Alam dan atau Kawasan Pelestarian Alam.
Lebih lanjut berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, KEL adalah Kawasan Strategis Nasional dengan sudut pandang sudut kepentingan lingkungan hidup, Rehabilitasi/Revitalisasi Kawasan.
Kawasan Strategis Nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang ditetapkan sebagai warisan dunia (world heritage), sehingga dengan demikian KEL adalah kawasan yang keberadaannya wajib dilindungi.
Laporan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) kepada Penggugat melaporkan bahwa terdapat titik panas (hotspot) yang mengindikasikan terjadinya kebakaran/dugaan pembakaran lahan di wilayah perkebunan Tergugat seluas 1.605 hektar yang berada dalam KEL, yakni pada areal HGU lama dan di bakal areal baru tanpa HGU milik Tergugat.
Adanya titik panas yang ditandai dengan meningkatnya suhu permukaan bumi di wilayah usaha Tergugat merupakan indikator terjadinya peningkatan suhu permukaan yang mengarah kepada terjadinya kebakaran, sehingga data dan informasi tersebut dijadikan landasan bagi Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) untuk membentuk dan menugaskan suatu tim lapangan yang beranggotakan para ahli dan staf Kementerian Lingkungan Hidup serta perwakilan Pemerintah Propinsi Aceh.
Ditemukan tanda-tanda fisik bekas kebakaran seperti dipenuhi dengan log kayu bekas terbakar yang telah ditanami kelapa sawit dengan luas 29,5 hektar. Lahan terbakar merupakan kawasan gambut yang dilindungi (kawasan konservasi) karena ketebalan gambut mencapai lebih dari 3 (tiga) meter, dimana yang terkena dampak berada pada kedalaman 20–30 centimeter.
Ditemukan adanya lahan gambut yang tidak terbakar yaitu ruas jalan yang menjadi pembatas antar blok atau petak yang digunakan untuk transportasi kegiatan pengelolaan kebun kelapa sawit. Areal lahan kebun kelapa sawit tidak dilengkapi dengan papan peringatan tentang larangan penggunaan api, kelengkapan peralatan sebagai perlindungan dari ancaman bahaya kebakaran baik pencegahan maupun pemadaman.
Ditemukan pola pengeringan air pada lahan gambut dengan sistem bertingkat menggunakan saluran tersier (kanal) dengan lebar sekitar 1 sampai 1,5 meter dengan kedalaman sekitar 1 meter dari kedalaman gambut yang lebih dari 3 meter yang berdampingan dengan saluran sekuder sehingga seolah-olah berada diatasnya.
Saluran tersier tersebut berfungsi untuk mengalirkan air dari lapisan gambut atas sehingga mengakibatkan gambut akan mengalami pengeringan pada bagian permukaannya dan menjadi sensitif terhadap kemungkinan terjadinya kebakaran.
Tampak adanya log-log bekas pohon hutan alam yang ditebang berjumlah sekitar 60 ton/hektar yang digunakan sebagai bahan bakar untuk membakar atau membuat jadi terbakar.
Sehingga berdasarkan fakta-fakta lapangan tersebut, maka terbukti secara faktual dan tidak terbantahkan telah terjadi kebakaran di lokasi perkebunan milik Tergugat.
Secara runut Penggugat menguraikan, kerangka peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini secara tegas mengatur norma larangan membuka lahan perkebunan dengan cara membakar, yakni:
- Pasal 69 ayat (1) huruf h UU Lingkungan Hidup:
“Setiap orang dilarang: Melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar;”
- Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup (PP 4/2001):
“Setiap orang dilarang melakukan kegiatan pembakaran hutan dan/atau lahan.
- Pasal 3 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 tanggal 28 Januari 2010 tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan
“Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang memanfaatkan hutan dan/atau lahan wajib melakukan Pembukaan Lahan Tanpa Bakar.
- Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan yang menjadi dasar diterbitkannya Izin Usaha, dalam Pasal 26 mengatur:
“Setiap pelaku usaha perkebunan dilarang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan perusakan fungsi lingkungan hidup.”
- Membuka lahan dengan cara bakar dapat dikualifisir sebagai suatu perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Patut diduga Tergugat telah dengan sengaja melakukan pembakaran lahan gambut untuk keperluan pembukaan lahan kelapa sawit atau setidaknya lalai mencegah dan menanggulangi terjadinya kebakaran.
Berdasarkan Izin Usaha serta sesuai dengan rencana kerja tahunan yang seharusnya dimiliki oleh setiap perusahaan perkebunan, pembukaan lahan gambut dapat dilaksanakan oleh Tergugat dengan menaati ketentuan yang telah digariskan dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14 Tahun 2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit.
Fakta bahwa Tergugat telah membuka lahan gambut miliknya terbukti dengan adanya Surat Perjanjian Kerjasama (SPK), dimana Tergugat telah menunjuk pihak lain sebagai kontraktor untuk melaksanakan kegiatan pembukaan lahan pada areal seluas kurang lebih 1.200 hektar.
