Modus Penghapusan Masa Kerja secara Terselubung

LEGAL OPINION
Question: Saya dan kawan-kawan adalah pegawai yang sudah lama bekerja pada sebuah perusahaan. Mendadak kami diminta untuk menandatangani perjanjian kerja, namun saya menolak karena mencantumkan tanggal saat ini sehingga seolah saya baru resmi menjadi pekerja sekarang ini. Apakah saya berhak menolak menandatangani perjanjian tersebut meski diperintahkan atasan dengan alasan bila tak turut menandatangani maka saya diartikan sebagai mengundurkan diri? Memang dahulu kami belum pernah membuat perjanjian kerja secara tertulis saat menjadi pegawai.
Brief Answer: Tindakan pemberi kerja demikian termasuk dalam kategori penghapusan masa kerja terselubung, dalam arti sebuah modus untuk menghindari pengusaha dari kewajiban pembayaran pesangon ketika terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawan dikemudian hari. Karyawan/pegawai hendaknya bersikap cerdas dan tidak boleh berpasrah diri didikte berdasarkan seluruh kemauan pengusaha. Perjanjian kerja dapat bersifat lisan saat pertama kali bekerja sebagai karyawan, dimana slip upah/gaji, kegiatan selama pekerja, kartu absensi, dsb, telah cukup menjadi bukti telah adanya ikatan hubungan kerja secara aktual.
PEMBAHASAN:
Sebagai ilustrasi praktik kalangan pengusaha yang lebih ekstreem, tepat kiranya merujuk pada putusan Pengadilan Hubungan Industrial Bengkulu perkara sengketa hubungan industrial Register Nomor 6/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Bgl tanggal 28 Juni 2016, antara:
- ANDI WIBOWO, sebagai Penggugat; melawan
- PT. TUNAS MOBILINDO PERKASA CABANG BENGKULU, selaku Tergugat.
Penggugat mulai bekerja pada Tergugat sejak tahun 2010 dengan posisi sales marketing. Pada bulan Oktober 2014, Penggugat diminta kembali untuk menandatangani kontrak tanpa ada jeda waktu berhenti bekerja, tanpa ada rasa curiga dan prasangka buruk, Penggugat menandatangani kontrak tersebut, dan sampai kini Penggugat masih bekerja di tempat Tergugat.
Selama masa kerja. Penggugat tidak pernah melakukan kesalahan sehingga tidak pernah menerima surat peringatan atas kinerja. Penggugat tidak pernah memiliki masalah dengan perusahaan hingga pada tahun 2015, saat Penggugat akan pulang kantor dan akan melakukan absensi sore melalui mesin finger print (absensi sidik jari), ternyata Penggugat tidak bisa melakukan absensi sore di kantor Tergugat.
Saat mencoba menekankan jari pada mesin abensi tersebut, sistem finger print tidak dapat mengenali sidik jari Penggugat. Padahal pagi harinya saat masuk kantor, Penggugat masih bisa melakukan absensi pagi.
Keesokan harinya, atas hilangnya identitas sidik jari Penggugat dalam mesin absensi finger print tersebut, Penggugat meminta klarifikasi kepada Kepala Administrasi Tergugat, dan dari hasil klarifikasi tersebut, perusahaan menyatakan bahwa data sidik jari Penggugat sudah dihilangkan dari sistem absensi finger print atau istilahnya menurut pihak perusahaan adalah Pemutihan. Menurut penanggung jawab mesin absensi, hal tersebut merupakan perintah langsung Kepala Cabang PT. Tunas Mobilindo Perkasa, dan jika masih ingin ada sidik jari dalam sistem absensi, Penggugat terlebih dahulu mengajukan permohonan atau lamaran sebagai pegawai baru kepada perusahaan (Tergugat) dengan melampirkan identitas diri berupa KTP.
Tidak puas atas keterangan tersebut, Penggugat menemui Kepala Cabang perusahaan, untuk untuk meminta penjelasan. Hasil pertemuan tersebut juga menjelaskan bahwa Penggugat bisa kembali masuk bekerja di tempat Tergugat apabila menyerahkan lamaran baru disertai dengan data diri kepada perusahaan. Data diri tersebut akan dikirimkan ke Kantor Pusat untuk diverifikasi dan baru diterbitkan nomor identitas karyawan baru dan selanjutnya Penggugat baru bisa kembali bekerja.
Saat ditanyakan mengenai masa kerja Penggugat yang telah bekerja sejak tahun 2010, Tergugat menyampaikan hal tersebut tidak usah diungkit-ungkit atau dipermasalahkan lagi jika Penggugat masih ingin bekerja.
Dalam pertemuan tersebut, Tergugat menyatakan pemutihan dengan dihilangkannya data sidik jari dalam absensi sidik jari adalah tindakan pemecatan untuk memperbarui karyawan-karyawan yang lama menjadi karyawan baru. Tergugat kemudian menawarkan kepada Penggugat untuk segera menyerahkan data diri agar segera diinput dalam data perusahaan dan nanti akan diajukan ke kantor pusat agar dapat diangkat sebagai karyawan.
