Kreditor Separatis Vs. Intervensi Kurator yang Mengatasnamakan Buruh Debitor Pailit

LEGAL OPINION
Question: Apakah buruh yang didudukkan dalam kategori hukum sebagai kreditor preferen, benar-benar sama sekali tidak berhak atas gaji terutangnya bila kreditor separatis menggunakan haknya untuk memparate eksekusi agunan debitor yang jatuh pailit?
Brief Answer: Benar bahwa Kreditor Separatis memiliki hak pelunasan utuh / penuh atas objek agunan yang di-parate eksekusi meski debitor / pemberi agunan jatuh dalam keadaan pailit. Namun demi rasa kemanusiaan serta sikap pragmatis belaka, Majelis Hakim dapat mengalokasikan sekian persen dari hasil parate eksekusi oleh Kreditor Separatis untuk di-distribusikan kepada piutang gaji para buruh dari debitor pailit.
Namun hendaknya kita mampu membedakan, terutama kalangan hakim, bahwa agunan bisa bersumber dari milik debitor pailit, bisa berupa dari pemberi jaminan kebendaan yang berbeda dari pihak debitor—mengingat penjamin bisa dari pihak ketiga.
Konsep Kreditor Separatis, hanya relevan ketika debitor maupun pemberi agunan jatuh dalam keadaan pailit. Ketika pemberi agunan tidak jatuh dalam keadaan pailit, meski debitor jatuh pailit, maka atas agunan tersebut status kreditor pemegang jaminan kebendaan bukanlah kreditor separatis, namun kreditor pemegang jaminan kebendaan murni yang tak masuk dalam kategori boedel pailit sehingga tak pada tempatnya diintervensi kurator maupun piutang pajak ataupun piutang buruh.
PEMBAHASAN:
Salah kaprah mengenai konstruksi hukum mengenai boedel pailit, secara tepat diilustrasikan dalam putusan Mahkamah Agung tingkat kasasi perkara kepailitan register Nomor 813 K/Pdt.Sus/2012 tanggal 21 Februari 2013, antara:
- PT. BANK RAKYAT INDONESIA (Persero)Tbk., sebagai Pemohon Kasasi, semula Termohon; terhadap
- KURATOR PT. TRIPANCA GROUP (dalam pailit), sebagai Termohon Kasasi semula Pemohon.
Perkara bermula ketika Pemohon mengajukan renvoi prosedur ke hadapan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. PT. Tripanca Group (dalam pailit) telah dinyatakan pailit dengan segala akibat hukumnya berdasarkan putusan No.33/Pailit/2009/PN.NIAGA.JKT.PST tanggal 3 Agustus 2009 dan mengangkat Pemohon selaku Kurator.
Termohon selaku Kreditur Separatis melalui suratnya menyatakan bahwa BRI telah berhasil melakukan lelang eksekusi terhadap agunan yang jaminan pinjaman kredit PT. Tripanca Group sehingga atas kewajiban PT. Tripanca Group sudah dilakukan pelunasan. Namun BRI sama sekali tidak memberikan rincian penerimaan jumlah pelunasan, dokumen penjualan/risalah lelang/bukti lunas/tanda terima uang dan dokumen-dokumen eksekusi terkait lainnya.
Pemohon selaku kurator meminta kepada BRI agar memberikan sebagian uang hasil eksekusi jaminan pinjaman PT. Tripanca Group yang telah dilakukannya kepada boedel kepailitan.
Pemohon meminta BRI untuk menyerahkan sebagian uang hasil parate eksekusi yang dilakukan oleh BRI atas jaminan pinjaman PT. Tripanca Group. BRI menolak untuk memberikan sebagian uang hasil eksekusi mereka kepada boedel kepailitan.
Pada tanggal 31 Juli 2012, Pemohon menerima tembusan surat dari Kuasa Hukum Ex karyawan PT. Tripanca Group (Dalam Pailit) yang ditujukan kepada Bank BRI, yang menuntut agar BRI selaku Kreditur Separatis memberikan bagian dari hasil eksekusi jaminan pinjaman PT. Tripanca Group sebesar tagihan ex karyawan yang telah diakui oleh Kurator.