Berdasarkan data satelit yang menunjukkan hotspot, tampak mengelompok pada suatu lokasi tertentu khususnya pada areal yang sedang dibuka/di-land clearing dan berlangsung selama bertahun-tahun khususnya pada 3 tahun terakhir, sarana dan prasarana pengendalian kebakaran sangat minim bahkan hampir dikatakan tidak ada sehingga kebakaran yang terjadi cenderung dibiarkan, serta tidak ditemukan kapur pada bagian permukaan yang seharusnya digunakan sebagai bahan untuk menaikkan pH pada tanah gambut ber pH rendah, dengan dasar ini maka patut diduga bahwa kegiatan pembukaan lahan/land clearing telah dilakukan dengan cara membakar dengan melalui beberapa tahapan, yaitu:
(1) Log dari pohon hutan alam bekas ditebang sebagian tetap dibiarkan apa adanya di areal pembukaan lahan sementara sebagian lagi ditumpuk dalam bentuk tumpukan;
(2) Pembangunan kanal dilakukan sebelum kegiatan dilakukan;
(3) Pengeringan log bekas tebangan yang merupakan bahan bakar pada areal penyiapan lahan dilakukan menggunakan sinar matahari;
(4) Pembakaran log bekas tebangan hutan alam yang telah dikeringkan menggunakan sinar matahari yang kemudian berfungsi sebagai bahan bakar dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung melalui pembiaran (omission);
(5) Pada lahan bekas dibakar kemudian dipasang ajir sebagai tanda tempat tanaman akan ditanam;
(6) Pembuatan lubang tanaman dilakukan pada lokasi yang ditandai dengan ajir tanaman. Penanaman kelapa sawit pada lubang tanam yang dibuat sebelumnya yang ditandai dengan air tanaman tanpa pemberian pupuk apapun di dalam lubang tanaman;
Sepatutnya Tergugat mengetahui bahwa pembangunan kebun kelapa sawit di areal bergambut sangat sensitif terhadap kemungkinan terjadinya kebakaran. Meskipun telah mengetahuinya, Tergugat membangun kanal yang bertujuan untuk mengurangi kuantitas air pada lahan gambut yang dibuka khususnya pada lapisan atas sehingga lahan dapat ditanami kelapa sawit, sehingga patut diduga Tergugat sengaja ingin mengeringkan tanah gambut atau membuat tanah gambut tersebut menjadi kering.
Fakta berikutnya yang menunjukkan adanya kesengajaan Tergugat membuka lahan gambut dengan cara membakar terlihat dari log-log bekas pohon hutan alam yang bertebaran di permukaan lahan yang telah dibuka yang kemudian disusun dalam rumpukan dan setelah itu dikeringkan dibawah terik sinar matahari. Akibatnya, dalam kondisi bagian permukaan lahan bergambut mengering, rumpukan kayu yang berada di atas permukaannya tersebut juga akan mengering dan dapat menjadi bahan bakar, sehingga akan sangat mudah terbakar apabila terkena sumber api baik secara langsung maupun tidak langsung.
Hasil rekaman citra satelit menunjukkan titik panas (hotspots) terjadi pada bulan Maret, Mei dan Juni tahun 2012, serta pada bulan Mei dan Juni 2011, maupun pada Februari, April, Mei dan September tahun 2010, serta pada Februari hingga Juli tahun 2009 membuktikan bahwa titik panas tersebut bersumber dari wilayah yang sedang terbakar. Sehingga patut diduga kebakaran terjadi pada saat dan terus berlanjut setelah adanya aktifitas pembukaan lahan di lokasi perkebunan Tergugat. Bahwa dengan demikian terdapat persamaan waktu (tempus) dan tempat (locus) antara saat terjadinya kebakaran dengan lokasi dimana pembukaan lahan sesuai SPK tersebut dilakukan.
Fakta lain yang membuktikan bahwa kebakaran yang terjadi di wilayah Tergugat disebabkan karena aktifitas pembukaan lahan terlihat dari hasil foto udara pada tanggal 27 Maret 2012, yang memperlihatkan kebakaran lahan telah menimbulkan asap tebal setinggi lebih kurang 70-80 meter, yang berhasil diambil gambarnya.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, dimana dalam setiap dalilnya Penggugat menyertakan bukti, maka sepatutnya sudah dapat diduga bahwa kebakaran yang terjadi di lokasi Tergugat disebabkan oleh pembukaan lahan dalam rangka penyiapan lahan untuk pembangunan kebun kelapa sawit.
Selain fakta-fakta tersebut, bila mencermati penggunaan struktur biaya pembukaan lahan yang menurut analisis Penggugat sangat tidak wajar untuk suatu pembukaan lahan dengan metode/cara tidak membakar. Bila menggunakan metode Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB), maka biaya normal yang diperlukan adalah sekitar Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah)/hektar.
Sehingga total biaya yang mestinya dikeluarkan untuk membuka lahan yang luasnya 1.000 hektar adalah sebesar Rp40.000.000.000,00 (empat puluh miliar rupiah). Sementara dalam kerjasama dengan pihak kontraktor pembukaan lahan, Tergugat hanya membayar biaya sebesar Rp8.946.667,00.
Sehingga jelas terbukti bahwa Tergugat membuka lahan dengan biaya jauh di bawah biaya normal bila menggunakan metode PLTB (Pembukaan Lahan Tanpa Bakar). Dengan membandingkan perhitungan biaya pembukaan lahan dengan metode PLTB, maka jelas sekali nilai kontrak pembukaan lahan Tergugat terbukti sangatlah rendah dan cenderung tidak wajar, sehingga patut diduga perhitungan bukan dibuat atas dasar metode PLTB (baik secara manual, mekanik dan/atau kimiawi), namun dengan perhitungan biaya pembukaan lahan dengan cara membakar, karena metode terakhir jelas lebih murah ongkosnya selain juga lebih cepat dari segi waktu.
