Siteplan Mengikat Developer / Pengembang Perumahan

LEGAL OPINION
Question: Kami dari perusahaan developer atau real estate, memiliki sebidang hamparan tanah bersertifikat HGB (Hak Guna Bangunan). Mengapa oleh Pemda (Pemerntah Daerah) setempat kami hanya diizinkan membangun dan memecah tanah tidak boleh sepenuhnya 100% dari luas SHGB yang kami miliki. Apa konsekuensinya bila kami tetap mendirikan bangunan ataupun memecah sertifikat secara utuh seluasan bidang tanah yang kami punya?
Brief Answer: Setiap pengembang wajib tunduk pada Peraturan Daerah (Perda) setempat mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah. Jika Perda mewajibkan 30% luasan bidang untuk fasilitas umum dan fasilitas sosial, maka tidaklah dapat pihak developer membangun berdasarkan IMB 100% dari bidang tanah dan tidak dapat juga memecah sertifikat secara utuh tanpa dipotong fasos dan fasum demikian. Konsekuensi bila terjadi pelanggaran ketentuan Perda, maka Pemda setempat dapat melakukan eksekusi via pengadilan maupun secara langsung seperti pembongkaran tanpa melalui proses ajudikasi peradilan.
Yang perlu dipahami oleh masyarakat, Lembaga Eksekutif seperti Lurah, Camat, Walikota, Bupati, dan Gubernur, selaku pejabat eksekutif berwenang menjalankan Perda atau putusan pengadilan. Sehingga, eksekusi pengosongan tidak merupakan monopoli kewenangan juru sita pengadilan—juru sita pengadilan merupakan pejabat Lembaga Eksekutif, bukan yudikatif.
Sama seperti halnya Gubernur dalam melakukan penggusuran/pengosongan lahan dari pemukim liar, tak harus menempuh proses ajudikasi, cukup mengerahkan Satpol Pamong Praja dalam menjalankan Perda ataupun menerapkan hukum yang berlaku.
PEMBAHASAN:
Dalam putusan Mahkamah Agung RI tingkat Peninjauan Kembali (PK) sengketa tata usaha negara register Nomor 133 PK/TUN/2015 tanggal 23 Desember 2015, perkara antara:
1. KEPALA DINAS CIPTA KARYA DAN TATA RUANG PEMERINTAH KOTA SURABAYA, sebagai Pemohon PK, semula Pembanding I, dahulu Tergugat II;
2. KEPALA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA, PEMERINTAH KOTA SURABAYA, selaku Pemohon PK II, semula Pembanding II, dahulu Tergugat III; melawan
- PT. DARMO GREEN LAND, selaku Termohon PK, semula Terbanding, dahulu Penggugat; dan
- WALIKOTA SURABAYA, sebagai Turut Termohon PK, semula Turut Terbanding, dahulu Tergugat I.
Yang menjadi Objek Sengketa ialah Surat Pemberitahuan oleh Tergugat II yang dinilai Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), dengan substansi:
“... setelah dilakukan pengamatan di lapangan ternyata pagar di Perumahan Darmo Green Garden Surabaya masih tetap berdiri di fasilitas umum (jalan), sehingga hal ini merupakan pelanggaran terhadap Pasal 11 ayat (2) Peraturan Daerah No 7 tahun 2009 Tentang Bangunan. Berdasarkan hal tersebut di atas, diminta kepada saudara untuk membongkar sendiri pagar dan mengembalikannya sebagai fungsi jalan paling lambat 7 (tujuh) hari sejak diterimanya surat ini. Apabila saudara belum melakukan pembongkaran maka Pemerintah Kota Surabaya akan mengambil tindakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;”
Mengacu ketentuan Perda Kota Surabaya tentang Bangunan sebagaimana, pembongkaran bangunan merupakan salah satu bentuk sanksi administratif. Adapun yang menjadi dalil keberatan Penggugat, dalam pertemuan antara Penggugat dan Tergugat II, Penggugat telah menyampaikan kepada Tergugat bahwa pagar perumahan Darmo Green Garden yang dipermasalahkan oleh Tergugat berdiri di atas tanah yang bersertipikat hak guna bangunan (HGB) milik PT. Darmo Green Land, dan belum pernah ada jalan di lokasi tersebut, oleh karenanya pula jika Tergugat II ingin membuat jalan umum di atas tanah tersebut makamaka Tergugat II harus terlebih dahulu:
1) Menunggu dilakukannya penyerahan fasilitas umum dari Penggugat kepada Tergugat, yaitu setelah pembangunan kawasan selesai;
2) Melakukan pembebasan tanah milik Penggugat dengan terlebih dahulu memberikan ganti rugi, sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Meski penyerahan fasos dan fasum kepada negara merupakan kewajiban developer, namun Penggugat beragumentasi jika Tergugat II hendak memakai tanah Penggugat sebagai jalan umum maka Tergugat II harus membebaskan sebagian tanah milik Penggugat, dan Tergugat II harus terlebih dahulu memberikan ganti kerugian kepada Penggugat.
