Putusan Praperadilan Tidak dapat Diajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali

ARTIKEL HUKUM
Polemik mengenai kerap dijumpai ego sektoral antara Mahkamah Agung RI terhadap Mahkamah Konstitusi RI, dimana MA RI acapkali membangkang terhadap kaidah hukum yang diputus oleh MK RI. Namun khusus perihal isu hukum mengenai praperadilan, tampaknya MA RI mencoba duduk bersama dengan MK RI, membentuk unifikasi guna kepastian hukum. Untuk kali ini ego sektoral disisihkan demi kepentingan publik.
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan (PERMA No. 4/2016) sejatinya merupakan norma baru yang diciptakan MA RI, dan disaat bersamaan timbul kesan MA RI tengah bereksperimentasi terhadap kaidah hukum. Namun upaya MA RI cukup patut diapresiasi, mengingat lalainya regulator pembentuk undang-undang untuk menutup berbagai kekosongan hukum pada hukum acara pidana di Indonesia.
Dalam konsiderans, MA RI menyitir beberapa faktor secara komprehensif untuk kita simak, sebagai berikut:
-      Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 telah memperluas kewenangan Praperadilan sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 77 huruf a KUHAP, menjadi tidak hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan; tetapi termasuk juga penetapan tersangka, penyitaan dan penggeledahan. Note SHIETRA & PARTNERS: Secara yuridis, MK RI tidak berwenang membuat norma hukum baru seperti demikian. Namun sebagaimana MA RI yang juga kerap membuat norma hukum baru, asas pragmatis akan tampil demi kepentingan yang luas.
-      Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Hasil Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan, memungkinkan diajukannya peninjauan kembali terhadap putusan Praperadilan dalam hal ditemukan indikasi penyelundupan hukum, namun demikian terdapat penafsiran yang berbeda-beda mengenai pengertian penyelundupan hukum sehingga dapat mengakibatkan putusan yang saling bertentangan dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
-      Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 65/PUU-IX/2011 menghapus pemberian hak banding kepada penyidik dan penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP sehingga terhadap putusan praperadilan tidak dapat lagi diajukan upaya hukum banding.
-      Pasal 45A Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Perubahan Kedua atas Undang Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung menentukan larangan diajukan kasasi terhadap putusan Praperadilan.
-      Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 memberikan kewenangan Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawahnya dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman, termasuk Praperadilan.
-      Rapat Pleno Kamar Pidana pada tanggal 2 Februari 2016 menentukan Putusan Praperadilan tidak dapat diajukan Peninjauan Kembali (PK). Note SHIETRA & PARTNERS: Kutak-katik kaidah hukum kerap dilakukan MA RI, sebagaimana SEMA No. 7 Tahun 2012 kemudian dikoreksi oleh SEMA No. 4 Tahun 2014, sebelum kemudian dikoreksi kembali oleh PERMA ini. Bagi yang tidak pernah mengikuti rekam jejak MA RI, sekalipun kalangan sarjana hukum, dipastikan akan menemukan “rimba belantara” kaidah hukum bentukan MA RI.
Praktis, terhadap putusan praperadilan tidak dapat dilakukan upaya hukum, baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa.
Pasal 1 PERMA No. 4/2016 menyebutkan, peraturan ini mengatur tentang larangan pengajuan peninjauan kembali terhadap putusan Praperadilan. Sementara itu Pasal 2 PERMA No. 4/2016 menyatakan:
(1) Obyek Praperadilan adalah:
a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, penetapan tersangka, penyitaan dan penggeledahan;
b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
(2) Pemeriksaan Praperadilan terhadap permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka hanya menilai aspek formil, yaitu apakah ada paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang sah dan tidak memasuki materi perkara.
(3) Putusan Praperadilan yang mengabulkan permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka tidak menggugurkan kewenangan Penyidik untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka lagi setelah memenuhi paling sedikit dua alat bukti baru yang sah, berbeda dengan alat bukti sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara.
Pasal 2 Ayat (2) PERMA No. 4/2016 sejatinya memberi “angin surga” bagi Penyidik maupun Jaksa Penuntut Umum. Dimana yang dinilai hanya aspek formil semata apakah telah terdapat minimum 2 (dua) alat bukti, tanpa menyentuh materi pokok perkara. Lantas, dimana celah hukum terletak? Penyidik maupun jaksa dapat menunjukkan berbagai alat bukti yang “tidak nyambung” dengan pokok perkara, dimana hakim tunggal praperadilan dilarang untuk mempertanyakan korelasi antara alat bukti yang ditunjukkan/dihadirkan ke persidangan dengan konteks perkara (sebingung apapun yang ada pada benaknya), demi memenuhi prasyarat minimum kuantitas alat bukti. Perhatikan selengkapnya kelanjutan Pasal 2 PERMA No. 4/2016 berikut:
(4) Persidangan perkara Praperadilan tentang tidak sahnya penetapan tersangka, penyitaan dan penggeledahan dipimpin oleh Hakim Tunggal karena sifat pemeriksaannya yang tergolong singkat dan pembuktiannya yang hanya memeriksa aspek formil.