Unsur kesengajaan Tergugat sepatutnya dianggap sudah terbukti dengan adanya “klausula bakar” dalam Surat Perjanjian Kerja (SPK) terhadap kontraktor yang tidak lain dapat diartikan bahwa lahan dapat dibuka dengan cara membakarnya. Bahwa tentulah amat logis bila klausula tersebut diartikan oleh siapapun yang menjadi kontraktor atau pihak yang melaksanakan pembukaan lahan sebagai suatu perintah, permintaan, atau perbuatan menyuruh dari Tergugat untuk membuka lahan dengan cara bakar atau setidak-tidaknya membiarkan kebakaran tersebut terjadi.
Lebih lanjut dengan melihat fakta-fakta lapangan setelah terjadinya kebakaran, maka hubungan kausalitas yang sangat erat antara perbuatan Tergugat (yaitu membakar/terbakarnya lahan) dengan tujuan akhir yang diinginkan Tergugat (yaitu membuka lahan dengan biaya murah dan cara cepat) sudah dengan sendirinya membuktikan unsur kesengajaan tersebut.
Berdasarkan verifikasi lapangan yang dilakukan pada tanggal 5 Mei 2012 dan 15 Juni 2012, tampak dengan jelas lahan langsung/segera ditanami kelapa sawit setelah terbakar, sebagaimana yang ditunjukkan dari hasil pengecekan lapangan dikarenakan secara ilmiah abu/arang sisa-sisa bekas kebakaran akan meningkatkan pH tanah 3,95 sehingga menjadi 5,8 sehingga meningkatkan kesuburan.
Apa yang menjadi motif pembakaran lahan? Penguakan motif amatlah penting bagi hakim dalam memutus bersalah atau tidaknya.
Kebakaran/terbakarnya lahan tidak menimbulkan kerugian bagi Tergugat sama sekali, malah memberikan “keuntungan” secara ekonomis. Karena dengan terbakarnya lahan Tergugat tidak perlu lagi mengalokasikan belanja modal (capital expenditure) untuk membeli mesin dan peralatan yang dibutuhkan untuk membuka lahan. Dengan terbakarnya lahan, Tergugat tidak perlu mengeluarkan biaya untuk membeli kapur (yang seharusnya digunakan untuk bahan meningkatkan pH (tingkat keasaman) tanah gambut karena sudah digantikan dengan abu hasil bekas kebakaran).
Tergugat juga diuntungkan karena jelas akan memangkas biaya operasional seperti upah tenaga kerja, bahan bakar, serta biaya-biaya lain yang dibutuhkan apabila pembukaan lahan dilakukan dengan cara PLTB. Pembukaan lahan dengan membakar juga akan menguntungkan dari segi waktu karena proses “pembersihan” lahan menjadi lebih cepat sehingga dapat segera ditanami. Apalagi tanah gambut yang terbakar akan menyebabkan zat-zat hara yang dikandungnya terangkat ke atas sehingga dapat memberikan kesuburan pada tanah untuk ditanami kelapa sawit.
Fakta-fakta kebakaran terjadi di lahan Tergugat, Tergugat sendiri tidak melarang kontraktor pembukaan lahan melakukan pembakaran lahan, bukti bahwa lahan gambut sengaja dikeringkan serta adanya rumpukan kayu kering yang sengaja dijadikan bahan bakar telah cukup membuktikan bahwa jelas-jelas terjadinya peristiwa kebakaran tersebut sangat diinginkan sendiri oleh Tergugat, sehingga secara hukum patut diduga maksud dan kepentingan Tergugat terhadap terbakarnya lahan yaitu agar dapat membuka lahan gambut dan selanjutnya memanfaatkannya untuk penanaman kelapa sawit dengan harga yang murah dan waktu yang cepat sudah sepatutnya dianggap terbukti.
Oleh karena Tergugat memiliki maksud untuk membuka lahan dengan cara bakar yang dengan demikian membuktikan unsur kesengajaannya, maka Tergugat wajib bertanggungjawab atas kerusakan tanah gambut yang ditimbulkan oleh kebakaran di atas lahan perkebunan milik Tergugat, atau setidak-tidaknya Tergugat telah sengaja membiarkan lahannya terbakar karena terbukti tidak dimilikinya sarana, prasarana, SOP dan petugas untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran sehingga tidak ada upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran sebagaimana dibuktikan dengan fakta-fakta paska-kebakaran, sehingga unsur kesengajaan harus dianggap telah terbukti.
Dengan demikian perbuatan Tergugat telah memenuhi kualifikasi perbuatan melanggar hukum yang dapat dituntut ganti ruginya berdasarkan Pasal 90 UU Lingkungan Hidup dan Pasal 1365 KUHPerdata.
Khususnya dalam perbuatan melanggar hukum yang merugikan lingkungan, pertanggungjawaban Tergugat sebagai pemilik lahan perkebunan dapat dituntut sesuai dengan prinsip tanggung-jawab mutlak (strict liability) yang dianut oleh UU Lingkungan Hidup, dimana pelaku usaha wajib bertanggungjawab mutlak atas kerusakan lingkungan oleh karena dampak yang diakibatkan dari usahanya dapat menimbulkan ancaman serius bagi lingkungan.
Fakta kebakaran yang terjadi setiap tahun secara terus-menerus telah pula membuktikan bahwa Tergugat telah lalai melakukan kewajiban hukumnya sesuai dengan ketentuan undang-undang serta izin usaha yang berlaku dimana Tergugat diwajibkan melakukan tindakan dan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan/atau lahan di lokasi kegiatan usahanya.
