KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Berhak Pesangon Tolak Mutasi Lokasi Tempat Kerja

LEGAL OPINION
Question: Sebenarnya apa yang menjadi konsekuensi terburuk dari tidak patuh terhadap perintah perusahaan untuk mengikuti mutasi kerja? Apakah karyawan akan dipecat tanpa hak pesangon karenanya? Menakutkan sekali menolak dimutasi mengakibatkan dipecat tanpa pesangon, sementara pihak pengusaha dapat seenaknya memutasi karyawan. Sebenarnya apakah pekerja wanita dapat dimutasi lokasi tempat kerja oleh perusahaan ke luar daerah?
Brief Answer: Kalangan buruh / pekerja sebenarnya tidak perlu khawatir bila dirinya dimutasi kerja, karena tindakan buruh/pekerja yang menolak mutasi, akan dinilai Majelis Hakim sebagai sebatas pelanggaran indisipliner dengan alasan tidak patuh terhadap perintah atasan, dimana pihak pemberi kerja dapat mem-putus hubungan kerja (PHK) terhadap pekerja yang menolak mutasi namun tetap diwajibkan pengadilan untuk membayar pesangon serta hak-hak normatif lainnya.
Mengenai dapat atau tidaknya seorang karyawati dimutasi lokasi kerja, disitulah letak “kekosongan hukum” regulasi dibidang ketenagakerjaan. Secara gegabah hukum ketenagakerjaan secara kurang bijak telah “menyama-ratakan” karakter pekerja wanita dengan pekerja pria—dimana dari segi fisik, sosiologis, maupun politis, adalah sukar bagi kaum wanita menerima mutasi lokasi kerja.
PEMBAHASAN:
Dalam putusan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Medan perkara hubungan industrial register Nomor 63/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Mdn tanggal 18 Mei 2016, antara:
- PT. JAKARANA TAMA, sebagai Penggugat; melawan
- NURHASANAH, sebagai Tergugat.
Tergugat merupakan karyawan Penggugat dengan masa kerja hampir 19 tahun. Adapun permasalahan bermula ketika Tergugat menolak melaksanakan mutasi kerja yang diperintahkan Penggugat dari PT. Jakarana Tama Medan (Sumatera Utara) ke PT. Jakarana Tama Ciawi (Jawa Barat), sesuai surat mutasi yang diberikan Penggugat kepada Tergugat, dengan jabatan baru sebagai Checker Packing.
Dalam rangka mendukung pelaksanaan mutasi dimaksud pihak Penggugat telah menyediakan fasilitas untuk Terggugat, sebagai berikut :
1. Gaji pokok mengikuti upah minimum Kabupaten Bogor ditambah insentif sesuai KPI;
2. Tunjangan tidak tetap sebesar Rp. 750.000,-;
3. Akan diberikan rumah kontrak selama 2 tahun pertama;
4. Diberikan tiket pulang pergi (PP) Medan - Ciawi 1 tahun sekali;
5. Transport pemindahan keluarga dibiayai perusahaan;
Tergugat menyatakan menolak mutasi tersebut, dan mengajukan gugatan balik (rekonvensi). Tergugat pun sebelumnya telah melaporkan tindakan Penggugat kepada Dinas Sosial Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Medan perihal Pelanggaran Kebebasan Berserikat, dimana Tergugat vokal menyerukan pelanggaran Penggugat atas Upah Minimum Sektoral yang menjadi hak normatif para buruh.
Tergugat yang merupakan ketua serikat pekerja, mengutip ketentuan Pasal 28 Butir (a) UU No. 21 tahun 2000 tentang Pengurus Serikat Buruh:
“Siapapun dilarang menghalangi-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/buruh dengan cara: Melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi.”
Penggugat merasa dirinya dicemari nama baiknya karena Tergugat menyampaikan pelanggaran normatif oleh Penggugat terhadap para karyawan dengan membayar upah dibawah Upah Minimum Sektoral. Sementara itu dengan ganjilnya Penggugat merasa bahwa mengenai penggajian karyawan adalah rahasia perusahaan sehingga tidak boleh dibocorkan ke luar perusahaan, alhasil Tergugat mendapat surat peringatan demi surat peringatan.
Memang adalah tugas dan amanah bagi seorang ketua Serikat Pekerja untuk memperjuangkan hak normatif buruh. Adalah ketua Serikat Pekerja boneka yang justru membengkalaikan nasib rekan pekerjanya.
Senyatanya Tergugat hanya mengutarakan fakta nasib para pekerja Penggugat yang diberikan upah jauh dibawah Upah Minimum meski telah belasan tahun bekerja pada Tergugat. Nasib yang dialami para pekerja bukanlah rahasia perusahaan, namun fakta hukum yang dialami para buruh itu sendiri.
