Menagih secara Tidak Patut, Kreditor dapat Digugat Debitor dan Dihukum Ganti-Rugi oleh Pengadilan karena Dinilai Perbuatan Melawan Hukum yang Terbit dari Hubungan Kontraktual

LEGAL OPINION
Question: Apakah ada sanksi hukuman perdata terhadap kreditor yang menagih hutang dengan cara-cara tidak layak seperti meneror, intimidasi, bahkan sampai berupa ancaman terhadap debitor dan keluarganya?
Brief Answer: Meski hubungan hukum dilandasi hubungan perdata kontraktual, selama hakim menilai adanya unsur tidak ketidapatutan dibalik perbuatan suatu pihak yang menimbulkan kerugian terhadap pihak lain baik secara materil maupun secara psikologis, sebagaimana esensi Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) mengenai Perbuatan Melawan Hukum, menerbitkan kewajiban kepada pelakunya untuk mengganti kerugian kepada yang dirugikan. Wujud ganti rugi dapat berupa ganti rugi materil maupun ganti rugi immateriel (kerugian moril).
Semakin nyata dan dekat, serta kian intens dan berat ancaman dan gangguan yang dilakukan kreditor secara tidak patut terhadap debitornya, kian berat pengadilan akan memutus besaran ganti-rugi sebagai wujud hukuman.
Ketidakpatutan yang melewati batas perikemanusiaan, selalu membawa konsekuensi hukum, setidaknya secara perdata.
PEMBAHASAN:
Dalam putusan Mahkamah Agung tingkat kasasi perkara perdata register Nomor 3192 K/Pdt/2012 tanggal 3 Oktober 2013 yang menjadi landmark decision, karena memiliki kandungan kejadian yang satir, getir, sekaligus mengerikan; sebuah sengketa hutang-piutang yang terjadi antara:
- STANDARD CHARTERED BANK, selaku Pemohon Kasasi, semula Terbanding I, dahulu Tergugat I; melawan
- IR. VICTORIA SILVIA BELTINY, sebagai Termohon Kasasi, semula Pembanding, dahulu Penggugat; dan
1. Sdri. Ine, sebagai Turut Termohon Kasasi, semula Terbanding II, dahulu Tergugat II;
2. PT. Total Target Nissin, sebagai Tutut Termohon Kasasi, semula Turut Terbanding, dahulu Turut Tergugat.
Penggugat merupakan nasabah peminjam dari Tergugat I sejak tahun 2004, mendapat berbagai peningkatan plafon pinjaman karena lancar mencicil. Namun pada suatu waktu fasilitas pinjaman kredit tanpa agunan yang sedianya setiap bulan Penggugat mencicil sebesar Rp1.852.358,00 namun pada tahun 2009 Penggugat mengalami kesulitan keuangan sehingga pembayaran macet.
Pada tanggal 7 September 2009, Penggugat didatangi oleh Turut Tergugat selaku debt collector yang disewa Tergugat I. Turut Tergugat menawarkan reschedule kepada Penggugat dengan schedule Penggugat membayar down payment / pembayaran uang muka sebesar Rp2.200.000,- selanjutnya Penggugat membayar cicilan berikutnya perbulan sebesar Rp500.000,- hingga lunas. Penggugat menyepakati penjadwalan ulang dan melakukan pembayaran sebagaimana skema tersebut.
Setelah Penggugat mengikuti jadwal dengan melakukan pembayaran, Tergugat I melalui Tergugat II menyatakan Tergugat I menolak reschedule tersebut, selanjutnya Para Tergugat melakukan Intimidasi, Penekanan, Pengancaman dan Teror kepada Penggugat baik secara langsung melalui debt collector/jasa penagih dan telpon kepada Penggugat dan teman-teman kerja Penggugat dengan cara mencaci-maki dan penyebaran isu mengenai ketidakmampuan membayar cicilan Penggugat kepada Tergugat kepada seluruh orang di kantor Penggugat dengan maksud menghancurkan moral Penggugat, masa depan Penggugat, dan kerjaan Penggugat sebagai tempat mencari nafkah Penggugat guna menghidupi keluarganya.