Pemohon meminta kepada Pengadilan Niaga untuk memberikan putusan sebagai berikut:
1. Memerintahkan Bank BRI, untuk menyerahkan kepada Kurator berupa laporan pertanggungjawaban, bukti transaksi, tanda terima uang dan surat lunas serta semua dokumen terkait lainnya atas eksekusi jaminan pinjaman PT. Tripanca Group;
2. Memerintahkan kepada Bank BRI, untuk memberikan sebagian uang hasil eksekusi jaminan pinjaman PT. Tripanca Group (Dalam Pailit) kepada kepailitan yaitu sebesar 10% (sepuluh persen) dari nilai tagihan yang diakui sebesar Rp 90.561.596.409,00; atau setidak-tidaknya sebesar 10% (sepuluh persen) dari angka pelunasan yang diterima oleh PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk.
Terhadap permohonan renvoi prosedur tersebut, Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah mengambil putusan, yaitu putusan Nomor: 03/Renvoi Prosedur/2012/PN.NIAGA.JKT.PST. jo. No. 33/PAILIT/2009/ PN.NIAGA JKT.PST., tanggal 27 September 2012, dengan amar putusan sebagai berikut:
 “MENGADILI :
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
2. Memerintahkan PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, untuk menyerahkan kepada Kurator berupa laporan pertanggungjawaban, bukti transaksi, tanda terima uang dan surat lunas serta semua dokumen terkait lainnya atas eksekusi jaminan pinjaman PT. Tripanca Group (Dalam Pailit);
3. Menetapkan kepada Termohon untuk mengalokasikan sejumlah 5% (lima persen) dari nilai tagihan yang diakui sebesar Rp 90.561.596.409,00 (sembilan puluh milyar lima ratus enam puluh satu juta lima ratus sembilan puluh enam ribu empat ratus sembilan Rupiah) yaitu sebesar rupiah Rp 4.528.079.820,5 (empat milyar lima ratus dua puluh delapan juta tujuh puluh sembilan ribu delapan ratus dua puluh koma lima Rupiah) kepada Pemohon;
4. Memerintahkan kepada Pemohon untuk membagikan uang atau setidak-tidaknya 5% (lima persen) dari hasil penjualan lelang pihak Termohon untuk dibagikan kepada pekerja/kreditor preferen PT. Tripanca Group (Dalam Pailit);
5. Membebankan biaya perkara yang timbul dalam perkara ini kepada boedel pailit.”
Termohon mengajukan upaya hukum kasasi, dengan dalil-dalil sebagai berikut. Hak Tanggungan yang menjadi jaminan pelunasan pinjaman PT. Tripanca Group merupakan harta milik pribadi para penjamin, bukan harta badan hukum PT. Tripanca Group.
Sehingga dapat dimaklumi ketika Termohon berkeberatan saat Pengadilan Niaga membuat pertimbangan hukum dengan bunyi yang menyimpang sebagai berikut:
“Menimbang, berdasar prinsip-prinsip hukum jaminan, dimana seluruh harta debitor, baik yang ditetapkan dalam boedel pailit, maupun di luar harta boedel pailit, merupakan jaminan bagi pelunasan utangnya, maka terbukti harta debitor pailit termasuk harta di luar boedel pailit merupakan jaminan bagi pelunasan utangnya kepada para kreditor (in casu para buruh) dan kreditor lainnya;”
Secara komprehensif, Termohon dalam memori kasasinya menguraikan, sesuai Pasal 1 butir 1 UU No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan ditentukan bahwa kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit. Senada dengan itu, Pasal 21 UU Kepailitan mengatur juga "Kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan.”
Dalam hal pengurusan dan pemberesan harta pailit, Pasal 69 ayat 1 UU Kepailitan menegaskan kembali bahwa tugas Kurator adalah melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit. Serta Pasal 39 ayat 2 UU Kepailitan mengatur bahwa sejak tanggal putusan pailit diucapkan, upah buruh yang terutang merupakan utang harta pailit.
Pasal 191 UU Kepailitan diatur bahwa semua biaya kepailitan dibebankan kepada setiap benda yang merupakan bagian harta pailit. Hal ini pun terdapat pengecualian, yaitu harta pailit yang telah dijual sendiri oleh Kreditor separatis berdasar Pasal 55 UU Kepailitan.
Debitor pailit dalam konteks perkara a quo adalah PT Tripanca Group (subjek hukum pailit). Dengan demikian sebagai akibat hukum kepailitan, seluruh kekayaan PT. Tripanca Group terbebani oleh sita umum, yang pemberesannya dilakukan oleh sang kurator (Pemohon).
