Upah Proses Rawan Disalahgunakan Pekerja Nakal

LEGAL OPINION
Question: Apakah benar pekerja yang hendak menuntut “upah proses sebagaimana putusan MK bahwa buruh atau pekerja berhak atas upah skorsing selama sengketa hubungan industrial berkekuatan hukum tetap, namun dalam realitanya Mahkamah Agung kerap kali mengubahnya menjadi maksimum 6 bulan saja? Apa konsekuensinya, bila pengusaha berbohong perihal masa kerja dari karyawan guna menghindari besaran progresif nilai perkalian pesangon?
Brief Answer: Tren dan kecenderungan para Hakim Agung dibawah naungan Mahkamah Agung RI (MA RI) memang masih menerapkan kebijakan konservatif yang “membangkang” putusan Mahkamah Konstitusi RI, terutama terhadap kaidah hukum mengenai “upah proses”.
Dalam praktiknya, meski Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) mengabulkan upah proses hingga sengketa ketenagakerjaan berkekuatan hukum tetap (yang dapat berujung pada upaya hukum kasasi), namun MA RI kerap mengoreksi putusan PHI terutama perihal upah proses menjadi sebatas 6 (enam) bulan sebagaimana telah menjadi pendirian MA RI sejak UU Ketenagakerjaan diberlakukan bahkan sebelum terbitnya putusan MK RI.
Manipulasi masa kerja dapat berbuah antipati dari pihak Majelis Hakim terhadap pengusaha dan kontraproduktif terhadap posisi sang pemberi kerja itu sendiri. Konsekuensi perdata yang dapat terjadi, buruh/pekerja dapat meminta pesangon dua kali dari ketentuan normal perihal pesangon, selama diminta buruh / pekerja dalam gugatannya dan kemungkinan besar akan dikabulkan PHI maupun MA RI.
Perihal “upah proses”, pertimbangan utama MA RI yang memang perlu bersikap pragmatis dalam konteks ini, mengingat dalam praktiknya kerap terjadi kalangan buruh / pekerja mengulur waktu pengajuan gugatan hak pesangon hingga bertahun-tahun yang tentunya menjadi celah hukum menuntut upah proses secara terselubung yang coba dicegah oleh MA RI.
PEMBAHASAN:
Salah satu ilustrasi dapat kita temukan pada putusan Mahkamah Agung register perkara Nomor 241 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 26 Mei 2016, yang merupakan putusan tingkat kasasi sengketa hubungan industrial antara:
- PT INDOKING ANEKA AGAR-AGAR INDUSTRI, selaku Pemohon Kasasi, dahulu Tergugat; melawan
- RATNA SOLIN, sebagai Termohon Kasasi, dahulu Penggugat.
Penggugat tercatat sebagai buruh bagian produksi pada Tergugat sejak tahun 2001 sampai dengan lahirnya perselisihan hubungan industrial berupa pelarangan bekerja alias Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak pada tanggal 4 Agustus 2014.
Penggugat tidak pernah melakukan tindak pidana, bahkan sama sekali tidak pernah mendapat surat teguran dari perusahaan, namun tiba-tiba Tergugat melarang Penggugat untuk bekerja, tanpa alasan yang jelas, sehingga Penggugat kemudian meminta surat pemecatan dan hak pesangon. Tergugat kemudian memberi surat yang diminta, namun Penggugat terlebih dahulu membaca isi dari surat tersebut yang ternyata berbunyi:
“Bahwa Penggugat telah mengundurkan diri sejak Tahun 2011 dan melamar lagi awal Januari 2014 serta berhak menerima pesangon sebesar 1 (satu) bulan gaji.”
Dengan sangat terkejut, Penggugat menanggapi:
“ini surat apa, yang saya minta kan surat pemecatan bukan surat seperti ini, seolah-olah saya telah mengundurkan diri dan melamar kerja lagi pada Januari 2014, sementara saya terus bekerja kenapa isi suratnya seperti ini, saya tidak bersedia menandatangani surat ini.
Sikap Tergugat yang memperlakukan Penggugat secara tidak lazim dengan cara melakukan manipulatif masa kerja sampai pelarangan bekerja, mengingat selama mengabdi lebih dari 13 (tiga belas) tahun Penggugat dapat menjalankan kinerjanya dengan baik, benar dan penuh tanggungjawab.
Oleh karena itu tindakan Tergugat tidak dapat ditafsirkan lain merupakan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) berimplikasi hilangnya hak-hak yang seharusnya diterima Penggugat dalam kurun waktu tersebut seperti hak atas pesangon, uang penghargaan dan uang penggantian perumahan, pengobatan dan perawatan serta upah selama “dirumahkan” (istilah lain “skorsing”) yang seharunya menjadi milik Penggugat yang telah mengabdi dalam hitungan waktu yang tidak singkat.
Selain meminta agar dinyatakan hubungan kerja terputus dengan hak pesangon dua kali ketentuan pesangon normal, Penggugat juga meminta agar pengadilan memerintahkan Tergugat melaksanakan hak atas upah Penggugat selama proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam putusan sela sebagaimana diatur Pasal 98 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial:
“Apabila dalam persidangan pertama, secara nyata-nyata pihak pengusaha tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hakim Ketua sidang harus segera menjatuhkan putusan sela berupa perintah kepada pengusaha untuk membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh yang bersangkutan”.
Putusan PHI dijatuhkan pada bulan November 2015, sementara itu PHK sepihak terjadi pada Agustus 2014, yang artinya terdapat tenggang/jeda waktu selama lebih dari 1 (satu) tahun lamanya.
