PHK yang Terbit dari PKWT yang Ilegal, Buruh / Pekerja yang Menggugat (Seyogianya) Berhak atas Upah Proses

LEGAL OPINION
Question: Apa dapat dibenarkan, bila pengadilan tidak memberi upah proses pada pekerja yang menggugat dengan alasan pemutusan hubungan kerja didasari PKWT, meski disaat bersamaan pengadilan setuju dengan permintaan pekerja agar dinyatakan PKWT tak sah sehingga otomatis menjadi pekerja tetap? Kok rasanya aneh, dan yang seperti ini sering dijumpai kawan-kawan kami. Jika caranya begitu, semua pengusaha bisa-bisa mengikat karyawan dengan PKWT semua meski dipekerjakan terus-menerus tanpa batas waktu agar terhindar dari resiko dihukum bayar upah proses.
Brief Answer: Dalam hukum, terdapat asas fiksi yang mengikat setiap warga negara dan juga mengikat pemberi kerja, bahwa: setiap orang dianggap tahu hukum. Dengan demikian pihak pengusaha yang melanggar ketentuan mengenai rambu-rambu ataupun batasan penggunaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), seharusnya tahu (ought to know) bahwa PKWT tersebut demi hukum berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu.
PEMBAHASAN:
Memang dalam praktik kerap dijumpai salah kaprah kalangan hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) maupun Hakim Agung, yang menolak sama sekali Upah Proses dengan alasan tak terjadi skorsing ataupun pemutusan hubungan kerja (PHK) karena pihak pengusaha/pemberi kerja yang digugat karyawannya berasumsi berakhirnya hubungan kerja akibat habisnya masa berlaku PKWT, sehingga tidak dibebani Upah Proses.
Pandangan demikian adalah keliru, sebab semestinya pihak pengusaha mengetahui dan menyadari ketentuan normatif mengenai keberlakuan PKWT yang bersifat imperatif dan mengikat setiap pemberi kerja di Indonesia.
Ketidaktahuan dalam hukum ialah kelalaian, dan baik kesengajaan maupun kelalaian dimata hukum sama-sama masuk dalam kriteria kesalahan—adalah mustahil kalangan pengusaha tidak mengetahui aturan hukum sebenarnya dari PKWT.
Fakta hukum yang SHIETRA & PARTNERS jumpai dalam praktik, semua pemberi kerja sadar dan mengetahui secara pasti aturan main PKWT yang telah diatur hukum, terutama perusahaan-perusahaan besar, namun dengan sengaja mereka simpangi.
Ilustrasi kasus yang akan SHIETRA & PARTNERS angkat berikut dapat memberi gambaran mengenai salah-kaprah praktik peradilan terkait PHK yang timbul dari PKWT yang tidak sah sehubungan dengan Upah Proses, sebagaimana tertuang dalam putusan Mahkamah Agung RI tingkat kasasi sengketa hubungan industrial register perkara Nomor 404 K/Pdt.Sus-PHI/2014 tanggal 29 September 2014, sengketa antara:
- Tn. YUAN AGUSTA, selaku Pemohon Kasasi, semula Penggugat; melawan
- HOTEL SAHID JAYA SOLO, selaku Termohon Kasasi, semula Tergugat.
Penggugat merupakan pegawai Tergugat dengan status karyawan kontrak, alias Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Penggugat mulai bekerja pada pihak Tergugat sejak tanggal 1 November 2001 sampai dengan 31 Mei 2013. Dengan demikian Penggugat telah bekerja pada pihak Tergugat dengan status kontrak (PKWT) selama kurang lebih 11 (sebelas) tahun—Note SHIETRA & PARTNERS: berangkat dari fakta hukum yang ekstrim ini saja sudah tak dapat dipungkiri bahwa pihak pemberi kerja tahu secara pasti bahwa status PKWT telah menjelma PKWTT. Menyikapi fakta hukum demikian, yang ada ialah itikad buruk pengusaha, bukan ketidaktahuan.
Tanpa mengutip pasal-pasal hukum ketenagakerjaan, tentulah semua pihak memahami bahwa fakta hukum yang dialami Penggugat sebagaimana dirinci berikut ini sebagai suatu perbuatan pengusaha yang tidak patut, yakni:
a. Tanggal 1 November 2001 s/d 31 Januari 2003 bekerja di bagian Restaurant Bar Cashier Hotel Sahid Jaya Surakarta—jenis pekerjaan tetap.
b. Tanggal 1 Februari 2003 s/d 31 Januari 2004 bekerja di bagian Recepsionest Hotel Sahid Jaya Surakarta—jenis pekerjaan tetap.
c. Tanggal 1 Februari 2004 s/d 31 Januari 2005 bekerja dibagian Recepsionist Bar Cas Mer Hotel Sahid Jaya Surakarta—jenis pekerjaan tetap.
d. Tanggal 1 Februari 2005 s/d 31 Januari 2006 bekerja dibagian Recepsionist Bar Cashier, Hotel Sahid Jaya Surakarta—jenis pekerjaan tetap.
