Preman yang Dipelihara Negara, Hukum Seyogianya Bersifat Solutif Sekaligus Aplikatif

ARTIKEL HUKUM
MAIN HAKIM SENDIRI AKIBAT HUKUM NEGARA YANG TIDAK USER FRIENDLY
Prosedural hukum harus dipermudah, hukum lewat insfrastrukturnya harus memberi akomodasi tegaknya keadilan, terutama secara perdata agar tidak menerbitkan ekses-ekses negatif seperti perbuatan main hakim sendiri.
Menempuh proses hukum kadang tidak efesien, hingga kerap terdengar selentingan sindiran bahwa bila menempuh jalur gugatan maupun pelaporan pidana kepada pihak berwajib, maka “hilang sapi melapor ke polisi justru hilang sampai kandang sapinya juga”.
Ketika hukum dengan segala proseduralnya tidak menawarkan solusi yang aplikatif dan efesien disamping juga tidak efektif, bahkan “menang diatas kertas”, sukarnya eksekusi, kekayaan dalam rekening tergugat yang kalah dihukum membayar ganti-rugi pada penggugat namun tak dapat diaplikasikan karena sukar dilacak dengan alasan rahasia nasabah, aset benda tak bergerak yang ditutupi oleh Kantor Pertanahan sehingga tak dapa disita jaminan, lembaga paksa badan yang dibekukan oleh Mahkamah Agung, mengundang warga masyarakat untuk melakukan upaya diluar jalur hukum guna menagih suatu janji yang dilandasi oleh hutang-piutang.
Ketika warga masyarakat memakai jalur alternatif non hukum, seperti menyewa preman penagih, bahkan jasa penagih bayangan yang menyerupai tentara bayaran, akibat tidak ramahnya prosedural hukum terhadap warga negara, apakah praktik diluar jalur hukum yang bisa disebut “menyimpang” ini patut disalahkan kepada pihak warga masyarakat?
Negara lewat otoritas regulator dan aparatur negaranya perlu bersifat arif serta kreatif, dalam arti membuka akses keadilan yang efektif disamping juga efesien, sehingga tiada mendesak masyarakat untuk menempuh jalur-jalur non hukum.
Hukum perdata tidak lepas dari hukum ekonomi, prinsip ada demand maka ada suply berlaku dalam praktik berhukum yang perlu diperhatikan oleh regulator dan otoritas negara. Karena hukum dengan segenap proseduralnya tidak menawarkan solusi yang efesien nan efektif, lahirlah “bidang usaha” bernama preman bayaran guna memenuhi kebutuhan masyarakat untuk menegakkan “hukum rimba”.
Dengan kata lain, hukum negara itu sendiri yang membidani terbentuknya “hukum rimba”. Masyarakat berpaling dari hukum negara kepada “hukum rimba”, bukan karena pilihan murni dari warga masyarakat. Jika hukum negara menawarkan solusi sekaligus aplikatif, tentunya masyarakat tidak akan berpaling pada “hukum rimba”.
Ketika hukum negara bersifat aplikatif sekaligus efektif, dengan sendirinya “bidang usaha” preman bayaran tidak akan tumbuh dan akan terbenam dengan sendirinya. Disayangkan, otoritas negara tampaknya tidak memiliki jiwa kompetitif terhadap “bidang usaha rimba” ini yang dibiarkan tumbuh bak jamur di musim penghujan.
Melihat realita buruknya pelayanan kepolisian, mahalnya biaya mental beracara di pengadilan, putusan perdata yang hanya “menang diatas kertas”, sikap masa bodoh penyelenggara negara, sifat pragmatis regulator, karakter bebal pemimpin bangsa, maka kita tak dapat sepenuhnya menyalahkan praktik “main hakim sendiri” (eigenrichting) yang ditampilkan warga negara satu terhadap warga negara lain.
Hukum dalam kenyataan tidak menampilkan wajah idealitis, tanpa jaminan yang benar akan menang. Terkadang pengadilan akan lebih kejam ketimbang preman jalanan itu sendiri karena produk koruptif akan dilekatkan emblem logo negara sebagai justifikasinya—law as tool of crimes, the perfect crimes.
Preman bayaran hanya menawarkan alternatif, sehingga seyogianya para negarawan mulai introspeksi diri, mengapa warga masyarakat meninggalkan hukum negara dan mulai berpaling bahkan mengandalkan “hukum rimba”?
