Penjelasan Pasal Bersifat Merinci, dan Merinci Pastilah Memuat Norma yang Menambah Luas atau Sebaliknya Menyempitkan Norma Hukum dalam Pasal yang Dijelaskan

ARTIKEL HUKUM
Truk pengangkut bahan pangan / sembako, merupakan faktor produksi dalam sudut pandang kebutuhan pokok masyarakat. Truk pengangkut kontainer ataupun pengangkut logistik, juga merupakan faktor produksi dalam sudut pandang kalangan produsen. Bus umum pengangkut penumpang, juga merupakan faktor produksi dari sudut pandang perusahaan pengangkut penumpang.
Apa yang dimaksud dengan faktor produksi? Faktor produksi artinya bersifat mutlak dalam suatu rantai produksi, dimana tanpa adanya faktor tersebut maka produksi tidak akan terjadi secara lengkap / utuh. Bahkan bagi supir taksi baik konvensional ataupun pemesanan via daring, kendaraan mereka merupakan satu-satunya unsur “produktif” itu sendiri sebagai pendapatan.
Saat ini para pengusaha pemilik alat berat menolak untuk uji KIR, membayar pajak kendaraan bermotor, bahkan menolak untuk dipersyaratkan memiliki SIM khusus untuk driver alat berat. Apa yang menjadi penyebab “pemberontakan” para kalangan pemilik alat berat?
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi RI register Nomor 3/PUU-XIII/2015 tanggal 31 Maret 2016 perkara pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang diajukan oleh tiga perusahaan yang berkeberatan terhadap pengaturan dalam Penjelasan Resmi Pasal 47 Ayat (2) huruf (e) bagian (c) UU Lalu Lintas.
Sebelumnya dalam uji materil terpisah sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-X/2012 terhadap UU No. 29 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang menjadi keberatan ialah ketentuan dalam undang-undang tersebut yang menempatkan alat berat yang dalam operasinya menggunakan roda dan motor serta tidak melekat secara permanen sebagai kendaraan bermotor, menjadi objek pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB).
Dalam perkara uji materil terhadap Pajak Daerah tersebut, Pemohon mendalilkan bahwa UU No. 28 Tahun 2009 telah melanggar asas kesesuaian, karena pengertian “kendaraan bermotor” yang termuat dalam UU Pajak Daerah sebagai lex generalis tidak mengacu pada pengertian “kendaraan bermotor” yang tercantum dalam UU Lalu Lintas sebagai lex specialis. Dalam hal ini, UU Pajak Daerah telah memperluas pengertian kendaraan bermotor meliputi alat-alat berat dan alat-alat besar, yang dalam UU Lalu Lintas tidak dikategorikan demikian. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah Konstitusi telah membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, ... menurut Mahkamah, dalil a quo tidak beralasan. Menurut Mahkamah, “pengertian kendaraan bermotor” sebagaimana tersebut di dalam Undang-Undang a quo merupakan bentuk perumusan ulang yang bertujuan untuk memberikan batasan kepada Pemerintah Daerah mengenai objek-objek mana yang dapat dikenakan pajak maupun retribusi daerah. Di samping itu, hal tersebut juga bertujuan untuk menutup celah penghindaran dan pengelakan pajak (loopholes) dan mempermudah administrasi pajak, serta tujuan lainnya.
:Pengertian kendaraan bermotor yang ada dalam UU 28/2009 pada prinsipnya tidak berbeda dengan pengertian kendaraan bermotor dalam UU Lalu Lintas, hal ini terlihat dalam ketentuan Pasal 47 ayat (2) UU Lalu Lintas yang menyebutkan bahwa: “kendaraan bermotor sebagaimana ayat (1) huruf a dikelompokkan berdasarkan jenis: ... e. Kendaraan Khusus”, dan dalam Penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e disebutkan, “yang dimaksud dengan “kendaraan khusus” adalah kendaraan bermotor yang dirancang khusus yang memiliki fungsi dan rancang bangun tertentu, antara lain: ... c. alat berat antara lain bulldozer, traktor, mesin gilas (stoomwaltz), forklift, loader, excavator, dan crane”. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka jelas terbukti bahwa dalam UU Lalu Lintas pun alat berat dimasukkan kedalam kategori kendaraan bermotor.
