Sengketa Tanah, Kewenangan PTUN ataukah Pengadilan Negeri

LEGAL OPINION 
Question: Saat ini kami sedang mempertimbangkan untuk mengajukan gugatan, karena terjadi tumpang-tindih sertifikat tanah kami dengan pihak lain. Menurut SHIETRA & PARTNERS, sebaiknya kami mengajukan gugatan ke PTUN ataukah PN? Kami dari dahulu bingung dengan kedua jenis pengadilan ini.
Brief Answer: Dalam konteks ini kita berbicara mengenai “kompetensi absolut”, yakni kewenangan badan peradilan didalam memeriksa dan memutus jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain.
Yang dapat menjadi inferensi ialah suatu kecenderungan lembaga peradilan ketika memutus sengketa serupa. Sebaiknya sengketa hak atas tanah diajukan dalam bentuk gugatan ke hadapan Pengadilan Negeri, ketimbang menghabiskan segenap waktu dan energi menggugat ke hadapan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang belum tentu efektif.
Pernah terjadi, Mahkamah Agung RI terhadap sengketa tanah ke hadapan PTUN, dalam tingkat kasasi Majelis Hakim Agung menyebutkan:
“Bahwa walaupun yang digugat adalah Keputusan Tata Usaha Negara berupa Sertifikat Hak Guna Bangunan atas nama Tergugat II Intervensi, namun substansi yang essensiil dipersoalkan adalah “milik siapakah tanah yang di atasnya terbit Keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa ini?”, yang seharusnya merupakan kompetensi Peradilan Umum bukan Peradilan Tata Usaha Negara.”
PEMBAHASAN:
Sebagai ilustrasi, putusan Mahkamah Agung RI tingkat kasasi perkara tata usaha negara register Nomor 653 K/TUN/2015 tanggal 16 Februari 2016, antara:
- AGUS WIBOWO, sebagai Pemohon Kasasi, dahulu Pembanding, semula Penggugat; melawan
1. KEPALA KANTOR  PERTANAHAN KOTA SURABAYA I, sebagai Termohon Kasasi I, semula Terbanding, semula Tergugat; dan
2. PT. BUMI LASKAR UTOMO, sebagai Termohon Kasasi II, semula Terbanding, dahulu Tergugat II Intervensi.
Penggugat mengklaim membeli sepetak tanah seluas 3.000 m2 berupa girik Letter C yang belum pernah didaftarkan ke Kantor Pertanahan guna sertifikasi. Penggugat merasa keberatan ketika tiba-tiba Kantor Pertanahan menerbitkan sertifikat hak atas tanah berupa SHGB kepada Tergugat II Intervensi sehingga tumpang-tindih dengan bidang tanah yang diklaim milik Penggugat.
SHGB tersebutlah yang kemudian dijadikan Objek Sengketa ke hadapan PTUN untuk dimintakan pembatalan. Penggugat merasa memiliki kepentingan terhadap tanah hanya didasarkan pada Petok D, dalam bantahannya Tergugat merujuk yurisprudensi Mahkamah Agung RI tanggal 10 Februari 1960 Nomor 34.K/SIP/1960 juncto Yurisprudensi MA RI Nomor 3176.K/SIP/1990 juncto Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985, yang antara lain menegaskan bahwa Pajak Bumi/surat petok pajak bumi bukan merupakan suatu bukti mutlak hanya sebatas tanda siapa yang harus membayar pajak atas tanah dimaksud.
Terhadap gugatan tersebut, PTUN Surabaya telah mengambil putusan, yaitu Putusan Nomor 152/G/2014/PTUN.Sby tanggal 3 Maret 2015, dengan pertimbangan hukum serta amar putusan, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan sesuai dengan fakta hukum yang terjadi didalam persidangan maka menurut hemat Majelis Hakim yang menjadi pokok permasalahan dalam gugatan penggugat adalah mengenai kepemilikan antara Penggugat dengan Tergugat II Intervensi sehubungan dengan diterbitkannya objek sengketa a quo oleh Tergugat, yang seharusnya permasalahan ini bukan menjadi kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara untuk mengujinya tetapi menjadi kewenangan dari Peradilan Umum untuk menguji siapakah yang berhak atas kepemilikan tersebut;
MENGADILI :
Dalam Eksepsi:
- Menerima eksepsi Tergugat dan Tergugat II Intervensi tentang Kompetensi Absolut;
Dalam Pokok Perkara:
- Menyatakan gugatan Penggugat tidak diterima;”
Dalam tingkat banding atas permohonan Penggugat, Putusan PTUN kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya dengan Putusan Nomor 111/B/2015/PT.TUN.SBY. Tanggal 7 Juli 2015.
Memang, SHIETRA & PARTNERS akui, terjadi kerancuan mengenai yurisdiksi kewenangan peradilan terkait sengketa kepemilikan hak atas tanah, sebagaimana Penggugat dalam upaya hukum kasasinya menyebutkan adanya putusan Mahkamah Agung Nomor 620 K/Pdt/1999 tanggal 29 Desember 1999, yang secara kontradiktif menyatakan:
“Bila yang digugat adalah badan atau pejabat Tata Usaha Negara dan objek gugatan menyangkut perbuatan yang menjadi wewenang pejabat tersebut, maka yang berwenang untuk mengadili perkara tersebut adalah peradilan Tata Usaha Negara bukan wewenang pengadilan negeri.”
