Kemenangan Akrobatik Hukum

ARTIKEL HUKUM
Siapa yang menguasasi metode “Akrobatik Hukum”, maka ia akan keluar sebagai pemenang, tak perduli seberapa tidak bermoral orang tersebut. Demikianlah “hukum rimba” yang berlaku dalam “hukum negara” yang kental nuansa politis ketimbang nuansa yuridis. Ber-akrobatik-lah, maka akan dapat berkelit dari jerat hukum.
Secara falsafah hukum, tiada istilah “alat bukti rekaman yang didapat secara tidak sah”, yang ada ialah “apakah sudah tepat dan pada waktu yang tepat alat bukti rekaman tersebut dibuka kepada publik”. Bukti tetaplah bukti, itulah fakta hukumnya.
Berani berbicara/bersuara, berani untuk mempertanggungjawabkan atas apa yang telah dinyatakan. Setiap orang berhak melindungi dirinya dengan merekam kata-kata atau janji-janji yang disampaikan oleh lawan bicara, dan sewaktu-waktu dapat digunakan ketika harkatnya dirugikan oleh si pembicara.
Bila seseorang mengklaim bahwa orang lain menyadap dirinya dengan cara yang tidak benar, mengapa kita tidak terlebih dahulu bertanya: apakah orang tersebut telah bertindak dengan cara yang benar sehingga berhak untuk menolak disadap? Mengapa juga dirinya dapat disadap, dalam rangka apa dirinya disadap?
Dalam artikel kelam ini, SHIETRA & PARTNERS akan mengangkat dua buah putusan Mahkamah Konstitusi RI (MK RI) terkait permohonan uji materil (judicial review) yang diajukan oleh Setya Novanto, sang “Babe Minta Saham”. Dapat dikatakan, dua putusan tersebut menjadi produk hukum paling mengecewakan dalam sejarah praktik MK RI. Mari kita telaah.
Putusan MK RI register perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016 tanggal 7 September 2016, uji materil terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Adapun pasal-pasal yang dipersoalkan Pemohon, ialah:
Pasal 5 UU ITE:
(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
Pasal 44 huruf (b) UU ITE:
“Alat bukti lain berupa informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik, sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angkat 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).”
Pasal 26A UU Tipikor:
“Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari:
a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu; dan
b. Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik ataupun selain kerta, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.”
Pemohon mendalilkan, Pasal 5 dan Pasal 44 UU ITE mengategorikan “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagai alat bukti hukum yang sah dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah”, sementara itu secara kontradiktif Pasal 26A UU Tipikor mengategorikan “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” merupakan alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP.
Sehingga secara substansi kedua undang-undang tersebut pada hakekatnya menempatkan dan mengualifikasi “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya” sebagai alat bukti sehingga dapat dipergunakan untuk membuktikan perbuatan seseorang yang dikategorikan sebagai tindak pidana.
Namun yang membedakan antara ketentuan UU ITE dan UU Tipikor, adalah Pasal 5 dan Pasal 44 UU ITE telah memperluas ketentuan alat bukti tidak saja dalam lapangan hukum acara pidana, tetapi juga dalam lapangan hukum lainnya seperti acara pembuktian dalam perkara perdata.
Dengan berlakunya kedua pasal UU ITE tersebut, maka ketentuan mengenai alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana Indonesia menjadi tidak saja terbatas pada 5 (lima) alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tetapi juga termasuk alat bukti yang disebutkan dalam UU ITE, yakni informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya.
Menjadi kontradiktif, informasi elektronik yang diatur dalam UU Tipikor semata hanya diperuntukkan untuk memperluas pengertian alat bukti “petunjuk” yang memang sudah diatur dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP, yang mana ketentuan ini berlaku secara khusus dalam Tipikor.
Dengan berlakunya ketentuan Pasal 26A UU Tipikor, maka alat bukti “petunjuk” tidak saja dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa, tetapi juga dapat diperoleh dari “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik”.
Lebih lanjut, ketentuan Pasal 44 UU ITE maupun Pasal 26A UU Tipikor tidak ditemukan frasa “dan/atau hasil cetaknya” seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 UU ITE.
UU Tipikor mesyaratkan status Terdakwa ialah bila telah terdapat minimum dua “alat bukti”. Menjadi persoalan utama, informasi elektronik apakah termasuk dalam alat bukti yang berdiri sendiri ataukah tetap membaur dengan alat bukti “petunjuk” belaka?
Adapun dalil Pemohon, dirinya telah tiga kali dipanggil pihak Kejaksaan Agung untuk dimintai keterangan sehubungan dengan dugaan terjadinya tindak pidana korupsi permufakatan jahat atau percobaan melakukan tindak pidana korupsi dalam perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia.
Timbulnya dugaan terjadinya tindak pidana tersebut bermula dari beredarnya rekaman pembicaraan yang diduga merupakan suara pembicaraan antara Pemohon dengan Sdr. Ma’roef Sjamsudin (Dirut PT. Freeport Indonesia) dan Muhammad Riza Chalid yang dilakukan dalam ruangan tertutup di salah satu ruangan sebuah hotel. Pembicaraan tersebut diakui Ma’roed Sjamsudin telah direkamnya olehnya secara sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan dan persetujuan pihak lain yang ada dalam rekaman tersebut, yang kemudian dilaporkan kepada Sudirman Said yang saat itu menjabat sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral RI.