“Demikian pula dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa Undang-Undang a quo merupakan lex generalis dan UU Lalu Lintas merupakan lex spesialis adalah dalil yang tidak tepat. Dalam perkara ini, Undang-Undang a quo justru yang merupakan lex spesialis, karena Undang-Undang a quo merupakan Undang-Undang yang mengatur dasar pemungutan pajak dan retribusi daerah, yang oleh para Pemohon diajukan ke Mahkamah untuk diuji konstitusionalitasnya, khususnya terkait dengan ketentuan mengenai pemungutan pajak daerah atas alat-alat berat dan alat-alat besar. Dengan demikian jelas bahwa dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa seharusnya pengertian “kendaraan bermotor“ dalam Undang-Undang a quo tunduk dan mengacu pada pengertian “kendaraan bermotor” yang diatur dalam UU Lalu Lintas merupakan dalil yang tidak berdasar.
“Bahwa menurut para Pemohon, Undang-Undang yang mengatur Pajak dan Retribusi Daerah sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf a tidak memuat alat-alat berat dan alat-alat besar sebagai kendaraan bermotor dan sebagai objek pajak, sedangkan dalam UU 28/2009 telah memuat alat-alat berat dan alat-alat besar sebagai kendaraan bermotor dan sebagai objek pajak.
“Menurut para Pemohon perluasan pengertian kendaraan bermotor dalam UU 28/2009 yang menempatkan alat-alat berat dan alat-alat besar yang dalam operasinya menggunakan roda dan motor dan tidak melekat secara permanen sebagai kendaraan bermotor telah melanggar pengertian kendaraan bermotor sebagaimana diatur dalam UU 28/2009. Hal demikian melanggar ketentuan Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU 12/2011), sebagaimana tindak lanjut Pasal 22A UUD 1945 yang menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang”.
“Mahkamah menilai bahwa konstitusionalitas Pasal 1 angka 13 Undang-Undang a quo tidak dapat diuji dengan ketentuan Undang-Undang lainnya tetapi harus diuji dengan UUD 1945. Menurut UU 12/2011 suatu pengertian yang sama dapat berbeda isinya. Lampiran II angka 104 UU 12/2011 menyatakan, “Rumusan batasan pengertian dari suatu Peraturan Perundang-undangan dapat berbeda dengan rumusan Peraturan Perundang-undangan yang lain karena disesuaikan dengan kebutuhan terkait dengan materi muatan yang diatur Undang-Undang”.
“Misalnya pengertian ‘hari’. Hari adalah hari kalender (rumusan ini terdapat dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas). Hari adalah hari kerja (rumusan ini terdapat dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah).
“Di samping itu menurut Kitab Undang Undang Hukum Perdata suatu benda termasuk benda bergerak karena sifatnya, dapat saja dianggap benda tidak bergerak karena ketentuan Undang-Undang dengan tujuan tertentu, misalnya kapal laut dengan tonase tertentu, yang didaftar menurut Pasal 314 ayat (3) KUH Dagang. Dengan demikian terhadap kapal-kapal tersebut dapat dibebani dengan hipotik. Perubahan kebijakan memasukkan alat-alat berat dan alat-alat besar yang semula tidak termasuk kendaraan menjadi kendaraan, sehingga merupakan objek yang kena pajak dalam batas-batas tertentu yang ditentukan Pasal 6 ayat (4) dan Pasal 12 ayat (2) UU 28/2009, dimungkinkan daerah untuk memungut maupun tidak memungut pajak. Hal tersebut merupakan upaya untuk mendorong kemandirian keuangan daerah, sehingga diharapkan penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat berjalan secara otonom, segala sesuatunya disesuaikan dengan kebijakan daerah meskipun tidak semua daerah melakukannya. Perkembangan dan dinamika masyarakat dengan adanya otonomi daerah memberi kesempatan daerah secara legal, menggali potensi sesuai dengan keadaan daerah masing-masing.
