KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Direktur Perseroan Bukanlah Pekerja

LEGAL OPINION
Question: Pak Hery (SHIETRA & PARTNERS) mengatakan bahwa Direksi tidak masuk dalam kategori “pekerja” yang dilindungi oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan, baik Direksi WNA maupun WNI. Nah, itu kan, artinya owner dari perusahaan dapat saja membuat modus, mengangkat pekerja yang sudah puluhan tahun bekerja pada perusahaan sebagai Direktur, lantas diberhentikan tanpa pesangon karena tidak dilindungi oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan. Bukankah ini artinya membuka “celah hukum” bagi pemilik usaha untuk berbuat nakal?
Brief Answer: Diangkatnya pekerja sebagai seorang direksi bukan berarti memutus hubungan kerja dirinya sebagai pekerja perusahaan. PHK selalu disertai konsekuensi hak normatif berupa pesangon. Ketika seseorang bukan pekerja tetap perusahaan diangkat sebagai Direksi atau Komisaris, maka seketika dapat diberhentikan tanpa konsekuensi pesangon karena secara doktrinal Direksi dan Komisaris adalah Organ Perseroan—bukan buruh/pekerja.
Namun ketika pekerja tetap pada perusahaan hendak ditunjuk sebagai Direksi atau Komisaris, hendaknya pekerja/karyawan bersikap cerdas, yakni memberi syarat pada pemilik perusahaan agar dirinya dinyatakan tetap pula selaku pekerja tetap tanpa memutus hitungan masa kerja serta tiap bulan mendapat upah ganda selaku pejabat posisi direksi dan selaku pekerja (hal ini terkait hitungan pesangon bila dirinya kemudian di-PHK sebagai pekerja), disaat bersamaan menjabat pula secara rangkap sebagai Direksi ataupun Komisaris.
Konstruksi demikian penting untuk diterapkan, agar ketika sang Direksi sewaktu-waktu diberhentikan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), maka dirinya tetap memiliki jabatan kerja sebagai karyawan tetap tanpa terputus.
RUPS tak berwenang mem-PHK pekerja, karena hanya Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang berwenang menyatakan “putus hubungan kerja” atas permohonan Direksi Perseroan.
Perlu juga dipahami, kontrak antara perseroan dengan Direksi/Komisaris terkait fee jabatan sebagai Direksi/Komisaris bukanlah masuk dalam kategori Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Kedua konsepsi ini acapkali dipahami secara salah-kaprah dalam praktik. PKWT berlaku bagi hubungan ketenagakerjaan Pemberi Kerja dan Pekerja, bukan diposisikan antara Perseroan dengan Organ Perseoan seperti Direksi/Komisaris—yang merupakan jabatan dan pejabatnya, bukan dikategorikan sebagai buruh/pekerja.
Bila PKWT buruh/pekerja berlaku paling lama 2 tahun (dapat diperpanjang 1 tahun), maka kontrak jabatan sesuai Anggaran Dasar Perseroan yang dapat berupa 5 tahun, atau hingga sang pejabat diberhentikan oleh RUPS.
PEMBAHASAN:
Dalam putusan Mahkamah Agung RI tingkat kasasi sengketa hubungan industrial register perkara Nomor 653 K/Pdt.Sus-PHI/2015 tanggal 17 Desember 2015, antara:
- WILLIAM SUTHERLAND SINCLAIR, Warga Negara Selandia Baru, sebagai Pemohon Kasasi, semula Penggugat; melawan
- PT. SNC-LAVATIN-TPS, selaku Termohon Kasasi, dahulu Tergugat.
Perjanjian yang dibuat antara Penggugat dengan Tergugat disebutkan Penggugat sebagai karyawan kontrak / waktu tertentu, disepakati menduduki posisi sebagai Director dan General Manager. Penggugat kemudian diminta oleh korporasi di Australia (pemilik saham Tergugat) untuk mengundurkan diri serta Penguggat tidak diizinkan masuk kerja.
