KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Constitutional Complaint dalam Mahkamah Konstitusi RI

ARTIKEL HUKUM
Constitutional Complaint menjadi salah satu topik yang paling menarik dalam praktik Mahkamah Konstitusi RI (MK RI). Constitutional Complaint itu sendiri dimaknai sebagai suatu upaya warga negara dalam melakukan komplain terhadap implementasi norma dalam undang-undang yang dihadapkan keapda fakta realita (de facto) praktik para aparatur negara menyimpang dari kaidah dalam pengaturan undang-undang, sehingga dinilai merugikan hak warga negara atas kepastian hukum yang dilindungi oleh Konstitusi negara RI.
Bagaimana pendirian MK RI mengenai kewenangan atau tidak berwenangnya institusi ini melakukan pemeriksaan dan memutuskan permohonan Constitutional Complaint? Dari berbagai putusan MK RI, kerap dijumpai rumusan amar putusan yang menolak uji materil dengan dasar pernyataan: “Yang diajukan  oleh Pemohon ialah mengenai implementasi norma, sehingga bukan merupakan kewenangan Mahkamah untuk memeriksa dan memutus. Sesuai atau tidak sesuainya aparatur negara dalam mengimplementasi ketentuan aturan hukum tertulis, ialah diluar kewenangan Mahkamah Konstitusi.”
Namun dalam beberapa putusan perihal permohonan uji materil, tampak pendirian kaku MK RI mulai melunak, setidaknya lebih rasional mengakomodasi tuntutan dan kebutuhan masyarakat akan faktor kepastian hukum antara das sein terhadap das sollen. Putusan judicial review oleh MK RI berikut ini menjadi salah satu ilustrasi konkret menarik terkait Constitutional Complaint yang dikabulkan oleh MK RI.
Mahkamah Konstitusi RI dalam register Nomor 68/PUU-XIII/2015 tanggal 29 September 2015 perkara pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) yang diajukan oleh lima orang pemohon yang notabene buruh/pekerja pada berbagai perusahaan, memandang hak konstitusionalnya dirugikan oleh keberlakuan frasa “anjuran” yang ditemukan dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a dan Pasal 23 ayat (2) huruf a UU PPHI.
Adapun bunyi ketentuan Pasal 13 Ayat (2) huruf (a) UU PPHI:
“Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka mediator mengeluarkan anjuran tertulis.”
Sementara itu Pasal 23 Ayat (2) huruf (a) UU PPHI menyatakan:
“Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi, maka konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis.”
Salah seorang dari Pemohon sedang mengalami sengketa hubungan industrial di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Sebagai pekerja, para Pemohon mendalilkan, kalangan buruh/pekerja sangat berpotensi mengalami sengketa hubungan industrial sehingga senantiasa bersinggungan dengan hukum.
Bila perselisihan hubungan industrial terjadi, maka para Pemohon harus menyelesaikan perselisihannya melalui perundingan dengan pengusaha secara bipartit, maupun secara tripartit dengan ditengahi oleh Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) setempat, barulah mencapai tahap persidangan di PHI.
Penyelesaian perselisihan melalui mediasi atau konsiliasi, hanya dapat dilakukan apabila dilampirkan bukti telah dilakukannya upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit. Sama halnya penyelesaian perselisihan melalui PHI, hanya dapat ditempuh bila dilampirkan risalah penyelesaian mediasi atau konsiliasi.
Akan tetapi dalam ketentuan UU PPHI, mediator atau konsiliator hanya diberikan wewenang untuk membuat anjuran, sebagaimana diatur pasal 13 ayat (2) huruf (a) dan Pasal 23 ayat (2) huruf (a).
Penyelesaian perselisihan pada tingkat mediasi atau konsiliasi, kerapkali memakan waktu lebih lama dari waktu yang telah ditentukan hukum, yaitu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak penerimaan permintaan penyelesaian perselisihan, sebagaimana tertuang dalam Pasal 15 dan Pasal 25 UU PPHI.
Salah satu fakta konkret dialami salah seorang dari Pemohon, permohonan pencatatan perkara perselisihan hubungan industrial diajukan  pada tanggal 9 Oktober 2014. Selanjutnya Disnaker melakukan upaya panggilan dengan agenda kelengkapan berkas sebanyak 2 (dua) kali, yakni pada tanggal 4 dan 11 November 2014. Sidang mediasi baru digelar pada tangagl 25 November, 3 Desember, dan 10 Desember 2014. Akan tetapi Disnaker menerbitkan anjuran mediasi pada tangagl 26 Januari 2015, dan Risalah Mediasi pada tanggal 1 April 2015.