Kalaupun suara dalam rekaman tersebut adalah benar suara Pemohon, menurut Pemohon secara hukum hasil rekaman tersebut harus dianggap sebagai rekaman yang tidak sah karena ilegal, karena dilakukan oleh orang yang tidak berwenang dan dengan cara yang tidak sah (?) karena si perekam bukanlah seorang penegak hukum dan tidak pernah diperintah oleh penegak hukum untuk melakukan perekaman tersebut serta dilakukan secara sembunyi-sembunyi tanpa persetujuan Pemohon atau para pihak yang ada dalam pembicaraan tersebut padahal pembicaraan tersebut dilakukan dalam ruang yang tertutup dan tidak bersifat publik.
Note SHIETRA & PARTNERS: Secara falsafah, setiap warga negara adalah pengemban hukum, dalam arti memiliki hak dan kewajiban. Contoh, hukum pidana mewajiban warga negara untuk menolong seseorang yang dalam marabahaya, dimana bila warga negara lalai untuk berupaya menolong warga negara lain yang terancam keselamatannya, maka terhadap kelalaian tersebut diancam sanksi pidana. Sehingga, penegakan hukum bukan hanya diemban oleh aparatur penegak hukum.
Pemohon merujuk pada putusan MK RI sebelumnya dalam register Nomor 006/PUU-I/2003, yang dalam pertimbangan hukumnya disebutkan oleh karena penyadapan dan perekaman pembicaraan merupakan pembatasan hak asasi manusia, dimana pembatasan demikianh hanya dapat dilakukan dengan undang-undang. Perekaman yang dilakukan oleh Ma’roef Sjamsudin tidak bisa disamakan dengan rekaman CCTV yang dilakukan di ruang publik sehingga bersifat publik.
Menjadi “lucu” ketika Pemohon memberkan beban tanggung jawab kepada pihak lain untuk meminta izin guna merekam pembicaraan, sementara yang berbicara tidak merasa memiliki beban tanggung jawab untuk meminta agar apa yang dilontarkannya tidaklah direkam. Semestinya siapa yang akan berbicara dan hendak tidak ingin direkam, maka ialah yang berkewajiban untuk menyatakan niatnya untuk tidak direkam. Seseorang yang berwatak ksatria dengan mempertanggungjawabkan setiap pernyataan yang telah dilontarkannya, tiada akan pernah keberatan terhadap perekaman apapun terhadap pernyataannya tersebut.
Niat batin seseorang yang berbicara, ialah agar indera pendengaran lawan bicaranya menangkap pesan-pesan pembicaraan dan tersimpan dalam memori otak lawan bicaranya, yang bisa jadi bertujuan untuk menggerakkan lawan bicaranya untuk berbuat sesuatu atau memberikan sesuatu. Bila sang pembicara sejak awal tak menghendaki agar direkam, untuk apa berbicara dan hendak memasukkan lontaran kata-kata kedalam indera dan memori lawan bicaranya? Pastilah ditemukan unsur intensi/sugesti, karena fakta Setya Novanto pada saat pertemuan tersebut ialah berkedudukan selaku Ketua DPR RI, yang berjumpa pimpinan korporasi tambang raksasa, pasti atau patut diduga memiliki suatu niat/intensi tertentu.
Kembali pada kasus diatas, selanjutnya Ma’roef Sjamsudin melaporkan hasil rekaman tersebut kepada Sudirman Said, yang selanjutnya Sudirman Said menjadikan rekaman tersebut sebagai dasar untuk melaporkan Pemohon kepada Majelis Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia dengan tuduhan melakukan tindakan tidak terpuji yang kemudian lebih sering disebut kasus “pencatutan nama presiden dan wakil presiden”.
Mundurnya Pemohon sebagai Ketua DPR RI ternyata tidak secara otomatis menghentikan polemik yang ditimbulkan oleh beredarnya rekaman pembicaraan tersebut karena Kejaksaan agung dengan mendasarkan pada rekaman dimaksud, kemudian melakukan penyelidikan dengan dugaan terjadinya tindak pidana korupsi permufakatan jahat atau percobaan melakukan tindak pidana korupsi dalam perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia.
Meski MK RI dalam putusan sebelumnya register Nomor 76/PUU-XII/2014 menyatakan bahwa diperlukan izin dari Presiden untuk memeriksa seorang anggota DPR RI seperti diri Pemohon, namun pihak Kejaksaan menilai pemeriksaan terhadap Pemohon tidak perlu izin presiden karena: (1) pertemuan antara Pemohon dengan pengusaha Riza Chalid dan Presiden Direktur PT. Freeport Indonesia tidak termasuk ke dalam jadwal kerja sebagai Ketua DPR; dan (2) kasusnya tindak pidana khusus dan Pemohon dipanggil dalam rangka penyelidikan bukan penyidikan.