“Meskipun seandainya isi suatu undang-undang dinilai buruk, maka Mahkamah tidak dapat membatalkannya, kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable. Sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk undang-undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah”. Berdasarkan hal tersebut, maka adalah wajar dan beralasan apabila pemberlakukan PKB dan BBN-KB antara satu daerah dengan daerah lainnya berbeda-beda. Dengan demikian dalil para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum;
AMAR PUTUSAN
Mengadili,
“Menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;”
Jika melihat kaidah yang ditetapkan oleh MK RI putusan Nomor 1/PUU-X/2012 diatas, tegas menyatakan alat berat menjadi objek pajak sehingga sekalipun kemudian permohonan uji materil terhadap UU Lalu Lintas dikabulkan oleh Mahkamah, tidak diartikan membebaskan pengusaha pemilik alat berat untuk menghindar dari beban pajak alat berat.
Kembali pada perkara uji materil terhadap UU Lalu Lintas, Pemohon memiliki dan/atau mengelola alat berat yang digunakan melakukan aktivitas usahanya. Pemohon merasa keberatan terhadap keberlakuan UU Lalu Lintas yang menempatkan alat berat sebagai kendaraan bermotor, sehingga diperlakukan sama dengan kendaraan bermotor meski alat berat memiliki karakteristik yang berbeda, sebab ditilik dari fungsinya merupakan alat produksi, berbeda dengan kendaraan bermotor yang berfungsi sebagai moda transportasi baik barang maupun orang.
Dengan perkataan lain, menurut Pemohon, secara fungsional alat berat tidak akan pernah berubah fungsi menjadi moda transportasi barang atau pun orang. Akibat diperlakukan sama seperti kendaraan bermotor, maka menimbulkan konsekuensi diwajibkan mengikuti uji tipe dan uji berkala, dilarang melakukan modifikasi, diharuskan memiliki perlengkapan kendaraan bermotor (seperti sabuk keselamatan, segitiga pengaman, dongkrak), diharuskan pula melakukan registrasi dan surat identifikasi seperti Surat Tanda Nomor Kendaraan dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, demikian pula kewajiban Surat Izin Mengemudi bagi alat berat berupa SIM B II sebagaimana disyaratkan UU Lalu Lintas.
Alat berat yang dimiliki Pemohon hanya dapat dioperasikan oleh orang yang sudah mengikuti pelatihan khusus alat berat tanpa harus memiliki SIM B II yang secara khusus mensyaratkan umur dan administrasi SIM B I dan SIM A sebelum mendapatkan SIM B II yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan mengoperasikan alat berat.
Dampak dari dikelompokkannya alat berat sebagai kendaraan bermotor, Pemohon berpotensi dikenakan sanksi pidana, sebagaimana disebutkan Pasal 277 UU Lalu Lintas yang melarang perakitan atau modifikasi kendaraan bermotor yang menyebabkan perubahan tipe yang tidak memenuhi kewajiban uji tipe diancam dipidana selama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000;-. Sementara itu tuntutan di lapangan kerapkali membutuhkan upaya rakit atau modifikasi sesuai kebutuhan operasional.
Pasal 47 Ayat (2) UU Lalu Lintas menyatakan:
Kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikelompokkan berdasarkan jenis:
a. sepeda motor;
b. mobil penumpang;
c. mobil bus;
d. mobil barang; dan
e. kendaraan khusus.”
Sementara itu disebutkan dalam Penjelasan Resmi Pasal 47 ayat (2) huruf (e) butir (c) UU Lalu Lintas:
“Yang dimaksud dengan kendaraan khusus adalah Kendaraan Bermotor yang dirancang khusus yang memiliki fungsi dan rancang bangun tertentu, antara lain: ... c. Alat berat antara lain bulldozer, traktor, mesin gilas (stoomwaltz, forklift, loader, excavator, dan crane;”
Pemohon keberatan alat berat diklasifikasi sebagai kendaraan bermotor, dengan dalil bahwa alat berat merupakan alat produksi memiliki jenis yang beraneka ragam yang tidak mungkin dapat dipersamakan dengan kendaraan bermotor sebagai moda transportasi. Alat berat merupakan peralatan (heavy equipment) untuk suatu proyek (produksi), sementara itu kendaraan bermotor (motor vehicle) merupakan sarana angkutan (moda transportasi).
Pemohon memaparkan, meski terdapat beberapa alat berat yang karena kondisi di lapangan industri membutuhkan perpindahan dari satu tempat ke tempat lain dalam satu wilayah industri, terkesan seolah-olah sama dengan kendaraan bermotor, namun secara hakikat dan fungsinya tetap tidak mengubah hakikat alat berat sebagai alat produksi.