(5) Praperadilan diajukan dan diproses sebelum perkara pokok disidangkan di pengadilan negeri, jika perkara pokok sudah mulai diperiksa maka perkara Praperadilan gugur.
Dari kaidah diatas, kita pun mampu menyadari bahwa prinsip praperadilan ialah “siapa cepat, ia yang dapat!”. Prinsipnya praperadilan tidak menunda proses perkara yang tengah berjalan, sehingga akan lebih tepat bila MA RI membentuk kaidah dengan bunyi: “Praperadilan seyogianya diajukan dan diproses jauh sebelum perkara pokok disidangkan di pengadilan negeri.”.
Meski demikian, menjadi blunder bila kaidah tersebut juga dimaknai berlaku bagi warga negara yang menuntut ganti-rugi akibat kriminalisasi ataupun salah tangkap lewat mekanisme “gugatan” praperadilan yang mana justru baru dapat dilakukan rehabilitasi pasca dirinya dinyatakan korban kriminalisasi.
Pasal 3 PERMA No. 4/2016:
(1) Putusan Praperadilan tidak dapat diajukan peninjauan kembali.
(2) Permohonan peninjauan kembali terhadap Praperadilan dinyatakan tidak dapat diterima dengan penetapan Ketua Pengadilan Negeri dan berkas perkara tidak dikirim ke Mahkamah Agung.
(3) Penetapan Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diajukan upaya hukum.
Pasal 4 PERMA No. 4/2016:
(1) Mahkamah Agung berwenang untuk melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelengaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman, termasuk Praperadilan.
(2) Wewenang Mahkamah Agung dalam melaksanakan fungsi pengawasan terhadap Praperadilan, meliputi:
a. mengawasi tingkah laku dan perbuatan para hakim dalam menjalankan tugas Praperadilan;
b. meminta keterangan tentang teknis pemeriksaan Praperadilan; dan
c. Memberi petunjuk, teguran, atau peringatan yang dipandang perlu terhadap putusan Praperadilan yang menyimpang secara fundamental.
Menjadi menarik menyimak kaidah diatas, dimana hakim ketika memutus tak lagi bersifat independen (independensi serta imunitas mana kerap disalahgunakan). Secara putusan, karena diputus dengan mengatasnamakan institusi sehingga menjadi produk hukum institusi, maka memang tidak dapat dibatalkan. Namun sang pejabat yang telah melakukan misconduct secara tidak patut dan menjurus pada praktik arogansi hakim peradilan, dapat dikenakan sanksi dari Mahkamah Agung selaku penegak disiplin dan etik jajaran hakimnya.
Menjadi ganjil sekaligus janggal ketika PERMA disejajarkan dengan Undang-Undang (KUHAP). Pasal 5 PERMA No. 4/2016:
“Hal-hal yang tidak diatur secara khusus dalam peraturan ini, tetap diberlakukan ketentuan hukum acara pidana yang berlaku.”
Pasal 6 PERMA No. 4/2016:
“Dengan berlakunya Peraturan Mahkamah Agung ini, SEMA Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Hasil Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan, khususnya mengenai peninjauan kembali terhadap putusan Praperadilan dalam hal ditemukan indikasi penyelundupan hukum, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.”
Pasal 7 PERMA No. 4/2016:
“Peraturan Mahkamah Agung ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.”
Konsep ilmu peraturan perundang-undangan mulai membias digerogoti berbagai SEMA dan PERMA. Penulis merupakan satu-satunya sarjana hukum di Indonesia yang menyatakan secara tegas bahwa autonomic legislation perlu dibatasi dan diberi sekat secara jelas, baik “hukum otonom” institusi negeri maupun “hukum otonom” institusi sipil/swasta.
Bila Trias Politika menganut paham separation of power ataupun model aplikasi balances of power, dimana Lembaga Eksekutif menjalankan regulasi untuk diimplementasikan, Lembaga Legislatif membentuk peraturan perundang-undangan, dan Lembaga Yudikatif sebagai lembaga pemutus sengketa, maka kini MA RI bagaikan berdiri dan berpijak pada tiga kaki.
Bagaimana tidak, sebuah Lembaga Yudikatif mampu membuat peraturan dengan substansi sekelas undang-undang, yang mana PERMA No. 4/2016 ini ditetapkan pada tanggal 19 April 2016 dan, yang hebatnya, diundangkan pada Dirjen Peraturan perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM RI pada tanggal 20 April 2016.
Praktis, hingga saat ini, baik Lembaga Eksekutif, Lembaga Legislatif, maupun Lembaga Yudikatif dapat membentuk regulasi yang mengikat publik dan berlaku umum dengan diundangkan pada Dirjen Peraturan Perundang-Undangan. Ajaib, sekaligus mengerikan. Lembaga Legislatif di-“nina-bobokan” oleh Saudaranya, Lembaga Yudikatif yang dibiarkan “autopilot” menjalankan praktik hukum peradilan.
Inilah akibat sistem hukum “persuasive binding of precedent yang dianut Republik Indonesia, dimana jika Indonesia menganut stelsel putusan “binding force of precedent”, maka Lembaga Yudikatif cukup membentuk hukum lewat praktik best practice peradilan, alias yurisprudensi lewat asas preseden itu sendiri.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.