Atas permohonan tersebut, Majelis Hakim Konstitusi membuat pertimbangan hukum, antara lain:
“Menimbang bahwa selain itu, Mahkamah perlu juga mempertimbangkan mengenai bukti penyadapan berupa rekaman pembicaraan sesuai dengan hukum pembuktian. Dalam hukum pembuktian, rekaman pembicaraan adalah real evidence atau physical evidence. Pada dasarnya barang bukti adalah benda yang digunakan untuk melakukan suatu tindak pidana atau benda benda yang diperoleh dari suatu tindak pidana atau benda yang menunjukkan telah terjadinya suatu tindak pidana. Dengan demikian, rekaman pembicaraan dapat dijadikan bukti sebagai barang yang menunjukkan telah terjadinya suatu tindak pidana
“Dengan demikian, rekaman pembicaraan dapat dijadikan bukti sebagai barang yang menunjukkan telah terjadi suatu tindak pidana. Persoalannya adalah apakah rekaman pembicaraan merupakan bukti yang sah dalam hukum acara pidana?
“Untuk menilai rekaman tersebut merupakan bukti yang sah adalah dengan menggunakan salah satu parameter hukum pembuktian pidana yang dikenal dengan bewijsvoering, yaitu penguraian cara bagaimana menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di pengadilan. Ketika aparat penegak hukum menggunakan alat bukti yang diperoleh dengan cara yang tidak sah atau unlawful legal evidence maka bukti dimaksud dikesampingkan oleh hakim atau dianggap tidak mempunyai nilai pembuktian oleh pengadilan.
AMAR PUTUSAN
“Mengadili,
Menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
1.1. Frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
1.2. Frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
1.3. Frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” dalam Pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 20081 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
1.4. Frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” dalam Pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
2. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Terhadap putusan MK RI tersebut diatas, terdapat 2 (dua) orang Hakim Konstitusi, yakni I Dewa Gede Palguna dan Suhartoyo yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinions), sehingga putusan MK RI dijatuhkan bukan dengan suara bulat.
Putusan MK RI diatas hendak menyatakan bahwa bentuk-bentuk penyadapan barulah sahih bila terdapat permintaan dari aparatur penegak hukum. Bagaimana jika pelaku perekaman merekam dengan dasar asumsi bahwa kepolisian pastilah mengizinkan aktivitas perekaman tersebut, sebagaimana terbukti penyidik kepolisian menggunakan hasil rekaman tersebut sebagai alat bukti guna penyelidikan dan penyidikan?
Adalah ironis surat perintah penyadapan diterbitkan lebih dahulu oleh pihak berwajib sebelum tindak pidana kejahatan terjadi, sehingga hanya dapat ditafsirkan “seyogianya pelaku perekaman patut menduga bahwa pihak berwajib akan memberi perintah/mengizinkan aktivitas perekaman”.
Putusan MK RI Register Nomor 21/PUU-XIV/2016 tanggal 7 September 2016, dimohonkan oleh Setya Novanto, perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya telah dirugikan dengan berlakunya Pasal 15 UU Tipikor, yang berbunyi:
“Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.”
Argumentasi Pemohon, beberapa tindak pidana korupsi (Tipikor) merupakan delik kualitatif yang mensyaratkan kualitas tertentu, namun Kejaksaan Agung tetap melakukan pemeriksaan terhadap Pemohon meski Pemohon tidak mempunyai kualitas yang dipersyaratkan oleh Undang-Undang. Hal ini perlu dipertegas karena sebagian Tipikor adalah delik kualitatif yang mensyaratkan kualitas tertentu untuk menjadi subjek dari Tipikor tersebut.
Merujuk Peraturan Pemerintah No. 77 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, hanyalah pihak Pemerintah untuk memperpanjang kontrak PT. Freeport Indonesia. Dengan demikian Setya Novanto memiliki alibi sempurna dengan menyatakan bahwa dirinya tidak memiliki kualitas sebagai pihak yang dapat membuat penetapan/keputusan perpanjangan kontrak PT. Freeport atau melaksanakan divestasi saham korporasi tersebut.
Meski Pemohon dipanggil serta dipersiksa sebagai saksi dalam penyelidikan “dugaan tindak pidana korupsi pemufakatan jahat atau percobaan melakukan tindak pidana korupsi dalam perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia”, namun hal tersebut menimbulkan kewajiban hukum bagi Pemohon untuk menghadiri setiap panggilan Kejaksaan Agung, secara aktual dinilai Pemohon telah membatasi kebebasan dirinya.
Pemohon mendalilkan tiadanya keseragaman mengenai makna “pemufakatan jahat” dalam Pasal 15 UU Tipikor, sehingga dinilai tidak jelas dan tidak memenuhi syarat lex certa.
Pengertian pemufakatan jahat sebagai “dua orang atau lebih bersepakat untuk melakukan kejahatan” oleh Pemohon dinilai hanya memadai diterapkan terhadap tindak pidana umum yang tidak mensyaratkan kualitas tertentu pada subjek deliknya. Sebaliknya, pemberlakuan pengertian pemufakatan jahat terhadap delik kualitatif, berpotensi melanggar hak asasi.