Berdasar fakta hukum tersebut, maka dengan itikad baik Termohon telah menyerahkan kepada kurator 2 (dua) asset atas nama debitur pailit PT. Tripanca Group yang dijadikan agunan kredit kepada Pemohon Kasasi, yaitu berupa:
a. Mesin-mesin dan peralatan pabrik yang telah diagunkan dengan jaminan Sertifikat Fiducia;
b. Piutang Dagang PT. Tripanca Group yang telah diagunkan dengan jaminan Sertifikat Fiducia.
Dengan penyerahan harta kekayaan atas nama PT Tripanca Group tersebut diatas, maka status Termohon dalam proses kepailitan adalah kreditor separatis khusus terhadap adanya asset debitor pailit yang diagunkan kepada Termohon dengan sertifikat fidusia tersebut di atas.
Sementara dalam hal perjanjian kredit kepada debitur, agunan yang diberikan sebagai jaminan kredit tersebut dapat berupa:
a. asset milik debitur; atau
b. asset milik pihak ketiga (bukan debitur) alias pemberi jaminan kebendaan murni (non debitor).
Untuk itu selain agunan berupa dua asset atas nama PT. Tripanca Group yang diikat dengan fidusia, pinjaman PT. Tripanca Group kepada Termohon juga dijamin dengan sejumlah tanah bangunan milik pribadi/perseorangan, yaitu hak atas tanah berupa SHM dan SHGB atas nama Sdr. Sugiarto Wiharjo, Ny. Meriana, Sdr. Subu Wijaya, Sdr. Honggo Wijoyo, Sdr. Samiadi, Sdr. Budi Priyatno, yang kesemuanya telah diagunkan dengan sertifikat Hak Tanggungan—dimana piutang gaji para buruh tercatat sebagai pekerja pada PT. Tripanca, bukan tercatat sebagai pekerja pada pemberi jaminan kebendaan (perseorangan) tersebut diatas.
Dengan pertimbangan jaminan berupa tanah dan bangunan yang diikat dengan hak Tanggungan tersebut merupakan milik perorangan. maka pelunasan sisa kewajiban hutang PT. Tripanca Group dilakukan melalui mekanisme penebusan atas jaminan kredit tersebut oleh para pemilik jaminan yang bukan merupakan subjek pailit dalam perkara ini.
Jaminan kredit yang dijadikan sumber pelunasan pinjaman PT. Tripanca Group adalah harta perorangan (Sdr. Sugiarto Wiharjo dkk), bukan bersumber dari harta kekayaan milik debitor pailit atas nama PT. Tripanca Group. Sehingga apa yang menjadi boedel pailit, perlu terlebih dahulu dijernihkan agar tidak menjadi rancu dan campur-aduk.
Dalam konteks pelunasan kredit melalui agunan milik perorangan tersebut, status Bank BRI adalah sebagai kreditor pemegang Hak Tanggungan dan bukan kreditor separatis. Hal ini mengingat status kreditor separatis hanya dapat dilekatkan terhadap pemegang jaminan atas asset milik debitor pailit PT. Tripanca Group.
Sehubungan dengan penyelesaian atas agunan-agunan kredit tersebut, Termohon juga telah memberikan pemberitahuan perihal telah lunasnya kewajiban hutang PT. Tripanca Group kepada kurator.
Atas penyelesaian pinjaman debitor pailit PT. Tripanca Group, pihak kurator pernah mengajukan gugatan yang diajukan melalui Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Reg. No. 06/Gugatan Lain lain/2011/PN.Niaga.Jkt.Pst. Dalam gugatan yang ditujukan kepada Termohon dan para pemilik jaminan, dimana Kurator menuntut agar:
a. Primair:
- Menyatakan hak BRI/Tergugat selaku Kreditur Separatis dari PT. Tripanca Group (dalam pailit) untuk mengeksekusi/menjual sendiri asset/benda jaminan hutang PT. Tripanca Group (dalam pailit) selaku debitur BRI telah berakhir pada tanggal 22 Desember 2009;
- Menyatakan Tergugat mempunyai kewajiban hukum untuk segera menyerahkan seluruh dokumen-dokumen asset jaminan PT. Tripanca Group (dalam pailit) kepada Penggugat selaku kurator;
b. Subsidair
- Menghukum Tergugat untuk menyerahkan kepada Penggugat seluruh uang hasil penjualan jaminan maupun uang yang diperoleh oleh Tergugat dari penebusan jaminan oleh pemilik;
- Menghukum Tergugat menyerahkan kepada Penggugat seluruh dokumen dokumen asset jaminan PT. Tripanca Group (dalam pailit) yang masih dikuasai oleh Tergugat kepada Penggugat selaku kurator;
Gugatan Kurator tersebut telah diputus Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 06/Gugatan Lain-lain/2011/ PN.Niaga.Jkt.Pst jo. No.33/Pailit/2009/Pn.Niaga.Jkt.Pst. tanggal 26 Juli 2011 dengan pertimbangan hukum dalam amar putusannya:
“Menimbang, bahwa meskipun ketentuan Pasal 59 ayat (2) memberikan kewenangan pada Kurator untuk menuntut diserahkan agunan untuk dijual di muka umum akan tetapi TIDAK BERARTI SELURUH AGUNAN DISERAHKAN KEPADA KURATOR, IN CASU YANG DIIKAT DENGAN HAK TANGGUNGAN YANG BERSIFAT PRIBADI.