Kewajiban hukum tersebut diatur dalam Pasal 25 huruf c Undang-Undang Perkebunan yang mengatur:
“Untuk mencegah kerusakan fungsi lingkungan hidup …. , perusahaan  perkebunan wajib: Membuat pernyataan kesanggupan untuk menyediakan sarana, prasarana dan sistem tanggap darurat yang memadai untuk menanggulangi terjadinya kebakaran dalam pembukaan dan/atau pengolahan lahan.”
Lebih lanjut kewajiban-kewajiban tersebut dirinci dalam Pasal 12, 13 dan 14 PP 4/2001 yang berbunyi:
- Pasal 12: “Setiap orang berkewajiban mencegah terjadinya kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan.”
- Pasal 13: “Setiap penanggungjawab usaha yang usahanya dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan wajib mencegah terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya.”
- Pasal 14:
(1) setiap penanggungjawab usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 wajib memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya;
(2) Sarana dan prasarana pencegahan terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
b. Sistem deteksi dini untuk mengetahui terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan;
c. Alat pencegahan kebakaran hutan dan atau lahan;
d. Prosedur operasi standar untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan;
e. Perangkat organisasi yang bertanggungjawab dalam mencegah dan menanggulangi terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan;
f. Pelatihan penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan secara berkala”.
Kewajiban untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan kebakaran juga melekat pada izin usaha sebagai dasar beroperasinya usaha perkebunan Tergugat, yang diberikan dengan syarat Tergugat harus melaksanakan pembukaan lahan tanpa bakar serta mengendalikan kebakaran dan mengelola sumber daya alam.
Berdasarkan PP 4/2001 sebagai pelaku usaha, Tergugat wajib mencegah terjadinya kebakaran hutan dan/atau lahan di lokasi usahanya, dan untuk itu Tergugat diwajibkan untuk memiliki sarana dan prasarana yang memadai agar dapat mencegah dan menanggulangi setiap kebakaran yang timbul di wilayahnya (vide Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal 14 PP 4/2001).
Sesuai peraturan teknis bidang perkebunan, Tergugat sebagai pelaku usaha memiliki kewajiban untuk: (vide Lampiran II Butir 3.3 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia)
(i) menyediakan SOP pengendalian kebakaran;
(ii) menyediakan sumber daya manusia: personil dan tenaga kerja yang mempu mencegah dan menanggulangi bahaya kebakaran;
(iii) menyediakan sarana dan prasarana untuk pengendalian/penanggulangan kebakaran;
(iv) memiliki organisasi dan sistem tanggap darurat; dan
(v) menyediakan rekaman pelaksanaan pencegahan dan penanggulangan, pemantauan dan pelaporan kebakaran.
Dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UHL-UPL PT. Kallista Alam) sebagai dokumen kelayakan lingkungan usaha juga mensyaratkan Tergugat untuk menyediakan sarana dan prasarana yang cukup serta melakukan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran yang dapat timbul di lokasi lahan perkebunannya—meski untuk lahan seluas 1.000 ha tentunya dibutuhkan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup).
Berdasarkan Pasal 34 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007, perusahaan perkebunan yang telah memiliki IUP, IUP-B atau IUP-P sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, wajib:
c. memiliki sarana, prasarana dan sistem untuk pembukaan lahan tanpa pembakaran serta pengendalian kebakaran;
d. membuka lahan tanpa bakar dan mengelola sumber daya alam secara lestari;
e. memiliki sarana, prasarana dan sistem untuk melakukan pengendalian organisme pengganggu tumbuhan (OPT);
f. menerapkan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) atau Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kenyataannya Tergugat tidak memenuhi/melaksanakan kewajiban undang-undang tersebut sebagaimana yang dibuktikan dari Laporan Verifikasi Tim Lapangan pada tanggal 2—6 Mei 2012, dimana Tim Lapangan menemukan:
(1) Tidak dilakukan penyiapan alat tanggap darurat dan alat pemadam kebakaran;
(2) Tidak dilakukan pengawasan dan patroli seputar areal kebun;
(3) Tidak ada Standar Operasi Prosedur (SOP) penanggulangan kebakaran.
Berdasarkan Verifikasi Lapangan, terbukti areal lahan kebun kelapa sawit Tergugat tidak dilengkapi dengan papan peringatan tentang larangan penggunaan api, kelengkapan peralatan sebagai perlindungan dari ancaman bahaya kebakaran baik pencegahan maupun pemadaman, sehingga patut diduga Tergugat memang sengaja membiarkan kebakaran tersebut terjadi dan meluas hingga menghanguskan kurang lebih 1.000 hektar lahan tanpa ada upaya pencegahan dan penanggulangan yang memadai dari Tergugat.
Tergugat juga telah melanggar janji dan pernyataan kesanggupannya untuk mampu menyediakan sarana, prasarana dan sistem tanggap darurat untuk mencegah dan menaggulangi apabila terjadi kebakaran di dalam wilayah usahanya.
Fakta-fakta bahwa keberadaan lahan yang terbakar yang berada di wilayah Tergugat, terdapat jejak-jejak kebakaran yang disebabkan oleh tindakan manusia, tidak adanya upaya pencegahan serta tidak dimilikinya sarana dan prasarana pencegahan yang memadai sudah menjadi bukti yang sumir atas kelalaian Tergugat berdasarkan doktrin hukum res ipsa loquitur.
Doktrin dimaksud dapat digunakan dalam penerapan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) yang dikandung dalam hukum internasional maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mewajibkan Tergugat untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran dengan upaya yang wajar dan sarana serta prasarana yang memadai, sehingga Penggugat memohon kepada Majelis Hakim untuk dapat menerapkan doktrin res ipsa loquitur sebagai interpretasi lebih lanjut dari prinsip kehati-hatian.
