PKWT dengan Masa Evaluasi, Demi Hukum menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu

LEGAL OPINION
Question: Sebenarnya bila calon karyawan/pekerja disodorkan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) selama dua tahun, satu tahun lamanya atau bahkan tanpa batas waktu, namun berisi syarat akan dievaluasi setiap tiga atau setiap enam bulan, apakah PKWT demikian sah atau justru otomatis demi hukum hubungan hukum berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)?
Brief Answer: Praktik demikian kerap terjadi di lapangan terhadap jutaan pekerja di Tanah Air, diikat dengan PKWT namun dibebani dengan “masa percobaan” yang dikemas dengan istilah “evaluasi” secara rutin setiap sekian bulan yang bertujuan sebagai dalil guna memutus hubungan kerja tanpa kewajiban membayar kompensasi pesangon.
Karyawan yang paham akan haknya, dapat memilih berdaya melakukan upaya hukum terhadap perusahaan, karena dalam dirinya telah melekat hak-hak sebagai karyawan tetap; dan ketika pengusaha memutus hubungan kerja dengan alasan PKWT telah berakhir, maka pekerja/karyawan tersebut dapat menuntut hak pesangon sebagai karyawan tetap yang di-putus hubungan kerjanya.
Kabar baiknya, tindakan tidak etis pengusaha dapat menjadi bumerang bagi diri sang pengusaha, karena PHK akibat PKWT yang mencantumkan klausula masa evaluasi selain menyebabkan PKWT menjelma PKWTT, Majelis Hakim akan mengartikan maksud PHK pengusaha sebagai PHK karena efisiensi sehingga pekerja/karyawan berhak atas pesangon 2 (dua) kali ketentuan normal.
PEMBAHASAN:
Ilustrasi konkret dapat kita jumpai dalam putusan Mahkamah Agung RI tingkat kasasi sengketa hubungan industrial register perkara Nomor 223 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 24 Mei 2016, antara:
- PT. ZUG INDUSTRY INDONESIA, sebagai Pemohon Kasasi, semula Tergugat; melawan
- ADI KUSNIN, selaku Termohon Kasasi, dahulu Penggugat.
Putusan pengadilan hingga Mahkamah Agung dalam perkara ini cukup menyentuh, karena inisiatif kecermatan Majelis Hakim itu sendiri dalam menelaah kasus, dimana pihak Penggugat mengemukakan dalil-dalil secara buruk: sama sekali tidak menyinggung perihal cacatnya PKWT.
Pihak Tergugat selaku perusahaan terhadap gugatan Penggugat yang meminta hak pesangon, mendalilkan bahwa hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat putus karena telah berakhirnya jangka waktu kontrak kerja, bukan dikarenakan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Tergugat mendalilkan, tidak diperpanjangnya kembali hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat telah sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 61 ayat (1) yang menyatakan:
“Perjanjian kerja berakhir apabila: b. Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;”
Oleh karena hubungan kerja sudah berakhir atau tidak diperpanjang oleh Tergugat, maka hubungan hukum antara Penggugat dan Tergugat pun ikut berakhir, sehingga tidak tepat apabila dikategorikan sebagai PHK.
Terhadap gugatan tersebut PHI Jakarta kemudian menjatuhkan putusan Nomor 66/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.JKT.PST. tanggal 27 Agustus 2015, dengan amar sebagai berikut:
Dalam Pokok Perkara
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat putus dan berakhir karena Penggugat melanggar tata tertib kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal161 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003;
3. Menghukum Tergugat untuk membayar kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja kepada Penggugat sebesar Rp73.600.000,00 (tujuh puluh tiga juta enam ratus ribu rupiah), yang terdiri dari:
a. Uang pesangon: 1 x 2 x Rp32.000.000,00 = Rp64.000.000,00;
b. Uang penggantian hak atas perumahan serta pengobatan dan perawatan: 15% x Rp64.000.000,00 = Rp9.600.000,00;
4. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Tergugat mengajukan upaya hukum kasasi, dengan argumentasi bahwa pertimbangan hukum PHI yang menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat adalah dilakukan berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) adalah keliru karena sesungguhnya klausa periode evaluasi 6 (enam) bulan yang tercantum dalam perjanjian kerja adalah berkenaan dengan jangka waktu perjanjian kerja (Note SHIETRA & PARTNERS: inilah yang disebut sebagai teknik “akrobatik hukum”).
PHI menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat adalah dilakukan berdasarkan PKWTT karena tidak mengatur adanya jangka waktu perjanjian kerja. Perjanjian kerja tersebut memuat didalamnya jangka waktu berlakunya perjanjian kerja sebagaimana disinggung UU Ketenagakerjaan yang mengatur:
"Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas: a. jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu."
