Putusan BANI dapat Dibatalkan Pengadilan Negeri

LEGAL OPINION
Question: Apakah putusan BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) dapat dibatalkan pengadilan negeri? Apa benar sengketa serta putusan arbitrase tidak terbuka bagi umum.
Brief Answer: Pada prinsipnya dapat saja. Setiap aturan hukum memiliki pengecualiannya sendiri. Jika disebutkan sengketa arbitrase bersifat tertutup, dalam arti tidak terbuka bagi umum, sebenarnya relatif. Ketika putusan arbitrase kemudian disengketakan di pengadilan negeri, maka sifat tertutupnya, toh akan terbuka juga bagi publik karena putusan pengadilan umum di bawah yurisdiksi Mahkamah Agung RI, dipublikasikan dan terbuka bagi umum sebagai asas trasnparansi.
Yang dapat dimohonkan pembatalan ialah seluruh atau sebagian dari putusan arbitrase bersangkutan. Kini, seketika itu juga putusan arbitrase dapat diajukan permohonan pembatalan saat putusan arbitrase tersebut didaftarkan oleh pihak lawan ke pengadilan negeri.
Perlu juga diperhatikan, Pengadilan Negeri yang memiliki yurisdiksi membatalkan putusan arbitrase ialah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal “Termohon dalam sengketa arbitrase” bukan “Termohon dalam sengketa pembatalan putusan arbitrase”.
BANI tu sendiri selaku organisasi swasta dapat ditarik sebagai salah satu pihak Termohon dalam sengketa pembatalan putusan produk BANI. Sehingga perlu diperhatikan, bahwasannya badan arbitrase bukanlah peradilan dalam arti sejati, namun adalah organisasi sipil yang berbidang usaha peradilan semu.
Tidak selamanya benar kabar bahwa arbitrase pastilah lebih teliti dalam memutus ataupun asumsi bahwa seorang arbiter adalah seorang profesional. Bisa jadi lembaga arbitrase melakukan kekeliruan fatal, disamping biaya bersengketa di arbitrase yang “luar biasa” mahalnya.
PEMBAHASAN:
Terdapat perbedaan karakter antara putusan arbitrase Indonesia dengan putusan lembaga asing seperti arbitrase internasional. Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri.
Putusan arbitrase nasional seperti BANI memang bersifat final dan mengikat, dimana bila para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri (PN) atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa.
Perintah Ketua PN tersebut diberikan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan eksekusi didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri. Sebelum memberikan perintah pelaksanaan, Ketua PN memeriksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi ketentuan serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
Dalam hal putusan arbitrase tidak memenuhi ketentuan hukum, Ketua PN menolak permohonan pelaksanaan eksekusi dan terhadap putusan Ketua PN tersebut tidak terbuka upaya hukum apapun. Akan tetapi, Undang-Undang Arbitrase memberi rambu batasan, Ketua PN tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase. Namun ketika terjadi permohonan pembatalan putusan arbitrase, Majelis Hakim akan mengupas kembali setiap alat bukti serta pertimbangan dari putusan arbitrase tersebut.
Dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat register perkara No. 163/PDT.G/ARB/2016/PN.JKT.PST tanggal 31 Mei 2016, yang memeriksa dan memutus perkara perdata permohonan pembatalan putusan Arbitrase, yang merupakan sengketa antara:
- PT. INHUTANI V, selaku Pemohon, dahulu merupakan Termohon Arbitrase; melawan
- BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA (BANI), selaku Termohon;
- PT. PARAMITRA MULIA LANGGENG, selaku Turut Termohon, dahulu merupakan Pemohon Arbitrase.
Perkara bermula ketika PT Paramitra Mulia Langgeng (PT PML) mengajukan permohonan arbitrase ke BANI, dimana PT PML bertindak selaku Pemohon Arbitrase dan PT Inhutani V didudukkan Termohon Arbitrase, dengan dalil telah melakukan wanprestasi pelaksanaan Akta Perjanjian Kerja Sama Nomor 1 tanggal 2 April 2009.
