Demonstrasi Pekerja adalah Mogok Kerja

LEGAL OPINION
Question: Sebenarnya apakah tindakan buruh seperti orasi, berteriak-teriak, demonstrasi, dan bentuk-bentuk semacam itu bahkan mematikan mesin pabrik dapat dikategorikan sebagai “mogok kerja”?
Brief Answer: Selama dilangsungkan dalam kurun waktu jam dan hari kerja, maka sejatinya perilaku seperti orasi, demonstrasi, dan segala bentuk asprirasi lainnya yang disebut sebagai kebebasan berpendapat di muka umum, masuk dalam kualifikasi “Mogok Kerja”, karena lalai atau sengaja tidak memenuhi unsur-unsur produktif suatu tenaga kerja terhadap pemberi kerja—terlebih bila orasi dan demonstrasi dilakukan sebagai respon terhadap gagalnya kesepakatan dalam perundingan dengan pihak pengusaha.
Hendaknya bentuk-bentuk oratif demkian dilakukan diluar jam kerja, seperti saat jam istirahat atau selepas jam pulang kerja, agar tidak dikategorikan sebagai “Mogok Kerja”.
PEMBAHASAN:
Dalam putusan Mahkamah Agung RI tingkat kasasi sengketa hubungan industrial register Nomor 529 K/PDT.SUS/2012 tanggal 19 September 2012, antara:
- 4 (empat) orang pekerja, selaku Para Pemohon Kasasi, semula Para Tergugat; melawan
- MULYAWAN, pemilik CV. PANDA FOOD INDUSTRY, sebagai Termohon Kasasi dahulu Penggugat.
Permasalahan yang terjadi antara Penggugat dengan Para Tergugat dikarenakan adanya tindakan mutasi dari Penggugat terhadap dua orang karyawan perusahaan, yang mana keduanya menolak mutasi dengan tidak bersedia melakukan pekerjaan di tempat kerja yang baru.
Pada tanggal 11 April 2011, Pengurus Federasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (DPC F Lomenik SBSI) CV. Panda Food Industry mengajukan surat pemberitahuan mogok kerja ke perusahaan yang mana rencananya akan dilangsungkan pada tanggal 15 April 2011.
Namun pada tanggal 14 April 2011 Para Tergugat telah melakukan mogok kerja dengan cara duduk di tangga depan kantor personalia bersama-sama dengan beberapa karyawan lainnya dengan alasan solidaritas terhadap dua orang rekan kerja mereka yang dimutasi oleh Penggugat.
Tindakan Para Tergugat di atas mengakibatkan terganggunya proses produksi di perusahaan karena beberapa karyawan yang ikut mogok kerja tersebut merupakan karyawan yang bagiannya cukup penting dalam proses produksi, sehingga akibat aksi Para Tergugat yang dinilai tidak prosedural menimbulkan kerugian bagi perusahaan.
Mengingat surat Serikat Pekerja disebutkan jadwal Mogok Kerja, akan tetapi senyatanya sehari sebelum jadwal, Para Tergugat bersama-sama dengan beberapa karyawan lain telah melakukan aksi mogok meskipun sudah dihimbau dan diingatkan oleh Manajemen untuk kembali bekerja, tapi tidak diindahkan.
Aksi mogok dinilai tidak memenuhi ketentuan Pasal 140 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sehingga aksi mogok yang dilakukan oleh Para Tergugat dikategorikan sebagai mogok kerja yang tidak sah sebagaimana diatur dalam Pasal 142 ayat (1) UU Ketenagakerjaan:
“Mogok kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 dan Pasal 140 adalah mogok kerja tidak sah.”
