Sumber Daya Hukum

ARTIKEL HUKUM
Suatu waktu seseorang menyatakan pada penulis, bahwa dirinya membuang sampah sembarangan hal itu dilakukannya secara sengaja guna memberi kerjaan pada tukang sapu. Baginya, bila tidak ada orang jorok maka tidak akan ada tukang sapu yang akan dipekerjakan, dan itu artinya orang jorok memberi lapangan pekerjaan bagi profesi tukang sapu.
Malas berdebat dengan makhluk mengerikan bernama “manusia”, penulis hanya berkata dalam hati: apa artinya kita pun harus menjadi penjahat guna memberi lapangan pekerjaan bagi seseorang untuk menjadi polisi, kalangan jaksa, dan juga profesi hakim?
Meski demikian penulis cukup tertarik pula untuk merenungkan hal tersebut. Mungkinkah profesional penegak hukum justru membutuhkan kalangan profesi penjahat untuk tetap eksis dan mencari makan? Jika benar demikian adanya, ironis sekali kehidupan manusia di muka Bumi ini.
Thomas Hobbes mengatakan, manusia adalah serigala bagi sesama. Sejarah kriminalistik membuktikan kebenaran hal tersebut. Namun mengapa kejahatan terlahir dan dikenal dalam kamus kehidupan bermasyarakat?
Sejarah peradaban dalam berbagai teks menampilkan informasi bahwa penjajahan terjadi karena faktor perluasan pasar serta perolehan sumber daya. Afirmasi ini memukul kesadaran kita secara telak, bahwasannya sejarah selalu terulang bahkan hingga abad ini. Pabrik senjata api dan pemusnah tidak pernah berhenti berproduksi senjata-senjata pembunuh. Bahkan tidak menunjukkan gejala-gejala akan mereda.
Serentetan pertanyaan bagai efek domino memenuhi kepala. Satu pertanyaan mengarah pada pertanyaan baru lainnya bagaikan jejaring kusut tak berkesudahan. Menggoda untuk berpaling dan bersikap pragmatis akan tidak terbenam dalam jeratan benang kusut itu.
Setelah melewati rangkaian kontemplasi yang mendalam dan memakan waktu meski membawa sejumlah luka, sejauh apapun “benang merah” dirujuk dan ditarik, ternyata akar penyebab dilematika ini adalah dua faktor, yang penulis sebut sebagai “dua faktor pembunuh”, yakni: keterbatasan sumber daya serta sifat dasar naluriah manusia yang tidak mengenal kata “puas”.
Mari kita bedah bersama. Keterbatasan ruang gerak, ruang nafas, keterbatasan sumber daya air dan mineral, sumber daya ekonomi, sumber daya dukung alam, serta sifatnya yang saling berbagi—dalam arti pencemaran oleh seseorang dapat membawa dampak bagi pihak lain seperti pencemaran air, kerusakan ekosistem yang berkonsekuensi perubahan iklim global, dsb. Kita berbagi planet yang sama dengan miliaran penduduk Bumi lainnya, dan berdiri dibawah atap langit yang sama. Jangan pernah berpikir membuang satu botol ke dalam sungai tidak menyakiti siapapun.
Kebutuhan manusia tak sebanding dengan daya dukung lingkungan, terutama ketika meludaknya populasi penduduk. Yang paling mengerikan ialah keinginan manusia, bagaikan bejana yang berlubang pada bagian pangkalnya sehingga sebanyak apapun diisi air ke dalamnya tidak akan membuatnya pernah penuh.
Bila kita merenungkan kedua faktor tersebut diatas baik-baik, sejatinya pernyataan seseorang pada pembuka kisah diatas menjadi tampak konyol. Tanpa ada yang meminta dan menyuruh sekalipun, manusia satu akan saling memakan dengan manusia lainnya sebagai bagian dari “rantai predator” karena kedua faktor alam tersebut diatas sejatinya mencengkeram erat kehidupan manusia.
Kita tak perlu bersikap munafik dengan menyatakan menentang pernyataan bahwa manusia hidup dalam “rantai predator”. Fakta dikeseharian sudah cukup membuat kita yakin akan kebenarannya.
Pada dasarnya tak ada seorang pun yang ketika masih muda bercita-cita menjadi seorang penjahat. Tekanan hidup serta kondisi kehidupan manusia yang ringkih mendesak makhluk berakal-budi ini untuk menjadi “serigala bagi manusia sesamanya”.
Dalam konteks ini, sejatinya negara dibentuk sebagai organisasi manajerial agar manusia satu tidak begitu kentara “memakan manusia” lainnya. Maka dari itu kemudian dibentuklah negara lengkap dengan instrumen hukum negara.
Namun lagi-lagi, hukum negara pun terbentur pada kedua faktor pengungkung manusia: keterbatasan serta sifat tidak kenal puas makhluk bernama manusia.
Sebelumnya SHIETRA & PARTNERS memberikan layanan konsultasi hukum secara cuma-cuma bagi mereka yang mengaku tidak mampu—meski penulis tahu benar bahwa itu bohong belaka. Apa yang kemudian terjadi, berbagai klien yang dilayani dengan pro bono tersebut meminta pelayanan secara lebih dari lebih, lagi dan lagi tanpa kenal rasa malu.
Karena itu, hukum menjadi tampil demikian tegas. Pembatasan demi pembatasan terhadap akses sumber daya diperketat agar sumber daya yang ada tidak habis oleh ketamakan umat manusia. Otoritas negara yang abai akan mengakibatkan kehancuran ekosistem dan daya dukung alam.