Mahkamah Agung RI telah menerapkan penemuan hukum yang luas (rechtsvinding) dengan menerapkan prinsip kehati-hatian terhadap pelaku usaha yang memanfaatkan hutan/lahan untuk maksud melindungi lingkungan sebagaimana dalam putusan Mandalawangi Nomor 1794K/Pdt/2004 sehingga putusan tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan Majelis Hakim dalam memeriksa perkara ini.
Meskipun Tergugat telah mengetahui dan menyadari adanya fakta bahwa sebagian tanah gambutnya memiliki ketebalan lebih dari tiga meter yang seharusnya tidak boleh diusahakan untuk budidaya sawit apalagi dengan cara membakar, Tergugat tetap saja membuka lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawitnya, bahkan dengan cara membakarnya, padahal jelas-jelas diketahuinya melanggar Keppres 32/1990.
Lahan gambut merupakan “museum kehidupan”, dimana tumpukan berbagai tanaman serta biota yang tidak membusuk akibat terendam air rawa yang asam sehingga tidak memungkinkan mikroorganisme mengurai zat hayati dalam lahan gambut. Terbakarnya lahan gambut mengakibatkan “ledakan” karbon yang tersimpan dalam “gudang karbon” tersebut.
Sebelumnya, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan telah menjatuhkan putusan dalam Perkara Nomor 89/B/2012/PT.TUN-MDN, bahwa Izin Usaha Tergugat dinyatakan tidak sah dan berlaku yang mana salah satu pertimbangan hukumnya karena penerbitan izin tersebut terbukti telah bertentangan dengan isi Keppres 32/1990. Putusan telah pula dipatuhi oleh Gubernur Aceh yang terbukti kemudian membatalkan Izin Usaha Tergugat melalui Surat Keputusan Gubernur Aceh.
Lebih lanjut akibat dari pencemaran udara dan kerusakan tanah gambut tersebut telah mengakibatkan kerugian yang dirinci oleh Penggugat atas komponen biaya pemulihan sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2011 tentang Ganti Kerugian Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup sebagai berikut:
(1) Kerugian Ekologis;
(2) Kerugian hilangnya keanekaragaman hayati dan sumberdaya genetika;
(3) Kerugian akibat terlepasnya karbon ke udara (carbon release);
(4) Kerugian ekonomis;
(5) Biaya-biaya lainnya.
Dalam upaya memulihkan tanah gambut seluas 1.000 ha yang rusak karena pembakaran, maka lahan yang rusak tersebut harus dipulihkan meskipun mustahil mengembalikan kepada keadaan seperti semula sebelum terbakar. Untuk itu pemulihan tanah gambut yang terbakar tersebut harus dilakukan dengan material yang mempunyai kedekatan fungsi yaitu kompos.
Dalam kasus serupa majelis hakim telah memutus bersalah serta menghukum pihak yang bertanggung jawab terhadap wilayah usaha perkebunannya dari segala macam bentuk perbuatan atau tindakan yang dapat merusak lingkungan sebagaimana Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam Perkara Nomor 1794K/Pdt/2004 atau yang terkenal dengan “Perkara Mandalawangi”.
Terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Meulaboh telah memberikan Putusan Nomor 12/PDT.G/2012/PN.MBO, tanggal 8 Januari 2014 dengan amar sebagai berikut:
“Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat sebahagian;
2. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang diletakkan di atas tanah, bangunan dan tanaman di atasnya, setempat terletak di Desa Pulo Kruet, Alue Bateng Brok, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Aceh Barat dengan Sertifikat Hak Guna Usaha Nomor 27 dengan luas 5.769 sebagaimana ternyata dalam Gambar Situasi Nomor 18/1998 tanggal 22 Januari 1998 yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Aceh Barat, berlokasi di Kabupaten, Propinsi Aceh;
3. Menyatakan Tergugat telah melakukan Perbuatan Melanggar Hukum dan menghukum Tergugat membayar ganti rugi materiil secara tunai kepada Penggugat melalui rekening Kas Negara sebesar Rp114.303.419.000,00;
4. Memerintahkan Tergugat untuk tidak menanam di lahan gambut yang telah terbakar seluas kurang lebih 1000 hektar yang berada di dalam wilayah Izin Usaha berdasarkan Surat Izin Gubernur Aceh tanggal 25 Agustus 2011 Nomor 525/BP2T/5322/2011 seluas 1.605 hektar yang terletak di Desa Pulo Kruet, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Propinsi Aceh untuk usaha budidaya perkebunan kelapa sawit;
5. Menghukum Tergugat untuk melakukan tindakan pemulihan lingkungan terhadap lahan yang terbakar seluas kurang lebih 1000 hektar dengan biaya sebesar Rp251.765.250.000,00 (dua ratus lima puluh satu miliar tujuh ratus enam puluh lima juta dua ratus lima puluh ribu rupiah) sehingga lahan dapat difungsikan kembali sebagaimana mestinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
6. Menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp5.000.000,00 per hari atas keterlambatan dalam melaksanakan putusan dalam perkara ini;
7. Menghukum Tergugat untuk membayar ongkos perkara yang timbul dalam perkara ini sejumlah Rp10.946.000,00;
8. Menolak gugatan Penggugat selebihnya;”