Selanjutnya diadakan Perundingan Bipartit terkait dengan aksi mogok kerja tersebut, namun deadlock karena tidak mencapai kesepakatan. Maka Penggugat menindaklanjuti permasalahan tersebut ke tingkat Mediasi di Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kabupaten Sidoarjo, meski tidak pernah dihadiri oleh Para Tergugat tersebut sehingga Kepala Disnaker Kabupaten Sidoarjo c.q Majelis Mediator Hubungan Industrial, menerbitkan anjuran tertulis sebagai berikut:
1. Pihak Pengusaha CV. PANDA FOOD INDUSTRY dengan pekerja Sdr. SUMIATI dkk (16 orang) agar sepakat untuk mengakhiri hubungan kerja terhitung sejak tanggal 30 September 2011;
2 Pihak Pengusaha CV. PANDA FOOD INDUSTRY agar memberikan hak-hak atas PHK sebagaimana dimaksud point (1) diatas kepada pekerja (Sdr. SUMIATI dkk / 16 orang) dengan rincian masing-masing sebagai berikut:
a Uang pesangon sebesar 2 (dua) kali Pasal 156 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003;
b Uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali Pasal 156 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003;
c Uang penggantian hak sesuai Pasal 156 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003;
3 Apabila kedua belah pihak menyetujui anjuran tertulis, selambat lambatnya 3 (tiga) hari sejak anjuran tertulis disetujui para pihak menghadap Mediator Hubungan Industrial untuk dibuatkan perjanjian Bersama;
4 Apabila para pihak tidak memberikan jawaban dalam batas waktu tersebut di atas, dianggap menolak anjuran, dan para pihak atau salah satu dapat melanjutkan Penyelesaian Perselisihan tersebut Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Surabaya.
Alhasil, Penggugat yang berkeberatan diminta memberi pesangon dua kali ketentuan. Yang menjadi pokok keberatan Penggugat, berdasarkan ketentuan Pasal 140 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan jo. Pasal 3 Huruf c Kepmenakertrans RI No. KEP.232/MEN/2003 tentang Akibat Hukum Mogok Kerja yang tidak sah, yang menyatakan sebagai berikut:
• Pasal 140 ayat (1) UU Ketenagakerjaan: “Sekurang kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari sebelum mogok kerja dilaksanakan pekerja/buruh dan serikat pekerja/buruh wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan setempat”;
• Pasal 3 Kepmenakertrans RI No. KEP.232/MEN/2003 : Mogok kerja tidak sah apabila dilakukan:
a. bukan akibat gagalnya perundingan; dan/atau
b. tanpa pemberitahuan kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan; dan/atau
c. dengan pemberitahuan kurang dari 7 ( tujuh ) hari sebelum pelaksanaan mogok kerja; dan/atau
d. Isi pemberitahuan tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 140 ayat (2) huruf a,b,c dan d Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Sebagai akibat hukum adanya mogok kerja yang tidak sah, Para Tergugat dianggap mengundurkan diri sebagai karyawan. Atas dasar argumentasi itu pula, Penggugat menyatakan mengakhiri hubungan kerja terhadap Para Tergugat dengan hanya memberikan kompensansi sebesar 15% (lima belas persen) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat.
Terhadap gugatan tersebut, PHI Surabaya kemudian mengambil putusan, yaitu putusan Nomor 205/G/2011/PHI.Sby. tanggal 25 April 2012 dengan pertimbangan hukum serta amar putusan sebagai berikut:
”Menimbang bahwa dari dua pendapat hukum tersebut Majelis ber-pendapat bahwa untuk menentukan jenis perselisihan apa yang akan diajukan dalam suatu gugatan adalah menjadi hak sepenuhnya dari pihak Penggugat sesuai dengan apa yang menjadi kepentingan hukumnya, sepanjang jenis perselisihan tersebut masih dalam ruang lingkup kewenangan absolute dari Pengadilan Hubungan Industrial maka Majelis akan memeriksa dan mempertimbangkan gugatan yang diajukan tersebut, sehingga Majelis berpendapat eksepsi Para Tergugat tersebut tidak beralasan hukum oleh karenanya harus ditolak;
”Menimbang bahwa terdapat perbedaan pendapat hukum diantara Penggugat dengan Para Tergugat terhadap aksi yang dilakukan oleh Para Tergugat tersebut yaitu menurut Penggugat merupakan kegiatan mogok kerja sedangkan menurut Para Tergugat merupakan kegiatan aksi unjuk rasa atau menyampaikan pendapat dimuka umum;
