Menggugat Sisa Kompensasi PHK Sepihak Pengusaha

LEGAL OPINION
Question: Saya hendak menggugat perusahaan yang telah memecat saya karena setelah mengetahui uang pisah yang diberikan perusahaan tidak sesuai ketentuan, sehingga tujuan saya menggugat agar dapat diberikan kompensasi PHK yang sesuai hukum yang memang menjadi hak saya selaku pekerja yang diberhentikan secara sepihak. Baru-baru ini saya mendengar kalau pekerja sudah terima uang pisah, apakah benar itu artinya pekerja dianggap diam-diam menerima PHK atas dirinya dan tidak bisa lagi menuntut kekurangan kompensasi ataupun gaji yang kurang dibayar bulan sebelumnya? Mana sempat saya hitung dulu berapa hak saya ketika diberikan uang pisah saat di-PHK sepihak saat itu.
Brief Answer: Sebenarnya tak se-fatal itu pendirian para hakim dalam praktiknya baik di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) maupun Hakim Agung pada Mahkamah Agung RI. Diterimanya uang pisah yang kurang dari nilai kompensasi sebagaimana mestinya, hanya diartikan sebagai buruh/pekerja bersedia memutus hubungan kerja, namun bukan diartikan karyawan yang di-putus hubungan kerja (PHK) tersebut melepas haknya atas apa yang memang menjadi hak normatinya.
Sebagai tips, ketika Anda selaku pekerja di-PHK secara sepihak dan diberi uang pisah/kompensasi, saat menerimanya Anda sebaiknya menyatakan secara tegas bahwa diri Anda belum menghitung total hak normatif Anda, sehingga bila terdapat kekurangan terutama pesangon dua kali nilai ketentuan, maka sisa kekurangan kompensasi akan Anda ajukan lewat pengadilan sehingga pihak pengusaha aware.
Dengan catatan, hitungan dua kali nilai pesangon normal hanya berlaku bila PHK sepihak dilakukan tanpa ada kesalahan dari pihak buruh/pekerja. PHK sepihak yang didahului pelanggaran buruh/pekerja, mengakibatkan pemberi kerja hanya dibebani memberi pesangon dengan hitungan satu kali ketentuan normal.
Satu hal yang patut diperhatikan pekerja, terdapat pendirian pada beberapa hakim bahwa diterimanya uang pisah artinya menutup hak gugat terhadap upah proses karena dianggap pekerja telah mengakhiri hubungan kerja dengan pemberi kerja.
Bila Anda tidak yakin mendapat pekerjaan dalam tempo 6 (enam) bulan kedepan, lebih baik ajukan gugatan ke PHI sambil meminta upah proses disertai kompensasi sesuai hukum tanpa menerima uang pisah saat pertama kali di-PHK sepihak.
Inilah resiko hukum serta berbagai konsekuensinya yang perlu dipertimbangkan, baik oleh pihak pengusaha maupun pekerja.
PEMBAHASAN:
Terdapat kompleksitas tersendiri dalam putusan Mahkamah Agung RI tingkat kasasi sengketa hubungan industrial register perkara Nomor 456 K/Pdt.Sus-PHI/2015 tanggal 8 September 2015, antara:
- PT. FOCON INDO BETON, sebagai Pemohon Kasasi, semula Tergugat; melawan
- EDDY SUGIANTO, selaku Termohon Kasasi, dahulu Penggugat.
Penggugat telah bekerja pada Tergugat sejak tahun 2003 dengan jabatan sebagai purchasing merangkap PPIC. Pada bulan Desember 2012, setelah keluar dari Rumah Sakit dan masuk kerja kembali sebagaimana biasa, Penggugat dipanggil oleh Direktur Utama Tergugat ke ruangannya dan menanyakan kondisi kesehatan Penggugat.