Pemohon mengutip teori Schaffmeister dkk mengenai “mangel am tatbestand”, yakni mengenai perbuatan yang karena sarana dan tujuan yang dipilih tidak dapat menyelesaikan kejahatan, tetapi tentang perbuatan yang tidak mungkin mewujudkan delik karena tidak adanya unsur esensial dalam rumusan ini. Pemohon mendalilkan pula, peristiwa percakapan yang dilakukannya dalam rekaman ialah “delik putatif”, yakni suatu perbuatan yang dikira delik tetapi bukan delik karena aturan pidana tidak melarangnya.
Singkat kata, Pemohon berkeberatan bila unsur “dua orang atau lebih yang bersepakat” digeneralisir terhadap “dua orang atau lebih” yang belum tentu keduanya atau salah satunya memiliki kualitas untuk melakukan tindak pidana korupsi.
Menjadi rancu, ketika Pemohon menyatakan: “Bahwa yang dimaksud dengan delik kualitatif adalah delik-delik yang mensyaratkan kualitas tertentu, baik itu jabatan, kewenangan, profesi, pekerjaan maupun keadaan tertentu.”—Perhatikan frasa yang penulis garis-bawahi, keadaan tertentu tidak mensyaratkan jabatan tertentu, namun bisa juga suatu kondisi yang mengarah pada suatu intensi-intensi tertentu.
Disamping itu SHIETRA & PARTNERS berpendapat, delik kualitatif merupakan delik pemberat ancaman sanksi pidana, bukan dijadikan sebagai konsep untuk mereduksi tanggung jawab pidana.
Setiap orang dapat saja membuat kesan bahwa dirinya memiliki kekuasaan untuk menyetir arah kebijakan pemerintahan, baik orang itu memang menjabat sebagai pejabat, berpura-pura sebagai pejabat eksekutif, ataupun sebagai makelar, delik kualitatif dalam pandangan SHIETRA & PARTNERS bersifat sebagai delik pemberatan, bukan delik pembatas keberlakuan delik umum.
Secara singkat, pokok keberatan Pemohon ialah keberlakuan frasa “pemufakatan jahat” dalam rumusan Pasal 15 UU Tipikor yang tidak jelas maknanya oleh sebab Pasal 88 KUHP yang menjadi rujukan makna terminologi “pemufakatan jahat” tidak membedakan antara delik umum yang tidak mensyaratkan kualitas tertentu pada subjek delik, dengan delik kualitatif yang mensyaratkan kualitas tertentu sehingga dirasa oleh Pemohon menimbulkan ketidakpastian hukum. Adapun bunyi ketentuan Pasal 88 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):
“Dikatakan pemufakatan jahat, apabila dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan.”
Pemohon juga berkeberatan frasa “tindak pidana korupsi” dalam Pasal 15 UU Tipikor tidak memenuhi syarat lex certa karena tidak menyebutkan jenis-jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud karena sebagian delik korupsi tersebut bersifat umum dan sebagian lagi bersifat kualitatif.
Terhadap permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi membuat pertimbangan hukum serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa pertama kali pemufakatan jahat diatur dalam pasaln 88 KUHP. Istilah asli pemufakatan jahat dalam KUHP dalam bahasa Belanda ialah “samenspanning”. Dalam bahasa Inggirs disebut conspiracy, dalam bahasa Indonesia disebut persekongkolan. Pemufakatan jahat dapat dilihat dari sisi subjektif dan objektif. Dari sisi subjektif pemufakatan jahat adalah niat di antara para pelaku untuk bersama-sama (meetings of mind) mewujudkan suatu kejahatan sedangkan dari sisi objektif pemufakatan jahat adalah adanya perbuatan pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam delik percobaan.
AMAR PUTUSAN
“Mengadili:
“Menyatakan”
1. Mengabulkan permohonan Pemohon seluruhnya;
1.1. Frasa “pemufakatan jahat” dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Pemufakatan jahat adalah bila dua orang atau lebih yang mempunyai kualitas yang sama saling bersepakat melakukan tindak pidana”;
1.2. Frasa “pemufakatan jahat” dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Pemufakatan jahat adalah bila dua orang atau lebih yang mempunyai kualitas yang sama saling bersepakat melakukan tindak pidana
1.3. Frasa “tindak pidana korupsi” dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sepanjang tidak dimaknai, “tindak pidana korupsi yang dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, sampai dengan Pasal 14”;
1.4. Frasa “tindak pidana korupsi” dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sepanjang tidak dimaknai, “tindak pidana korupsi yang dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, sampai dengan Pasal 14”;
2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.”
Meski demikian putusan MK RI bukanlah diambil dengan suara bulat, karena terdapat 3 (tiga) Hakim Konstitusi yang menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinions), yakni I Dewa Gede Palguna, Suhartoyo, dan Manahan M.P. Sitompul.