Alat berat merupakan alat mekanik yang digabungkan dengan fungsi kendaraan bermotor, dalam pandangan SHIETRA & PARTNERS. Alat berat yang tidak masuk dalam kategori kendaraan bermotor, sejatinya hanyalah alat mekanistis yang tidak boleh memiliki daya kemampuan berpindah tempat oleh suatu dinamo bermotor.
Terdapat kerancuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, disebutkan bahwa penjelasan pasal berfungsi memperjelas norma dalam Batang Tubuh peraturan, juga tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut disamping tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma, serta tidak boleh memuat rumusan yang isinya membuat perubahan terselubung terhadap norma yang dikandung dalam pasal. Penjelasan pasal tak dibenarkan memuat norma baru sebagaimana dinyatakan MK RI dalam putusan Nomor 005/PUU-III/2005 maupun putusan Nomor 003/PUU-IV/2006.
Namun menjadi rancu ketika kita bertanya: merinci bukankah artinya memperjelas, bukankah merinci artinya mau tidak mau akan memuat norma baru atau setidaknya meluaskan/mempersempit norma yang ada, sementara itu norma baru dianggap terlarang. Bukankah ini seperti sebuah “lingkaran setan”?
Terhadap permohonan Pemohon, Mahkamah Konstitusi membuat pertimbangan hukum serta amar putusan sebagai berikut:
“Terhadap dalil tersebut, menurut Mahkamah, masalah utama pengujuan norma ini adalah adanya Penjelasan yang menguraikan lebih lanjut mengenai jenis/ragam dari “kendaraan khusus” yang frasa “kendaraan khusus” tersebut dimuat dalam Pasal 47 ayat (2) huruf e UU LLAJ. Untuk menjawab permasalahan demikian, menurut Mahkamah, harus dijawab terlebih dahulu pertanyaan apakah Penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e bagian c UU LLAJ demikian merupakan sebuah norma hukum atau bahkan merupakan suatu norma hukum baru?
“Menimbang, ... Mahkamah berpendapat bahwa pada dasarnya norma hukum adalah sebuah rumusan yang berisi penilaian atau sikap yang harus dilakukan atau tidak dilakukan, dilarang atau tidak dilarang, yang tindakan demikian memiliki konsekuensi hukum. Dengan kata lain, suatu rumusan disebut norma hukum ketika rumusan tersebut berisi perintah, larangan, perkenan, menguasakan, dan/atau menyimpangkan ketentuan tertentu, yang pemenuhannya dipaksakan oleh suatu sanksi hukum tertentu.
“Berdasarkan pengertian demikian, rumusan Penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e bagian c UU LLAJ yang selengkapnya menyatakan, “Yang dimaksud dengan “Kendaraan Khusus” adalah Kendaraan Bermotor yang dirancang khusus yang memiliki fungsi dan rancang bangun tertentu, antara lain: c. alat berat antara lain bulldozer, traktor, mesin gilas (stoomwaltz), forklift, loader, excavator, dan crane; serta” bukan merupakan norma hukum karena tidak berisi penilaian atau sikap yang harus dilakukan/tidak dilakukan atau dilarang/tidak dilarang. Susunan kalimat Penjelasan a quo, menurut Mahkamah, tidak dapat dimaknai sebagai perintah, larangan, perkenan, menguasakan, dan/atau menyimpangkan ketentuan tertentu, bahkan dari perspektif tata bahasa susunan kalimat a quo hanya berisi keterangan tanpa disertai subjek, predikat, maupun objek;
“Bahwa susunan kalimat yang demikian tidak dapat berdiri sendiri, dalam arti kalimat demikian tidak akan memiliki makna yang utuh manakala dibaca secara terpisah dari batang tubuhnya, terutama Pasal 47 ayat (2) huruf e UU LLAJ. Ketidakmandirian makna kalimat a quo bagi Mahkamah menegaskan posisinya bukan sebagai norma hukum, melainkan hanya bagian (struktur) pelengkap yang berisi uraian mengenai pengertian/definisi kendaraan khusus. Ada atau tidak adanya uraian dalam Penjelasan tersebut tidak akan mengubah norma hukum dalam batang tubuh Pasal 47 ayat (2) huruf e UU LLAJ;