Tujuan dari pertemuan tersebut adalah Tergugat mem-PHK Penggugat tanpa diberikan hak-hak Penggugat yang sesuai dengan Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan. Terhitung sejak tanggal 1 Januari 2013 Penggugat tidak diperkenankan datang ke kantor untuk bekerja sebagaimana biasa, tidak pula dibayarkan upah serta hak-hak lain yang biasa diterima sejak Bulan Januari 2013 tersebut.
Pada dasarnya Penggugat tidak keberatan untuk dilakukan PHK sepanjang dengan syarat dibayar hak-hak Penggugat sesuai ketentuan Pasal 164 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan dibayarkan upah selama proses PHK serta denda keterlambatan pembayaran upah.
Yang disasar Penggugat tidak lain ialah ketentuan Pasal 164 UU Ketenagakerjaan yang mengatur:
“Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keaadaan memaksa (forca majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar dua kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar satu kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai  ketentuan Pasal 156 ayat (4).”
Oleh karenanya Tergugat diminta membayar kompensasi berupa Uang pesangon dengan hitungan 2 x 9 x nilai upah sebulan. Adapun yang menjadi argumentasi pihak Tergugat, pihak management memberi uang jasa sekaligus kompensasi PHK senilai Rp30.000.000,00. Penggugat telah menerima dan menyetujui dengan menanda tangani bukti pengeluaran kas dari perusahaan, hal ini menunjukan bahwa Penggugat pada prinsipnya tidak keberatan dengan menerima uang kompensasi atas PHK.
Sebelum dilakukan PHK, Penggugat telah menerima Surat Peringatan dari Tergugat karena ,embuat purchase order tanpa persetujuan dari atasan, lalu membuat purchase order dengan tidak mencantumkan merk barang maupun spesifikasi yang jelas, dalam memutuskan harga tanpa pembanding dari suplier yang lain, dan hal ini sudah sering terjadi dan diingatkan, menerima dan menanda tangani surat jalan dari suplier tanpa memeriksa kebenaran barang yang diterima.
Penggugat menandatangani Surat Peringatan, membuktikan Penggugat telah mengakui kesalahan prosedur selama bekerja. Oleh karena Penggugat dinilai sulit untuk merubah sikapnya meskipun pihak Tergugat sudah memberikan peringatan baik tertulis maupun lisan namun pihak Penggugat tidak ada perubahan, menyebabkan Tergugat demi menghindari kerugian yang lebih besar maka ditempuhlah upaya PHK.
Sengketa ini dihadapkan kepada Suku Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) sejak lebih dari satu tahun sejak tanggal kejadian PHK. Hasil mediasi dengan mediator dari Disnaker, terbitlah Surat Anjuran, yang pada pokoknya menolak tuntutan Penggugat dengan rincian pertimbangan dan pendapat hukum mediator:
1. Dengan diterimanya uang kompensasi, maka mediator menilai hubungan kerja antara pekerja dan pihak perusahaan dengan sendirinya telah berakhir sejak diterimanya hak pekerja tersebut;
2. Karena pekerja telah menerima uang kompensasi atas pengakhiran hubungan kerja sehingga dengan sendirinya hubungan kerja antara pekerja dengan pihak perusahaan telah berakhir sejak ditanda tangani bukti penerimaan hak uang kompensasi, sehingga pihak perusahaan tidak berkewajiban lagi untuk memberikan tuntutan pekerja;
3. Apabila pekerja merasa dirugikan atas pemberian kompensasi pengakhiran hubungan kerja tersebut, seharusnya pekerja menolaknya dan bukannya menerima uang kompensasi tersebut dan kembali menuntut pihak perusahaan atas kekurangan hak pekerja.
Tuntutan pekerja tentang upah proses dan denda atas keterlambatan upah maupun THR 2013, mediator Disnaker menilai adalah tidak dapat dipertimbangkan mengingat hubungan kerja antara pekerja dengan pihak perusahaan telah berakhir seketika itu juga setelah pekerja menerima uang kompensasi dari pihak perusahaan.