Penggugat lewat permainan logika mempostulasikan, terkait substansi surat Tergugat II terdapat cacat fakta, ketika menyebutkan:
“... pagar di Perumahan Darmo Green Garden Surabaya masih tetap berdiri di fasilitas umum (jalan), sehingga hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap Pasal 11 ayat (2) Peraturan daerah No 7 tahun 2009 Tentang Bangunan. Berdasarkan hal tersebut di atas, diminta kepada saudara untuk membongkar sendiri pagar dan mengembalikannya sebagai fungsi jalan.”
Dengan rumusan kalimat demikian, haruslah diartikan bahwa menurut Tergugat II di area yang dipermasalahkan tersebut sebelumnya sudah ada jalan (fasilitas umum) dan jalan tersebut sudah berfungsi selayaknya jalan pada umumnya. Namun pada kenyataannya pada area tersebut belum pernah ada jalan dan karenanya pula tidak pernah ada jalan yang berfungsi di area tersebut. Sehingga bagaimana mungkin Tergugat II meminta kepada Penggugat untuk mengembalikan fungsi jalan padahal belum pernah ada jalan yang berfungsi di area tersebut?
Pasal 2 Peraturan Walikota Surabaya Nomor 37 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Pelanggaran Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 7 Tahun 2009 tentang Bangunan, mengatur sebagai berikut:
”Setiap orang atau badan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1) Peraturan Daerah dan/atau peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah, dikenakan sanksi administrasi antara lain:
a. Peringatan tertulis;
l. pembongkaran bangunan.”
Pasal 15 Peraturan Walikota yang sama mengatur:
(2) Kepala Satuan Polisi Pamong Praja berwenang memberikan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf j dan huruf l.
(3) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan setelah mendapatkan pemberitahuan mengenai pelanggaran Peraturan Daerah dan/atau peraturan pelaksanaannya dari Kepala Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang.
Adapun bantahan Para Tergugat, surat peringatan yang diterbitkan oleh Tergugat II merupakan bentuk sanksi administratif kepada Penggugat karena bangunan tembok pembatas Penggugat tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB), sedangkan Objek Sengketa adalah suatu pemberitahuan pada Penggugat untuk membongkar sendiri bangunannya dan apabila tidak dilaksanakan maka Tergugat III akan melaksanakan tindakan sanksi administrasi berikutnya yakni pembongkaran bangunan. Dengan demikian Objek Sengketa yang diterbitkan Tergugat II dan Tergugat III bukanlah suatu penetapan tertulis, namun sekedar surat peringatan atau informasi semata.