“Menimbang, berdasarkan pertimbangan di atas, PERBUATAN TERGUGAT YANG TIDAK MENYERAHKAN AGUNAN YANG BERSIFAT PRIBADI TERSEBUT TIDAK MERUPAKAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM.”
Putusan dan pertimbangan Hakim Pengadilan Niaga tersebut juga telah dikuatkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 614 K/Pdt.Sus/2011 yang amar putusannya menyatakan bahwa :
“Judex Facti tidak salah menerapkan hukum karena terbukti HARTA SENGKETA ADALAH BUKAN HARTA PERSEROAN TERBATAS, MELAINKAN HARTA MILIK PRIBADI PARA TURUT TERGUGAT (pemberi agunan).”
Berdasarkan fakta hukum serta landasan putusan tersebut di atas, maka menjadi kontradiktif ketika Pengadilan Niaga Jakarta dalam pertimbangan hukumnya menyatakan harta debitor pailit termasuk harta di luar boedel pailit merupakan jaminan bagi pelunasan utangnya kepada para kreditor (in casu para buruh) dan kreditor lainnya.
Dalam konteks perkara a quo, harta yang dipergunakan untuk pelunasan pinjaman debitor pailit PT. Tripanca Group bukan harta milik debitor pailit Perseroan Terbatas TRIPANCA GROUP, melainkan harta milik pribadi para pemberi jaminan.
Dengan demikian pertimbangan hukum yang demikian adalah cacat yuridis. Konsekuensi hukum dari fakta hukum tersebut, mengingat harta yang dipergunakan untuk pelunasan pinjaman debitor pailit PT. Tripanca Group bukan harta perseroan terbatas, melainkan harta milik pribadi para penjamin, maka Termohon berkesimpulan:
a. Kekayaan atau harta yang terkena sita umum dan menjadi obyek pengurusan/pemberesan adalah terbatas pada kekayaan atau harta debitur pailit semata, yaitu PT Tripanca Group;
b. Kurator tidak berwenang untuk melakukan pengurusan dan pemberesan atas kekayaan atau harta milik pribadi para penjamin berdasar Hak Tanggungan (bukan harta debitur pailit PT Tripanca Group);
c. Dalam hal pelunasan hutang dari harta milik pribadi tersebut, status Pemohon Kasasi bukanlah sebagai kreditur separatis. Status kreditur separatis Termohon dalam perkara pailit a quo hanya terkait dengan diagunkannya asset atas nama PT. Tripanca Group (dalam pailit) dengan fidusia yang telah diserahkan kepada kurator dan menjadi BOEDEL PAILIT;
d. Seluruh biaya kepailitan termasuk hutang pajak, upah buruh merupakan beban dari harta pailit, dalam hal ini adalah harta dan kekayaan PT. Tripanca Group. Hal ini pun terdapat pengecualian, yaitu harta pailit yang telah dijual sendiri oleh Kreditor separatis berdasar Pasal 55 UU Kepailitan.
Sehingga ketika kewajiban Termohon dalam hal terjadi pelunasan atas pinjaman debitor pailit, ialah cukup melaporkan terjadinya pelunasan kepada kurator, dan bukan dalam bentuk laporan pertanggungjawaban, bukti transaksi, tanda terima dan surat lunas serta semua dokumen terkait dengan pelunasan tersebut.
