ARTIKEL HUKUM
Jika Anda ditunjuk dan diangkat menjadi salah seorang dari sembilan pejabat
Hakim Konstitusi, sebaiknya Anda tolak, karena Anda dan juga saya pastilah akan
membuat pelanggaran terhadap hukum dan kebenaran.
Mengapa dapat demikian? Artikel ini akan mengupas sisi gelap Mahkamah
Konstitusi RI yang masih mengadopsi sistem Majelis Hakim tetap berupa sembilan
orang panelis Hakim Konstitusi dengan mekanisme “Palugada”—apa yang Elu mau gua
ada.
Berbeda dengan sistem kamar yang mulai diterapkan pada sistem majelis
Hakim Agung pada Mahkamah Agung RI yang dimulai sejak awal tahun 2010-an,
Mahkamah Konstitusi RI masih berdiri diatas asumsi rapuh bernama “ius curia novit”: hakim mengetahui
segala hukumnya—yang sayangnya hanya isapan jempol belaka karena hal itu adalah
hal yang mustahil disamping overestimated.
Keadilan akan menjauh ketika hakim pemutus bukanlah pakar dibidang
permasalahan hukum yang dihadapkan kepadanya. Pelanggaran terhadap prinsip
keadilan kerap terjadi dalam praktik peradilan umum, karena hakim harus tetap
memeriksa dan memutus meski dirinya tidak memiliki wawasan hukum memadai pada bidang-bidang
spesifik hukum tertentu ketika dihadapkan kepadanya untuk diperiksa dan diputus.
Itulah awal mula ide terbentuknya arbitrase khusus, seperti arbitrase
khusus perbankan, arbitrase khusus asuransi, arbitrase khusus lembaga keuangan,
dsb, dengan suatu espektasi bahwasannya hakim arbiter pemutus benar-benar
memahami seluk-beluk hukum spesifik yang dihadapkan kepadanya sehingga
diharapkan putusan akan mendekati ideal dan keadilan. Karena kebenaran atas fakta
hukum saja tidak cukup, ia perlu disempurnakan oleh keadilan.
Mahkamah Agung kemudian mulai memahami kendala ini, dan mulai mendirikan
peradilan-peradilan serta pengadilan-pengadilan khusus seperti Pengadilan
Perikanan, Pengadilan Hubungan Industrial, Pengadilan Niaga, Pengadilan Tata
Usaha Negara, Peradilan Militer, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan
Pajak, dsb.
Menyadari kendala perihal alangkah mustahilnya seorang hakim menguasai
seluruh bidang hukum, agar putusan menjadi tidak absurb, para Hakim Agung mulai
berpikir untuk meniru konsep Mahkamah Agung di negara-negara lain yang
mengadopsi sistem kamar, dimana kemudian Mahkamah Agung RI meniru dan
menerapkannya, mulai dari seperangkat Hakim Agung yang bernaung dibawah kamar
khusus pidana, perdata, tata usaha negara, militer, dsb.
Kembali pada sistem orthodoks sistem MK RI. Bila Mahkamah Konstitusi
dengan sistem serupa diberlakukan dua dekade lampau, tiada akan timbul banyak
masalah, karena bidang hukum belum terdiferensiasi seperti saat ini.
Dahulu kala, seorang sarjana hukum masih memungkinkan untuk meneliti dan
menguasai segala bidang hukum, namun saat kini memilih langkah untuk menguasai
segala bidang hukum pada seorang sarjana hukum adalah hal yang kontraproduktif
disamping mustahil tercapai.
Hukum modern kental akan prosedural dan teknikalisasi yang tinggi,
sehingga aturan tertulisnya demikian menggurita serta senantiasa berubah dengan
cepat dari waktu ke waktu dalam tempo yang terbilang singkat, dalam arti tidak
se-rigid regulasi dekade-dekade sebelumnya.
Pencapaian teknologi, bisnis, arus pergerakan manusia, serta perkembangan
budaya sosial kemasyarakatan turut mendorong sumbangsih teknikalisasi yang
tinggi dalam berbagai sub-ordo hukum. Mau tidak mau seorang sarjana hukum
kontemporer bergerak dari satu bidang menuju bidang yang lebih spesifik dari
bidang tersebut.
Adalah berbahaya bagi seorang hakim untuk berasumsi bahwa spesialisasi
dan pembatasan diri untuk memeriksa perkara dengan bidang hukum yang tidak
dikuasainya adalah tidak penting untuk dipersoalkan. Menjadi soal bagi pencari
keadilan dan warga masyarakat ketika hakim pemutus seperti para Hakim
Konstitusi tidak lebih cerdas dan tidak lebih memahami substansi hukum
ketimbang parlemen bersama pemerintah yang telah menggodok suatu regulasi dalam
konsensus yang berifat komunal.