Terhadap gugatan tersebut, Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya Nomor 85/G/2014/PTUN.SBY., tanggal 23 Oktober 2014, kemudian menjatuhkan putusan dengan pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, ... pembongkaran yang telah dilakukan oleh Tergugat III adalah pembongkaran tanpa legalitas karena belum diserahkannya fasilitas tersebut kepada Pemerintah Kota Surabaya sehingga pihak yang mempunyai tanah dalam hal ini Penggugat haruslah terlebih dahulu mendapatkan ganti rugi;
“Menimbang, bahwa secara subtansi materi atas bangunan tersebut dibangun di atas Sertipikat Hak Guna Bangunan Nomor 690 milik Penggugat yang masih berlaku sampai dengan 08-09-2017 dan seharusnya Tergugat menggunakan instrumen yuridis Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum vide bukti P-17 dan tidak cukup dengan Peraturan Daerah Kota Surabaya ataupun Peraturan Walikota Surabaya hal mana didasarkan pada alasan bahwa apa yang akan dilakukan oleh Para Tergugat untuk dapat membongkar pagar perumahan yang berdiri di atas tanah bersertipikat hak guna bangunan milik Penggugat tindakan Para Tergugat dalam menerbitkan surat keputusan objek sengketa I dan objek sengketa II merupakan tindakan sewenang wenang karena dasar dan alasan Para Tergugat tersebut tidaklah cukup di dasarkan pada alasan yang dapat dibenarkan secara yuridis;
MENGADILI
Dalam Eksepsi
1. Menerima eksepsi Tergugat I untuk sebagian:
2. Mengeluarkan Tergugat I yaitu Walikota Surabaya sebagai pihak dalam perkara Nomor 85/G/2014/PTUN.Sby;
3. Menolak eksepsi Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III dan untuk selebihnya;
Dalam Pokok Perkara
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan batal Surat Tergugat II Nomor 648/3151/436.6.2/2014 tanggal 06 Mei 2014 Perihal: Pemberitahuan;
3. Menyatakan batal Surat Tergugat III Nomor 640/1764/436.8/2014, tertanggal 22 Mei 2014 Perihal: Pemberitahuan;
4. Mewajibkan Tergugat II untuk mencabut surat Nomor 648/3151/436.6.2/2014 tanggal 06 Mei 2014 Perihal: Pemberitahuan;
5. Mewajibkan Tergugat III untuk mencabut surat Nomor 640/1764/436.8/2014, tertanggal 22 Mei 2014 Perihal: Pemberitahuan;
6. Mewajibkan Tergugat II dan Tergugat III untuk membayar ganti rugi sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta Rupiah) kepada Penggugat;”
Dalam tingkat banding, amar Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya Nomor 23/B/2015/PT.TUN.SBY., tanggal 05 Maret 2015, adalah sebagai berikut:
MENGADILI:
1. Menerima permohonan banding dari Tergugat II, Tergugat III/Para Pembanding;
2. Menguatkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya Nomor 85/G/2014/PTUN.SBY tanggal 23 Oktober 2014 yang dimohonkan banding;”
Tergugat mengajukan upaya hukum PK, dengan mengutarakan dalil-dalil, antara lain:
- Meski Prasarana, Sarana dan Utilitas perumahan belum  diserahkan kepada Pemda, bukan berarti Penggugat dapat mendirikan bangunan di atas rencana jalan tanpa IMB. Terlebih lagi, yang mencantumkan dan mengajukan permohonan adanya rencana jalan dilingkungan perumahan Darmo Green Land untuk dituangkan di Siteplan/Rencana Tapak adalah Penggugat sendiri, Tergugat II hanya mengesahkan saja, sehingga seharusnya rencana jalan tersebut dapat berfungsi sebagai jalan yang tidak hanya dimanfaatkan untuk warga perumahan Darmo Green Land tetapi juga oleh Warga Surabaya.
- Tanah yang menjadi objek SHGB memang milik Penggugat, namun dalam menjalankan kegiatan usaha perumahan, Penggugat harus mematuhi Peraturan Daerah dan Peraturan Walikota yang terkait dengan usaha Pengembang Perumahan.
- Penggugat tidak bisa semaunya sendiri dalam melakukan suatu tindakan, dalam hal ini mendirikan bangunan di atas tanah yang berdasarkan rencana tapak (siteplan) perumahan adalah jalan.
- Oleh karenanya segala bentuk aktifitas pembangunan pendirian tembok yang masuk dalam Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Surabaya dilarang (tidak sah) dan tidak akan diterbitkan IMB, sehingga apabila bangunan tersebut ada maka akan dibongkar oleh Pemerintah Kota.
- Penggugat dalam mendirikan bangunan pagar/tembok tetap harus tunduk dan patuh pada Perda Kota Surabaya tentang Bangunan, serta dalam menjalankan kegiatan usaha perumahan tetap harus tunduk dan patuh pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyerahan Prasarana, Sarana dan Utilitas Perumahan dan Permukiman di Daerah juncto Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 7 Tahun 2010 tentang Penyerahan Prasarana, Sarana dan Utilitas pada Kawasan Industri, Perdagangan, Perumahan dan Permukiman.
Siteplan/Rencana Tapak perumahan yang diajukan oleh Penggugat, telah mencantumkan adanya rencana jalan dilingkunga perumahan di atas tanah SHGB, akan tetapi pada kenyataannya di atas tanah dimaksud didirikan bangunan pagar atau tembok yang tidak sesuai dengan Siteplan.
