LEGAL OPINION
Question: Sebagai karyawan sebuah perseroan, mendadak dipecat perusahaan tanpa alasan yang jelas, secara sepihak. Jangankan meminta surat skorsing, untuk meminta kejelasan alasan pemecatan terhadap saja tak ada trasparansi. Apakah dapat meminta upah proses, jika saya mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial terhadap perusahaan tersebut?
Brief Answer: Tren putusan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) memang belum seragam, namun terdapat juga putusan PHI yang cukup arif dan bijak memahami posisi lemah buruh / pekerja terhadap dominasi pengusaha, sehingga sekalipun tanpa surat skorsing, fakta faktual bahwa sang buruh telah “dipecat secara politis” sudah merupakan “bukti lingkungan” yang memadai untuk menuntut upah proses selama proses persidangan berlangsung. Hakim dapat menggunakan alat pembuktian lain sebagai petunjuk efektif terjadinya “PHK secara politis” terhadap buruh, seperti adanya surat keterangan pengalaman kerja yang diterbitkan perusahaan.
PEMBAHASAN:
Dalam putusan Pengadilan Hubungan Industrial Semarang atas perkara perselisihan hubungan industrial Register Nomor 41/Pdt.Sus-PHI/G/2015/PN.Smg tanggal 21 September 2015, antara:
- EKO YULIANTO, selaku Penggugat; melawan
- PT. SARI MELATI KENCANA, selaku Tergugat.
PENGGUGAT mulai bekerja sebagai Security di Pizza Hut Solo pada tahun 2005, dimana selama 10 tahun masa kerja tersebut, dengan penuh dedikasi sebagaimana terlihat dari seringnya Penggugat bekerja melampaui jam kerjanya yaitu 12 jam sehari, dan bahkan selama 10 tahun tersebut tidak pernah mendapatkan cuti.
Selama bekerja, Penggugat mengklaim memiliki reputasi yang baik, dan tidak pernah mendapat surat peringatan tertulis dan ataupun teguran lisan dari perusahaan. Namun Penggugat mendadak dikejutkan Manager Pizza Hut Solo yang memanggil Penggugat pada tanggal 7 Januari 2015, menyampaikan bahwa masa kerja Penggugat akan diakhiri pada bulan Januari 2015.
Pada tanggal 24 Januari 2015, Tergugat menerbitkan Surat Keterangan yang menerangkan bahwa Penggugat adalah benar karyawan kontrak (selama sepuluh tahun ?!) sebagai petugas security sejak 01 Desember 2005 sampai dengan 31 Januari 2015 di PIZZA HUT SOLO yang ditandatangani oleh Human Resources Dept. Head PT. Sarimelati Kencana selaku pemegang merek usaha Pizza Hut Indonesia.
Atas tindakan Tergugat melakukan PHK, Penggugat mengupayakan penyelesaian perselisihan ini lewat perundingan bipartit. Surat permintaan perundingan bipartit dikirim kepada Tergugat, namun tiada tanggapan.
Penggugat mengajukan permohonan mediasi kepada Mediator Hubungan Industrial Dinas Sosial Tenaga Kerja Kota Surakarta. Mediator Disnaker kemudian melakukan panggilan mediasi kepada para pihak, namun Tergugat tidak pernah menghadiri mediasi yang dilaksanakan oleh Disnaker. Selanjutnya Disnaker menerbitkan surat anjuran pada tanggal 24 Maret 2015, dengan substansi:
“MENGANJURKAN: Agar pihak Pengusaha dapat mempekerjakan kembali pihak Pekerja seperti semula dengan menerbitkan surat keterangan kepada pekerja dengan status perjanjian kerja waktu tidak tertentu (pekerja tetap) sejak tahun 2005.”