Penggugat menjadi tertekan dan menderita tekanan batin, nama baik Penggugat rusak sebagai akibatnya. Para Tergugat secara systematis terus-menerus melakukan penekanan mental dan merusak nama baik Penggugat sampai pada saat gugatan didaftarkan.
Para Tergugat dinilai telah melakukan perbuatan melawan hukum (Onrechtmatige Daad) sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata:
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Adapun unsur-unsur konsep “perbuatan melawan hukum” (tortious liabilities) yang dimaksudkan Pasal 1365 KUHPerdata, yakni:
a) adanya perbuatan melawan hukum baik yang diatur dalam undang-undang maupun yang terbit akibat perbuatan yang sangat melanggar kepatutan (tidak terperi);
b) melanggar hak subjektif orang lain:
1) hak-hak perorangan seperti: kebebasan, kehormatan, nama baik, dan lain-lain;
2) hak-hak atas harta kekayaan misalnya hak-hak kebendaan;
c) ada kesalahan (schuld), perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan yang salah yang dapat berupa kealpaan (onachtzaamheid) dan kesengajaan-kesengajaan sudah cukup bilamana pada waktu melakukan perbuatan bahwa akibat perbuatannya itu pasti atau patut diduga akan timbul;
d) ada kerugian, akibat perbuatan itu timbul kerugian yang diderita orang lain, kerugian itu dapat berupa kerugian materil maupun moril. Kerugian moril menyangkut kehormatan, harga diri, siksaan batin, terintimidasi;
e) adanya hubungan causal, untuk menuntut ganti kerugian haruslah ada hubungan causal antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian yang diderita Penggugat.
Para Tergugat dengan sengaja dan tersistematis merusak kehormatan Penggugat, serta melakukan serangkaian teror baik dengan kata-kata kotor melalui telpon seluler seperti kata-kata “tolol”, “maling”, “tidak tahu diri”, dan lain-lain kata-kata yang tidak sehat. Kondisi “gagal bayar” dengan “tolol” adalah dua hal yang berbeda.
Adapun rincian perbuatan Tergugat guna melakukan tekanan mental yang menghancurkan moral Penggugat, dilakukan dengan cara sebagai berikut :
- pada tanggal 8 Desember 2009, Tergugat II mengirim Short Message Services (SMS) melalui perangkat selulernya dengan bunyi: “Pg ibu victoria saya dgn ine stanchartered, mau tawarkan aja, ada disc lunas dari 40jt s/d 22jt msh bs nego, krn takutnya ibu malh di fax peringatan up Mariana Rantung”. Tergugat II mengancam Penggugat dengan akan mengirim faxsimile kepada Mariana Rantung, yang merupakan atasan Penggugat di tempat Penggugat bekerja.
- Ancaman Tergugat II benar-benar dilakukan oleh dengan peralatan dan dukungan dari Tergugat I, mengirimkan faxsimile kepada Mariana Rantung, yang secara hukum dalam persoalan antara Penggugat dan Tergugat tidak berkaitan dengan masalah hutang-piutang antara Penggugat dan Tergugat. UP-nya Bapak Afdal, yang juga atasan Penggugat namun tidak mempunyai hubungan atas persoalan hutang piutang antara Penggugat dan Tergugat, faxsimile tersebut terus-menerus dikirimkan oleh Tergugat II dengan isi materi: apabila dalam jangka waktu 1 hari setelah tanggal faksimili ini dibuat kami tidak juga menerima pembayaran dari Bapak/Ibu, maka dengan sangat menyesal kami akan mengambil kebijakan sebagai berikut:
1. Memasukkan nama Bapak/Ibu didaftar hitam Bank Indonesia;
2. Memasukkan nama Bapak/Ibu didaftar tunggu Pemanggilan Media Massa;
3. Menggunakan jasa pihak ketiga untuk menagih pembayaran biaya-biaya yang timbul atas prosedur penagihan di atas akan kami bebankan kepada Bapak/Ibu selaku pihak yang bertanggung jawab atas penyelesaian kewajiban tersebut;
- Surat tertanggal 09 Desember 2009 tersebut tidak bertandatangan, namun sangat jelas surat tersebut adalah surat dari Tergugat I dengan logo Standard Chartered Bank, perihalnya Tagihan Kredit Tanpa Agunan Victoria Silvia Beltiny.
