LEGAL OPINION
Question: Apakah pernah ada, gugatan dari pihak pekerja yang mengundurkan diri secara terpaksa, semisal perusahaan meminta karyawannya mengundurkan diri sebagai syarat agar gaji-gajinya yang selama ini belum diberikan akan diberikan ketika karyawannya ini mengundurkan diri atau bersedia tidak dilanjutkan hubungan kerjanya. Jika pernah terjadi, bagaimana praktik di PHI (Pengadilan Hubungan Industrial) terkait masalah ini? Atau, apabila seorang pekerja saat kini telah bekerja pada perusahaan lain, apakah itu artinya melepas hak dirinya untuk menggugat perusahaan lama yang belum memberikan hak-hak normatif sang mantan karyawan?
Brief Answer: Pernah terjadi, bahkan kerap terjadi. Ketika Majelis Hakim mengetahui dan memahami duduk perkara sebenarnya, timbul antipati dari kalangan hakim terhadap praktik pengusaha tidak sehat demikian. Fakta bahwa mantan pekerja saat kini telah bekerja pada pemberi kerja lain, tidak menjadi alasan pembenar mantan pemberi kerja untuk menunaikan kewajibannya. Kadaluarsa hanya terkait lewatnya waktu, tidak memiliki korelasi faktual sudah atau belumnya buruh/pekerja bekerja pada pemberi kerja lain.
Jika kalangan buruh/pekerja memperkarakan penekanan pemberi kerja yang meminta buruh/pekerja mengundurkan diri atau tidak melanjutkan hubungan kerja, barulah akan diberi hak-hak upahnya yang belum terbayar, maka hal tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum dengan sanksi yang tegas dari pengadilan.
PEMBAHASAN:
Sebagai ilustrasi, dapat tercermin dalam putusan Mahkamah Agung RI tingkat kasasi sengketa hubungan industrial register Nomor 749 K/Pdt.Sus-PHI/2014 tanggal 26 Februari 2015, perkara antara:
- AFRINAL, selaku Pemohon Kasasi, dahulu Penggugat; melawan
- PT. HIT ELECTRONICS INDONESIA, sebagai Termohon Kasasi, semula Tergugat.
Penggugat merupakan pegawai PT. HIT Electronics Indonesia sejak tahun 2007 pada divisi HRD & GA. Pada tanggal 14 September 2013 Penggugat menerima Surat dari Tergugat, perihal Pemberitahuan Kontrak Kerja, yang pada pokoknya berisi: Perjanjian kerja waktu tertentu antara Penggugat dan Tergugat berakhir pada tanggal 14 September 2013 serta Tergugat menyatakan mulai tanggal 15 September 2013 Penggugat dilarang masuk kerja kembali.
Dengan demikian Tergugat telah memutus hubungan kerja terhadap Penggugat dengan alasan berakhirnya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Penggugat telah mencoba menyelesaikan permasalahan pemutusan hubungan kerja (PHK) ini secara bipartit tetapi belum menemui titik temu, sehingga Penggugat mengajukan permohonan mediasi ke Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kabupaten Bekasi. Disnaker kemudian menerbitkan anjuran tertulis, dengan bunyi:
“MENGANJURKAN:
1. Hubungan kerja antara PT. HIT Electronics Indonesia dengan pekerja Sdr. Afrinal sesuai ketentuan Pasal 59 ayat (7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang semula Pekerja dengan status pekerja Kontrak (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu;
2. Agar Pengusaha PT. HIT Electronics Indonesia memanggil secara tertulis Sdr. Afrinal dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pengusaha PT. HIT Electronics Indonesia memanggil secara tertulis Sdr. Afrinal untuk bekerja kembali paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima anjuran ini;
b. Pekerja Sdr. Afrinal melapor diri secara tertulis kepada pengusaha PT. HIT Electronics Indonesia untuk bekerja kembali paling lambat 7 (tujuh hari) kerja setelah menerima anjuran ini;
c. Agar pengusaha PT. HIT Electronics Indonesia membayar upah Sdr. Afrinal selama tidak diperkerjakan;
3. Agar kedua belah pihak memberikan jawaban secara tertulis paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima anjuran ini.”
Dasar Pemutusan Hubungan Kerja oleh Tergugat terhadap Penggugat adalah PKWT telah berakhir. Pengaturan tentang PKWT telah diatur secara limitatif dalam Pasal 59 Ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003, yang berbunyi:
“Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.”
Berdasarkan hal tersebut, PKWT antara Penggugat dan Tergugat tidak memenuhi Pasal 59 ayat (1) UU Ketenagakerjaan karena dibuat secara terus-menerus sejak tanggal 1 Maret 2007, sehingga PKWT tersebut demi hukum menjadi peijanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT).
Sementara itu PT. HIT Electronics Indonesia (Tergugat) telah berdiri lebih dari 11 tahun dan sampai dengan saat ini masih tetap bergerak dalam bidang elektronik, dengan kata lain Tergugat tidak pernah merubah bidang usahanya, oleh karena itu pekerjaan yang dilakukan oleh Penggugat adalah pekerjaan yang bersifat tetap. Oleh karenanya pekerjaan rutin yang dilakukan oleh Penggugat adalah pekerjaan yang bersifat tetap sehingga tidak dapat diadakan dengan PKWT.