Atas surat anjuran tersebut, Penggugat memberikan jawaban tertulis kepada Mediator Disnaker yang menyatakan menerima anjuran. Sementara Tergugat tidak memberikan jawaban. Tanggal 14 April 2015, Mediator Disnaker mengeluarkan Risalah Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, yang menyatakan:
(1) Bahwa pada sidang mediasi I (pertama) dan sidang mediasi II (kedua) pihak pengusaha tidak hadir sehingga keterangan dari pengusaha tidak ada dan tidak dapat diadakan perundingan;
(2) Bahwa dengan mempertimbangkan peraturan perundangan ketenagakerjaan yang berlaku, keterangan dari pihak pekerja serta bukti yang disampaikan oleh pihak pekerja dan demi menjaga hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan maka mediator berkesimpulan hubungan kerja antara pihak pengusaha dengan pihak pekerja, ada sejak adanya penerbitan Nomor Induk Karyawan dan tidak ada pemutusan hubungan kerja;
(3) Bahwa pihak pekerja menerima Anjuran Mediator Hubungan Industrial untuk mempekerjakan kembali pihak pekerja seperti semula dengan menerbitkan sura keterangan sebagai pekerja dengan status perjanjian kerja waktu tidak tentu (pekerja tetap) sejak tahun 2005.
(4) Bahwa pihak pengusaha tidak memberikan jawaban atas Anjuran dari Mediator Hubungan Industrial.
Penggugat mengirim surat, yang pada intinya menunggu panggilan untuk bekerja kembali. Namun sampai dengan gugatan diajukan, Tergugat tidak menunjukkan itikad baik untuk membalas surat atau menghubungi Penggugat.
Setelah dinyatakan berakhir masa kerjanya pada tanggal 31 Januari 2015 dengan dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak, Penggugat tidak lagi mendapatkan upah maupun hak normatif lainnya yang biasa diterimanya setiap bulannya.
Sementara itu Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan:
”Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.”
Oleh karenanya, selama proses PHK sampai dengan adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap, status Penggugat secara yuridis adalah masih sebagai karyawan, sehingga adalah logis berhak mendapatkan upah beserta hak-hak lain secara penuh sampai dengan adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Yang jika kita kaitkan dengan ketentuan Pasal 96 Undang-Undang No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial:
1) Apabila dalam persidangan pertama, secara nyata-nyata pihak pengusaha terbukti tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (3) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Hakim Ketua Sidang harus segera menjatuhkan Putusan Sela berupa perintah kepada pengusaha untuk membayar upah beserta hak hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh yang bersangkutan.
2) Putusan Sela sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dijatuhkan pada hari persidangan itu juga atau pada hari persidangan kedua.
Menjadi wajar dan tidaklah berlebihan apabila pada sidang pertamanya nanti, Majelis Hakim menjatuhkan Putusan Sela yang memerintahkan agar Tergugat untuk membayar upah selama proses yang penyelesaian sengketa tersebut. Sementara itu yang menjadi pokok permintaan dalam gugatan Penggugat ialah agar PHI menghukum Tergugat untuk memanggil dan mempekerjakan kembali Penggugat sebagai pekerja tetap.
Atas gugatan tersebut, Majelis Hakim kemudian membuat pertimbangan hukum:
“Menimbang bahwa dari keadaan tersebut diatas Majelis berpendapat bahwa karena pemutusan hubungan kerja tersebut tidak sesuai pasal 151 ayat 3 UU No. 13 tahun 2003 yakni pemutusan hubungan kerja harus memperoleh penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka sesuai pasal 155 ayat 1 UU No. 13 tahun 2003, pemutusan tersebut batal demi hukum, sehingga penggugat masih berhak mendapatkan upah, menghukum tergugat membayar upah Penggugat setiap bulannya sebesar Rp. 1.222.400,- sejak februari 2015;
“Menimbang, oleh karena putusan provisi bersifat serta merta, sedang tuntutan pokok perkara adalah untuk dipekerjakan kembali, maka tuntutan provisi agar dikabulkan sampai putusan berkekuatan hokum tetap, hal ini menurut majelis tidak tepat, untuk itu yang adil dan agar tidak over lapping, maka tuntutan provisi dapat dikabulkan sampai Penggugat dipekerjakan kembali;
“Menimbang, untuk itu pengabulan tuntutan provisi upah (proses) patut dikabulkan sejak bulan Februari 2015 sampai dengan dipekerjakannya kembali (oleh) Penggugat.