Menjadi menarik mengutip pendapat Hakim Konstitusi Suhartoyo dalam dissenting opinion-nya yang kental akan nuansa pemahaman yang mendalam tentang falsafah hukum pidana khusus Tipikor, dengan kutipan yang sangat penting untuk disimak sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU Tipikor) adalah Undang-Undang yang bersifat lex spesialis dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sehingga memiliki kekhususan, termasuk diantaranya adanya kekhususan dari sisi materiil tentang tindak pidana percobaan, pembantuan, dan pemufakatan jahat. Bahwa ketentuan pemidanaan terhadap tiga jenis tindak pidana yang diatur dalam Pasal 53 ayat (1), Pasal 56, dan Pasal 88 KUHP adalah mengatur tentang perluasan pertanggungjawaban pidana terhadap suatu perbuatan pidana, pasal-pasal tersebut tidak berdiri sendiri, sehingga harus dilengkapi delik pokok.
“Menimbang, bahwa dalam perspektif UU Tipikor, pemaknaan yang terkandung dalam ketentuan Pasal 15 adalah sama yang dimaksudkan adalah percobaan dan pembantuan yang terkandung dalam Pasal 53 dan Pasal 56 KUHP, sedangkan untuk pemufakatan jahat tidak serta merta dapat mengadopsi dari Pasal 88 KUHP, mengingat ada pembatasan pada Pasal 103 KUHP yang mensyaratkan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Bab 1 sampai dengan Bab VIII buku ini berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain.
“Sedangkan pemufakatan jahat diatur dalam Bab IX. Namun oleh karena modus tindak pidana korupsi yang semakin beragam, termasuk modus dengan cara pemufakatan jahat dalam tindak pidana korupsi sangat dimungkinkan terjadi, maka sangatlah beralasan dan konstitusional ketika pemufakatan jahat tersebut dimasukkan sebagai bentuk perluasan pertanggungjawaban pidana dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 UU Tipikor, sebagaimana percobaan dan pembantuan dalam Pasal 53 dan Pasal 56 KUHP hanya khusus untuk pemufakatan jahat dalam UU Tipikor sifatnya lebih spesifik dan sangat kontekstual yang dalam hal ini dalam perspektif tindak pidana korupsi. Hal tersebut dikarenakan pemufakatan jahat yang diatur dalam Pasal 88 KUHP ditujukan dalam konteks tindak pidana dalam Pasal 110 KUHP dan seterusnya yang secara limitatif telah disebutkan dalam Pasal 88 KUHP.
“Menimbang, bahwa dalam perluasan pertanggungjawaban pidana baik percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat dipersamakan pertanggungjawaban pidana dengan yang dikenakan terhadap pelaku tindak pidana, hal tersebut, tidak terlepas adanya tuntutan, bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa, hal ini sebagai konsekuensi yuridis dikarenakan telah sedemikian sistematis dan meluasnya perbuatan-perbuatan korupsi yang dapat menimbulkan dampak terhadap kerugian negara dan dapat menyengsarakan rakyat. Dan dari sanalah awal perbuatan korupsi dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Sehingga sekali lagi, sangatlah berargumentatif dan konstitusional ketika niat jahat melakukan korupsi diberikan ancaman pidana yang sama dengan pelaku tindak pidana sebagaimana yang diatur pada Pasal 15 UU Tipikor.
“Menimbang, bahwa Pasal 15 UU Tipikor adalah merupakan delik yang tidak berdiri sendiri akan tetapi harus dikaitkan dengan ketentuan yang ada pada Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 hal ini dimaksudkan bahwa perbuatan seseorang baru dapat dijerat dengan tindak pidana percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat, apabila ada perbuatan dari seorang tersangka yang memang memenuhi ketentuan Pasal 2, Pasal 3, maupun Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 UU Tipikor. Sehingga seharusnya permohonan Pemohon yang mengkaitkan syarat adanya kualitas seorang pelaku/tersangka yang harus dipenuhi di dalam Pasal 15 UU Tipikor adalah sebuah permohonan yang bernuansa adanya rasa kekhawatiran atau ketakutan yang berlebihan.
“Menimbang, bahwa syarat utama seseorang/tersangka untuk dapat dijerat dengan Pasal 15 UU Tipikor harus terpenuhi adanya dugaan pelanggaran ketentuan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 UU Tipikor, sehingga ketika seseorang/tersangka yang memang tidak merasa melakukan perbuatan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 UU Tipikor tidak perlu ada keraguan atau ketakutan. Sedangkan kualitas seseorang/tersangka seharusnya itu melekat kepada delik-delik utama yang ada pada pasal-pasal pokok yaitu Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 UU Tipikor, bukan pada delik yang bersifat pelengkap atau perluasan pertanggungjawaban yang bersifat tidak mandiri, sebagaimana yang ada pada Pasal 15 UU Tipikor.
“Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut diatas, delik yang diatur dalam Pasal 15 UU Tipikor adalah sebuah bentuk perluasan dapat dipidananya perbuatan seseorang dalam tindak pidana korupsi. Dan hal tersebut adalah tidak bisa dilepaskan dari semangat daripada usaha pemberantasan tindak pidana korupsi yang harus dilakukan secara luar biasa (extra ordinary).