“Namun meskipun bukan sebagai norma hukum, keberadaan Penjelasan a quo menimbulkan kerancuan hukum karena Penjelasan a quo bukan sekadar mendefinisikan pengertian “kendaraan khusus” yang termuat dalam Pasal 47 ayat (2) huruf e, melainkan telah pula memperluas bahkan memberikan definisi/pengertian baru mengenai “kendaraan khusus”. Kerancuan hukum muncul ketika batang tubuh UU LLAJ tidak memberikan pengertian/definisi mengenai “kendaraan khusus”, sehingga terdapat kemungkinan para pemangku kepentingan akan merumuskan peraturan pelaksana serta menerapkannya dengan merujuk pada Penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e bagian c UU LLAJ. Meskipun sebenarnya jelas diatur dalam UU 12/2011 bahwa suatu Penjelasan Undang-Undang tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut;
“Bahwa peraturan pelaksana serta penerapan demikian, karena merujuk pada bagian Penjelasan a quo, telah memunculkan norma hukum yang seolah-olah nyata (“norma hukum bayangan”) yang mengharuskan alat berat untuk memenuhi syarat-syarat teknis dan administratif sebagaimana syarat yang diharuskan bagi kendaraan bermotor pada umumnya, yang dioperasikan di jalan raya. Pahadal meskipun sama-sama berpenggerak motor, alat berat memiliki perbedaan teknis yang sangat mendasar dibandingkan dengan kendaraan bermotor lain yang dipergunakan di jalan raya sebagai sarana transportasi;
“Alat berat secara khusus didesain bukan untuk transportasi melainkan untuk melakukan pekerjaan berskala besar dengan mobilitas relatif rendah. Penggolongan atau penyamaan perlakuan terhadap alat berat dengan kendaraan bermotor pada umumnya, menurut Mahkamah, menimbulkan kerugian bagi para Pemohon ketika alat berat yang notabene bukan merupakan moda transportasi namun diwajibkan untuk memenuhi persyaratan yang diperuntukkan bagi moda transportasi dimaksud;
“Lebih lanjut, kerancuan serta ketidakpastian demikian disebabkan oleh rumusan frasa “kendaraan khusus” dalam Pasal 47 ayat (2) huruf e UU LLAJ yang tidak didukung oleh pengertian memadai dalam batang tubuh UU LLAJ. Dari sisi teknis pembentukan peraturan perundang-undangan, permasalahan demikian dapat diselesaikan dengan memindahkan rumusan Penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e bagian c ke dalam atau menjadi rumusan batang tubuh UU LLAJ;
“Alat berat, sekurangnya berupa bulldozer, traktor, mesin gilas, forklift, loader, excavator, dan crane, serta alat berat sejenis, menurut Mahkamah dapat diatur dalam peraturan perundang-undangan lain yang relevan dengan sifat, jenis, dan fungsi dari alat berat dimaksud. Pengaturan demikian diperlukan untuk memberikan jaminan hukum, antara lain, bagi kepemilikan dan keamanan alat berat, pertanggungjawaban atas risiko yang mungkin ditimbulkannya, dan menyusun database inventarisasi alat berat untuk dimaksimalkan peran atau manfaatnya dalam pembangunan serta kewajiban-kewajiban hukum yang menyertainya;
“Alat berat memiliki spesifikasi beragam yang sangat tergantung pada peruntukannya atau tujuan penggunaannya. Bahkan dalam persidangan terungkap bahwa secara teknis alat berat didesain untuk dibongkar-pasang atau diganti baik pada bagian kecil maupun diganti pada bagian utama kendaraan (antara lain mesin penggeraknya). Artinya, bagian-bagian dalam suatu alat berat tidak akan secara permanen melekat sejak alat berat tersebut diproduksi/dirakit hingga alat berat tersebut dinyatakan tidak lagi layak pakai. Hal demikian berbeda dengan kendaraan bermotor moda transportasi, seperti sepeda motor, bus, atau mobil yang sejak diproduksi/dirakit hingga melewati batas usia pakai, tidak pernah diubah-ubah spesifikasinya;