BRI juga mendalilkan, sejak tanggal putusan pailit diucapkan, upah buruh/hak kreditur preferen yang terutang merupakan utang harta pailit, sehingga BRI menolak dengan tegas pertimbangan Pengadilan Niaga yang menyatakan:
“... walaupun kedudukan Termohon (sekarang Pemohon Kasasi) adalah kreditor separatis. yaitu pemegang hak tanggungan yang memiliki hak dan kewenangan untuk melelang obyek hak tanggungan sesuai undang-undang hak tanggungan. Namun di pihak lain juga ada para kreditor lain yaitu hak hak buruh yang juga dilindungi dan mempunyai kedudukan hak istimewa yang harus diutamakan tagihannya. Oleh karena undang-undang kepailitan melindungi hak-hak buruh sebagai kreditor preferen, maka pihak Termohon yang menjual hak tanggungan harta debitor pailit, dimana para buruh berhak meminta bagian atas hasil objek lelang tersebut, sesuai dengan rasa keadilan.”
Harta yang dipergunakan untuk pelunasan pinjaman debitor pailit PT. Tripanca Group bukan harta Perseroan Terbatas PT. TRIPANCA GROUP, melainkan harta milik pribadi para penjamin (Sdr.Sugiarto Wiharjo, Dkk) yang diikat dengan hak tanggungan.
Selaku pemegang hak tanggungan atas agunan milik perseorangan tersebut, status Termohon bukanlah kreditur separatis. Konsep Kreditur separatis hanya relevan bila dikaitkan pada status Termohon selaku pemegang fidusia atas asset PT. Tripanca Group yang telah diserahkan kepada Pemohon.
Berdasar Pasal 39 ayat 2 UU Kepailitan diatur bahwa sejak tanggal putusan pailit diucapkan, upah buruh yang terutang merupakan utang harta pailit. Sehingga menjadi rancu ketika Pengadilan Niaga menyatakan:
“Pemohon Kasasi (dahulu Termohon) adalah Kreditur Separatis karena memegang hak tanggungan;
“Pihak Termohon yang menjual hak tanggungan harta debitor pailit, dan para buruh berhak meminta bagian atas hasil objek lelang tersebut sesuai dengan rasa keadilan;”
Baik Pemohon maupun Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus gagal untuk membuat rumusan masalah: apakah hak tanggungan diberikan oleh debitor yang jatuh pailit? Apakah agunan milik debitor pailit? Apakah agunan yang dipegang Termohon dapat ditarik dalam boedel pailit?
Sesuai hukum kepailitan, selayaknya upah buruh maupun hak kreditur preferen lainnya menjadi beban/hutang harta pailit PT. Tripanca Group, termasuk didalamnya adalah 2 (dua) asset agunan kredit atas nama PT. Tripanca Group (dalam pailit) yang diikat dengan fidusia dan telah diserahkan kepada Termohon Kasasi selaku Kurator.
Kerugian besar dialami Termohon, diperkeruh putusan Pengadilan Niaga yang menetapkan Pemohon Kasasi untuk mengalokasikan sejumlah 5% (lima persen) dari nilai tagihan yang diakui sebesar Rp90.561.596.409,00 (sembilan puluh milyar lima ratus enam puluh satu juta lima ratus sembilan puluh enam ribu empat ratus Rupiah), yaitu sebesar Rp4.528.079.820,5 (empat milyar lima ratus dua puluh delapan juta tujuh puluh sembilan ribu delapan ratus dua puluh koma lima Rupiah) kepada Pemohon, sejatinya mencederai rasa keadilan Bank BRI karena telah menarik pula harta pribadi di luar harta debitor pailit.
Termohon berkeberatan terhadap pertimbangan hukum Pengadilan Niaga yang berbunyi:
“... Sesuai asas hukum kepailitan yaitu diantaranya adalah azas keadilan, pembagian harta pailit harus dilakukan secara adil sesuai dengan poin 3 Penjelasan Umum Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menyatakan : Asas Keadilan : Dalam kepailitan asas kepailitan mengandung pengertian, bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap Debitor, dengan tidak memperdulikan kreditor lainnya", maka demi rasa keadilan Majelis Hakim berpendapat bahwa untuk rasa keadilan, maka Termohon wajib menyerahkan sebagian dari Hak Tanggungan yang dimiliki oleh Termohon atau sejumlah 5% (lima persen) dari nilai tagihan yang diakui sebesar Rp 90.561.596.409,00 (sembilan puluh milyar lima ratus enam puluh satu juta lima ratus sembilan puluh enam ribu empat ratus Rupiah), yaitu sebesar Rp 4.528.079.820,5 (empat milyar lima ratus dua puluh delapan juta tujuh puluh sembilan ribu delapan ratus dua puluh koma lima Rupiah);”
Perihal adil tidak adil, patut tidak patut, seharusnya pernyataan tidak adil dan tidak patut ditujukan / dialamatkan kepada debitor pailit itu sendiri yang tidak membayar upah para buruh bahkan menunggak pelunasan kredit Termohon, bukan menumbalkan Termohon yang juga dirugikan, menyerupai praktik “kanibalisasi” sesama kreditor.