Lihatlah bagaimana umat manusia terancam gelap-gulita karena bahan bakar fosil kian menipis dari cadangan Bumi, namun berbagai pemborosan listrik hingga penghamburan bahan bakar minyak kendaraan dibakar setiap hari untuk tujuan kesenagnan dan pemborosan belaka.
Kita menjadi hidup pada dunia simbol (hyper-reality) sekaan kita makan uang dan minum bensin/solar, padahal sejatinya uang dan bensin tiada arti tanpa pangan dalam arti nyata. Manusia modern terjerat dan terpenjara dalam dunia simbol yang mereka ciptakan sendiri. Segalanya menjadi artifisial, terselubung, dan tersimbolisasi. Kita menjadi terbiasa demikian mengagungkan simbol-simbol yang sejatinya mereduksi makna hakiki dari realitas.
Populasi manusia yang bertambah menyebabkan kebutuhan akan tempat tinggal meningkat. Sementara itu daya dukung kehidupan berupa petak tanah tetap terbatas. Asupan pangan pun meningkat, namun lahan pertanian justru kian tertekan.
Kematian akibat wabah, perang, rokok, polutan, makanan tidak sehat, minuman keras, dan nark*tika menyumbang peran sebagai penekan populasi penduduk.
Namun apakah artinya kita berhutang budi pada semua faktor pembunuh tersebut?
Tidak perlu dan kita tidak berhutang pada siapa pun, karena semua keburukan kehidupan akan ada dengan sendirinya tanpa perlu diminta.
Hukum adalah keras, namun kehidupan lebih keras adanya. Kisah-kisah heroik digaungkan dan dikumandangkan serta terus direproduksi, guna memberi harapan bagi umat manusia untuk terus bertahan ditengah zaman yang kian edan. Eling menjadi kata yang kian laku dalam kamus yang dikenal manusia.
Keterbatasan ini membuat manusia menciptakan dunia cyber, dunia maya yang seakan tidak terbatas, dan mulai menipu diri dengan meyakini bahwa dunia semu tersebut menawarkan solusi praktis. Akan tetapi efeknya justru berdampak buruk karena kadar depresi serta frustasi dari dunia digital menambah luka kehidupan manusia dalam alam realita nyata—dan yang terparah menyerah pada dunia nyata.
Peradaban manusia dapat bertahan hingga saat ini, sedikit banyak kita harus berterimakasih pada peran hukum negara. Tanpa hukum negara, manusia akan menjadi karnivora bagi sesamanya dalam arti yang sebenarnya.
Ironisnya, hukum dipegang dan dijalankan oleh makhluk bernama manusia itu sendiri. Namun, jika kita menyerah dan kembali menyerahkan asa pada hukum kodrat atau hukum alam, maka sejatinya kita kembali menyerahkan nasib kita pada “dua faktor pembunuh” yang telah mendesak manusia kearah dehumanisasi seperti telah dibahas secara pahit sebelumnya diatas.
Artikel yang kelam. Meski demikian, setidaknya kita perlu bersikap jujur terhadap diri kita sendiri, dan menyadari bahwa kita berbagi ruang dan sumber daya yang terbatas ini terhadap sesama kita dan makhluk hidup lainnya, disamping kesadaran bahwa sejatinya kita tengah meminjam semua sumber daya ini dari generasi penerus. Masih adakah yang dapat kita wariskan selain kerusakan daya dukung kehidupan?
Ketika sumber daya dukung kehidupan bersifat terbatas, sumber daya hukum tidak boleh menyerah terhadap keterbatasan sistem hukum itu sendiri. Itulah yang kemudian penulis sebut sebagai mazhab “sumber daya hukum”, sebuah teori hukum yang penulis bangun dan susun dari berbagai untaian fenomena sosial dan pengakuan terhadap realita secara apa-adanya.
Sumber daya hukum harus mampu mengekang dan mengontrol keinginan manusia, bukan sebaliknya mengakomodasi keinginan manusia yang tiada habisnya dan tiada puasnya. Lagi-lagi kita kembali berputar pada siklus lingkaran setan berupa dua faktor pembunuh: keterbatasan ruang dan sumber daya serta sifat dasariah manusia yang tidak mengenal puas.
Ketika Anda petik senar dawai terlalu ringan, maka tiada simfoni terona. Namun ketika Anda petik senar itu terlampau keras, maka suara yang ditimbulkan merusak simfoni. Ada “akselerasi” maka ada “rem”. Keduanya dihadapakan untuk berpasangan.
Meski demikian sumber daya hukum tidak mengenal kata menyerah. Ketika hukum menyerah, maka itulah titik balik punahnya peradaban manusia. Niscaya, ketika hukum benar-benar kehilangan wibawanya di mata masyarakat, maka hukum menjelma hukum rimba yang tunduk pada dua faktor pembunuh kembali.
Pilih menyerah atau membangun bersama sumber daya hukum ini? Semua itu ada di tangan Anda, kita semua. Berdiri diatas Bumi yang sama dan dibawah langit yang sama, dengan berbagi air dan udara yang sama.
Untuk apa kita terus merenggut hak pihak lain dan mengkonsumsi apa yang sejatinya milik pihak lain, bila pada akhirnya semua bagai tidak pernah mendapat apapun bagaikan kendi yang berlubang pada bagian dasarnya. Tiada akhir dan tiada berkesudahan.
Hukum bukanlah sebagaimana digambarkan seorang dewi dengan mata tertutup memegang belati dan timbangan. Dewi buta yang udik/kolot semacam itu tidaklah patut memegang tonggak dan pilar hukum. Hukum tidaklah buta, namun justru perlu membuka matanya lebar-lebar.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.