“Hukum rimba” memiliki aturan main yang jelas dan kadang menawarkan kepastian yang lebih pasti ketimbang hukum negara: yakni aturan main yang kuatlah yang akan keluar sebagai pemenang.
Apa yang ditampilkan oleh wajah hukum negara dalam citranya di mata masyarakat? Hukum negara “tumpul diatas”, namun “tajam kebawah”. Sindiran tersebut bukanlah pepesan kosong, namun fakta. Ketika itu realita yang terjadi, lantas kita patut bertanya: jadi apa lagi yang membedakan antara “hukum negara” dan “hukum rimba”?
Bila dibedah lebih lanjut, hukum negara dengan hukum rimba senyatanya memiliki karakter yang sama. Yang dapat mengakses hukum adalah mereka dari kalangan berkuasa. Bila hukum rimba tidak munafik, dalam arti secara terang-terangan menyatakan pada khalayak ramai bahwa yang kuat dan yang mampu membayarlah yang akan mendapat pelayanan.
Sebaliknya, dengan segala kemunafikan hukum negara menampilkan sosok bersih murni tidak membias, imparsial, tidak pandang bulu, tidak tebang pilih, dan adil. Ketika hukum negara menjelma munafik, yang kemudian terbentuk pada benak masyarakat ialah antipati sekaligus tiadanya rasa memiliki (senses of belongin) terhadap hukum negara. Hukum negara yang ditinggalkan dan “tidak laku”. Hukum negara menampilkan sosok yang menyerupai “banci” sekaligus ironis karena mulai ditelantarkan.
Padahal, hukum negara masih dalam sebuah proses pembentukan, yang mana membutuhkan keterlibatan kita bersama untuk membangunnya. Ketika hukum negara mulai ditinggalkan para konstituennya, yakni warga masyarakat itu sendiri, “hukum negara” mulai terkontaminasi oleh “hukum rimba”. Maka dari itu hukum negara tidak lagi murni adanya.
“Siapa yang mampu membayar, ialah yang akan dimenangkan”—ini merupakan prinsip mendasar hukum rimba, namun ternyata mulai diterapkan dalam berbagai kasus yang melibatkan hukum negara.
Karena senyatanya hukum negara telah tidak lagi murni, namun terkontaminasi prinsip-prinsip hukum rimba, maka pengadilan dan aparatur penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, kehakiman, bahkan regulator pembentuk undang-undang, tidak lagi dapat diidentikkan dengan hukum negara yang benar-benar murni hukum negara.
Konsep yang membias demikian membingungkan warga masyarakat pada gilirannya akibat tiadanya konsistensi wajah aparatur penegak hukum dalam praktik di lapangan yang justru melakukan praktik hukum rimba dengan seragam aparatur penegak hukum negara.
Bingung dan semakin bingung setelah membaca artikel membingungkan ini? Itu lumlah, karena penulisnya sendiri bingung dengan segenap kebingungan yang membingungkan ini.
Dalam disiplin ilmu hukum, dikenal teori law as social engineering yang dicetuskan oleh Roscoe Pound. Postulat dalam teori ini, masyarakat dibangun lewat rekayasa sosial yang dimotori oleh gerakan sosial hukum negara. Hukum negara dibentuk oleh cendekiawan bersama-sama dengan para negarawan, berbentuk regulasi yang dikonkretkan oleh apartur negara dan segenap insfrastruktur penegak hukum.
Hukum rimba pada dasariahnya lahir dan tumbuh oleh dan dari tengah masyarakat, namun hukum rimba ini perlahan dan berangsur mulai diberikan koridor oleh hukum negara, bukan sebaliknya hukum negara yang didikte hukum rimba. Ironisnya, hukum Negara Indonesia bagaikan menyerah dan bertekuk lutut terhadap hukum rimba.
Lihatlah kasus Universitas Trisaksi yang dikalahkan oleh Yayasan Trisakti oleh putusan Mahkamah Agung RI, gagal dieksekusi sebanyak tiga kali, dimana puluhan (bahkan ratusan) Brimob kalah melawan segelintir preman bayaran.
Negeri Indonesia bukan diancam oleh keberadaan bangsa asing, ideologi asing, budaya pop asing, produk-produk asing, namun rusak digadaikan oleh rakyat Indonesia itu sendiri. Ketika rasa memiliki terhadap hukum negara ditanggalkan, selamat datang di era “hukum rimba”—kembali pada zaman pra-sejarah, zaman sebelum dikenalnya kata “beradab” dalam kamus kehidupan umat manusia.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.