Sampai dengan tanggal 30 November 2015, masa kerja Tergugat adalah 18 tahun 8 bulan, dan Tergugat terakhir menerima gaji pokok sebesar Rp2.037.000,-. Jauh dibawah espektasi pekerja manapun.
Terhadap gugatan tersebut, Majelis Hakim membuat pertimbangan hukum serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa berdasarkan alat-alat bukti yang diajukan oleh kedua belah pihak sebagaimana tersebut diatas dalam kaitannya satu sama lain yang ternyata bersesuaian Majelis Hakim berpendapat bahwa sengketa Penggugat dengan Tergugat adalah Tergugat di-PHK karena tidak melaksanakan mutasi ke Ciawi, Bogor, Jawa Barat;
“Menimbang, bahwa Tergugat sudah di PHK oleh Penggugat sejak tanggal 30 November 2015, dengan alasan telah melakukan pelanggaran Peraturan Perusahaan dalam hal Menolak Perintah Kerja / Mutasi Kerja;
“Menimbang, bahwa bukti P-9, berupa surat keputusan pemberhentian Tergugat terhitung pada tanggal 30 November 2015, dinyatakan Diberhentikan karena melakukan Pelanggaran Peraturan Perusahaan berupa menolak perintah kerja / mutasi kerja, Tergugat melakukan pelanggaran peraturan perusahaan sebagaimana diatur dalam Pasal 161 ayat (1), (2), maka Tergugat berhak memperoleh uang pesangon sebanyak 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4);
“Menimbang, bahwa Tergugat sudah bekerja sejak 10 Maret 1997 sampai dengan 30 November 2015, dengan demikian masa kerja Penggugat adalah 18 tahun 8 bulan, dan terbukti dipersidangan Tergugat melanggar peraturan perusahaan dengan menolak mutasi, dengan demikian dikategorikan pelanggaran indispliner sesuai Pasal 161 ayat (1), (2), (3) dan Tergugat memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), (3) dan uang penggantian hak sesuai Pasal 156 ayat (4), UU Nomor 13 Tahun 2003 dengan perincian sebagai berikut :
Uang Pesangon = 9 x Rp 2.037.000,- = Rp 18.333.000,-
Uang Penghargaan Masa Kerja = 7 x Rp 2.037.000,- = Rp 14.259.000.-
Jumlah = Rp 32.592.000,-
Penggantian Hak = 15% x Rp 32.592.000,- = Rp 4.888.800,- +
Total = Rp 37.480,800.-
M E N G A D I L I
DALAM KONPENSI
DALAM POKOK PERKARA :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat putus sejak putusan ini diucapkan;
3. Menghukum Penggugat membayar hak - hak Tergugat berdasarkan Pasal 161 (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan secara tunai sebesar Rp = Rp 37.480,800,-
4. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya;
DALAM REKONPENSI:
“Menolak gugatan Penggugat dalam Rekonpensi untuk seluruhnya.”
SHIETRA & PARTNERS menilai, untuk seorang karyawan/pekerja yang merupakan wanita berumah tangga, adalah tidak tepat bila harus dimutasi ke luar daerah, mengingat tidaklah mungkin mengajak suami dan anaknya untuk turut pindah ke lokasi kerja baru. Sang suami mungkin berkeberatan karena dirinya pun memiliki pekerjaan tetap di tempat tersebut, tidak mungkin akan mengundurkan diri hanya demi ikut pindah dengan sang istri. Bila suami-istri tidak hidup satu atap, maka kendala sosiologis rumah tangga akan tercipta, begitupula terhadap tumbuh-kembang sang anak.
Majelis Hakim seyogianya menilik kasus penolakan mutasi secara kasuistis. Bila pekerja/karyawan yang menolak adalah seorang pria kepala keluarga, sementara sang istri adalah ibu rumah tangga, adalah wajar penolakan sang pekerja akan diberi kompensasi pesangon dengan hitungan 1 (satu) kali ketentuan normal.
Namun SHIETRA & PARTNERS berpendapat, untuk kasus perkara wanita pekerja yang telah berumah tangga, wajib diberi pesangon 2 (dua) kali ketentuan karena perusahaan besar kemungkinan hanya mencari alibi guna mem-PHK sang karyawati—disamping asas kepatutan tentunya, karena seorang wanita bukanlah seorang “adventurer layaknya seorang laki-laki yang tidak terlampau mempermasalahkan hidup pada daerah baru.
Mengapa dalam contoh kasus yang diangkat diatas besar kemungkinan pihak perusahaan hendak mem-PHK sang karyawati? Perhatikan, masa kerja sang karyawati ialah hampir 19 tahun, sementara gaji hanya masih setaraf Upah Minimum Kota. Apakah Anda sudi, dimutasi ke luar pulau dengan upah sebatas UMR?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.