Dalam tingkat banding atas permohonan Tergugat, putusan Pengadilan Negeri tersebut telah diperbaiki oleh Pengadilan Tinggi Banda Aceh dengan Putusan Nomor 50/PDT/2014/PT.BNA, tanggal 15 Agustus 2014, dengan petimbangan hukum serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang kesemua dalil Penggugat yang petitumnya telah dikabulkan oleh Pengadilan Negeri, telah disangkal oleh Tergugat dan Tergugat merasa keberatan karena sangkalan Tergugat tidak pernah dipertimbangkan oleh Pengadilan Negeri dan putusan pengadilan tidak berlandaskan hukum demikian juga Pengadilan Negeri tidak mempertimbangkan lebih jauh tentang besaran ganti rugi yang harus dibayar oleh Tergugat, Pengadilan Negeri menghitung kerugian hanya dengan perkalian yang dikatakan luas kebakaran sebesar kurang lebih 1.000 ha sebagaimana dinyatakan oleh Penggugat sementara hal tersebut telah disangkal oleh Tergugat dengan mengatakan bahwa luas lahan yang dibakar tidak seluas yang disangkakan oleh Penggugat;
“Menimbang, bahwa pemeriksaan setempat bersama kedua belah pihak hanya mengambil sampel kurang lebih sepuluh persen, hal tersebut yang mengakibatkan tergugat keberatan terhadap hitungan ganti rugi yang diminta oleh Penggugat;
“Menimbang, bahwa sikap Pengadilan Negeri yang cenderung memihak kepada Penggugat, maka hal tersebut telah melanggar asas keseimbangan dalam upaya pebuktian dengan tidak memberikan keseimbangan terhadap kedua belah pihak yang berperkara (melanggar asas balances of probability), sehingga perhitungan ganti rugi yang tidak akurat telah mencederai semangat Indubio Pro Natura dan kurang mencerminkan rasa keadilan;
“Menimbang bahwa tentang besaran ganti rugi sebenarnya untuk mencapai keseimbangan/keadilan, dapat diikuti pedoman dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup, halaman 31 yang berbunyi: ... Penghitungan ganti rugi sebaiknya cara penghitungan dan untuk menentukan besarnya ganti kerugian dilakukan oleh ahli yang ditunjuk oleh para pihak dan ditetapkan dalam penetapan Hakim. Namun Pengadilan Negeri Meulaboh dalam menetapkan besaran ganti rugi tidak menetapkan prinsip-prinsip sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Mahkamah Agung tersebut di atas, besaran ganti rugi tersebut tidak adil dan memihak;
“Menimbang, bahwa dalam pembuktian perkara lingkungan hidup dan tidak adanya bukti ilmiah yang kuat dalam menentukan hubungan kausalitas antar kegiatan manusia dengan pengaruh pada lingkungan, maka Pengadilan Tinggi/Hakim/Masyarakat sebagai pemilik hak konstitusi atas ekologi yang sehat harus menerapkan prinsip kehati-hatian (precautionary principle), antara lain memerintahkan agar Tergugat melakukan upaya perlindungan lingkungan hidup, berupa ganti rugi kerusakan lingkungan dan membayar biaya pemulihan lingkungan sebagaimana prinsip-prinsip yang terkandung dalam Deklarasi Rio de Janeiro, Brazil tanggal 3 – 14 Juni 1992 sebagai komitmen penegasan kembali isi dari Deklarasi Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia (The Human Environment) yang disepakati di Stockholm pada tanggal 16 Juni 1972, dan telah disadur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, dan prinsip lainnya antara lain: princip prevention of harm (prinsip pencegahan bahaya lingkungan), prinsip pembangunan berkelanjutan (prinsip sustainable development) dan polluter pays principle (prinsip pencemar yang membayar) dan prinsip-prinsip tersebut telah berlaku secara universal, maka jumlah ganti rugi dan pemulihan lingkungan yang ditetapkan Pengadilan Negeri Majelis Hakim Tinggi dapat menerima dan menguatkan”;
“Menimbang bahwa tentang pelaksanaan pemulihan lingkungan yang telah rusak pelaksanaanya sesuai dengan Surat Keputusan Mahkamah Agung RI Nomor 36/SK/KMA/II/2013 tentang Pemberlakukan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan, bahwa Majelis Hakim dapat menambahkan amar putusan meskipun tidak dimintakan secara tegas oleh penggugat lingkungan dan kepentingan masyarakat yaitu berupa “tindakan tertentu” tentang lembaga yang mengawasi, pelaksanaan pemulihan lingkungan yaitu karena lokasi lahan meliputi 2 (dua) Kabupaten Aceh Barat dan Kabupaten Nagan Raya maka pengawasannya dilakukan Lembaga/Dinas Lingkungan Hidup di kabupaten masing-masing;
M E N G A D I L I :
- Menerima permohonan banding dari pembanding, semula Tergugat;
- Memperbaiki pertimbangan hukum dan susunan amar Putusan Pengadilan Negeri Meulaboh tanggal 8 Januari 2014 Nomor 12 /Pdt.G/2012/PN. MBO yang dimohonkan banding tersebut sehingga amarnya berbunyi sebagai berikut:
Dalam Pokok Perkara:
- Mengabulkan gugatan Terbanding/dahulu Penggugat sebahagian;
- Menyatakan Pembanding/dahulu Tergugat telah melakukan Perbuatan Melanggar Hukum;
- Menghukum Pembanding/dahulu Tergugat membayar ganti rugi materiil secara tunai kepada Terbanding/dahulu Penggugat melalui rekening Kas Negara sebesar Rp114.303.419.000,00 (seratus empat belas miliar tiga ratus tiga juta empat ratus sembilan belas ribu rupiah);
- Memerintahkan Pembanding/dahulu Tergugat untuk tidak menanam di lahan gambut yang telah terbakar seluas kurang lebih 1000 hektar yang berada di dalam wilayah Izin Usaha berdasarkan Surat Izin Gubernur Aceh tanggal 25 Agustus 2011 Nomor 525/BP2T/5322/2011 seluas 1.605 Hektar yang terletak di Desa Pulo Kruet, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Propinsi Aceh untuk usaha budidaya perkebunan kelapa sawit;