Menjadi menarik kita simak kutipan dalil Tergugat dalam memori kasasinya, dengan penuh percaya diri menyebutkan:
“Majelis Hakim Pengadilan Pengadilan Hubungan Industrial telah salah dan keliru dalam menerapkan hukum dalam pertimbangan hukumnya serta lalai, sebab Tergugat tidak pernah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan pelanggaran tata tertib atau alasan apapun terhadap Penggugat melainkan hubungan kerja yang telah berakhir karena jangka waktu sehingga nyata dan keliru serta lalai jika dalam putusannya Pengadilan Hubungan Industrial menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat berakhir karena Penggugat melanggar tata tertib sebagaimana Pasal 161 (1) Undang-Undang Nomor13 Tahun 2003;
“Bahwa berdasarkan koridor atau batasan ketentuan Pasal 70 ayat (1) Peraturan Perusahaan tersebut kemudian Tergugat mengikat Penggugat dalam hubungan kerja dengan perjanjiian kerja untuk periode evaluasi selama 6 (enam) bulan, yang mana penafsiran dan/atau pemahaman atas periode evaluasi tersebut adalah merupakan jangka waktu hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat sehingga yang demikian tersebut dikategorikan atau dikualifikasikan sebagai perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT);
“Bahwa dengan demikian mestinya Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial mempertimbangkan secara adil dan menyeluruh terkait klausa periode evaluasi selama 6 (enam) bulan serta ketentuan Pasal 70 ayat (1) Peraturan Perusahaan Tergugat sehingga adalah cukup adil menurut hukum jika klausal periode evaluasi selama 6 (enam) bulan dikualifikasi sebagai periode jangka waktu perjanjiian kerja serta batasan usia pensiun menjadi koridor dalam penentuan status hukum Penggugat terkait hubungan kerja;
“... berakhirnya hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat disebabkan karena jangka waktu hubungan kerja yang sudah selesai sebagaimana dibuktikan dengan telah lewatnya periode 6 (enam) bulan dan bukan karena pemutusan hubungan kerja (PHK) yang disebabkan adanya pelanggaran tata tertib yang dilakukan oleh Penggugat.”
Sebagaimana pun pihak Tergugat mendalilkan, Mahkamah Agung memiliki pertimbangan hukum tersendiri sebelum tiba pada amar putusannya:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 29 September 2015 dan kontra memori kasasi tanggal 12 Oktober 2015 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Bahwa pekerja dalam hubungan kerja perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) telah tepat dan benar, karena penafsiran tentang apakah pekerja terikat hubungan kerja 6 (enam) bulan telah memenuhi syarat dalam perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) hanya mengenai penilaian hasil pembuktian yang tidak merupakan kewenangan Judex Juris sesuai Pasal 30 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2009;
2. Bahwa lagipula ikatan kerja berupa penawaran kerja dalam bahasa Inggris tanpa ada bahasa Indonesia berdasarkan ketentuan Pasal 57 ayat (1), (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dinyatakan menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT);
3. Bahwa Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Penggugat, yang status hubungan kerjanya dalam perjanjian kerja waktu tidak tertentu telah dilakukan atas inisiatif Tergugat karena adanya pelanggaran tata tertib yang dilakukan oleh Penggugat sebagaimana maksud ketentuan Pasal 161 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi PT ZUG INDUSDRY INDONESIA tersebut harus ditolak;
MENGADILI:
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT. ZUG INDUSTRY INDONESIA, tersebut.”
Masa “evaluasi” maupun “percobaan” merupakan ciri-ciri klausula jenis perikatan bersyarat, dalam arti dapat berlanjut dan dapat pula tidak. Karena sifatnya menggantung, maka sudah jelas bersifat PKWTT.
Menjadi aneh ketika pihak penguaha bersikukuh perjanjian kerja dengan masa “evaluasi” merupakan PKWT—jikalau pun benar adalah PKWT, maka sejatinya klausula demikian mengecoh pekerja yang berasumsi bila prestasi dan kinerjanya baik dapat bekerja selama bertahun-tahun sementara sejak awal pihak pengusaha hanya memiliki niat untuk menyerap keterampilan dan pengetahuan pekerjanya ini selama kurun beberapa bulan semata.
Argumentasi hukum yang baik, tidak membuat Majelis Hakim tersinggung diperlakukan seperti seorang anak kecil yang tidak paham akan perilaku tidak etis, terlebih argumentasi dangkal kekanakan yang hanya akan membuat dahi hakim yang membacanya berkerut.
“Anda bermaksud hendak membodohi saya?” hakim membatin. “Akan saya beri ganjaran!”
Pihak dalam sengketa yang cukup cerdas menyadari “emotional prediction” (note: istilah yang penulis pinjam dari seorang tokoh komunikasi bernama Leil Lowndes) sang pemutus, akan memahami psikologi hakim yang memeriksa dan menjatuhkan amar.
Jika saja pihak Tergugat tidak sedemikian percaya dirinya mendalilkan suatu pembenaran diri. Bila sudah jelas keliru dan memiliki kesalahan pada pihaknya, percaya diri berlebih adalah sebuah penyimpangan perilaku karena tidak pada proporsinya. Salah tapi tetap percaya diri, itulah yang dinamakan sebagai “ngeyel”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.