Penggugat keberatan karena menilai prestasinya memuaskan. Penggugat mengajukan pembelaan, namun pihak Tergugat tetap tidak mengizinkan Penggugat masuk kerja tanpa mengeluarkan surat apapun, dengan alasan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) hanya dikenal dalam konteks buruh/pekerja, tidak berlaku bagi posisi Direktur, sementara Penggugat dinyatakan bukan karyawan dari Tergugat.
 Secara salah-kaprah Penggugat mendalilkan, hubungan hukum yang terjalin antara Penggugat dan Tergugat adalah Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tertentu (PKWT), demi hukum menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) karena diberlakukan untuk masa kerja 4 (empat) tahun.
Singkat kata, Penggugat menuntut pesangon karena menilai dirinya adalah pekerja tetap yang di-PHK. Terhadap gugatan tersebut PHI Jakarta kemudian memberi Putusan Nomor 169/Pdt.Sus.PHI/PN Jk.Pst, tanggal 16 Februari 2015 yang amarnya sebagai berikut:
Menolak gugatan Penggugat seluruhnya.”
Penggugat mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadap permohonan tersebut Mahkamah Agung membuat pertimbangan hukum sebelum tiba pada amar putusannya, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan kasasi tersebut Mahkamah Agung berpendapat sebagai berikut:
“Bahwa setelah meneliti secara saksama Memori Kasasi yang diterima tanggal 9 Maret 2015 dan Jawaban Memori Kasasi yang diterima tanggal 14 April 2015 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena ternyata Judex Facti tidak salah menerapkan hukum, namun demikian Majelis Hakim berpendapat untuk melakukan perbaikan sepanjang mengenai amar putusan, dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Menimbang bahwa sesuai bukti T-5 sampai dengan T-8 dan T-11 sampai dengan T-17 pada pokoknya Penggugat saat sebagai Managing Director maupun pada saat sebagai President Director adalah diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham PT SNC-Lavalin-TPS (Tergugat) sehingga sesuai ketentuan Pasal 98 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas juncto Keterangan Pasal 1 angka 9 Undang Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang adalah tidak masuk pengertian pekerja sehingga sesuai ketentuan Pasal 1 angka 1 juncto Pasal 56 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial bahwa Pengadilan Hubungan Industrial tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara a quo karena itu gugatan Penggugat, tidak dapat diterima;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, ternyata Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 169/Pdt.Sus.PHI/PN.Jk.Pst tanggal 16 Februari 2015 dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: Mr. WILLIAM SUTHERLAND SINCLAIR tersebut harus ditolak dengan perbaikan amar putusan sebagaimana yang akan disebutkan di bawah ini;
M E N G A D I L I:
1. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: Mr. WILLIAM SUTHERLAND SINCLAIR tersebut;
2. Memperbaiki amar Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 169/Pdt.Sus.PHI/PN.Jk.Pst, tanggal 16 Februari 2015 sehingga amar selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
DALAM EKSEPSI:
- Menerima Eksepsi Tergugat;
DALAM POKOK PERKARA:
1. Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima;
2. Menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ditetapkan sebesar Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).”
SHIETRA & PARTNERS menemukan banyaknya salah-kaprah di tengah masyarakat dalam persepsi mengenai Organ Perseroan berupa jabatan Direksi dan Dewan Komisaris. Acapkali konsep Hukum Perseroan Terbatas dicampur-aduk dengan konsepsi Hukum Ketenagakerjaan.
Tidak terkecuali Dinas Tenaga Kerja, juga kerap mencampur-aduk antara konsepsi Direksi selaku Organ Perseroan dengan konsep buruh / pekerja sehingga banyak menimbulkan berbagai gugatan dari pihak mantan Direksi yang diberhentikan oleh RUPS, namun kemudian menggugat perseroan dengan meminta pesangon.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.