- Faksimile yang dikirim Tergugat terus menerus dilakukan dari kurun waktu jam 03:09 PM sampai jam 04:45 PM sebanyak 10 lembar.
Alhasil, atasan Penggugat menegur Penggugat. Pada tanggal 10 Desember 2009, Tergugat II kembali meneror perusahaan dimana Penggugat bekerja. dilakukan tanpa henti sepanjang tengah hari.
Tergugat II pada tanggal 7 Januari 2009 kembali mengirimkan faxsimili kepada unit lain di tempat bekerja Penggugat dengan maksud menyerang kehormatan dan nama baik Penggugat, dimana Tergugat II memfaksimilikan terus-menerus sebanyak 18 lembar;
Pada tanggal 7 Januari 2009 Tergugat II melalui SMS terus-menerus meneror Penggugat dengan kalimat ancaman-ancaman memfaxsimili terus menerus sampai Penggugat membayar lunas, hal mana tindakan Tergugat II ini bertentangan dengan Pasal 1759 KUHPerdata:
Orang yang meminjam tidak dapat meminta kembali apa yang telah dipinjamkannya sebelum lewatnya waktu yang ditentukan dalam perjanjian.”
Sementara hubungan pinjam-meminjam antara Penggugat dan Tergugat dimulai sejak tanggal 04/09/2008 dan berakhir tanggal 04/08/2011, jadi pada saat gugatan didaftar dan teror, intimidasi, penekanan moril, perusakan harga diri, pencemaran nama baik yang dilakukan Tergugat II adalah masih dalam tenggang waktu sebelum lewat waktu yang ditentukan dalam perjanjian.
Tidak cukup sampai disitu, Tergugat II sejak dari tanggal 7 Januari tiap hari mengirim faxsimili surat yang sama ke lain-lain bagian di tempat Penggugat bekerja seperti unit custody, QA Unit, HRD. Padahal Penggugat hanya bekerja di unit custody. Tergugat mengancam tidak akan berhenti mengirim faxsimili sampai Penggugat membayar hutangnya, hal tersebut telah dilakukan Tergugat II sehingga unit-unit lain di kantor melayangkan protes kepada Penggugat.
Bombardir tidak surut, Tergugat II mulai menelpon rekan-rekan dan atasan-atasan kerja Penggugat dengan mencaci-maki, hal tersebut di lakukan kepada Karyadi, Fikri, Haris, Opan, Grace, Stephanie, Silky dan Dian—Penggugat merinci nama-nama rekan kerjanya.
Tergugat II mengirim faxsimili setiap hari ke tempat kerja Penggugat dengan materi dan substansi surat yang serupa, tanggal yang sama tetapi pengiriman faxsimilinya kepada divisi-divisi yang berbeda di kantor Penggugat. Secara kewarasan dan kebiasaan yang lazim berlaku, mengirim somasi cukup dilakukan satu kali setiap bulannya, kemudian dilakukan lagi bulan penagihan berikutnya begitu seterusnya sesuai jadwal penagihan dan pembayaran, tidak seperti yang dilakukan oleh Tergugat II kepada Penggugat.
Pada tanggal 7 Januari 2010, Tergugat II mengirim faxsimile ke custody unit sebanyak 18 lembar print out. Penggugat memberi catatan: faxsimile pada tempat bekerja Penggugat menggunakan sistem computer, sehingga faxsimile terekam terang dan jelas dari layar komputer, dan dapat dilihat semua orang karyawan di kantor.
Pada tanggal 11 Januari 2010 Tergugat II mengirim faxsimile ke custody unit sebanyak 2 lembar. Pada tanggal 13 Januari 2010 Tergugat II mengirim faxsimile ke QA unit sebanyak 29 lembar. Pada tanggal 13 Januari 2010 Tergugat II mengirim faxsimile ke custody unit sebanyak 2 lembar. Pada tanggal 13 Januari 2010 Tergugat II mengirim faxsimile ke HRD sebanyak 72 lembar, dengan sebelumnya Tergugat II mengirimkan SMS yang berbunyi: “pagi ibu Victoria yang terhormat, saya dengan Ine stanchard anda blm bayarkan ya bu, kita akan fax ke lt 7, up sih pengennya ke bag HRD”.