Terhadap gugatan tersebut PHI Jakarta kemudian memberikan putusan Nomor 57/PHI.G/2014/PN JKT.PST. tanggal 17 Juli 2014, dengan pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:
"Menimbang, bahwa ketentuan mengenai daluwarsa PHK dalam hukum positif diatur dalam Pasal 171 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan Pasal 82 Undang Undang Nomor 2 Tahun 2004. Ketentuan Pasal 171 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 merujuk pada Pasal 158, Pasal 160 ayat (3), dan Pasal 162 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Selanjutnya Pasal 82 Undang Undang Nomor 2 Tahun 2004 merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 12/PUU-I/2003, Pasal 159 dan Pasal 168 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, sudah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat atau tidak berlaku lagi sebagai hukum positif;
"Menimbang, bahwa dengan tidak berlakunya lagi Pasal 159 dan Pasal 168 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003, ketentuan di dalam Pasal 171 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang masih berlaku sebagai hukum positif adalah Pasal 160 ayat (3) dan Pasal 162 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003;
“Oleh karena itu, alasan PHK yang boleh daluwarsa terbatas pada alasan PHK karena pekerja mengundurkan diri atau menjalani penahanan dalam rangka proses penyidikan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 dan Pasal 160 ayat (3) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003. Dengan demikian, alasan PHK tidak semua daluwarsa meskipun gugatannya diajukan lewat dari waktu satu tahun setelah PHK dilakukan. Dengan kata lain, PHK dengan alasan sepanjang di luar dua alasan di atas gugatan perselisihan PHK dapat diajukan setiap saat tanpa dibatasi oleh waktu;
“Mendalilkan bahwa Penggugat, sebelum di PHK telah diberikan Surat Peringatan. Setelah membaca bukti T.3, Majelis Hakim menilai Surat Peringatan yang diterbitkan pada tanggal 7 Agustus 2012 tersebut, hubungannya tidal relevan dengan waktu dan alasan dilakukannya PHK terhadap Penggugat. Jika Penggugat benar sulit merubah sikap, Tergugat dapat memberi Surat Peringatan kedua atau ketiga;
“Kenyataan dalam perkara a quo, Tergugat melakukan PHK tetapi tidak membuktikan apa kesalahan yang dilakukan oleh Penggugat Mengingat pemberian Surat Peringatan bertujuan sebagai proses pembinaan, kalau benar Penggugat sulit mengubah sikapnya, tindakan yang relevan untuk dilakukan adalah member SP II atau SP III, tidak langsung melakukan PHK;
"Menimbang, bahwa memperhatikan tindakan PHK mana dilakukan waktunya berselang hanya satu hari setelah Penggugat pulang opname dari RS, dan menurut keterangan saksi Penggugat tidak diikutsertakan dengan asuransi Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), maka Majelis Hakim memandang bahwa PHK itu dilakukan oleh Tergugat sebagai dampak dari Penggugat mengalami sakit (opname). Majelis hakim memandang keterangan saksi tersebut fakta. Kalau Tergugat menyertakan Penggugat sebagai peserta Jamsostek atau asuransi lainnya, Tergugat pasti mengajukan bukti terkait hal itu di dalam perkara a quo;
"Menimbang, bahwa oleh karena PHK mana dilakukan pada tanggal 13 Desember 2012, dan berdasarkan bukti T.4 Penggugat bersedia menerima PHK, maka hubungan kerja Penggugat dinyatakan putus sejak tanggal 13 Desember 2012. Oleh karena itu Penggugat sudah bersedia diakhiri hubungan kerjanya pada tanggal 13 Desesmber 2012, maka pengajuan gugatan ini tidak menimbulkan hak Penggugat atas upah proses PHK. Oleh karena itu, dalam mengakhiri hubungan kerja ini, Penggugat hanya berhak atas kompensasi pesangon sebagaimana akan dipertimbangkan di bawah ini;
Dalam Pokok Perkara
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan putus hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat sejak tanggal 13 Desember 2012;