- Menghukum Pembanding/dahulu Tergugat untuk melakukan tindakan pemulihan lingkungan hidup terhadap lahan yang terbakar seluas kurang lebih 1000 hektar dengan biaya sebesar Rp251.765.250.000, 00 (dua ratus lima puluh satu miliar tujuh ratus enam puluh lima juta dua ratus lima puluh ribu rupiah) sehingga lahan dapat difungsikan kembali sebagaimana mestinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
- Menghukum Pembanding/dahulu Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per hari atas keterlambatan dalam melaksanakan putusan dalam perkara ini;
- Memerintahkan Lembaga/Dinas Lingkungan Hidup/Pemerintah Kabupaten Aceh Barat dan Kabupaten Nagan Raya untuk melakukan “tindakan tertentu” mengawasi, pelaksanaan pemulihan lingkungan, karena lokasi lahan meliputi 2 (dua) Kabupaten Aceh Barat dan Kabupaten Nagan Raya, Propinsi Aceh;
- Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang diletakkan di atas tanah, bangunan dan tanaman di atasnya, setempat terletak di Desa Pulo Kruet, Alue Bateng Brok, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Aceh Barat dengan Sertifikat Hak Guna Usaha Nomor 27 dengan luas 5.769 (lima ribu tujuh ratus enam puluh sembilan hektar) sebagaimana ternyata dalam gambar situasi Nomor 18/1998 tanggal 22 Januari 1998 yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Aceh Barat, berlokasi di Kabupaten, Propinsi Aceh (dahulu Nanggroe Aceh Darussalam);
- Menolak gugatan Terbanding/dahulu Penggugat selebihnya.”
Sesudah putusan tersebut, Tergugat mengajukan upaya hukum kasasi. Terhadap permohonan kasasi tersebut, Mahkamah Agung membuat pertimbangan hukum sebelum tiba pada amar putusannya, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah memeriksa secara saksama memori kasasi tanggal 6 Oktober 2014 dan jawaban memori tanggal 30 Oktober 2014 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti dalam hal ini Putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh yang memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri Meulaboh tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa Pemohon Kasasi/Tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum sehingga yang menyebabkan kebakaran lahan yang menimbulkan kerugian lingkungan hidup, terdapat unsur kesalahan pada diri Tergugat setidaknya kelalaian atau kekurang hati-hatian dalam menjalankan usaha sehingga telah menyebabkan terjadi kebakaran lahan dalam wilayah izin Tergugat/Pemohon Kasasi;
“Pertimbangan Judex Facti bahwa tidak ikut sertanya pemerintah daerah mengajukan gugatan dalam perkara a quo tidak menyebabkan gugatan kurang pihak sehingga pertimbangan hukum Judex Facti yang sudah tepat dan benar.
“Walaupun Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 menggunakan kata-kata "pemerintah dan pemerintah daerah" tidak berarti kalau hanya pemerintah saja atau pemerintah daerah saja yang mengajukan gugatan membuat gugatan kurang pihak Penggugat karena mengajukan gugatan adalah soal wewenang yang sangat bergantung pada pemilik wewenang itu untuk menggunakan wewenangnya atau tidak. Hal ini bergantung pada tata kelola pemerintahan dan kesadaran hukum dan lingkungan pemegang wewenang untuk melaksanakan tanggung jawab yang diberikan oleh undang-undang kepadanya.
“Lagi pula, Indonesia berbentuk negara kesatuan yang memberikan kekuasaan kepada pemerintah untuk menguasai dan mengelola sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sebagian kekuasaan pemerintah diberikan kepada pemerintah daerah melalui kebijakan desentralisasi atau otonomi. Jika pemerintah daerah sebagai penerima desentralisasi atau otonomi tidak menggunakan wewenang yang diberikan oleh pemerintah, maka pemerintah dengan atau tanpa pemerintah daerah berwenang mengambil segala upaya hukum terhadap pihak yang telah menyebabkan kerusakan atau pencemaran lingkungan hidup atau pemerosotan kwalitas sumber daya alam.
“Pemerintah memiliki tanggung jawab berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 untuk memastikan bahwa perilaku setiap subjek hukum di wilayah Indonesia sejalan atau konsisten dengan pembangunan berkelanjutan;
“Pertimbangan Judex Facti bahwa tidak ikut digugatnya Gubernur Aceh tidak menyebabkan kurang pihak Tergugat merupakan pertimbangan yang tepat dan benar karena Gubernur Aceh sebagai pejabat pemberi izin tidak terkait Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang disangkakan kepada Tergugat.
“Pemberian izin mengandung pengertian bahwa tindakan si penerima izin adalah sah sepanjang mematuhi perundang-undangan yang berlaku. Jika penerima izin telah melakukan tindakan yang melawan hukum tidak ada hubungannya dengan pemberi izin;
“Tentang luas areal kebakaran lahan telah dipertimbangkan oleh Judex Facti secara tepat dan benar dengan mendasarkan pemeriksaan setempat dan keterangan ahli dan keterangan saksi. Oleh sebab itu, keberatan Pemohon Kasasi atas soal luas areal kebakaran lahan merupakan Penilaian Hasil Pembuktian yang tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan kasasi.