Pada tanggal 14 Januari 2010 Tergugat II mengirim faxsimile ke custody unit sebanyak 12 lembar, up Bapak Afdal. Pada tanggal 15 Januari 2010 Tergugat II mengirim faxsimile ke custody unit sebanyak 3 lembar, dan ke-HRD sebanyak 21 lembar, ke QA unit sebanyak 16 lembar dengan Up tetap Bapak Afdal. Pada tanggal 21 Januari 2010 Tergugat II mengirim faxsimile ke custody unit sebanyak 15 lembar, dan ke HRD sebanyak 15 lembar, ke QA unit sebanyak 46 lembar dengan up tetap Bapak Afdal. Pada tanggal 22 Januari 2010 Tergugat II mengirim faxsimile ke custody unit sebanyak 10 lembar, dan ke HRD sebanyak 20 lembar, ke QA unit sebanyak 100 lembar dengan Up tetap Bapak Afdal.
Tindakan-tindakan Tergugat sangat merugikan Penggugat secara moril, hal mana tindakan tersebut tidak dibenarkan secara kepatutan, apalagi ternyata Penggugat diberikan tekanan mental, rusaknya harga diri, membuat suram masa depan, akibat dari tindakan-tindakan Tergugat berbuat brutal secara sistematis untuk menghancurkan Penggugat.
Tindakan para Tergugat melukai harga diri Penggugat di tempat kerja membuat Penggugat tertekan, dan semakin tertekan atas teror demi teror yang dilancarkan Tergugat II.
Atas tindakan-tindakan Tergugat II membuat Penggugat terganggu dalam pekerjaan, sehingga menderita tekanan batin, hubungan dengan teman-teman Penggugat menjadi tidak harmonis dan cenderung rusak dan tidak sehat karena teman-teman Penggugat dicaci maki, diintimidasi oleh Tergugat, maka perbuatan Tergugat I dan Tergugat adalah merupakan perbuatan melawan hukum.
Oleh karenanya wajar ketika Penggugat meminta ganti rugi immateril atas tindakan Tergugat melukai perasaan disamping penyerangan harga diri  dan martabat Penggugat yang dirusak oleh tindakan para Tergugat sebesar Rp5.000.000.000,- (lima milyar rupiah). Dalam gugatannya, Penggugat membuat pernyataan penutup dengan kutipan sebagai berikut:
“Bahwa perbuatan Tergugat adalah tindakan kesewenang-wenangan dalam penerapan hukum sehingga sangat tepatlah apabila kepada Tergugat diberikan pembelajaran untuk tidak melakukan hal yang sama kepada orang lain.”
Terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemudian memberikan Putusan Nomor 151/PDT.G/2010/PN.Jkt.Sel tanggal 15 Juli 2010, dengan pertimbangan hukum serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang bahwa Yurisprudensi maupun Doktrin para ahli hukum dikenal empat kriteria perbuatan melawan hukum yaitu:
1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
2. Melanggar hak subyektif orang lain;
3. Melanggar kaidah tata susila;
4. Bertentangan dengan azas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain;
“Menimbang, bahwa adanya suatu perbuatan melawan hukum tidak disyaratkan adanya keempat kriteria itu secara kumulatif, namun bersifat alternatif artinya dengan dipenuhinya satu kriteria itu, telah terpenuhilah pula syarat untuk suatu perbuatan melawan hukum;
“Menimbang, bahwa berdasarkan surat bukti P 10 s/d P 31 telah ternyata Tergugat I melalui Tergugat II mengirimkan faximile ditujukan Custody Unit dimana Penggugat bekerja, namun UP-nya kepada Bpk. Afdal (atasan Penggugat) perihal tagihan kredit tanpa agunan, yang isinya belum menerima pembayaran atas pemakaian kredit tanpa agunan Bpk. Victoria Silvia Beltiny (Penggugat). Yang dilakukan sejak tanggal 9 Desember 2009 yang dikirimkan setiap harinya kurang lebih 10 lembar, dimana dapat dikategorikan melakukan perbuatan yang melanggar hak-hak subyektif Penggugat antara lain hak integritas pribadi, kehormatan, serta nama baik Penggugat, oleh karenanya perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum”;
“DALAM POKOK PERKARA
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan para Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum;
3. Menghukum para Tergugat secara tanggung renteng membayar ganti rugi kepada Penggugat sebesar Rp10.000.000,- (sepuluh puluh juta rupiah);
4. Menghukum turut Tergugat mentaati/tunduk dan patuh putusan ini;
5. Menghukum para Tergugat membayar biaya perkara secara tanggung renteng hingga kini ditafsir sebesar Rp821.000,- (delapan ratus dua puluh satu ribu rupiah);