“Menimbang bahwa selain itu, Mahkamah juga menggarisbawahi dalam kaitannya dengan pengoperasian di jalan raya, alat berat juga memiliki perbedaan signifikan dengan kendaraan bermotor moda transportasi. Pada umumnya alat berat tidak didesain untuk melakukan perjalanan/perpindahan tempat oleh dirinya sendiri. Alat berat yang mampu melakukan perpindahan mandiri (berpindah tempat oleh kemampuan geraknya sendiri) pun memiliki batas kecepatan dan jarak tempuh yang sangat terbatas. Tentu hal ini menambah derajat perbedaan antara alat berat dengan kendaraan bermotor moda transportasi yang memang penggeraknya didesain demi mobilitas tinggi, yaitu berpindah dengan cepat dan jarak tempuh jauh;
“Menimbang, bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah menilai alat berat adalah kendaraan dan/atau peralatan yang digerakkan oleh motor, namun bukan kendaraan bermotor dalam pengertian yang diatur oleh UU LLAJ. Dengan demikian, pengaturan alat berat sebagai kendaraan bermotor seharusnya dikecualikan dari UU LLAJ, atau setidaknya terhadap alat berat tidak dikenai persyaratan yang sama dengan persyaratan bagi kendaraan bermotor pada umumnya yang beroperasi di jalan raya;
AMAR PUTUSAN
Mengadili:
Menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon;
2. Penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e bagian c Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
3. Penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e bagian c Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
4. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia.”
Namanya juga “Penjelasan”, tentunya akan merinci dan menjelaskan. Bila MK RI masih berpendirian bahwa Penjelasan pasal tidak boleh memuat norma hukum baru diluar batang tubuh pasal, maka artinya setiap Penjelasan suatu pasal undang-undang berpotensi diuji materil karena setiap kalimat dalam Penjelasan undang-undang pastilah dapat dikatakan sebagai norma hukum baru atau setidaknya dapat dinyatakan telah meluaskan/menyempitkan norma hukum dalam batang tubuh undang-undang.
Alat berat sejatinya merupakan kombinasi antara moda transportasi yang digunakan untuk menggerakkan / memindah-lokasikan alat mekanik. Alat mekanik murni tidak akan dapat berpindah tempat tanpa tenaga manusia. Untuk mesin mekanik dapat dimodifikasi, namun tidak untuk motor penggerak yang mampu memindahkan alat berat tersebut.
Justru karena kendaraan bermotor memiliki beragam jenis, seperti kendaraan bermotor roda dua, roda tiga, kendaraan bermotor khusus penyandang cacat, serta dapat juga dikategorikan kendaraan bermotor alat berat. Masing-masing memang memiliki karakteristik tersendiri dan menjadi aneh ketika membanding-bandingkan antara alat berat dengan kendaraan bermotor roda dua, sebagai contoh. Adalah tidak relevan memperdebatkan bagaimana dump truck memiliki sepuluh roda sementara sepeda motor hanya memiliki dua roda tanpa sabuk pengaman, dsb.
Memang menjadi keliru ketika persyaratan bagi kendaraan roda empat diterapkan kepada kendaraan roda dua, seperti halnya persyaratan bagi kendaraan roda empat diberlakukan terhadap alat berat. Namun hal ini merupakan masalah teknis belaka yang cukup diatur dengan Peraturan Pelaksana dari UU Lalu Lintas.
SHIETRA & PARTNERS berpandangan, alat berat yang tidak memiliki KIR, dan juga tidak membayar pajak kendaraan bermotor bahkan tanpa SIM, tidak dapat dibenarkan berlalu-lalang ataupun berada di jalan umum. Setiap alat berat yang kedapatan memakai jalan umum, dapat ditilang oleh pihak berwajib karena setiap kendaraan bermotor yang melintas di jalan umum tunduk pada UU Lalu Lintas.
Sekalipun kita benarkan putusan MK RI terkait UU Lalu Lintas, pengusaha tetap berwajib membayar pajak terkait alat berat, karena bukanlah UU Pajak Daerah yang telah dikabulkan uji materil oleh MK RI. Sebaliknya, permohonan uji materil oleh pengusaha terhadap UU Pajak Daerah ditolak oleh MK RI. Sehingga merupakan salah kaprah propaganda kalangan pelaku usaha yang menyatakan alat berat tidak tunduk pada ketentuan mengenai Pajak Daerah.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.