“Menimbang bahwa dalam petitum provisi Penggugat juga menuntut hak-hak lainnya, majelis berpendapat bahwa selama tenggang waktu antara februari 2015 sampai dengan persidangan perkara ini ada hari raya keagamaan yakni Idul Fitri di bulan Juli 2015, sehingga majelis berpendapat sesuai dengan Permenaker No.Per-04/Men/1994 bahwa Penggusaha wajib membayar THR sebesar Upah tiap bulannya sehingga Penggugat berhak mendapat Tunjangan hari raya sebesar satu kali gaji;
“Menimbang bahwa dengan tidak adanya perjanjian kerja waktu tertentu yang dibuat oleh tergugat secara tertulis maka sesuai pasal 57 ayat 2 UU No. 13 tahun 2003 dinyatakan sebagi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
“Menimbang bahwa karena pekerjaan Penggugat adalah security yang merupakan perkerjaan yang tetap, maka sesuai pasal 59 ayat 7 UU No. 13 tahun 2003 maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
“Menimbang bahwa karena pekerjaan security adalah bukan pekerjaan musiman maka sesuai dengan keputusan menteri tenaga kerja dan transmigrasi RI No. Kep.100/Men.VI.2004 pasal 15 ayat 2, perjanjian kerja waktu tertentu yang dibuat berubah menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu sejak adanya hubungan kerja, yang berarti hubungan kerja dimulai sejak tanggal 1 Desember 2005.
“Menimbang bahwa bukti P3 yaitu surat keterangan yang dijadikan alas PHK tersebut diatas adalah tidak sah dan perjanjian kerja menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu, sehingga Majelis berpendapat PHK yang telah dilakukan Tergugat terhadap Penggugat adalah tidak sah karena tidak sesuai pasal 151 ayat 3 UU No. 13 tahun 2003 yakni pemutusan hubungan kerja harus memperoleh penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka sesuai pasal 155 ayat 1 UU No. 13 tahun 2003, pemutusan tersebut batal demi hukum dan antara tergugat dengan penggugat masih mempunyai hubungan kerja.
“Menimbang bahwa terhadap petitum 4 perihal menghukum tergugat membayar uang paksa sebesar Rp. 200.000 perhari terhitung sejak putusan dibacakan sampai tergugat melaksanakan putusan, majelis berpendapat karena petitum ini beralasan karena gugatan pokok perkara ini menyangkut hak penggugat terhadap tindakan kesewenangan tergugat dengan melakukan pengakhiran hubungan kerja tidak sesuai UU No. 13 tahun 2003, sehingga petitum ini dikabulkan.”
Meski demikian, seorang anggota dari Majelis Hakim mengajukan pendapat berbeda, dengan berfokus pada aspek formalitas tanpa menyentuh aspek substansial dari perkara, dengan menyatakan Serikat Buruh Mandiri yang menjadi kuasa hukum Penggugat adalah Serikat Buruh luar perusahaan yang tidak memiliki hubungan kerja dengan Tergugat.
Tiba pada amar putusannya, Majelis Hakim PHI menjatuhkan amar putusan (meski tidak dengan suara bulat):
“M E N G A D I L I
DALAM PUTUSAN PROVISI
1. Mengabulkan Gugat Provisi Penggugat;
2. menghukum tergugat membayar upah (proses) penggugat setiap bulannya sebesar Rp. 1.222.400,- sejak februari 2015 sampai Penggugat dipekerjakan kembali;
3. Menghukum Tergugat membayar THR kepada Penggugat sebesar Rp. 1.222.400,-;
DALAM POKOK PERKARA:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan bahwa surat keterangan No. 79/SMK/HRD-KTR/I/2015 adalah tidak sah dan tidak berlaku;
3. Memerintahkan Tergugat untuk memanggil dan mempekerjakan kembali Penggugat sebagai pekerja tetap pada posisi dan outlet semula yaitu sebagai security di outlet Pizza Hut Solo milik tergugat;
4. Menghukum Tergugat membayar uang paksa sebesar Rp. 200.000 perhari terhitung sejak putusan dibacakan sampai tergugat melaksanakan putusan;
5. Menolak gugatan Penggugat untuk selebihnya."
Di dalam lezatnya suguhan potongan pizza dengan lelehan keju dan taburan topping jamurnya, disamping keramahan para pelayan di restoran tersebut, kehangatan desain interiornya, siapa yang akan menyangka terjadi praktik-praktik “penghisapan” tenaga manusia. Mahalnya harga hidangan ternyata tidak sebanding dengan kesejahteraan para pegawainya.
Terhadap kasus karyawan security Pizza Hut diatas, status putusan telah berkekuatan hukum tetap, dan secara resmi Mahkamah Agung RI menyatakan bahwa putusan tersebut berlaku sebagai yurisprudensi.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.