Namun atas tawaran tersebut, Penggugat menolak karena tawaran tersebut tidak jelas termasuk terhadap hak-hak Penggugat yang sebelumnya pernah bekerja juga tidak jelas. Tergugat juga menjelaskan kepada Penggugat tidak akan bisa melaksanakan pekerjaan sampai dengan diserahkannya lamaran baru disertai identitas baru kepada Tergugat. Lamaran baru tersebut dijelaskan oleh Tergugat untuk pengajuan ke Kantor Pusat agar Penggugat bisa kembali bekerja di PT. Tunas Mobilindo Perkasa Cabang Bengkulu dengan status karyawan baru.
Merasa keberatan, Penggugat melayangkan somasi. Tergugat kemudian menyatakan bahwa Penggugat tidak diberhentikan ataupun dipecat, namun sistem di kantor pusat-lah yang menghapus data sidik jari Penggugat karena memang semua karyawan yang telah lima tahun bekerja harus diperbarui datanya dan Penggugat pada saat dikontrak langsung lima tahun.
Penggugat meminta kejelasan mengenai status Penggugat yang telah bekerja lebih dari 5 tahun dan hak-hak Penggugat sebagai karyawan. Namun, atas permintaan tersebut Tergugat tidak memberikan jawaban dan justru mengimingi Penggugat dapat diangkat langsung sebagai karyawan tetap jika menyerahkan surat lamaran baru.
Karena tidak ada titik temu, Tergugat kembali memanggil Penggugat untuk untuk berunding. Alih-alih berupaya untuk mendudukkan persoalan secara baik-baik, Tergugat melakukan intimidasi dengan mengancam akan melaporkan Penggugat ke pihak berwajib dengan alasan bahwa Penggugat selaku sales marketing telah mengambil uang perusahaan dalam penjualan unit kendaraan melalui selisih diskon dan perusahaan akan memperpanjang persoalan tersebut ke ranah hukum bila Penggugat terus menuntut hak-hak atas PHK sepihak tersebut.
Tergugat kembali memanggil Penggugat melalui surat panggilan, namun Penggugat abaikan. Dalam surat tersebut, Perusahaan kembali mengintimidasi dengan menyatakan bahwa jika Penggugat tidak memenuhi panggilan tersebut maka Penggugat dianggap mengundurkan diri.
Penggugat mengirimkan surat pengaduan kepada Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Bengkulu dan ditindak-lanjuti dengan melakukan panggilan sidang Mediasi kepada Penggugat dan Tergugat. Tergugat kembali mengirimi surat, tentang PHK untuk Penggugat dengan kualifikasi mengundurkan diri.
Dasar menimbang dalam SK tersebut adalah Pasal 168 UU Nomor 13 Tahun 2003 yang mengatur:
“Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri.”
Masuk tidak masuk bekerja, sistem absensi telah disabotase oleh Penggugat, sehingga akan senantiasa dihitung absen (tidak hadir). Atas gugatan tersebut, Majelis Hakim membuat pertimbangan hukum serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terdapat dipersidangan dan juga sebagaimana yang telah dipertimbangkan oleh Majelis Hakim di atas, maka benar masa kerja Penggugat yang bekerja di tempat tergugat adalah selama 5 (lima) tahun;
“Menimbang, bahwa dengan masa kerja Penggugat sebagaimana tersebut di atas, selanjutnya Majelis Hakim berpendapat, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (kontrak kerja) Penggugat dalam perkara ini, telah bertentangan dengan ketentuan pasal 59 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003, dan karenanya demi hukum, harus dinyatakan menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (Karyawan tetap);
“Menimbang, bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas Majelis Hakim berpendapat bahwa setelah Majelis Hakim memeriksa dan mencermati bukti surat yang diajukan di persidangan, baik dari Penggugat maupun Tergugat seperti yang tersebut di atas terungkap fakta bahwa benar Penggugat adalah karyawan tetap PT Tunas Mobilndo cabang Bengkulu;
“Menimbang, bahwa Penggugat dalam dalil-dalilnya menyatakan bahwa secara tiba-tiba pada tanggal 26 Oktober 2015 nama Penggugat dihapus dari mesin absensi finger print oleh Tergugat, dan diminta untuk membuat lamaran baru sebagai syarat munculnya sidik jari dalam sistem absensi dan menurut Tergugat dengan tidak membuatnya lamaran baru, maka Penggugat belum bisa bekerja kembali karena sudah diputihkan;
“Menimbang, bahwa Tergugat, dalam jawabannya mendalilkan bahwa tindakan Penggugat yang tidak memenuhi panggilan ke–3 tergugat, dikategorikan sebagai tindakan pengunduran diri, karena terhitung sejak finger print penggugat dalam data absennya di hapus, Penggugat tidak lagi masuk kantor dan terhadap hal tersebut Tergugat melalui bukti suratnya T-2 telah mengeluarkan Surat Panggilan Kerja (Peringatan); akan tetapi Penggugat tetap tidak memenuhi panggilan tersebut, sehingga menurut Tergugat, Penggugat sudah dianggap mangkir kerja;
“Menimbang, bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, Majelis Hakim berpendapat bahwa Penggugat dalam bukti suratnya yaitu P-5 tentang Screen Shoot Percakapan melalui Media Blackberry Messenger Antara Penggugat dengan Hairiel Watoni (Supervisor PT. Tunas Mobilindo Perkasa Cabang Bengkulu) terungkap bahwa benar tidak terjadi pengunduran diri yang dilakukan oleh Penggugat tetapi PHK (pemutusan hubungan kerja) yang dilakukan Tergugat terhadap Penggugat terhitung sejak tanggal 30 November 2015;
“Menimbang, bahwa oleh karena dalam melakukan pemutusan hubungan kerja haruslah mempunyai landasan atau pijakan hukum;
“Menimbang, bahwa sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, Tergugat telah dinyatakan melakukan pemutusan hubungan kerja dengan cara menghilangkan data dan mematikan mesin absensi, dan Penggugat harus mengajukan lamaran baru.