3. Menghukum Tergugat membayar kepada Penggugat kekurangan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak sebesar Rp87.961.250,00 (delapan puluh tujuh juta sembilan ratus enam puluh satu ribu dua ratus lima puluh rupiah);
4. Menghukum Tergugat membayar biaya perkara sebesar Rp422.000,00 (empat ratus dua puluh dua ribu rupiah);
5. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya;”
Tergugat mengajukan upaya hukum kasasi, dimana Tergugat mengemukakan tiga bukti surat peringatan, dimana masing-masing peringatan tersebut menggambarkan bahwasannya sang pekerja telah melakukan kesalahan berulang-ulang. Untuk itu Mahkamah Agung membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap keberatan-keberatan tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan-keberatan tersebut dapat dibenarkan, karena meneliti dengan seksama memori kasasi diterima tanggal 19 Agustus 2014, kontra memori kasasi diterima tanggal 1 September 2014, dihubungkan dengan pertimbangan putusan Judex Facti dalam hal ini putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, ternyata Judex Facti salah menerapkan hukum dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa Judex Facti tidak mempertimbangkan secara seksama bukti T-6, T-7 dan T-8 berupa Surat Order Pembelian serta bukti T-3 berupa Surat Peringatan, apabila bukti-bukti tersebut dipertimbangkan secara seksama maka terbukti Penggugat telah melakukan kesalahan dan telah mendapat Surat Peringatan sehingga seharusnya dalam perkara a quo diterapkan ketentuan Pasal 161 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003;
- Bahwa dengan demikian hak-hak yang diperoleh oleh Penggugat setelah dikurangi kompensasi yang telah diterima Penggugat sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah), sebagai berikut;
- Uang pesangon 9 x Rp4.662.500,00 = Rp41.962.500,00
- Uang penghargaan masa kerja 4 x Rp4.662.500,00 = Rp18.650.000,00
- Uang penggantian hak 15% x Rp60.612.500,00 = Rp9.091.875
Jumlah = Rp69.704.375,00
- Kompensasi yang telah diterima = Rp30.000.000,00
Jumlah yang diterima = Rp39.704.375,00 (tiga puluh sembilan juta tujuh ratus empat ribu tiga ratus tujuh puluh lima rupiah);
M E N G A D I L I
- Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT. FOCON INDO BETON, tersebut;
- Membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 57/PHI.G/2014/PN JKT.PST. tanggal 17 Juli 2014;
Mengadili Sendiri:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menetapkan Penggugat telah melakukan pelanggaran kerja;
3. Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat putus;
4. Menghukum Tergugat membayar uang (kekurangan) kompensasi kepada Penggugat Eddy Sugianto sebesar Rp39.704.375,00 (tiga puluh sembilan juta tujuh ratus empat ribu tiga ratus tujuh puluh lima rupiah);
5. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya;
Dalam putusan diatas, Mahkamah Agung hanya memperbaiki besaran nominal kekurangan kompensasi, dari dua kali ketentuan pesangon menjadi satu kali ketentuan pesangon karena Mahkamah Agung menilai adanya unsur kesalahan Penggugat sendiri yang terbit dari pelanggaran kerja.
Meski demikian, SHIETRA & PARTNERS menilai, putusan PHI masih lebih komprehensif, karena bisa jadi sikap keras Penggugat selaku pekerja diakibatkan oleh sikap pihak pengusaha sendiri yang tidak patuh terhadap hukum dengan tidak memberi jaminan sosial kesehatan maupun ketenagakerjaan terhadap para pekerjanya, sehingga seyogianya sebagai bentuk hukuman penjeraan, dua kali nilai ketentuan pesangon memang sudah selayaknya menjadi hak dari Penggugat.
Bisa jadi, sikap berontak dari pihak pekerja, merupakan bentuk vokal peringatan dari kalangan buruh/pekerja terhadap pihak pengusaha/perusahaan yang tidak memerhatikan hak-hak normatif para pekerjanya. Hakim yang baik adalah hakim yang memahami konsep-konsep dasar psikologi manusia.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.