Warga Negara Asing dapat Menggugat di Pengadilan Hubungan Industrial

LEGAL OPINION
Question: Saya berwarga negara asing (WNA) yang bekerja di Indonesia. Apakah dapat, saya mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan (PHI) Industrial di Indonesia dengan status saya ini sebagai seorang (mantan) pekerja di Indonesia?
Brief Answer: Baik pekerja Warga Negara Indonesia (WNI) maupun pekerja WNA, berhak untuk mengajukan gugatan ke hadapan PHI di Indonesia selama pihak pemberi kerja memang tercatat berkedudukan hukum di Indonesia.
Hanya saja, masih menjadi pertanyaan besar, apabila WNI tersebut memberi surat kuasa pada pengacara untuk mewakilinya mengajukan gugatan, meski sang WNI tersebut hingga saat kini masih tinggal di Indonesia, apakah dirinya harus kembali ke negara asalnya hanya demi membuat Surat Kuasa Khusus oleh notaris di negara asalnya untuk dilegalisasi oleh Konsulat Jenderal Republik Indonesia di luar negeri tersebut?
PEMBAHASAN:
Dalam putusan PHI Jakarta sengketa hubungan industrial register perkara Nomor 290/Pdt.Sus-PHI.G/2015/PN.Jkt.Pst tanggal 31 Maret 2016, antara:
- TODD MARK KENT, Warga Negara Australia, beralamat di Australia, selaku Penggugat; melawan
- PT. MULTIJAYA SPARINDO, sebagai Tergugat.
Penggugat bekerja pada Tergugat dalam hubungan kerja yang bersifat Perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT) sejak tahun 2013 sampai tahun 2014, yang kemudian diperpanjang kembali dalam bentuk PKWT ke II sejak tanggal 3 Februari 2014 sampai dengan 2 Pebruari 2016 sebagai Avionic Poject Manager dengan upah yang dibayarkan perbulannya sebesar USD$12,000.00, dimana kemudian pada tanggal 29 April 2015 Penggugat menerima surat elektronik dari Tergugat berupa pemberitahuan bahwa Tergugat akan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap Penggugat sejak tanggal 30 Mei 2015 dengan alasan keadaan memaksa (force maejure) karena krisis keuangan yang dialami oleh Tergugat.
Selanjutnya Penggugat menuntut agar Tergugat membayarkan sisa kontrak Penggugat sampai dengan bulan Januari 2016 sesuai masa berlaku PKWT dan juga membayarkan hak-hak lainnya yang seharusnya diterima oleh Penggugat baik selama dalam pelaksanaan kontrak kerja maupun setelah PHK.
Adapun bunyi angka ke-23 Persyaratan Kerja diantara pekerja dengan pemberi kerja, menyebutkan :
Diakhirinya kontrak mungkin terjadi sebagai akibat suatu peristiwa keadaan memaksa, dalam hal ini, perang, kerusuhan politik atau krisis keuangan yang tidak dapat dikendalikan oleh pemberi kerja ataupun pekerja.”
Dalam Employee Termination and Release Agreement yang merupakan surat PHK yang dilakukan oleh Tergugat, disebutkan bahwa alasan Force Majeure (keadaan memaksa) diberlakukan karena dampak keuangan dari tindakan yang diambil oleh salah satu Kontraktor Utama sehubungan dengan Kontrak MoD Indonesia, dimana tindakan tersebut telah menghentikan pekerjaan yang dilaksanakan Multijaya Sparindo sebagai subkontraktor untuk Kontraktor Utama.
Namun Penggugat mendalilkan, alasan PHK oleh Tergugat terhadap Penggugat karena keadaan memaksa, yakni mengenai krisis keuangan sebagai akibat dari tindakan Kontraktor Utama yang memberhentikan Perusahaan sebagai sub kontraktor, adalah tidak berdasar hukum dan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan—karena ketentuan tentang klausula Keadaan Memaksa sudah diatur secara tegas dalam Pasal 61 ayat (1) huruf d UU Ketenagakerjaan dan pencantuman alasan “krisis keuangan yang tak terkendali oleh Pengusaha” sebagai suatu keadaan yang memaksa dalam suatu Perjanjian Kerja adalah merupakan causa yang tidak sahih berkaitan dengan ketentuan Pasal 61 ayat (1) huruf d UU Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian.
Tergugat mendalilkan bahwa alasan “krisis keuangan di luar kendali Pemberi Kerja dan Penerima Kerja” sebagai bagian dari Keadaan Memaksa (force majeure) dalam suatu Perjanjian Kerja adalah suatu hal yang logis dalam dunia bisnis dan hal itu tidak bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan serta pula Penggugat telah menerima dan menyetujui hal tersebut dengan ditandatanganinya Conditions of Employment tanggal 3 Pebruari 2014 sebagai Perjanjian Kerja yang mengikat Penggugat dengan Tergugat.
