Kewenangan Dinas Perumahan Terbitkan Perintah Pengosongan Rumah dari Penghunian Tidak Sah

LEGAL OPINION
Question: Atas objek rumah yang saya beli secara sah serta sertifikat tanah telah dibalik-nama keatas kepemilikan saya, namun penjual/penghuni objek rumah tak juga mau mengosongkan diri dengan baik-baik untuk kami tempati. Apakah ada dinas tertentu yang berwenang menjadi lembaga bagi warga negara pembeli tanah / rumah untuk mengadu selain kepada pengadilan?
Brief Answer: Dinas Perumahan memiliki kewenangan sebagai mediator dibidang penegakan hukum masalah perumahan dan penghunian, baik dengan cara memanggil para pihak yang memiliki sengketa pemilikan dan penghunian rumah, kemudian mengadakan mediasi berdasarkan permohonan masyarakat yang menyatakan sebagai pemilik sah objek rumah.
Mekanisme ini bukanlah prosedur mutlak yang terlebih dahulu harus ditempuh bagi pemilik sah atas objek rumah untuk mengajukan gugatan pengosongan di pengadilan, sehingga agak berbeda dengan fungsi mediasi Dinas Tenaga Kerja dalam sengketa hubungan industrial ketenagakerjaan.
Sekalipun penghuni tidak patuh terhadap surat keputusan Dinas Perumahan, surat keputusan tersebut merupakan penetapan (beschikking) yang dapat dijadikan salah satu alat bukti oleh pemilik rumah ketika pada akhirnya mengajukan gugatan pengosongan di hadapan Pengadilan Negeri.
PEMBAHASAN:
Dalam putusan Mahkamah Agung RI tingkat kasasi perkara tata usaha negara register Nomor 170 K/TUN/2012 tanggal 21 Juni 2012, sengketa antara:
- Drs. HENDRA GUNAWAN, sebagai Pemohon Kasasi, semula Pembanding, dahulu Penggugat; melawan
1. Kepala Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintah Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, selaku Termohon Kasasi I, semula Terbanding, dahulu Tergugat;
2. H.R. SUNARYO, SH., sebagai Termohon Kasasi II, semula Terbanding, dahulu Tergugat II Intervensi.
Yang menjadi Objek Gugatan ialah Keputusan Kepala Dinas Perumahan Jakarta No.678/2010 tanggal 29 Oktober 2010 tentang Perintah Pengosongan Rumah/Bangunan yang ditujukan kepada Penggugat untuk mengosongkan diri dari objek rumah yang selama ini dihuni Penggugat beserta keluarganya selama 13 tahun.
Atas suatu perjanjian bisnis yang kemudian beralih menjadi jual-beli tanah objek rumah tersebut, kemudian Penggugat mendapat surat panggilan dari Dinas Perumahan dan Gedung untuk musyawarah mufakat atas adanya permohonan pengosongan dari Pemohon. Dalam pertemuan sebanyak dua kali antara Penggugat dan Pemohon tersebut, 2 (dua) orang pegawai/petugas Dinas Perumahan mengklarifikasi keterangan dari kedua belah pihak. Selanjutnya menurut petugas Dinas Perumahan, Penggugat akan dipanggil kembali untuk memberikan data-data dan final dari bentuk kesepakatan yang dibuat antara Penggugat dan Pemohon.
Namun kenyataannya yang Penggugat terima adalah Surat Keputusan Kepala Dinas Perumahan Provinsi Jakarta No. 678/2010 tanggal 29 Oktober 2010 berdasarkan permohonan dari Sdr. Sunaryo. Surat Keputusan tersebut sekaligus merupakan Surat Peringatan Pertama Pengosongan objek rumah, yang kemudian disusul dengan Surat Peringatan Kedua. Adapun bunyi pertimbangan dalam Surat tersebut, yakni:
“Adanya permohonan pengosongan dari Pemohon (sdr .HR.Sunaryo, SH) dimana Pemohon tidak mengijinkan Termohon untuk menghuni rumah tersebut karena akan digunakan sendiri oleh Pemohon.
“Tanah dan bangunan yang dimohonkan untuk dikosongkan adalah milik Pemohon berdasarkan SHM No.1374 tanggal 15 Nopember 2001 dan AJB No.09/2004 tanggal 15 Desember 2004.
“Bahwa antara Pemohon dan Termohon tidak terdapat hubungan sewa-menyewa atau hubungan hukum lainnya yang diikat dengan suatu perjanjian.