6. Menolak gugatan Penggugat selebihnya.”
Dalam tingkat banding atas permohonan Penggugat putusan Pengadilan Negeri tersebut diperbaiki oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dengan Putusan Nomor 529/PDT/2011/PT.DKI tanggal 3 Januari 2012, yang pertimbangan hukum serta amarnya sebagai berikut:
“Menimbang bahwa majelis Hakim Tingkat Pertama dalam pertimbangan hukumnya berpendapat telah terbukti para Tergugat/Terbanding melakukan perbuatan melawan hukum karena Tergugat II untuk kepentingan Tergugat I telah melakukan penagihan hutang dengan cara menelpon ke kantor Penggugat secara berulang-ulang menceritakan perihal adanya hutang Penggugat/Pembanding kepada Karyawan dan atasan tempat Penggugat/Pembanding bekerja, mengirimkan facsimili secara berulang-ulang ke Custody unit dengan cc Bapak Afdal (atasan Penggugat) adalah merupakan perbuatan yang tidak professional dengan tujuan mempermalukan Penggugat dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum dan karenanya gugatan Penggugat/Pembanding dapat dikabulkan sebagian, menurut Pengadilan Tinggi pendapat tersebut sudah tepat dan benar dan oleh karena mana dapat disetujui dan dijadikan pertimbangan Pengadilan Tinggi sendiri dalam memutus perkara ini”;
“Menimbang, bahwa akan tetapi tentang besarnya ganti kerugian immateriil sebesar Rp10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) Pengadilan Tinggi tidak sependapat dengan Majelis Hakim Tingkat Pertama, karena ganti rugi tersebut terlalu kecil dibandingkan dengan kerugian moril Penggugat / Pembanding akibat perbuatan para Tergugat / Terbanding yang telah mempermalukan Penggugat / Pembanding sebagai seorang karyawati yang memiliki status sosial dan berpendidikan sarjana, merendahkan harkat dan martabat Penggugat/Pembanding di tempat ia bekerja dengan cara yang digunakan oleh para Tergugat / Terbanding dalam menagih hutangnya dari Penggugat sebagai debiturnya, selain tidak mengindahkan ketentuan hukum yang berlaku juga telah menempuh cara-cara teror dan intimidasi.
- Menerima permohonan banding dari Pembanding semula Penggugat;
- Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 151/Pdt.G/2010/PN.JKT.SEL tanggal 15 Juli 2010 yang dimohonkan banding, sehingga amar selengkapnya berbunyi sebagai berikut;
Dalam Pokok Perkara :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat/Pembanding untuk sebagian ;
2. Menyatakan para Tergugat/Terbanding telah melakukan perbuatan melawan hukum;
3. Menghukum para Tergugat/Terbanding secara tanggung renteng membayar ganti rugi kepada Penggugat/Pembanding sebesar Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah);