Sehingga dengan demikian pendirian bangunan pagar/tembok oleh Penggugat tersebut melanggar ketentuan Pasal 41 ayat (3) huruf e Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 3 Tahun 2007 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Surabaya yang berbunyi:
“Pada pembangunan perumahan real estate, pelaksana pembangunan perumahan/pengembang wajib menyediakan prasarana lingkungan, utilitas umum dan ... ”
Oleh karenanya segala bentuk aktifitas pembangunan pagar/tembok yang tidak tercantum dalam Siteplan dan Peta RTRW Kota Surabaya dilarang (tidak sah) dan tidak akan diterbitkan IMB, yang apabila terdapat pelanggaran maka akan dibongkar oleh Pemerintah.
Lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 41 ayat (3) huruf e Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 3 Tahun 2007 tentang RTRW Kota Surabaya, dijelaskan prasana lingkungan meliputi antara lain:
a. Jalan beserta kelengkapannya;
b. Saluran pembuangan air limbah;
c. Saluran pembungan air hujan;
Penyediaan prasarana lingkungan, utilitas umum dan fasilitas sosial perumahan harus sesuai dengan kriteria dan persyaratan teknis yang telah ditentukan dan tercantum dalam Siteplan berikut IMB.
Sehingga dengan demikian penerbitan objek sengketa berikut dengan pembongkaran pagar/tembok dimaksud adalah untuk mengembalikan kedalam keadaan semula Siteplan yang diajukan oleh Penggugat mencantumkan adanya rencana jalan di lingkungan perumahan atau diatas SHGB. Terhadap permohonan PK tersebut, Mahkamah Agung membuat pertimbangan hukum serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan Peninjauan Kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:
Bahwa alasan-alasan Peninjauan Kembali berdasar hukum dan Kontra Memori Peninjauan Kembali tidak dapat melemahkan alasan Peninjauan Kembali tersebut, bahwa terdapat kekhilafan nyata dari Judex Facti dalam memutus perkara in casu dengan pertimbangan sebagai berikut:
a) Bahwa meskipun Penggugat/Termohon Peninjauan Kembali mempunyai alas hak atas tanah berupa Sertipikat Hak Guna Bangunan Nomor 690 yang di atasnya terbit keputusan tata usaha negara objek sengketa, namun dalam mendirikan bangunan harus mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan, sehingga tidak ada bangunan yang bertentangan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sebagaimana tersurat dalam siteplan Perumahan Darmo Green Land juncto Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 7 Tahun 2010 tentang Penyerahan Prasarana, Sarana, dan Utilitas pada Kawasan Industri, Perdagangan, Perumahan, dan Pemukiman;
b) Bahwa prinsip umum penertiban bangunan yang dimungkinkan untuk dibongkar, secara alternatif memiliki kriteria sebagai berikut:
1. Bangunan-bangunan yang didirikan tidak di atas alas hak yang sah;
2. Bangunan-bangunan yang didirikan bertentangan dengan Rencana Tata Ruang yang telah disepakati (dalam perizinan bangunan biasa disebut KSB = Kesesuaian Situasi Bangunan);
3. Bangunan-bangunan yang didirikan ternyata mengancam keselamatan umum;
c) Bahwa langkah berupa penerbitan keputusan berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, adalah langkah lanjutan yang ditempuh oleh Tergugat/Pemohon Peninjauan Kembali, sebagai konsekuensi dan kompensasi karena Penggugat/Termohon Peninjauan Kembali tidak dapat menggunakan tanah yang menjadi haknya tersebut, tetapi tidak sampai menjadi hambatan bagi tegaknya Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah ditetapkan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka menurut Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali I: KEPALA DINAS CIPTA KARYA DAN TATA RUANG PEMERINTAH KOTA Surabaya dan Pemohon Peninjauan Kembali II: KEPALA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA, PEMERINTAH KOTA SURABAYA, dan oleh sebab itu Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya Nomor: 23/B/2015/PT.TUN.SBY., tanggal 05 Maret 2015, yang menguatkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya Nomor: 85/G/2014/PTUN.SBY, tanggal 23 Oktober 2014, tidak dapat dipertahankan dan harus dibatalkan. Selanjutnya Mahkamah Agung mengadili kembali perkara ini sebagaimana disebut dalam amar putusan;
MENGADILI,
“Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali I: KEPALA DINAS CIPTA KARYA DAN TATA RUANG PEMERINTAH KOTA SURABAYA, dan Pemohon Peninjauan Kembali II: KEPALA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA PEMERINTAH KOTA SURABAYA, tersebut;
“Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya Nomor: 23/B/2015/PT.TUN.SBY., tanggal 05 Maret 2015;
MENGADILI KEMBALI,
Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.