e. Tanggal 1 April 2006 s/d 31 Maret 2007 bekerja dibagian Shift Leader Hotel Sahid Jaya Surakarta.
f. Tanggal 1 Aprif 2007 s/d 31 Maret 2008 bekerja dibagian Shift Leader Hotel Sahid Jaya Surakarta.
g. Tanggal 1 April 2008 s/d 31 Maret 2009 bekerja dibagian Assistant Front Office Manager Hotel Sahid Jaya Surakarta—jenis pekerjaan tetap.
h. Tanggal 1 April 2009 s/d 31 Maret 2010 bekerja dibagian Assistant front Office Manager Hotel Sahid Jaya Surakarta—jenis pekerjaan tetap.
i. Tanggal 1 April 2010 s/d 31 Maret 2011 bekerja dibagian Assistant Front Office Manager Hotel Sahid Jaya Surakarta—jenis pekerjaan tetap.
j. Tanggal 15 Mei 2011 s/d 14 Mei 2012 bekerja dibagian Duty Manager Hotel Sahid Jaya Surakarta—jenis pekerjaan tetap.
k. Tanggal 15 Mei 2012 s/d 31 Mei 2013 bekerja dibagian Duty Manager Hotel Sahid Jaya Surakarta—jenis pekerjaan tetap.
Selama 11 (sebelas) tahun Penggugat bekerja pada Tergugat, setiap tahun sekali perjanjian kontrak PKWT selalu dibuat, dan setiap kali masa kontrak kerja selesai Penggugat selalu diminta oleh Tergugat secara lisan untuk membuat surat lamaran kerja baru serta kemudian baru dibuat surat perjanjian kerja yang baru—wujud konkrit itikad tidak baik pengusaha.
Selain perjanjian kerja PKWT baru yang setiap tahunnya selalu dibuat, Penggugat juga diharuskan menandatangani surat pemutusan hubungan kerja yang salah satu isinya tidak menuntut uang pesangon.
Tampaknya pihak Tergugat “memainkan" Pasal 59 Ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan, tampak dari PKWT yang diberikan oleh Tergugat Kepada Penggugat, Tergugat memberikan kontrak kerja kepada Penggugat untuk paling lama 1 (satu) tahun, dan diperpanjang 2 (dua) sampai paling banyak 3 (tiga) kali. Kemudian Tergugat mengganti bagian pekerjaan Penggugat dan mengadakan kontrak baru lagi.
Penggugat selalu ditempatkan pada bagian-bagian yang berbeda untuk paling lama tiga (3) tahun pada satu bagian, selama 11 (sebelas) tahun Penggugat bekerja pada pihak Tergugat. Sebuah modus yang demikian rapih dan canggih, namun dengan apik Penggugat mampu menguraikan dan mengungkap modus pihak pengusaha.
Pasal 3 ayat (2) Keputusan Menteri Tenga Kerja dan Transmigrasi (KEPMENAKERTRANS) Nomor Kep. 100/Men/VI/2004 tentang ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu menyatakan: “PKWT hanya dibuat untuk paling lama 3 (tiga) tahun dan jika melebihi waktu tersebut maka demi hukum PKWT tersebut menjadi PKWTT (Karyawan tetap).”—Note SHIETRA & PARTNERS: frasa “demi hukum” memiliki makna terjadi secara otomatis sekalipun belum terdapat putusan hakim, dimana fungsi putusan hakim hanya mendeklarasikan saja apa yang demi hukum sudah berubah menjadi PKWT, namun perubahan status terhitung sejak PKWT menjelma invalid. Perhatikan kaidah normatif yang tertuang dalam Pasal 59 Ayat (7) UU Ketenagakerjaan berikut:
“Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.”—Note SHIETRA & PARTNERS: terjadi demi hukum saat pelanggaran terjadi, bukan terjadi sejak tanggal putusan hakim.
PKWT yang diberikan kepada Penggugat tidak hanya melebihi dari yang diperyaratkan yaitu paling lama hanya 3 (tiga) tahun. Dengan demikian, terang dan jelas hubungan hukum antara Penggugat dan Tergugat ialah demi hukum menjadi PKWTT saat Penggugat melaksanakan fungsi kerja tetap atau setidaknya terhitung sejak hubungan kerja memasuki tahun keempat.
Sebagai konsekuensi hukum dari berubahnya status PKWT Penggugat, maka sejak pertama kali Penggugat bekerja pada Tergugat yaitu pada tanggal 1 November 2001 dimana Penggugat bekerja pada bagian Restaurant Bar Cashier Hotel Sahid Jaya Surakarta adalah berstatus pegawai tetap.
Sejak tanggal 1 Juni 2013 Kontrak Penggugat tidak diperpanjang lagi oleh Tergugat. Tergugat dalam surat PHK-nya tidak menyebutkan alasan mengapa kontrak Penggugat tidak diperpanjang atau diperbaharui. Dalam surat tersebut hanya disebutkan bahwa management Hotel Sahid Jaya Solo tidak memperpanjang hubungan kerja dengan Penggugat.
Bentuk “perbudakan di zaman modern”, dan perbuatan yang demikian adalah sama halnya dengan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, imbuh Penggugat.