4. Menghukum turut Tergugat/turut Terbanding untuk tunduk dan patuh pada putusan ini.”
Tergugat I mengajukan upaya hukum kasasi, karena keberatan mengingat jumlah piutangnya saja tidak sampai lima puluh juta Rupiah namun dibebani ganti-rugi sebesar lima ratus juta Rupiah. Terhadap permohonan tersebut, Mahkamah Agung membuat pertimbangan hukum sebelum tiba pada amar putusannya sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan, karena Pengadilan Tinggi Jakarta yang menguatkan dan memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak salah dalam menerapkan hukum kecuali mengenai besaran ganti rugi yang harus dibayar oleh Tergugat I kepada Penggugat;
“Bahwa oleh karena itu Mahkamah Agung berpendapat bahwa amar putusan Judex Facti/Pengadilan Tinggi Jakarta yang menguatkan dan memperbaiki putusan Pengadilan Negeri harus diperbaiki sepanjang mengenai besarnya ganti rugi dengan pertimbangan sebagai berikut :
Bahwa tindakan Tergugat I dalam melakukan penagihan kredit adalah tindakan tidak profesional karena mengutamakan penggunaan pendekatan intimidasi dan premanisme daripada pendekatan lain yang mendudukkan nasabah sebagai partner bank, dan oleh karena itu adalah layak dan adil apabila Tergugat dijatuhi hukuman untuk membayar ganti rugi kepada Penggugat yang lebih berat;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: STANDARD CHARTERED BANK, tersebut harus ditolak dengan perbaikan amar putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No. 529/PDT/2011/PT.DKI tanggal 3 Januari 2013 yang menguatkan dan memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 151/PDT.G/2010/PN.Jak.Sel tanggal 15 Juli 2010, sehingga amarnya seperti yang akan disebutkan di bawah ini:
MENGADILI:
“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: STANDARD CHARTERED BANK tersebut;
“Memperbaiki amar Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 529/PDT/2011/PT.DKI tanggal 3 Januari 2012 yang menguatkan dan memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 151/PDT.G/2010/PN.Jkt.Sel tanggal 15 Juli 2010 sehingga amar selengkapnya sebagai berikut:
“Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan para Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum;
3. Menghukum para Tergugat secara tanggung renteng membayar ganti rugi kepada Penggugat sebesar Rp1.000.000.000,- (satu milyar rupiah);
4. Menghukum turut Tergugat untuk tunduk dan patuh pada putusan ini;
5. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Kasus diatas bukanlah kasus pencemaran nama baik ataupun penghinaan sebagaimana disebutkan judex factie, karena memang kondisi Penggugat benar kredit macet. Yang menjadi dasar penjatuhan vonis pasal “Perbuatan Melawan Hukum” oleh Majelis Hakim ialah “perbuatan tidak menyenangkan” yang diakomodasi pula oleh Pasal 1365 KUHPerdata tersebut.
Memang benar kondisi debitor adalah macet, namun adalah pengusikan terhadap ketenangan hidup bila tata cara penagihan dilakukan diluar batas kewajaran maupun melampaui batas toleransi kepatutan. Itulah yang kemudian disebut “perbuatan tidak menyenangkan” dalam konteks perdata.
Mengapa dalam kasus tersebut tidak tepat bila disebut sebagai “pencemaran nama baik”? Fakta hukumnya, adalah memang benar Penggugat cidera janji (wanpprestasi) terhadap kewajibannya melunasi hutang. Namun bilamana kepada atasan ataupun rekan-rekan Penggugat cukup disampaikan 1 (satu) kali informasi mengenai keadaan keuangan Penggugat, maka penjatuhan vonis hukuman oleh pengadilan terhadap Tergugat mungkin masih dapat dihindari.
Namun ketika terhadap rekan kerja dan atasan berkali-kali diberikan surat dan pesan yang sama, yang menjurus pada kecenderungan untuk mengganggu atau menimbulkan keonaran dengan tujuan menekan moril Penggugat, maka telah terpenuhilah kriteria “perbuatan tidak menyenangkan” secara perdata.
Pertimbangan hukum Mahkamah Agung tepat ketika menyebutkan letak kesalahan Tergugat ialah pada cara atau pendekatan dalam bekerjasama dengan debitornya, Mahkamah Agung sama sekali tidak menyinggung perihal pencemaran nama baik, karena fakta hukum tetaplah fakta hukum. Pendekatannya saja yang keliru namun juga melampaui batas kewajaran, sehingga patut diganjar dengan hukuman yang sama beratnya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.