“Bahwa Dinas Perumahan telah memanggil Penggugat dan Pemohon untuk didengar keterangannya. Pada tanggal 15 Juli 2010 dan tanggal 28 Juli 2010 Penggugat dan Termohon telah dipertemukan untuk musyawarah mufakat namun tidak tercapai kata sepakat;
“Bahwa Termohon menghuni rumah/bangunan a quo tanpa dasar hukum yang jelas hanya berupa ijin lisan dari Pemohon.”
Adapun yang menjadi keberatan Penggugat, dasar hukum dari diterbitkannya Surat Keputusan oleh Tergugat adalah tidak relevan dan/atau tidak tepat digunakan dalam sengketa antara Penggugat dan Pemohon, dengan alasan berdasarkan Pasal 14 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, telah diatur:
“Sengketa yang berkaitan dengan pemilikan dan pemanfaatan rumah diselesaikan melalui badan peradilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Sementara yang menjadi pokok permintaan Penggugat, ialah agar dinyatakan batal atau tidak sah Surat Keputusan Kepala Dinas Perumahan. Pihak pemerintah selaku Tergugat menerangkan, berdasarkan bukti-bukti yang ada, diatas rumah sengketa adalah milik Tergugat II Intervensi selaku pembeli, dan pemilik telah meminta diserah-terimakan objek sengketa dengan mengajukan permohonan melalui Tergugat, mengingat Penggugat bukan lagi selaku pemilik, maka penghunian Penggugat adalah tidak sah atau tanpa hak tanpa seizin pemilik baru.
Pasal 12 Undang-undang No. 4 Tahun 1992 menyatakan :
“Penghunian rumah oleh bukan pemilik hanya sah apabila ada persetujuan atau ijin pemilik.”
Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1994:
“Apabila penghunian rumah dilakukan tanpa persetujuan pemilik dinyatakan sebagai penghunian tanpa hak atau tidak sah.”
Tergugat berwenang menerbitkan penetapan, dengan dasar hukum berupa Pasal 14 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 1981, yang menyatakan:
“Kepala KUP mengeluarkan Surat Perintah Pengosongan terhadap penghuni: Yang menggunakan perumahan tanpa suatu hak atau tanpa Surat Ijin Perumahan (SIP) yang sah bagi perumahan yang masih dikuasai Kepala Daerah.”
Keputusan Menteri Sosial No. 18/HUK/KEP/V/1982 didalam lampirannya angka VIII tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengosongan dalam Huruf I, menyatakan:
“Kepala Kantor Urusan Perumahan (Dinas Perumahan Propinsi DKI Jakarta) berwenang melaksanakan pengosongan terbatas pada: Perumahan yang digunakan tanpa suatu hak.”
Terhadap gugatan tersebut Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta telah mengambil putusan, yaitu putusan No. 182/G/2010/PTUN.JKT tanggal 12 Mei 2011, dengan pertimbangan hukum serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa dengan demikian terlepas dari cara perolehan Tergugat II Intervensi namun secara formal berdasarkan bukti Sertipikat Hak Milik dan Akta Jual Beli, penghunian rumah yang selama ini ditempati Penggugat telah beralih pada Tergugat II Intervensi dan diantaranya tidak terdapat sewa karenanya Majelis Hakim berpendapat bahwa penghunian rumah a-quo oleh Penggugat dapat dikwalifikasikan sebagai penghunian rumah tanpa hak;
“Menimbang, bahwa dengan demikian Majelis Hakim berpendapat, bahwa tindakan Tergugat dalam menerbitkan surat keputusan objek sengketa telah sesuai dengan kewenangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 14 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 1981 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 1963 tentang Hubungan Sewa-Menyewa Perumahan Jo. Keputusan Menteri Sosial Nomor 18/HUK/KEP/V/1982 di dalam lampirannya angka VIII tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengosongan dalam huruf I di atas;
“Menimbang, bahwa selanjutnya akan dipertimbangkan mengenai prosedur dan substansi serta pelaksanaan Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik ketika Tergugat mempersiapkan/menerbitkan keputusan objek sengketa;
“Menimbang, bahwa keputusan objek sengketa adalah tentang Perintah Pengosongan Rumah / Bangunan karena penghunian rumah oleh Penggugat dianggap tanpa hak;
“Menimbang, bahwa dari Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 1981 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 1963 tentang Hubungan Sewa Menyewa Perumahan maupun Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 18/HUK/KEP/V/1982 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 1981 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 1963 tentang Hubungan Sewa Menyewa Perumahan, maupun Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan Dan Pemukiman, serta Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994 tentang Penghunian Rumah Oleh Bukan Pemilik, ternyata tidak terdapat pengaturan menyangkut prosedur atau tahapan yang harus ditempuh dalam menerbitkan surat keputusan Perintah Pengosongan Rumah sebagaimana pada keputusan objek sengketa.