”Menimbang bahwa sepanjang mengenai pemutusan hubungan kerja Majelis berpendapat sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Konpensi bahwa oleh karena Tergugat Rekonpensi telah melakukan pemanggilan kerja sebanyak 2 (dua) kali kepada Para Penggugat Rekonpensi dan Para Penggugat Rekonpensi tidak dapat membuktikan tentang adanya penolakan masuk kerja yang dilakukan oleh Tergugat Rekonpensi maka berdasarkan ketentuan Pasal 6 Kepmenakertrans RI No.232/MEN/2003 Para Tergugat diputuskan hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri sejak 30 April 2011;
”Menimbang bahwa oleh karena Para Penggugat Rekonpensi diputuskan hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri sejak 30 April 2011, maka Majelis berpendapat tuntutan Para Penggugat tentang pembayaran uang pesangon dan upah proses tidak beralasan hukum oleh karenanya harus ditolak;
DALAM POKOK PERKARA
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dengan Para Tergugat putus karena dikualifikasikan mengundurkan diri sejak 30 April 2011;
3. Menghukum Tergugat untuk membayar hak-hak Para Tergugat secara tunai dan sekaligus dengan perincian sebagai berikut:
SITI AMILATUS masa kerja 7 tahun; Penggantian Hak 15% x Rp. 18.819.000,- Rp. 2.822.850,-;
MIRANTO masa kerja 12 tahun; Penggantian Hak 15% x Rp. 23.354.000,- Rp. 3.503.100,-;
SANTUNI masa kerja 13 tahun; Penggantian Hak 15% x Rp. 25.461.000,- Rp. 3.819.150,-;
ALI masa kerja 14 tahun; Penggantian Hak 15% x Rp. 25.461.000,- Rp. 3.819.500,-;”
Para Tergugat kemudian mengajukan upaya hukum kasasi, karena permintaan mereka dalam gugatan balik (rekonpensi) berupa pesangon dua kali ketentuan ditolak PHI. Atas permohonan tersebut, Mahkamah Agung membuat pertimbangan hukum sebelum tiba pada amar putusannya:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan oleh karena Judex Facti sudah tepat dan benar serta tidak salah menerapkan hukum, bahwa para pekerja melakukan mogok kerja tidak sah dan telah dipanggil secara tertulis dan patut sebanyak 2 (dua) kali dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sebagaimana telah dipertimbangkan Judex Facti pada pertimbangan hukumnya dalam perkara No. 205/G/2011/PHI.Sby hal. 23 s/d 25 sedangkan sekalipun sesuai bukti T.IV secara formal tindakan Para Pemohon Kasasi adalah menyampaikan pendapat di muka umum (unjuk rasa), namun tindakan tersebut secara substansial adalah mogok kerja sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 1 angka 23 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 karena sebelum tindakan tersebut dilakukan akibat gagalnya perundingan atas syarat-syarat kerja yang diperselisihan;
“Menimbang, bahwa terlepas dari pertimbangan tersebut, amar putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Surabaya No. 205/G/2011/PHI.Sby tanggal 25 April 2012 perlu diperbaiki sekedar mengenai amar angka 3 yang berbunyi: “Menghukum Tergugat” menjadi “Menghukum Penggugat” ….. dan seterusnya;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: Siti Amilatus, dkk tersebut harus ditolak dengan perbaikan amar putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Rep Surabaya No. 205/G/2011/PHI.Sby tanggal 25 April 2012 sehingga amarnya seperti yang akan disebutkan di bawah ini:
MENGADILI:
“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : 1. SITI AMILATUS, 2. MIRANTO, 3. SANTUNI, 4. ALI tersebut, dengan perbaikan amar putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Surabaya No. 205/G/2011/PHI.Sby tanggal 25 April 2012 sehingga amar selengkapnya sebagai berikut:
“DALAM POKOK PERKARA:
DALAM KONPENSI:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dengan Para Tergugat putus karena dikualifikasikan mengundurkan diri sejak 30 April 2011;
3. Menghukum Penggugat untuk membayar hak-hak Para Tergugat secara tunai dan sekaligus dengan perincian sebagai berikut:
• SITI AMILATUS masa kerja 7 tahun; Penggantian Hak 15% x Rp. 18.819.000,- Rp. 2.822.850,-;
• MIRANTO masa kerja 12 tahun; Penggantian Hak 15% x Rp. 23.354.000,- Rp. 3.503.100,-;
• SANTUNI masa kerja 13 tahun; Penggantian Hak 15% x Rp. 25.461.000,- Rp. 3.819.150,-;
• ALI masa kerja 14 tahun; Penggantian Hak 15% x Rp. 25.461.000,- Rp. 3.819.500,-;
DALAM REKONPENSI:
“Menolak gugatan Para Penggugat Rekonpensi untuk seluruhnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.