Dengan demikian prinsip penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat, tepat, adil, dan murah dalam UU PPHI, yang merupakan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum bagi para pelaku hubungan industrial, menjadi terlanggar.
Pemohon kembali mendalilkan, prinsip dasar Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah bersifat kerelaan serta win-win solution, bukan sebagai falsafahnya untuk dijadikan kewajiban. Meski demikian dalam UU PPHI, penyelesaian perselisihan melalui Mediasi dan Konsiliasi yang notabene bagian dari Alternatif Penyelesaian Sengketa, diatur bersifat wajib. Sehingga secara langsung, justru membunuh sifat kerelaan dari para pihak untuk menyelesaikan sengketanya secara damai. Dengan demikian pengaturan dalam UU PPHI ditengarai tidak akan memberikan proses penyelesaian damai.
Dahulu kala, sebelum terbitnya UU PPHI, syarat untuk melanjutkan penyelesaian perselisihan ke hadapan pengadilan adalah cukup menempuh perundingan yang diperantarai oleh Pemerintah dibidang ketenagakerjaan. Sejak berlakunya UU PPHI, anjuran mediator dari Disnaker yang ditolak oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang berselisih, maka pihak yang menolak baru dapat mengajukan gugatan ke PHI setelah memperoleh risalah tertulis penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebagai prasyarat mutlak.
Konsep alternatif penyelesaian sengketa melalui mediasi dan konsiliasi yang dianut UU PPHI, lanjut Pemohon, faktanya tidak menimbulkan mediasi yang memfasilitasi para pihak yang bersengketa untuk dapat berunding. Karena mediator dari Disnaker menjadi figur sentral, yang diberikan kewenangan untuk membuat anjuran yang seolah-olah (quasi) putusan layaknya vonis hakim, dan mau tidak mau membuat kesan hanya sebagai “tiket” untuk dapat mengajukan gugatan ke PHI.
Ketatnya syarat ini tertuang dalam ketentuan Pasal 83 ayat (1) UU PPHI yang mengatur:
“Pengajuan gugatan yang tidak dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi, maka hakim Pengadilan Hubungan Industrial wajib mengembalikan gugatan kepada penggugat.”
Bagaikan pengaturan yang tidak utuh, UU PPHI justru tidak mengatur mengenai kewenangan Mediator ataupun Konsiliator untuk menerbitkan risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi, yang merupakan syarat formil untuk mengajukan gugatan ke PHI.
Apabila antara pihak pekerja ataupun pengusaha tidak berhasil mencapai kata sepakat dalam musyarawarah yang ditengahi oleh Mediator atau Konsiliator, maka Mediator atau Konsiliator tersebut akan menerbitkan anjuran tertulis, yang secara aturan hukum yakni diterbitkan selambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidah mediasi/konsiliasi pertama sebagaimana diatur Pasal 13 Ayat (2) huruf (b) dan Pasal 23 ayat (2) huruf (b) UU PPHI.
Setelah dikeluarkan anjuran Mediator/Konsiliator, para pihak diharuskan memberi jawaban tertulis yang isinya menerima atau menolak anjuran tersebut, dalam tempo waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak dikeluarkan anjuran. Bagi para pihak yang tidak memberi jawaban terhadap anjuran tersebut, maka dianggap menolaknya (Pasal 13 ayat (2) serta Pasal 23 ayat (2) UU PPHI).
Setelah para pihak atau salah satu pihak memberikan jawaban tertulis terhadap anjuran mediasi atau konsiliasi, maka Mediator/Konsiliator akan menerbitkan risalah mediasi atau konsiliasi, yang mana kewenangan penerbitan serta tenggang waktunya tidak ditentukan oleh UU PPHI.
Pemohon menyebutkan, meski yang diuraikan oleh Para Pemohon merupakan kekeliruan dalam penerapan hukum, akan tetapi apabila ditelaah sesungguhnya waktu penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi dan konsiliasi tidaklah cukup bagi Mediator dan Konsiliator hanya dengan waktu 30 hari kerja untuk menggelar sidang mediasi/konsiliasi, membuat anjuran, hingga terbitnya risalah.
Dengan argumentasi yang runut serta luar biasa tertata, Para Pemohon melanjutkan dalil sebagai berikut:
“Sehingga dengan demikian, yang paling tepat adalah dengan menyampaikan anjuran Pegawai Mediator atau Konsiliator dalam sidang mediasi setelah mendengar keterangan para pihak atau salah satu pihak, yang apabila ditolak oleh salah satu pihak atau tanpa kehadiran salah satu pihak, maka Pegawai Mediator atau Konsiliator menuliskan anjuran yang telah ia sampaikan pada saat sidang mediasi atau konsiliasi di dalam Risalah Penyelesaian Mediasi atau Konsiliasi.