Penggugat mengutip pula teori hukum yang menurut “Thorbecke” berkaitan dengan kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara, yakni bilamana pokok sengketa (fundamental petendi) terletak dilapangan Hukum Publik yang berwenang memutuskannya adalah Hakim Adminstrasi.
Sedangkan menurut tokoh bernama Buys, ukuran yang digunakan untuk menentukan kewenangan mengadili Hakim Administrasi Negara ialah pokok dalam perselisihan (objectum lictis). Bilamana yang bersangkutan dirugikan dalam hak privatnya dan oleh kerena itu meminta ganti kerugian, jadi, objectum lictis-nya adalah suatu hak privat maka yang bersangkutan harus diselesaikan Hakim Pengadilan Umum.
Cukup logis pula ketika secara argumentum a contrario kita merujuk pada ketentuan Pasal 2 dan Pasal 49 UU PTUN memberikan pembatasan kewenangan (ketidakwenangan) PTUN untuk dapat menguji Keputusan TUN atau sengketa TUN, yaitu:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat keperdataan (kontraktual). Misalnya, masalah jual-beli antara instansi pemerintah dengan perseorangan;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum. Yaitu, pengaturan yang memuat norma-norma hukum yang dituangkan dalam bentuk peraturan yang kekuatan berlakunya mengikat setiap orang;
c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan KUHP atau KUHAP atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;
e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai Tata Usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia;
g. Keputusan Tata Usaha Negara dalam bidang Pemilu;
h. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan dalam keadaan darurat (perang, keadaan bahaya, bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan);
i. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang undangan yang berlaku.
Ketika perkara yang dihadapkan kepada PTUN tidak masuk dalam rincian pembatasan diatas, maka itulah (seyogianya) ranah kewenangan PTUN. Namun tampaknya bandul yang bergerak dari satu sisi ke sisi lain, kini tengah mengarah pada yurisdiksi Pengadilan negeri, sebagaimana Mahkamah Agung dalam perkara ini kemudian membuat pertimbangan hukum serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan kasasi dari Pemohon Kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan, karena Putusan Judex Facti Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya yang menguatkan Putusan Judex Facti Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya sudah benar dan tidak salah menerapkan hukum, dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa walaupun yang digugat adalah Keputusan Tata Usaha Negara berupa Sertifikat Hak Guna Bangunan atas nama Tergugat II Intervensi, namun substansi yang essensiil dipersoalkan adalah “milik siapakah tanah yang di atasnya terbit Keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa ini?”, yang seharusnya merupakan kompetensi Peradilan Umum bukan Peradilan Tata Usaha Negara;
MENGADILI:
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: MOH. AGUS WIBOWO tersebut.”
Putusan telah dijatuhkan, sesuai atau tidaknya dengan teori yang ada, itulah hukumnya, final and binding. Hukum adalah ilmu prediksi, dan prediksi tidak lepas dari pemetaan terhadap tabiat hakim dalam memutus.
Penggugat sempat pula mengutip pernyataan John Locke, bahwa:
“Seseorang memiliki sesuatu berarti orang lain memiliki kewajiban untuk tidak merampas sesuatu dari padanya. Setiap orang mempunyai hak milik pribadi dan hak itu dimaksudkan untuk memperoleh sesuatu serta mempertahankan apa yang menjadi miliknya.”
Masalahnya, kita hidup dalam negara berhukum. Hukum pertanahan nasional mengatur, bahwa bukti kepemilikan yang sah ialah sertifikat hak atas tanah sebagai bukti pendaftarakan kepemilikan suatu hak atas tanah. Selama warga negara turut-serta dengan “aturan main” ini, maka negara lewat otoritasnya akan memberi perlindungan hukum (sebagai suatu asas resiprositas penghormatan).
Adalah percuma membuat “aturan main” sendiri tatkala bersinggungan dengan pihak lain yang juga dapat membuat “aturan main” versinya sendiri, bukankah demikian?
Hukum dibentuk guna menghindari/memitigasi benturan “aturan main”. Sehingga memang konsekuensi logisnya hukum menjadi demikian prosedural.
Ketika kita menilai pihak lain tidak prosedural, adakah kita pun telah meninjau posisi hukum kita sendiri apakah telah prosedural? Ketika kita melanggar prosedur hukum negara, tiada pada tempatnya kita menuntut pihak lain untuk bersikap prosedural terhadap kita.
Hanya ketika kita telah tunduk dan patuh terhadap aturan hukum negara, dan otoritas atau warga negara lain menculasi hak kita, barulah kita dapat bersikukuh untuk berjuang hingga “titik darah penghabisan” di meja hijau.
Kecuali (hukum selalu memiliki pengecualian), bila aturan hukum tidak memiliki landasan falsafah, tiada landasan sosiologis, serta tiada landasan kemanfaatan, disamping struktur hukum yang bisa jadi tidak dapat diandalkan, barulah “hukum rimba” memiliki legitimasinya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.