Terhadap gugatan sang pekerja, PHI Bandung kemudian menjatuhkan putusan Nomor 75/G/2014/PHI.PN.BDG, tanggal 23 September 2014, dengan amar sebagai berikut:
“MENGADILI :
DALAM POKOK PERKARA:
1. Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Penggugat putus hubungan kerja karena berakhimya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) terhitung tanggal 14 September 2013 jo. Pasal 61 ayat (b) UU Nomor 13 Tahun 2003.”
Penggugat mengajukan upaya hukum kasasi, dengan dalil bahwa Penggugat telah bekerja secara terus–menerus sejak tanggal 1 Maret 2007 s/d 14 September 2013 tanpa terputus, oleh karenanya demi hukum PKWT menjelma PKWTT. Terhadap permohonan kasasi tersebut, Mahkamah Agung membuat pertimbangan hukum sebelum tiba pada amar putusannya, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap keberatan-keberatan tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 9 Oktober 2014 dan kontra memori kasasi tanggal 12 November 2014 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa Judex Facti tidak mempertimbangkan keterangan saksi Tergugat yang pada pokoknya menerangkan bahwa Penggugat sebelum hubungan kerjanya dengan Tergugat telah melakukan hubungan kerja dengan perusahaan outsoursing untuk bekerja pada posisi operatoring, sehingga jenis pekerjaan tersebut sebenarnya jenis perkerjaan tetap karena waktunya telah lebih dari 3 (tiga) tahun;
“Bahwa terhadap peristiwa hukum di atas diterapkan ketentuan Pasal 59 ayat (7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan karena hubungan kerja tidak dapat dipertahankan lagi, maka hubungan kerja diputus dengan kompensasi uang Pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), Uang Penghargaan Masa Kerja serta Uang Penggantian Hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tanpa Upah Proses dan dengan masa kerja 6 (enam) tahun lebih serta Upah Rp2.302.000,00/bulan, sebagai berikut:
- Uang Pesangon 2 x 7 x Rp2.302.000,00 = Rp32.232.200,00;
- Uang Penghargaan Masa Kerja 3 x Rp2.302.000,00 = Rp 6.906.900,00;
- Uang Penggantian Hak 15% x Rp39.139.100,00 = Rp 5.870.865,00;
Jumlah Rp45.009.965,00 (Empat puluh lima juta sembilan ribu sembilan ratus enam puluh lima rupiah).
“Menimbang, bahwa namun demikian Hakim Agung anggota I: Dr. Horadin Saragih, S.H., M.H., menyatakan beda pendapat (dissenting opinion) dengan mengemukakan alasan-alasan sebagai berikut:
“Bahwa berdasarkan alat bukti tertulis P-9/T-1 Pemohon Kasasi terikat hubungan kerja dengan Termohon Kasasi dalam bentuk Perjanjian Waktu Kerja Tertentu/kontrak;
“Bahwa terhadap pegawai/pekerja kontrak yang bekerja dengan masa kerja lebih dari 2 tahun termasuk Pemohon sesuai dalil gugatan dan selaku anggota PUK SPEEFSPMI telah tercapai Perjanjian Bersama (PB) yang isinya sepakat mengangkat 65 orang pekerja anggota Serikat Pekerja a quo menjadi pekerja PKWTT/tetap tidak termasuk Pemohon;
“Bahwa Perjanjian Bersama (PB) a quo mengikat dan menjadi hukum serta wajib dilaksanakan termasuk Pemohon selaku anggota PUK SPEEFSPMI (vide Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004);
“Oleh karenanya, tepat Pemohon dinyatakan terikat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dengan sepihak karena berakhirnya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu a quo sesuai ketentuan Pasal 61 huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003;
“Judex Facti tidak cukup dalam mempertimbangkan bukti T-1, bahwa pengunduran diri para Penggugat berkaitan dengan upah yang belum dibayar oleh Tergugat selama 8 (delapan) bulan, pengunduran diri mana tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 162 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang mengharuskan pengunduran diri para Penggugat tersebut dapat dikualifikasikan sebagai penyalahgunaan keadaan sehingga terpaksa para Penggugat mengundurkan diri agar mendapat pembayaran atas upah yang tertunggak selama 8 (delapan) bulan;
“Menimbang, bahwa oleh karena terjadi perbedaan pendapat dalam Majelis Hakim dan telah diusahakan musyawarah dengan sungguh-sungguh tetapi tidak tercapai mufakat, maka berdasarkan Pasal 30 ayat (3) Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Majelis Hakim mengambil putusan dengan suara terbanyak;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, Mahkamah Agung berpendapat, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi AFRINAL tersebut dan membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung Nomor 75/G/2014/PHI/PN.BDG, tanggal 23 September 2014 selanjutnya Mahkamah Agung akan mengadili sendiri dengan amar sebagaimana yang akan disebutkan dibawah ini;
“M E N G A D I L I
“Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi AFRINAL tersebut;
“Membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung Nomor 75/G/2014/PHI/PN.BDG, tanggal 23 September 2014;
“MENGADILI SENDIRI
1. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian;
2. Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat putus;
3. Menghukum Tergugat membayar sejumlah uang kompensasi kepada Penggugat sebesar Rp45.009.965,00;
4. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.