“Berdasarkan kewenangan Mahkamah Konstitusi, tidaklah tepat bagi Mahkamah untuk membuat norma baru dalam putusan pengujian sebuah undang-undang. Akan tetapi sangat dimungkinkan bagi Mahkamah, untuk memberikan makna penafsiran dalam putusan perkara pengujian undang-undang.
“Bahwa tidak adanya clausul dalam UU PPHI, mengenai pemberian kewenangan Mediator atau Konsiliator untuk menerbitkan risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi. Akan tetapi sebaliknya, justru mengatur pemberian kewenangan penerbitan anjuran, yang bukan termasuk syarat formil dalam pengajuan gugatan di PHI, maka telah tidak memberikan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum bagi para Pemohon dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial;
“Bahwa agar ketentuan Pasal 13 ayat (2) huruf a dan Pasal 23 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dapat memberikan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD RI 1945, maka para Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, untuk menyatakan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) sepanjang frasa “anjuran”, dimaknai sebagai bentuk risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi.”
Bukankah memberi penafsiran itu sendiri merupakan “norma baru”? Setidaknya dalam sudut pandang tertentu, Mahkamah Konstitusi memang kerap membuat norma baru lewat mekanisme amar putusan yang bersifat “konstitusional bersyarat” atau sebaliknya “tidak konstitusional bersyarat”.
Terhadap permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang ... , Begitupula penyelesaian perselisihan melalui Pengadilan Hubungan Industrial (selanjutnya disebut PHI) hanya dapat dilakukan apabila dilampirkan risalah penyelesaian mediasi dan konsiliasi, sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 83 ayat (1) UU PPHI, akan tetapi dalam ketentuan UU PPHI, mediator atau konsiliator hanya diberikan wewenang untuk membuat anjuran... Selain itu, penyelesaian perselisihan hubungan industrial pada tingkat mediasi atau konsiliasi acapkali lebih lama dari waktu yang telah ditentukan, yaitu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak penerimaan permintaan penyelesaian perselisihan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 15 dan Pasal 25 UU PPHI.
“Oleh karena permasalahan hukum dan permohonan a quo cukup jelas, Mahkamah akan memutus permohonan a quo tanpa mendengar keterangan dan/atau meminta risalah rapat dari Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden.
“Bahwa penyelesaian perkara hubungan industrial harus terlebih dahulu melalui jalan mediasi atau konsiliasi oleh karena ketentuan ini bersifat imperatif (wajib) sehingga penggugat harus memperoleh bukti (risalah penyelesaian mediasi atau risalah penyelesaian konsiliasi) sebelum mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
“Bahwa dalam UU PPHI tidak ada pengaturan mengenai kewenangan mediator maupun konsiliator menerbitkan risalah penyelesaian mediasi atau risalah penyelesaian konsiliasi dan waktu penerbitannya, maka pasal a quo tidak memberikan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum bagi para Pemohon sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD RI 1945.
“Bahwa dari pelaksanaan mediasi yang dilakukan para Pemohon dalam bukti P-6 dan bukti P-8, antara penerbitan anjuran tertulis dan risalah penyelesaian mediasi sangat memperlambat proses penyelesaian perkara, padahal Pasal 2 ayat (4) juncto Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman memerintahkan agar “Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.”
“Bahwa oleh karena kewenangan penerbitan serta tenggang waktu tidak ditentukan dalam UU PPHI, maka perlu ditinjau lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dengan anjuran tertulis dan apa yang dimaksud dengan risalah penyelesaian mediasi atau konsiliasi dihubungkan dengan utilitas penyelesaian sengketa di Pengadilan Hubungan Industrial.
“Bahwa anjuran tertulis bukan syarat formil dalam pengajuan gugatan di Pengadilan Hubungan Industrial, sedangkan risalah penyelesaian mediasi atau konsiliasi merupakan syarat formil dalam pengajuan gugatan di Pengadilan Hubungan Industrial, oleh karena itu menurut Mahkamah petitum permohonan para Pemohon yang memohonkan pemaknaan Pasal 13 ayat (2) huruf a UU PPHI setelah frasa “anjuran tertulis” ditambahkan frasa “sebagai bentuk risalah penyelesaian melalui mediasi” dan pemaknaan Pasal 23 ayat (2) huruf a UU PPHI, sehingga setelah frasa “anjuran tertulis” ditambahkan frasa “sebagai bentuk risalah penyelesaian melalui konsiliasi” dipandang beralasan.
“Namun, oleh karena format dan substansi risalah penyelesaian dalam mediasi atau konsiliasi tidak diatur dalam Undang-Undang a quo maka Mahkamah perlu mempertimbangkan lebih lanjut mengenai format dan substansi risalah dimaksud.