Penggugat mengadukan perkara yang menimpanya pada Dinas Tenaga Kerja (Disnaker), dimana kemudian Mediator Disnaker Kota Surakarta mengeluarkan anjuran tertulis, yang pada pokoknya menganjurkan agar Tergugat (Pengusaha hotel Sahid Jaya Surakarta) membayar kepada Penggugat hak atas pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang ganti rugi sebesar 15% yang seluruhnya berjumlah Rp63.250.000,00. Dengan demikian, berlakulah ketentuan Pasal 156 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan yang mengatur:
“Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, Pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.”
Disamping itu Penggugat pun memohon Upah Proses, yakni apa yang menjadi hak upah yang seharusnya diterima pekerja setiap periodiknya seandainya PHK sepihak tersebut tidak terjadi pada Penggugat, selama proses penyelesaian sengketa hubungan industrial. Permintaan Penggugat tidak irasional, hanya sebesar 6 kali upah per bulannya.
Terhadap gugatan tersebut Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Semarang kemudian menjatuhkan putusan Nomor 44/G/2013/PHI.Smg. tanggal 4 April 2014, dengan amar sebagai berikut:
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian.
2. Menetapkan sebagai pegawai tetap pada Hotel Sahid Jaya Solo
3. Menetapkan putus hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat sejak tanggal 22 Mei 2013.
4. Menghukum Tergugat untuk membayar hak-hak Penggugat berdasarkan Pasal 161 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2013 dengan perincian sebagai berikut:
Uang pesangon yaitu 9 x Rp2.560.300,00 =Rp23.042.700,00
Uang penghargaan masa kerja 4 x Rp2.560.300,00 =Rp10.241.200,00
Uang Penggantian hak 15% x Rp33.283.900,00 =Rp 4.992.585,00
Total =Rp38.276.485,00 (tiga puluh delapan juta dua ratus tujuh puluh enam ribu empat ratus delapan puluh lima rupiah);
5. Menolak gugatan Penggugat selebihnya.”
Meski dikabulkan tuntutan pesangon, yang memang disayangkan bukan dalam hitungan 2 (dua) kali ketentuan sebagaimana anjuran Disnaker, mengingat PHK yang dilakukan Tergugat terjadi secara tidak patut, Penggugat juga keberatan dengan ditolaknya permohonan Upah Proses. Dimana terhadap permohonan kasasi yang diajukan Penggugat, Mahkamah Agung membuat pertimbangan hukum serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap keberatan-keberatan tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, karena PHK dalam putusan a quo tidak benar menerapkan hukum.
“Bahwa keberatan atau alasan kasasi Pemohon Kasasi atas adanya kesalahan/pelanggaran yang dilakukan oleh Penggugat sebagai alasan dilakukannya PHK dalam perkara a quo, kesimpulan akan fakta hukum oleh PHI a quo merupakan penilaian hasil pembuktian yang berdasarkan ketentuan dalam Pasal 30 UU Nomor 14 Tahun 1985 jo. UU Nomor 5 Tahun 2004 jo. UU Nomor 3 Tahun 2009 keberatan atau alasan kasasi yang demikian tidak dapat dijadikan sebagai alasan kasasi.
“Bahwa putusan PHI yang tidak mengabulkan tuntutan Penggugat atas upah proses PHK dalam perkara a quo telah benar dan memenuhi rasa keadilan sebagaimana dimaksud ketentuan dalam Pasal 100 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, karena berbeda dengan tindakan PHK yang dilakukan terhadap Pekerja yang jika semula hubungan kerjanya memang telah didasarkan pada Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu, dimana dalam perkara a quo tindakan PHK yang dilakukan oleh Tergugat kepada Penggugat a quo didasarkan pada asumsi bahwa hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat a quo berakhir demi hukum karena berakhirnya waktu yang ditentukan dalam perjanjian kena waktu tertentu, dan oleh karenanya sudah patut dan seadilnya Tergugat tidak dihukum untuk membayar upah proses pasca tindakan PHK a quo.
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata bahwa putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Semarang dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: Tn. YUAN AGUSTA tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi Tn. YUAN AGUSTA tersebut.”
Lantas apa yang menjadi solusi terakhir guna meluruskan “praktik salah kaprah” demikian? Akan timbul moral hazard dimana para pelaku usaha akan memilih mem-PKWT seluruh bidang dan jenis pekerjaan, guna menghindari upah proses meski telah dipekerjakan selama lebih dari 3 tahun tanpa terputus.
Jawab SHIETRA & PARTNERS: Ajukan kembali uji materil (judicial review) ke hadapan Mahkamah Konstitusi perihal Upah Proses, dikarenakan terdapatnya ketidakpastian hukum, sehingga mohon kepada Mahkamah agar memberi penafsiran konstitusional terhadap keberlakuan kaedah hukum ketenagakerjaan perihal Upah Proses yang timbul dari sengketa PHK, baik PHK akibat “PHK sepihak dalam hubungan kerja tetap” maupun “PHK akibat berakhirnya masa berlaku PKWT”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.