LEGAL OPINION
Question: Sudah hampir 7 tahun bekerja dengan dasar ikatan PKWT yang diperpanjang tiap tahunnya. Kira-kira apa yang sebaiknya dapat dilakukan atas kondisi semacam ini? Gimana dengan kepastian masa depan seorang buruh dengan ikatan kerja yang aneh macam ini?
Brief Answer: Teruskan saja bekerja seperti biasa, karena sejatinya pihak pengusaha telah “tersandera” akibat perbuatannya yang melawan hukum dengan menerapkan praktik hubungan kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang menyimpang dari ketentuan hukum.
Sejatinya penyalahgunaan konsep hukum PKWT oleh pemberi kerja, hanya akan merugikan pihak pemberi kerja itu sendiri. Nah, ketika pengusaha hendak memutus hubungan kerja dengan Anda, jangan sungkan untuk mengajukan gugatan ke hadapan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), maka atas PKWT demikian yang melanggar hukum, Anda dapat dipastikan mendapat kompensasi berupa 2 (dua) kali ketentuan pesangon.
Bukankah ini hal yang menarik meski agak sedikit merepotkan? Pengusaha yang cerdas takkan ambil resiko merusak reputasi sendiri dengan ter-publish pada publik atas perbuatannya yang mendapat ganjaran dari putusan hakim.
Dengan kata lain, SHIETRA & PARTNERS memberi dukungan mental bagi para pekerja/buruh dengan ikatan kerja PKWT yang tidak sesuai kaidah hukum, sejatinya perlu menanam kesadaran pada diri pekerja itu sendiri, bahwa mereka telah secara otomatis menjadi pekerja tetap (PKWTT) dengan potensi mendapat pesangon 2 (dua) kali ketentuan pesangon normal.
PEMBAHASAN:
Dalam putusan Mahkamah Agung RI tingkat kasasi sengketa hubungan industrial register Nomor 297 K/Pdt.Sus-PHI/2015 tanggal 28 Mei 2015, perkara antara:
- PT. INDOKOM SAMUDRA PERSADA, sebagai Pemohon Kasasi, semula Tergugat; melawan
- SRI WAHYUNI, sebagai Termohon Kasasi, semula Penggugat.
Setelah berbagai tetesan keringat yang membawa kontribusi keuntungan yang dilakukan oleh Penggugat terhadap Perusahaan Tergugat, maka sewajarnya jasa serta dedikasi Penggugat sebagai pekerja diperhatikan kesejahteraannya. Namun harapan tersebut tidak pernah terwujud dan bahkan selama Penggugat dan karyawan lainnya bekerja masih banyak yang menjadi pekerja Kontrak/Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), dan inilah yang menjadi alasan Perusahaan untuk sewenang-wenang memutus kontrak kerja: habisnya masa kerja dalam kontrak.
PHK terhadap Penggugat melanggar hak asasi manusia (HAM) oleh karena PHK tersebut dikatakan habis masa kontrak pada saat Penggugat dalam keadaan hamil, dimana hal ini bukan hal baru yang pertama kali dikarenakan banyak yang mengalami hal serupa seperti Penggugat.
Selama masa kontrak kurang lebih 10 tahun, Penggugat tidak pernah dikatakan habis masa kontrak, namun setelah Penggugat menikah dan mengandung, baru dikatakan habis/berakhir masa kontraknya. Sengketa ini kemudian dimediasi oleh Disnakertrans Kabupaten Lampung Selatan, Tergugat tetap menyatakan masa kontrak Penggugat telah berakhir.
Adapun bentuk itikad tidak baik Tergugat tercermin dari pendirian Tergugat bahwasannya pihak Tergugat bersedia menerima kembali Penggugat untuk bekerja namun setelah selesai Penggugat melahirkan dengan masa kerja/kontrak baru sehingga yang menjadi motif Tergugat ialah sengaja untuk menghilangkan/menghanguskan masa kerja dan konpensasi atas pesangon yang menjadi hak normatif buruh/pekerja.
Berhubung terdapat itikad tidak baik dari pengusaha, maka dapat dipastikan hubungan harmonisasi antara Penggugat dengan Tergugat terganggu, dan juga sesuai dengan anjuran yang dikeluarkan oleh Disnaker sehingga dengan hal tersebut sulit Penggugat melakukan aktifitas sebagai karyawan, karenanya Penggugat berhak mengakhiri hubungan kerja sehingga berhak mendapatkan hak normatif buruh/pekerja berupa dua kali ketentuan Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, dsb.
Terhadap gugatan pihak Pekerja, PHI Tanjung Karang kemudian menjatuhkan putusan Nomor 13/Pdt.Sus-PHI/2014/PN.Tjk tanggal 16 Desember 2014, dengan amar sebagai berikut:
Dalam Pokok Perkara
1. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian;
2. Menyatakan putus demi hukum hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat sejak bulan November 2013;
3. Menghukum Tergugat untuk membayar uang kompensasi sebagai akibat dari pemutusan hubungan kerja kepada Penggugat secara tunai dengan perincian sebagai berikut:
a. Uang Pesangon: 2 x 9 bln x Rp1.160.000,00 = Rp20.880.000,00
b. Uang Penghargaan Masa Kerja: 4 bln x Rp1.160.000,00 = Rp4.640.000,00
c. Uang Penggantian Hak:
- Cuti tahunan: 12/25 x Rp1.160.000,00 = Rp696.000,00.
- Perumahan serta pengobatan dan perawatan: 15 % x Rp25.520.000,00 = Rp3.828.000,00
Jumlah: Rp29.904.800,00 (dua puluh sembilan juta sembilan ratus empat ribu delapan ratus rupiah);
4. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.
Tergugat mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadap permohonan kasasi tersebut, Mahkamah Agung membuat pertimbangan hukum serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap keberatan-keberatan kasasi tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa sesuai fakta di persidangan dari keterangan saksi-saksi terbukti Penggugat sudah bekerja sejak tahun 2004 dan kontrak kerja diperpanjang setiap 6 bulan sekali dan tidak pernah ada jedah, oleh karenanya PKWT didalilkan Tergugat melanggar ketentuan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan demi hukum menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Oleh karena itu PHK harus dengan kompensasi pesangon 2 x Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, ternyata bahwa putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Klas IA Tanjung Karang dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan undang-undang maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: PT. Indokom Samudra Persada, tersebut harus ditolak;
“M E N G A D I L I :
“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : PT. INDOKOM SAMUDRA PERSADA, tersebut.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.