“Menimbang, bahwa dalam konteks apa yang dialami oleh Pemohon adalah adanya usaha dari pihak penyelidik yang mencoba mengedepankan ketentuan Pasal 15 UU Tipikor daripada melakukan penyelidikan terlebih dahulu apakah ada delik-delik pokok yang ada pada Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 UU Tipikor, menurut saya hal tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dilakukan oleh Penyelidik dengan memanggil Pemohon mendasarkan pada ketentuan pada Pasal 15 UU Tipikor adalah merupakan persoalan implementasi norma, bukan inkonstitusionalnya Pasal 15 UU Tipikor. Dan oleh karenanya permohonan ini seharusnya DINYATAKAN DITOLAK.”
Menarik pula menyimak dissenting opinion Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dalam kutipan sebagai berikut:
“Bila dilihat rumusan dari Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dapat dikatakan bahwa pasal a quo bukanlah merupakan suatu delik yang mengandung unsur-unsur tertentu, melainkan hanyalah suatu rumusan yang berisi petunjuk atau perintah kepada Jaksa Penuntut Umum dan Hakim agar bila mengajukan tuntutan atau menjatuhkan pidana Percobaan (Pasal 53 KUHP), Pembantuan (Pasal 56 KUHP), dan Pemufakatan jahat (Pasal 88 KUHP) untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 UU Tipikor. Jadi merupakan pedoman menjatuhkan straafmaat dalam UU Tipikor secara khusus.
Sebenarnya ketentuan yang terdapat didalam Pasal 15 Undang-Undang a quo terdiri dari 3 (tiga) ketentuan yaitu percobaan dalam tipikor, pembantuan dalam tipikor, dan pemufakatan jahat dalam tipikor.
“Penjelasan lebih lanjut mengenai apakah yang dimaksud perbuatan-perbuatan atau istilah percobaan, pembantuan, pemufakatan jahat dalam UU Tipikor ataupun UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan Undang-Undang lainnya yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi tidak menjelaskan unsur-unsur dan makna dari ketiga perbuatan tersebut.
“Di dalam KUHP memang telah jelas dirumuskan apa yang dimaksud dengan Percobaan (Pasal 53 KUHP), Pembantuan (Pasal 56 KUHP), dan Pemufakatan Jahat (Pasal 88 KUHP). Ketentuan pidana tentang percobaan dan pembantuan dalam KUHP dapat digunakan terhadap ketentuan pidana lainnya di luar KUHP. Termasuk yang terdapat dalam UU Tipikor berdasarkan Pasal 103 KUHP yang menyatakan: “Ketentuan-ketentuan dalam Bab 1 sampai Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan yang lain diancam dengan pidana, kecuali jika oleh Undang-Undang ditentukan lain.”
“Dengan demikian secara sistematis ketentuan percobaan di Pasal 53 KUHP (Bab IV) dan ketentuan pembantuan di Pasal 56 KUHP (Ban V) tunduk pada ketentuan Pasal 103 KUHP. Oleh karena itu istilah percobaan dan pembantuan dalam Pasal 15 Undang-undang a quo adalah identik dengan Pasal 53 dan Pasal 56 KUHP, karena UU Tipikor sendiri tidak menentukan definisi dan unsur-unsur dari “percobaan” dan “pembantuan” tersebut.
“Tetapi khusus istilah “pemufakatan jahat” dalam Pasal 88 KUHP (Bab IX), ketentuan ini tidak dapat dipakai dalam perundang-undangan pidana lainnya di luar KUHP, karena Pasal 88 KUHP tidak tunduk pada ketentuan Pasal 103 KUHP sehingga “pemufakatan jahat” dalam Pasal 15 Undang-Undang a quo tidak dapat mengacu pada Pasal 88 KUHP. Oeh karena itu, seharusnya UU Tipikor memberi definisi atau menyebut secara jelas unsur-unsur pemufakatan jahat yang dimaksud dalam UU Tipikor.
“Dalam hal UU Tipikor tidak memberi rumusan unsur, cara melakukan atau penjelasan lebih lanjut mengenai “pemufakatan jahat” dan tidak dapat merujuk pada ketentuan Pasal 88 KUHP, maka norma “pemufakatan jahat” dalam Pasal 15 Undang-Undang a quo merupakan norma yang amar pengertiannya dan kedudukannya tidak jelas, sehingga tidak menjamin kepastian hukum.
“Penafsiran atau pemaknaan terhadap suatu istilah yang pengertian dan unsur-unsurnya belum dinormakan secara tegas dan jelas dalam suatu Undang-Undang adalah mengabaikan persyaratan lex scripta, lex stricta, dan lex certa dari suatu norma Undang-Undang dan dapat merugikan hak konstitusional warga negara.
“Oleh karena itu, berdasarkan petitum Pemohon yang menyatakan mohon putusan seadil-adilnya (ex aequo et bono) maka frasa “pemufakatan jahat” dalam Pasal 15 UU Tipikor harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan UUD 1945.”