Parlemen ketika membahas suatu regulasi, begitupula pemerintah ketika
menyusun peraturan pemerintah, inisiator rancangan draf regulasi dibentuk dan
dibahas oleh komisi khusus sesuai bidangnya atau oleh kementerian yang memang
menguasai topik tertentu.
Bagaimana jadinya seorang Hakim Konstitusi yang tidak menguasai secara
benar-benar bidang hukum pidana lantas dihadapkan pasal suatu ketentuan
normatif hukum pidana untuk dimintakan pembatalan dalam suatu uji materil,
adalah hal yang justru melanggar keadilan.
Memang masih jauh dari ideal praktik dalam peradilan umum seperti
pengadilan negeri dimana seorang hakim memutus perkara pidana sekaligus
perdata, bagaikan “dokter” pada instalasi Unit Gawat Darurat. Secanggih apapun
kemampuan dokter UGD, dokter spesialis tetap menjadi rujukan.
Dalam struktur hukum berupa lembaga peradilan, tiada yang sedarurat itu.
Komposisi jumlah hakim pada instansi Pengadilan Negeri dapat dibagi menjadi dua
kamar seperti sistem kamar pada Mahkamah Agung yang kini telah berjalan dengan
baik dan efektif.
Cobalah Anda bayangkan, betapa mengerikannya sembilan orang Hakim
Konstitusi RI dihadapkan para permohonan uji materil hukum penanaman modal,
hukum perburuhan, hukum hak kekayaan intelektual, hukum properti, hukum
transportasi dan lalu lintas, hukum konstruksi, hukum pengadaaan barang dan
jasa, hukum pidana, hukum Tipikor, hukum perbankan, hukum Pemilukada, hukum
pertanahan, hukum keuangan, hukum perdata, hukum niaga, hukum dagang internasional,
hukum kedokteran dan kesehatan, hukum pendidikan, hukum aparatur negara, hukum
hak-hak sipil, hukum politik, hukum korporasi, hukum kesehatan, hukum
keimigrasian, hukum pajak, hukum tambang dan mineral, hukum kehutanan, hukum
kehutanan, hukum perairan, hukum koperasi, hukum yayasan, dan ribuan sub bidang
hukum lainnya—suatu bentuk arogansi, dalam pandangan SHIETRA & PARTNERS. Senyatanya
hukum telah menjelma “hutan rimba belantara”.
Dari ribuan sub-ordo bidang hukum yang kian hari kian terdiferensiasi,
seorang sarjana hukum jenius sekalipun memiliki keterbatasan waktu untuk
menguasai seluruh bidang hukum, dan paling jauh hanya akan mampu menguasai
paling banyak seperlima dari seluruh ordo hukum yang ada.
Dengan kata lain, bila kesembilan orang Hakim Konstitusi adalah para
super jenius dibidang hukum, tetap saja separuh dari putusan mereka merupakan
bentuk praktik peradilan sesat.
Membentuk sistem kamar dalam lembaga sekelas Mahkamah Konstitusi adalah
niscaya serta kemendesakan. Adalah ironis ketika hukum yang ada dibentuk oleh
kerja ribuan regulator untuk kemudian “dipelintir” dan di-“peti-es”-kan oleh
sembilan orang yang kebetulan menjabat Hakim Konstitusi.
Semenjak MK RI dibentuk dekade lampau, kian berganti tahun kian merosot
kualitas putusan MK RI sebagaimana dapat publik lakukan eksaminasi terhadap
bobot pertimbangan hukum para Majelis Hakim Konstitusi. Hal ini merupakan
konsekuensi logis dari diferensiasi bidang hukum, sehingga bukan menjadi hal
yang aneh ketika publik mendapati putusan MK RI yang mengerutkan kening sarjana
hukum yang benar-benar menguasai bidang spesifik sub-ordo hukum yang diputus MK
RI dalam suatu perkara pengujian undang-undang (uji materil/judicial review).
Adalah masih lebih adil bila uji materil
diperiksa dan diputus hanya oleh majelis Hakim Konstitusi berjumlah tiga orang
ketimbang diputus beramai-ramai “berjemaah” namun sebagian besar tidak
benar-benar menguasai sub-bidang hukum yang dihadapkan terlebih bila mayoritas
hanyalah “penggembira” belaka.
…
© SHIETRA & PARTNERS Copyright.