“Menimbang, maka untuk memberikan putusan yang berkeadilan dalam perkara ini, dan pemutusan hubungan kerja haruslah mempunyai landasan dan pijakan hukum, maka berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, pemutusan hubungan kerja dalam perkara ini adalah pemutusan hubungan kerja, tanpa adanya kesalahan berat dari Penggugat, maka dengan demikian Petitum ke-2 gugatan Penggugat beralasan hukum Majelis Hakim kebulkan;
“Menimbang, bahwa oleh karena dalam Petitum ke-2 gugatan Penggugat Majelis Hakim kabulkan, bahwa benar ada pemutusan hubungan kerja yang dilakukan Tergugat terhadap Penggugat, maka mengenai hak hak Penggugat berupa pesangon, uang penghargaan masa kerja dan penggantian hak sesuai dengan UU. No.13 tahun 2003 tentang ketenagekerjaan, akan Majelis Hakim pertimbangkan di bawah ini;
“Menimbang, bahwa oleh karena berdasarkan fakta di persidangan terdapat perbedaan besar gaji pokok antara Penggugat dan Tergugat, yaitu Penggugat mendalilkan bahwa gaji terakhir Penggugat Rp.3.500.000,-, Sedangkan Tergugat mendalilkan bahwa upah pokok dan tunjangan terakhir sebesar Rp.2.950.000,-.
“Menimbang, bahwa setelah Majelis Hakim mencermati bukti surat dari Penggugat dan Tergugat, maka komponen gaji pokok terdiri dari gaji rutin yang diterima oleh Penggugat yang ditambah dengan tunjangan tetap yang berkaitan dengan pekerjaan Penggugat tersebut.
“Menimbang, bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas maka adalah benar gaji pokok yang harus diterima dan dibayarkan oleh Penggugat adalah sebesar Rp.2.950.000,- (dua juta sembilan ratus lima puluh ribu rupiah).
“Menimbang, bahwa oleh karena PHK, dalam perkara ini tanpa adanya kesalahan berat dari Penggugat , maka hak-hak Penggugat dalam perkara ini, harus mendasarkan pada ketentuan pasal 161 ayat (3) UU No.13 tahun 2003, yaitu uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan pasal 156 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003.
MENGADILI
DALAM POKOK PERKARA
1. Mengabulkan Gugatan Penggugat Konvensi untuk sebagian;
2. Menyatakan Hubungan Kerja antara Penggugat Konvensi dan Tergugat berakhir terhitung sejak tanggal 30 November 2015 dengan tanpa kesalahan dari Penggugat.
3. Menghukum Tergugat untuk membayar hak-hak pesangon Penggugat dengan perincian sebagai berikut :
a. Uang Pesangon : 1 x Pasal 156 ayat (2) = 1 x 6 bulan = 1 x 6 x Rp.2.950.000,- = Rp. 17.700.000,-
b. Uang Penghargaan : 1 x Pasal 156 ayat (3) = 1 x 2 bulan = 1 x 2 x Rp. 2.950.000,- = Rp. 5.900.000,-
c. Uang Penggantian Hak = 15% ( a + b ) = 15% x 8 x Rp. 23.600.000,- = Rp. 3.540.000,-
Sisa Cuti yang belum diambil : 12 hari = 12/25 x Rp.2.950.000,- = Rp. 1.416.000,-
Jumlah Total = RP. 28.556.000,- ( dua puluh delapan juta lima ratus lima puluh enam ribu rupiah )
4. Menolak Gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.