“Dalil Pemohon Kasasi untuk menentukan luas kebakaran lahan harus menggunakan pengukuran oleh Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) tidak dapat diterima karena permasalahan a quo bukan perselisihan soal hak atas tanah yang memang memerlukan pengukuran oleh Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN);
“Tentang keberatan atas perhitungan ganti rugi lingkungan hidup dan biaya pemulihan lahan tidak dapat dibenarkan karena besaran ganti rugi sudah mengacu kepada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2011 yang telah dibuat oleh instansi pemerintah yang berwenang dalam bidang perumusan kebijakan dan koordinasi pelaksanaan lingkungan hidup dan dengan melibatkan para ahli lingkungan hidup.
Menentukan ganti rugi lingkungan hidup memang tidak sama dengan menentukan ganti rugi material dalam perkara lainnya yang jumlah atau besaran kerugiannya dapat diukur dengan harga pasar sebuah produk atau objek misalkan harga tanah dan harga rumah maupun biaya pengobatan riel yang dikeluarkan oleh seorang dokter atau sebuah rumah sakit. Lingkungan hidup dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya memiliki fungsi ekologis yang sangat kompleks yang banyak manfaatnya bagi manusia dan yang tidak kesemua manfaat itu diketahui pula oleh manusia.
“Kompleksitas dan manfaat lingkungan hidup dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya dapat dipahami dan dijelaskan, antara lain, oleh ahli lingkungan hidup maupun oleh kearifan lokal. Oleh sebab itu, menentukan nilai uang atau harga kerusakan sumber daya alam dapat dibantu dengan keterangan ahli dan pengetahuan hakim yang diperoleh dari pemeriksaan setempat. Sekali lingkungan hidup mengalami kerusakan atau penurunan kualitas dan kuantitas, maka upaya pemulihan yang dilakukan oleh manusia tidak dapat mengembalikan sepenuhnya pada lingkungan hidup keadaan semula.
“Manusia tidak mampu menciptakan sumber daya alam. Oleh sebab itu pula, dalam menentukan sebab akibat antara aktifitas Tergugat dengan terjadinya kebakaran lahan, antara kebakaran lahan dan kerugian lingkungan hidup yang timbul saat ini dan akibat-akibatnya di masa datang memang harus mendasarkan pada doktrin in dubio pro natura yang mengandung makna bahwa jika dihadapkan pada ketidakpastian sebab akibat dan besaran ganti rugi, maka pengambil keputusan, baik dalam bidang kekuasaan eksekutif maupun hakim dalam perkara-perkara perdata dan administrasi lingkungan hidup harus lah memberikan pertimbangan atau penilaian yang mengutamakan kepentingan perlindungan dan pemulihan lingkungan hidup.
Penggunaan doktrin "in dubio pro natura" dalam penyelesaian perkara lingkungan hidup keperdataan dan administrasi bukan suatu pertimbangan yang mengada-ada karena ternyata sistem hukum Indonesia telah mengenal doktrin ini yang bersumber pada asas-asas yang tercantum dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yaitu kehati-hatian (precautionary), keadilan lingkungan (environmental equity), keanekaragaman hayati (bio diversity) dan pencemar membayar (polluter pays principle). Oleh sebab itu, keberatan Pemohon Kasasi tentang soal sebab akibat antara kegiatan Pemohon Kasasi dan kerugian lingkungan yang timbul serta ganti rugi lingkungan hidup yang harus ditanggung Pemohon Kasasi ini harus ditolak;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, ternyata Putusan Judex Facti/Pengadilan Tinggi Banda Aceh dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi PT. KALLISTA ALAM, tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT. KALLISTA ALAM tersebut.”
SHIETRA & PARTNERS hendak menambahkan, telah dijatuhkannya hukuman sanksi perdata oleh pengadilan, bukan mengartikan tanggung jawab pidana pelaku usaha pembakalan lahan terbebas dari ancaman sanksi pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang terkait perkebunan maupun lingkungan hidup.
Selama mengikuti prosedur hukum dan kegiatan usaha yang jujur mengedepankan etika berbisnis, maka hukum senyatanya hadir ditengah masyarakat untuk kepentingan dan kebaikan manusia dan ekosistem tempatnya bertahan hidup.
Manusia masih menghirup oksigen dari tumbuhan, bukan gas metana. Manusia masih membutuhkan bahan pangan dari tumbuhan hidup, bukan batu bara. Manusia masih membutuhkan sumber daya air untuk minum dan melepas dahaga, bukan minyak sawit ataupun minyak bumi. Manusia masih membutuhkan bahan herbal untuk mengobati penyakit, bukan bahan mineral logal hasil tambang. Kini, dahulu, dan dimasa yang akan datang, demikianlah kodrat manusia dan segenap makhluk hidup lainnya.
Setiap makhluk, entah biota kecil, tumbuhan, hewan, melata maupun yang terbang diatasnya atau yang hidup dibawah permukaan, baik di daratan maupun di perairan, semua berhak untuk hidup, karena setiap makhluk memiliki rasa takut, harapan, keinginan hidup, serta dapat merasakan sakit.
Tidaklah perlu kita hidup hanya untuk memupuk kejahatan, sementara tiada satupun harta dapat dibawa selepas kematian akan umur manusia yang tidak seberapa lama ini. Setelah kematian menjelang, yang tersisa ialah karma, dan bisa jadi karma buruk yang dibuat semasa hidup dengan membakar atau merusak ekosistem, akan menuntun si pembuatnya terlahir kembali sebagai hewan yang terbakar dalam kobaran api, merasakan panasnya terpanggang oleh ketamakan manusia yang tiada puasnya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.