Atas sengketa PHK tersebut, Majelis Hakim membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa sehubungan dengan dalil para pihak tersebut, Majelis Hakim mempertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa tentang sahnya Perjanjian Kerja, diatur dalam Pasal 52 ayat (1) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, yaitu dibuat atas dasar :
a. kesepakatan kedua belah pihak;
b. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan;
d. pekerjaan yang diperjanjikan itu tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
“Bahwa berakhirnya Perjanjian Kerja diatur dalam Pasal 61 ayat (1) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, dimana diantaranya yang berhubungan dengan perkara a quo adalah yang diatur dalam huruf d Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan tersebut yaitu: adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja;
“Bahwa dalam Penjelasan Pasal 61 ayat (1) huruf d Undang-Undang Ketenagakerjaan, disebutkan bahwa keadaan atau kejadian tertentu seperti bencana alam, kerusuhan sosial atau gangguan keamanan;
“Menimbang, bahwa tentang hal tersebut Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa frasa “...... seperti ...... pada Penjelasan Pasal ayat (1) Undang Undang Ketenagakerjaan tersebut, menunjukkan bahwa “bencana alam, kerusuhan sosial atau gangguan keamanan” tidaklah merupakan syarat limitatif yang bersifat absolut dari “keadaan atau kejadian tertentu” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf d Undang Undang Ketenagakerjaan, akan tetapi masih terbuka kemungkinan adanya syarat lain yang apabila dipandang dari dunia bisnis merupakan suatu kejadian yang mungkin terjadi di luar kendali pengusaha ataupun pekerja;
“Menimbang, bahwa dengan demikian pencantuman syarat “krisis keuangan yang tak terkendali oleh Pengusaha” sebagai bagian dari Keadaan Memaksa (Force Majeure) dalam Perjanjian Kerja adalah tidak bertentangan dengan hukum sepanjang syarat tersebut wajar dan berkaitan langsung dengan sifat pekerjaan dari Pekerja dan sepanjang hal tersebut telah disepakati antara Pekerja dengan Pemberi Kerja dalam suatu perjanjian kerja;
“Menimbang, bahwa dengan berhentinya bidang pekerjaan Tergugat akibat penghentian kontrak tersebut, maka telah terbukti tidak adanya lagi pekerjaan yang harus dikerjakan oleh Penggugat pada Tergugat;
“Menimbang, bahwa dengan terputusnya proyek yang merupakan bidang usaha Tergugat, dengan sendirinya akan memutus pemasukan finansial Tergugat selaku subkontraktor;
“Menimbang, bahwa dari pertimbangan-pertimbangan tersebut telah terbukti terjadinya krisis keuangan yang tak terkendali oleh Tergugat selaku Pengusaha dalam pekerjaan yang menjadi bidang kerja Penggugat, yang dengan demikian penggunaan alasan Keadaan Memaksa berdasarkan klausula krisis keuangan yang tak terkendali oleh Pengusaha untuk melakukan pemutusan hubungan kerja dengan Penggugat, adalah tidak bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan;
“Menimbang, bahwa telah menjadi dalil tetap bahwa Tergugat telah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Penggugat, sehingga dengan demikian untuk selanjutnya akan dipertimbangan tentang tuntutan Penggugat terhadap Tergugat sehubungan dengan hak hak normatif yang harus dibeikan oleh Tergugat kepada Penggugat dengan adanya pemutusan hubungan kerja tersebut, sebagaimana dituntut Penggugat pada angka 3 (tiga) petitum gugatannya;
“Menimbang, bahwa dalam Pasal 62 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 diatur tentang kewajiban pembayaran ganti rugi dari pihak yang mengakhiri hubungan kerja kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya perjanjian jangka waktu;
“Bahwa kewajiban pembayaran ganti rugi sebagaimana diatur dalam Pasal 62 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tersebut adalah apabila berakhirnya hubungan kerja dimaksud bukan karena ketentuan dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
“Bahwa dari pertimbangan-pertimbangan di atas telah terbukti bahwa pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh Tergugat terhadap Penggugat adalah didasarkan pada alasan Keadaan Memaksa (Force Majeure) karena adanya keadaan atau kejadian tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan;
“Menimbang, bahwa dengan demikian pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh Tergugat terhadap Penggugat dalam perkara a quo tidaklah menimbulkan kewajiban bagi Tergugat untuk melakukan pembayaran ganti rugi kepada Penggugat, yang dengan demikian tuntutan Penggugat tentang pembayaran ganti rugi sejumlah USD&96,000.00 (sembilan puluh enam ribu Dolar Amerika Serikat) yang merupakan akumulasi upah Penggugat sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja, dinyatakan ditolak;
“Menimbang, bahwa tentang tuntutan penyerahan bukti pemotongan pajak penghasilan (PPh 21) Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa bukti pembayaran pajak pribadi adalah merupakan hak dari wajib pajak, yang dengan mempertimbangkan kepentingan Penggugat atas perolehan bukti pembayaran pajak tersebut maka tuntutan Penggugat pada angka 5 (lima) petitum gugatan tentang penyerahan bukti potong pajak, dinyatakan dikabulkan;
MENGADILI:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan berakhirnya hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat sejak bulan Mei 2015;
3. Menghukum Tergugat untuk membayar secara tunai dan sekaligus kepada Penggugat kekurangan upah untuk bulan Maret 2015 sejumlah Rp. 22.512.000,00 (dua puluh dua juta lima ratus dua belas ribu rupiah) dan kekurangan upah untuk bulan April 2015 sejumlah USD$2,069.22 (dua ribu enam puluh sembilan Dollar Amerika Serikat dua puluh dua sen);
4 Menghukum Tergugat untuk menyerahkan kepada Penggugat bukti potong pajak (PPh 21);”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.