Bukankah pendapat Hakim Konstitusi Suhartoyo sebagaimana kutipan diatas yang paling rasional untuk menjadi amar putusan? Meskipun SHIETRA & PARTNERS kurang sependapat dengan pernyataan Manahan M.P. Sitompul yang menyatakan frasa “pemufakatan jahat” karena tidak mendapat sandingan definisi dalam undang-undang lantas dinyatakan batal demi hukum. Biarkanlah definisi frasa “pemufakatan jahat” diserahkan pada living law yang hidup di tengah masyarakat, karena modus kejahatan luar biasa seperti korupsi senantiasa berkembang sehingga tidak arif bila dirumuskan secara rigid/kaku.
Sumber formil hukum bukan hanya undang-undang, namun juga terdapat doktrin di dalamnya teks-teks ilmu hukum, ataupun dapat dibentuk sendiri definisinya lewat berbagai putusan pengadilan sebagai suatu yurisprudensi untuk kemudian diikuti oleh putusan-putusan hakim selanjutnya sebagai suatu preseden.
Yang paling ironis, apa yang dipaparkan Hakim Konstitusi Suhartoyo dalam dissenting opinion-nya merupakan konsep dasar dalam ilmu hukum pidana. Berbagai ahli, profesor hukum pidana, pakar hukum pidana telah dihadirkan ke hadapan persidangan perkara diatas, semua dengan paparan teknikalisasi yang tinggi—namun membuktikan bahwa teknikalisasi yang tinggi membuat kabur/bias pokok persoalan.
Dari kedua putusan diatas, kita dapat melihat tingginya teknikalitas berhukum Pemohon dan MK RI. Namun saking “canggih”-nya teknikalitas yang ada, membuat MK RI lupa atau lalai mempertimbangkan, bahwa terhadap korban dapat terjadi “keliru persepsi”, dalam arti dengan tidak secara eksplisit, namun secara implisit baik lewat permainan bahasa maupun gestur/bahasa tubuh, isyarat, intonasi, mimik, membentuk kesesatan persepsi pada lawan bicara untuk berasumsi seolah sang pembicara yang memang memiliki pengaruh politik dapat memengaruhi kebijakan Lembaga Eksekutif dalam menerbitkan penetapan terkait korporasi yang dijalankan sang pendengar.
Bagaikan calo/makelar kasus, tentulah tidak memiliki kewenangan untuk menerbitkan surat keputusan tata usaha negara. Namun dirinya dapat dijerat UU Tipikor bilamana memang telah bermufakat dengan pengemban kewenangan untuk melobi subjek yang menjadi target mereka. Ini merupakan modus kejahatan klasik yang juga merupakan konsep mendasar dalam teks ilmu pidana.
Tiada satupun pencuri/perampok yang aksinya direkam kamera video pengintai, terlebih dijadikan alat bukti guna menuntut dirinya di persidangan dengan argumentasi bahwa CCTV merekam dalam ruang privat seperti kondisi dalam rumah.
Pertanyaannya bukanlah apakah alat bukti tersebut “sah” atau “tidak sah”, namun mengapa perbuatan tidak patut tersebut dipertontonkan kepada pihak lain? Ketika suatu tindakan buruk atau tidak patut dipertontonkan kepada pihak lain, maka adalah itu fakta hukumnya sehingga bila tidak mau namanya tercemar ataupun dijerat hukum, mengapa nekat berbuat tidak etis bahkan melanggar hukum?
Terdapat niat dari seseorang untuk menyampaikan suatu pokok pembicaraan, maka adalah wajar bila pembicaraannya dicatat dan direkam, setidaknya direkam dalam memori si pendengar/lawan bicara.
Bila sejak awal sang pembicara menyatakan pada lawan bicaranya agar tidak direkam pembicaraan tersebut, apakah sang lawan bicara akan sudi menghabiskan banyak waktu dengan pembicara yang tidak mau bertanggung jawab atas pernyataan yang dilontarkannya?
Tujuan perekaman, ialah sebagai alat bukti agar setiap pernyataan dapat dipegang oleh lawan bicara, terlebih bila berisi itikad buruk, janji-janji, bahkan ancaman, ataupun pemerasan.
Alhasil, setiap pemeras, perampok, penjahat, kriminil, dan seluruh pelaku kejahatan lain, dapatlah berkilah: bukti rekaman video CCTV ataupun rekaman suara, surat elektronik, semua itu diperoleh warga negara lain yang menjadi korban mereka tanpa seizin diri sang pelaku. Bebaslah penjahat di negeri yang menyebut diri ber-konstitusi ini—sekaligus menyadarkan kita, bahwa konstitusi pun dapat disalahgunakan guna legitimasi kejahatan.
Perjanjian tidak hanya dapat dilakukan secara tertulis (dengan tujuan sebagai alat bukti surat), namun juga dapat dilakukan secara lisan. Apa yang terkandung dibalik asas gentlement agreement, ialah bahwa apa yang telah dilakukan, apa yang telah diucapkan, selama menyangkut pihak lain yang menjadi lawan bicara, maka si pelaku/pembicara tak dapat dibenarkan oleh etika maupun moril untuk berkelit ataupun berkilah dari apa yang telah dinyatakannya kepada lawan bicara.