“Bahwa berkaitan permasalahan a-quo yang diatur dalam peraturan diatas adalah menyangkut kewenangan Tergugat dan kwalifikasi yang dimaksud penggunaan perumahan tanpa hak dan tahapan atau tata cara pelaksanaan pengosongan setelah keluarnya surat keputusan Perintah Pengosongan sebagaimana terdapat pada lampiran Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 18/HUK/KEP/V/1982. Bahwa dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembentuk ketentuan di atas memberikan ruang terbuka untuk Tergugat dalam melaksanakan prosedur kewenangannya sepanjang tidak bertentangan dengan Asas asas Umum Pemerintahan yang Baik;
“Menimbang, bahwa sebagaimana telah dipertimbangkan diatas, bahwa Tergugat adalah berwenang menerbitkan keputusan objek sengketa dan kewenangan tersebut lahir karena Tergugat II Intervensi telah melengkapi syarat permohonan bahwa pihaknya adalah pemilik sertipikat berdasarkan jual beli sehingga Penghunian Rumah oleh Penggugat secara formal adalah tanpa hak sebagaimana telah dipertimbangkan di atas.
“Bukti Sertipikat dan Akta Jual Beli tersebut membuktikan bahwa secara formal Tergugat II Intervensi adalah pemilik rumah yang dihuni Penggugat dan diantara Penggugat dan Tergugat II Intervensi tidak ada hubungan sewa. Dengan demikian secara substansi, telah dilengkapi syarat-syarat sesuai ketentuan yang berlaku (baca ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah serta Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok-Pokok Agraria bahwa Akta Jual Beli Tanah sepanjang dibuat dihadapan PPAT merupakan tanda bukti pemegang hak atas tanah dan sertipikat merupakan tanda bukti pendaftaran hak atas tanah sehingga sertipikat merupakan alat pembuktian yang kuat).
“Menimbang, bahwa dari uraian gugatan, Penggugat ternyata juga mengakui bahwa pihak Tergugat telah melakukan mediasi sehingga bersama-sama dengan Tergugat, Penggugat dan Tergugat II Intervensi telah dipertemukan tanggal 15 Juli 2010 dan 28 Juli 2010. Bahwa tindakan Tergugat demikian telah membuktikan bahwa Tergugat sebelum menerbitkan keputusan objek sengketa telah melakukan upaya dengan memperhatikan kepentingan Penggugat, karenanya Majelis hakim berpendapat tindakan prosedur yang ditempuh tergugat dalam menerbitkan keputusan objek sengketa tidak bertentangan dengan Asas asas Umum Pemerintahan Yang Baik;
“Menimbang, bahwa berdasarkan keseluruhan pertimbangan hukum diatas, maka Pengadilan menyimpulkan dalam penerbitan keputusan objek sengketa telah terbukti tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku serta Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik, karenanya gugatan Penggugat haruslah ditolak;
 “MENGADILI :
“DALAM POKOK SENGKETA :
Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
Dalam tingkat banding atas permohonan Penggugat, putusan PTUN telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta dengan putusan No. 156/B/2011/PT.TUN.JKT tanggal 11 Oktober 2011.
Penggugat mengajukan upaya hukum kasasi, dimana atas permohonan tersebut Mahkamah Agung membuat pertimbangan hukum serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan ini tidak dapat dibenarkan, Judex Facti sudah benar dalam pertimbangan hukumnya dan tidak salah dalam menerapkan hukum karena:
- Penggugat tidak punya alas hak yang kuat untuk menguasai rumah yang disengketakan;
- Bahwa Keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa diterbitkan telah sesuai dengan peraturan perundang–undangan yang berlaku;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, lagi pula ternyata bahwa putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: Drs. HENDRA GUNAWAN tersebut harus ditolak;
 “M E N G A D I L I :
“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : Drs. HENDRA GUNAWAN tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.