Menjadi sangat tidak adil, apabila kemudian harta kekayaan pribadi pihak lain (agunan milik Sdr. Sugiarto, dkk) yang tidak ada hubungan apapun dengan kreditor lain dari debitor pailit PT. Tripanca Group ikut menjadi tanggungan atas hutang-hutang dari debitor pailit kepada kreditor lain tersebut.
Terhadap permohonan kasasi Termohon, Mahkamah Agung membuat pertimbangan hukum serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa dalam putusannya Judex Facti menyatakan kedudukan Termohon adalah sebagai kreditor separatis, pemegang hak tanggungan yang memiliki hak dan kewenangan untuk melelang objek hak tanggungan sesuai dengan Undang-Undang Hak Tanggungan, dengan kewajiban memperhatikan juga hak atas hak-hak kreditor preferen;
“Bahwa sesuai Pasal 60 ayat 2 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, kreditor separatis yang telah berhasil mengeksekusi / menjual jaminan untuk membagi kepada kreditor yang diistimewakan, sehingga putusan Judex Facti tersebut telah tepat;
“Bahwa mengenai “asas keadilan” dalam kepailitan sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Umum Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 yang telah pula dipertimbangkan oleh Judex Facti;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, lagi pula ternyata putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi : PT. BANK RAKYAT INDONESIA (Persero) Tbk., tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : PT. BANK RAKYAT INDONESIA (Persero) Tbk., tersebut.”
Pengadilan Niaga maupun Mahkamah Agung gagal menentukan fakta hukum, bahwa obyek hak tanggungan adalah harta pribadi para penjamin perorangan, bukan harta milik badan hukum PT. Tripanca Group. Ketidakadilan kedua, alokasi ditetapkan hitungan persentase dari piutang Bank BRI, bukan dari hasil pelunasan parate eksekusi yang mana bisa jadi jauh lebih rendah dari nilai piutang. Ketidakadilan ketiga, Bank BRI telah menyerahkan agunan debitor pailit berupa benda bergerak dan piutang yang diikat jaminan fidusia kepada kurator untuk dibagi kepada semua kreditor.
Namun kaidah menarik yang dapat diangkat, ketika Kreditor Separatis melakukan parate eksekusi terhadap agunan milik debitor pailit, berdasarkan asas kemanusiaan (bukan asas keadilan), piutang upah para buruh dari debitor pailit dapat diberikan beberapa persen dari nilai hasil parate eksekusi berdasarkan putusan pengadilan—meski berdasarkan asas keadilan beban kewajiban membayar upah buruh adalah beban tanggung jawab pemberi kerja semata, tak dapat dilimpahkan beban tanggung jawab kepada pihak ketiga seperti Kreditor Separatis.
Sementara menurut asas keadilan, pihak ketiga yang beritikad baik wajib dilindungi oleh hukum, dimana hubungan hukum hutang-piutang (upah terutang) antara pemberi kerja terhadap para pekerjanya adalah semata hubungan internal perusahaan terhadap para buruhnya. Kreditor pemegang jaminan kebendaan merupakan pihak ketiga yang beritikad baik mengucurkan kredit guna operasional pabrik tempat para buruh bekerja.
Dalam perkara yang penuh dilematika dan kompleksitas ini, sejatinya otoritas negara telah lalai menjalankan perannya. Tiadanya bukti konkret peran pegawai pengawas ketenagakerjaan, sehingga pelaku usaha dapat bebas dari beban tanggung jawab terhadap para pekerjanya, lantas beban tersebut dialihkan kepada pihak ketiga dengan mengatasnamakan pailit, sejatinya kepailitan telah menjadi alat/modus perampokan terhadap para kreditor pemegang jaminan kebendaan oleh para pelaku usaha.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.