Bila tak ingin ditagih dari pernyataan yang telah dilontarkan, terlebih janji-janji yang tidak kunjung direalisasi, maka tidak usalah berbicara terhadap lawan bicara, terlebih berbicara panjang-lebar. Bila tidak ingin di-“pegang” dan di-“ikat” pernyataan-pernyataan yang dilontarkan, maka tidak perlu-lah melontarkan kata-kata apapun.
Sebaiknya Konstitusi NKRI diubah, atau setidaknya dibuat Undang-Undang tentang Pernyataan dan Perilaku, bahwa bila perbuatan atau ucapan seseorang terhadap lawan bicara tak ingin diungkap atau direkam, jangalah bebuat ataupun berbicara terhadap lawan bicara.
Adalah fakta tak terbantahkan, bahkan oleh konstitusi sekalipun, bahwa adalah hak setiap warga negara untuk memperoleh bukti atas setiap perilaku warga negara lain yang berhubungan dengan dirinya sebagai bentuk pengejewantahan asas perlindungan diri.
Contoh, seorang pengusaha menjanjikan (secara lisan) imbalan upah terhadap seorang calon pekerja pada ruang interview atau pada ruang kantornya (sudah pasti privat), lantas apakah dibenarkan bila kemudian sang pengusaha berkelit untuk ditagih janjinya mengenai besaran upah yang sebelumnya digunakan untuk meyakinkan calon pegawai untuk bekerja pada dirinya namun kemudian ternyata kata-kata tersebut tidak dapat ditagih karena memang sang pengusaha tidak ingin agar kata-katanya dapat dijadikan alat bukti guna melawan dirinya, sehingga tidak mengherankan bila janji-janji tersebut tidak dituangkan dalam bentuk tertulis—sebagaimana kerap terjadi dalam praktik.
SHIETRA & PARTNERS berpendirian, penyadapan (interception) yang dialami Setya Novanto adalah tidak bertentangan dengan konstitusi, karena yang merekam ialah lawan bicara yang menjadi pendengar langsung perbincangan Setya Novanto secara tatap muka, bukan pihak anonim tamu tidak diundang yang tidak kasat mata atau yang secara tidak berhak mendengar perbincangan dalam ruang tersebut terlebih melakukan perekaman.
Bila perekaman dalam kasus diatas tidak sah, mengapa si perekam merupakan lawan bicara tatap muka? Bila lawan bicara berhak untuk mendengar, atau yang hadir bukanlah tamu tidak kasat mata, berarti perekaman bukanlah hal yang melanggar etika berdasar gentlement principle. Hanya saja, dalam ruang privat data perekaman yang diperoleh lawan bicara hanya boleh di-publish menjadi “konsumsi” publik bila terdapat kepentingan umum atau kepentingan untuk mempertahankan harkat martabahnya untuk itu.
Semestinya Setya Novanto membiarkan proses hukum berlanjut atas dirinya untuk membuktikan dirinya tidak melanggar kepentingan publik atas pertemuannya dengan Direktur PT. Freeport. Ketika Pengadilan menyatakan dirinya tidak bersalah, barulah Setya Novanto dapat menindak secara hukum Direktur PT. Freeport yang telah menyebarluaskan isi rekaman tanpa alasan yang dapat dibenarkan. Cara tersebut lebih elegan ketimbang menjadi jagoan di Mahkamah Konstitusi dengan mengangkangi undang-undang.
Sehingga yang seyogianya dipermasalahkan oleh Setya Novanto maupun MK RI, bukanlah perihal penyadapan boleh atau tidaknya, tapi apakah isi rekaman tersebut sudah patut atau tidaknya untuk dijadikan konsumsi publik.
MK RI telah meruntuhkan proses penegakan hukum, dengan menjadikan konstitusi sebagai dalil sempurna, sebuah diktatoriat konstitusi oleh MK RI. Sama kelirunya dengan seorang calon Kapolri yang gagal menjadi Kapolri namun mengklaim dirinya bersih hanya karena memanangkan praperadilan terhadap kasus pidana yang disangkakan terhadap dirinya.
Bila memang hendak membuktikan pada publik dirinya bersih, bukan dengan cara mem-praperadilan ataupun menguji materil—terlebih bila dirinya memegang kekuasaan politik serta kewenangan tinggi—namun lanjutkan hingga proses ajudikasi di persidangan yang digelar untuk mengupas pokok dakwaan, pembuktian, hingga putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.
Selama tidak terdapat putusan pengadilan yang menyatakan bahwa dakwaan/tuntutan Jaksa Penuntut Umum ditolak karena secara meyakinkan terbukti tidak bersalah sebagaimana didakwakan, maka tiada pelaku yang berhak menyatakan dirinya bersih (clean and clear)—yang ada ialah memotong/menjegal proses penegakan hukum.
Lagi pula, jika memang Setya Novanto tidak melakukan seperti apa yang ditudingkan kepadanya, untuk apa uji materil ini diajukan? Dimana urgensinya?
Jika memang Setya Novanto tidak melakukan seperti apa yang ditudingkan para penegak hukum, mengapa MK RI mengabulkan permohonan uji materil sementara Setya Novanto tidak memiliki legal standing karena memang tidak mungkin terjerat UU Tipikor sebagaimana klaimnya sendiri.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.