“Bahwa menurut Mahkamah format dan substansi yang dapat digunakan sebagai pedoman guna merumuskan format dan substansi risalah penyelesaian dalam mediasi atau konsiliasi dimaksud adalah ketentuan yang mengatur tata cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui bipartit yang terdapat dalam Pasal 6 UU PPHI yang menyatakan:
(1) Setiap perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus dibuat risalah yang ditandatangani oleh para pihak.
(2) Risalah perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekuarng-kurangnya memuat:
a. nama lengkap dan alamat para pihak;
b. tanggal dan tempat perundingan;
c. pokok masalah atau alasan perselisihan;
d. pendapat para pihak;
e. kesimpulan atau hasil perundingan; dan
f. tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan perundingan.
“Dengan demikian, menurut Mahkamah, format dan substansi risalah penyelesaian mediasi atau konsiliasi sekurang-kurangnya memuat (a) nama lengkap dan alamat para pihak; (b) tanggal dan tempat mediasi atau konsiliasi; (c) pokok masalah atau alasan perselisihan; (d) pendapat para pihak; (e) anjuran tertulis; dan (f) kesimpulan hasil mediasi atau kesimpulan hasil konsiliasi; dan apabila anjuran tersebut tidak diterima oleh salah satu pihak/kedua pihak maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke PHI dengan melampirkan risalah tersebut.
“Bahwa dengan memperhatikan pertimbangan pada paragraf diatas maka anjuran tertulis adalah bagian dari substansi risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi. Oleh karena itu, frasa “sebagai bentuk risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi” sebagaimana disebutkan dalam petitum permohonan para Pemohon secara teknis penerapannya kurang tepat dan yang paling tepat adalah frasa “dalam bentuk risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi”. Dengan demikian, Pasal 13 ayat (2) huruf a dan Pasal 23 ayat (2) huruf a UU PPHI rumusannya dimaknai menjadi sebagaimana disebutkan dalam amar putusan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum yang diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat dalil permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum.
AMAR PUTUSAN
Mengadili;
Menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon:
1.1. Frasa “anjuran tertulis” dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang tidak dimaknai “dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka mediator mengeluarkan anjuran tertulis dalam bentuk risalah penyelesaian melalui mediasi”.
1.2. Frasa “anjuran tertulis” dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka mediator mengeluarkan anjuran tertulis dalam bentuk risalah penyelesaian melalui mediasi”.
1.3. Frasa “anjuran tertulis” dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang tidak dimaknai “dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi, maka konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis dalam bentuk risalah penyelesaian melalui konsiliasi”.
1.4. Frasa “anjuran tertulis” dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi, maka konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis dalam bentuk risalah penyelesaian melalui konsiliasi”.
2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.”
Sehingga terhadap pertanyaan: “apakah Mahkamah Konstitusi RI berwenang mengadili dan memutus constitutional complainti atau tidaknya” bukanlah lagi pertanyaan yang relevan.
Yang paling rasional adalah bagaimana kita mampu memberi argumentasi adanya urgensi dibalik permohonan untuk dituntaskan oleh “kekuatan” konstitusi sekaligus meyakinkan Majelis Hakim Konstitusi untuk tergerak memiliki “rasa memiliki” terhadap isu hukum yang diangkat dan dipaparkan sebagai suatu hal yang bersifat laten sehingga butuh penanganan atau setidaknya “uluran tangan” para Hakim Konstitusi.
Ketika SHIETRA & PARTNERS mencoba menelaah risalah sidang MK RI atas perkara uji materil diatas, tampak passion dalam diri para Hakim MK terhadap isu hukum yang diajukan Pemohon secara lugas dan gamblang. Bahkan dalam sidang perdana uji materil perkara tersebut, tampak seakan masing-masing Hakim Konstitusi telah membuat suatu kesimpulan, karena isu hukum yang disuguhkan telah diolah secara matang oleh Para Pemohon yang tanpa terkesan “cengeng” telah berhasil mengomunikasikan kegundahan hati Pemohon yang dapat dirasakan oleh para Hakim Konstitusi.
Ketika pembentuk undang-undang gagal untuk membentuk regulasi yang setidaknya mendekati ideal sehingga timbul kegaduhan dalam aplikasinya, terlebih ketika motif pembentuk undang-undang tidak jelas atau patut diragukan, Hakim Konstitusi akan merasa terpanggil untuk mengambil peran pembentukan hukum nasional. Karena jika bukan MK RI, kepada siapa lagi para warga negara akan mengajukan “komplain konstitusional” ini?
© SHIETRA & PARTNERS Copyright.