Namun gugatan Penggugat menyiratkan adanya “kenakalan” tersendiri, mengingat dalam gugatannya diminta agar diberikan uang proses sejak Agustus 2014 hingga September 2015 (tahun dimana gugatan baru diajukan).
Pertanyaanya, mengapa gugatan baru diajukan dalam jeda waktu selama 13 bulan demikian? Apabila buruh/pekerja baru mengajukan gugatan dua tahun kemudian, maka apakah artinya buruh/pekerja berhak atas upah proses selama dua tahun dirinya mengulur waktu mengajukan gugatan? Lihat pula kejanggalan atas putusan MK RI ketika kadaluarsa hak menuntut upah/pesangon tidak lagi 2 (dua) tahun sebagaimana dibatasi oleh UU Ketenagakerjaan.
Meski demikian, pemberi kerja memiliki kewajiban dan oleh karena inisiatif PHK datang dari Tergugat, maka Penggugat berhak atas hak normatif buruh secara patut dan layak.
Terhadap gugatan tersebut, PHI Medan kemudian menjatuhkan Putusan Nomor 129/Pdt.SusPHI/2015/PN.Mdn tanggal 2 November 2015, dengan amar sebagai berikut:
“Dalam Pokok Perkara :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian;
2. Menyatakan putus hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat oleh Pengadilan sejak putusan ini dibacakan;
3. Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat (ic.PT. Indoking Aneka Agar Agar Industri) putus berdasarkan Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Jo. Pasal 100 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang PPHI;
4. Menghukum Tergugat membayar hak-hak Penggugat akibat pemutusan hubungan kerja, berupa uang pesangon 2 kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan upah proses dengan rincian sebagai berikut :
- Uang pesangon 2 x 1x Rp.3.000.000.- =Rp 6.000.000.-
- Uang Penggantian Hak 15%xRp.6.000.000.- =Rp 900.000.-
- Upah Proses 12 x Rp.3.000.000.- =Rp36.000.000.-
Jumlah keseluruhan = Rp42.900.000.- (empat puluh dua juta sembilan ratus ribu rupiah)
5. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya;”
Tergugat mengajukan kasasi, terutama perihal upah proses yang diberikan PHI, dimana Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya menyatakan upah Proses pasca Putusan MK RI Nomor 37/PUU-XI/2011 sebagai Konsekuensi dari Pemutusan hubungan kerja adalah sebesar Rp3.000.000,00, dikalikan 12 (bulan)—meski MK RI menyatakan dihitung hingga berkekuatan hukum tetap yang dapat memakan waktu lebih dari 12 bulan.
Terhadap permohonan kasasi dan keberatan yang diajukan Tergugat, Mahkamah Agung membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Bahwa putusan Judex Facti yang memutus hubungan kerja dengan memberi kompensasi berupa 2 (dua) kali uang pesangon dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2) dan (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sudah tepat, karena terbukti hubungan kerja dianggap sebagai Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu dan Pemutusan Hubungan Kerja tanpa adanya kesalahan dari Penggugat;
“Menimbang bahwa terlepas dari pertimbangan tersebut diatas, Mahkamah Agung berpendapat bahwa amar putusan/Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Medan harus diperbaiki sepanjang mengenai upah proses dengan pertimbangan sebagai berikut: Bahwa upah proses yang semula 12 (dua belas) bulan upah menjadi 6 (enam) bulan upah dengan pertimbangan Proses Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 paling lama selama 6 (enam) bulan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata bahwa putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, Sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi : PT INDOKING ANEKA AGAR-AGAR INDUSTRI tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I:
1. Menolak Permohonan Kasasi dari Pemohon Kasasi: PT. INDOKING ANEKA AGAR-AGAR INDUSTRI tersebut;
2. Memperbaiki amar putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan Nomor 129/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Mdn tanggal 2 November 2015, sehingga amar selengkapnya sebagai berikut:
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian;
2. Menyatakan putus hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat oleh Pengadilan sejak putusan ini dibacakan;
3. Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat (ic. PT. Indoking Aneka Agar-Agar Industri) putus berdasarkan Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juncto Pasal 100 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI);
4. Menghukum Tergugat untuk membayar hak-hak Penggugat akibat pemutusan hubungan kerja, berupa uang pesangon 2 kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan upah proses dengan rincian sebagai berikut:
- Uang pesangon 2 x 1 x Rp3.000.000,00 = Rp 6.000.000,00
- Uang Penggantian Hak 15% x Rp6.000.000,00 = Rp 900.000,00
- Upah Proses 6 x Rp3.000.000,00 = Rp18.000.000,00
Jumlah keseluruhan = Rp24.900.000,00 (dua puluh empat juta sembilan ratus ribu rupiah)
5. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya."
Terhadap kontroversi besaran maksimum penghitungan “upah proses”, SHIETRA & PARTNES tampaknya memiliki pendirian tersendiri. Bila merujuk pada putusan MK RI, tampaknya merupakan sisi ekstreem yang satu karena buruh/pekerja dapat saja baru mengajukan gugatan 10 (sepuluh) tahun kemudian disertai tuntutan upah proses (dapat saja terjadi pasca putusan MK RI lainnya)
Sementara bila merujuk berbagai kecenderungan pendirian MA RI, adalah juga sisi ekstrim lainnya, dimana hitungan maksimum 6 (enam) bulan masih jauh dari memadai mengingat upaya hukum kasasi dapat memakan waktu yang mencapai lebih dari satu tahun.
Untuk itu adalah bijak bila ditetapkan yurisprudensi baru, yang mengatur kaidah normatif bahwa “upah proses” dapat diberikan maksimum 1 (satu) tahun alias 12 (dua belas) bulan sebagaimana dapat kita temui pada berbagai pendirian para hakim Pengadilan Hubungan Industrial yang cukup moderat.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.