Pada tanggal 18 Februari 2016, BANI menjatuhkan amat putusan sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Akta No. 1 tanggal 2 April 2009 tentang Perjanjian Kerjasama yang dibuat oleh dan ditandatangani di hadapan Hambit Maseh, S.H., Notaris di Jakarta, sah dan mengikat Pemohon dan Termohon;
3. Menyatakan Termohon telah wanprestasi;
4. Menghukum Termohon untuk tidak berkerjasama dengan pihak lain selain Pemohon dalam memanfaatkan/mengelola lahan dan sejenisnya pada areal/lahan Register 42 Rebang dan Register 46 Way Hanakau tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Pemohon;
5. Menghukum Termohon untuk membayar ganti rugi kepada Pemohon sebesar Rp. 15.263.034.000,00 (lima belas milyar dua ratus enam puluh tiga juta tiga puluh empat ribu rupiah) secara tunai dan sekaligus;
6. Menghukum Termohon membayar denda atau Uang Paksa sebesar Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah) per hari keterlambatan pelaksanaan Putusan ini;
7. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;
8. Menghukum Pemohon dan Termohon untuk membayar biaya administrasi biaya pemeriksaan dan biaya arbiter masing-masing ½ (seperdua) bagian;
9. Memerintahkan Termohon untuk mengembalikan ½ (seperdua) biaya administrasi, biaya pemeriksaan dan biaya arbiter sebesar Rp.312.912.500,00 (tiga ratus dua belas juta sembilan ratus dua belas ribu lima ratus rupiah) kepada Pemohon;
10.Menghukum Termohon untuk melaksanakan putusan ini selambat lambatnya 40 (empat puluh) hari terhitung sejak putusan diucapkan;
11.Menyatakan putusan ini adalah putusan dalam tingkat pertama dan terakhir serta mengikat kedua belah pihak;
12.Memerintahkan Sekretaris Majelis dalam perkara ini mendaftarkan Putusan Arbitrase tersebut pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada waktu sesuai yang ditetapkan dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Pemohon pembatalan mendalilkan, Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU Arbitrase”) terdapat pengaturan sebagai berikut:
“Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa”.
Dengan demikian, Putusan BANI dapat dimintakan pembatalan melalui upaya permohonan pembatalan. Penjelasan Pasal 72 ayat (2) UU Arbitrase mengatur lebih lanjut sebagai berikut:
“Ketua Pengadilan Negeri diberi wewenang untuk memeriksa tuntutan pembatalan jika diminta oleh para pihak, dan mengatur akibat dari pembatalan seluruhnya atau sebagian dari putusan arbitrase bersangkutan”.
Penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase mengatur:
Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan.”
Meski demikian, Mahkamah Konstitusi (MK RI) di dalam Putusan Uji Materil-nya Nomor 15/PUU-XII/2014 tanggal 11 November 2014 telah menyatakan bahwa penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase tersebut diatas sudah tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Adalah absurb bila alasan permohonan pembatalan putusan arbitrase hanya dapat dilakukan setelah putusan arbitrase didaftarkan ke PN, sementara gugatan yang baru dibuat guna dijadikan syarat mutlak bukti alibi pembatalan dapat memakan waktu hingga satu tahun, yang tentunya menjadi kontraproduktif ketika putusan arbitrase telah mendapat penetapan executorial dan telah dieksekusi.
Adapun yang melatarbelakangi terbitnya putusan MK RI, ialah keberlakuan Pasal 71 UU Arbitrase:
“Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri.”
Dengan adanya putusan MK RI tersebut, maka permohonan pembatalan putusan arbitrase yang didasarkan pada alasan-alasan sebagaimana disinggung Pasal 70 UU Arbitrase, tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu dengan suatu putusan pengadilan. Dengan demikian, alasan-alasan tersebut cukup dibuktikan di dalam persidangan permohonan pembatalan putusan arbitrase.
Ketentuan tentang pembatalan putusan arbitrase, dinyatakan pula di dalam penjelasan umum UU Arbitrase:
“Bab VII mengatur tentang pembatalan putusan arbitrase. Hal ini dimungkinkan karena beberapa hal, antara lain:
a. surat dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang sengaja disembunyikan pihak lawan; atau
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa”.
Frase “antara lain” diatas memiliki makna yang sama dengan terminologi “inter alia” yang memiliki arti “among other things”, menyebut sebagian saja dari beberapa yang lain, demikian argumentasi Pemohon pembatalan.
Dirujuknya frasa “antara lain” ditemukan pula dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam Putusan PN Jakarta Pusat No. 86/Pdt.G/2002/PN.Jkt.Pst. pada perkara permohonan pembatalan putusan arbitrase antara PT. Pertamina (Persero) melawan Karaha Bodas Company L.L.C. dan PT. PLN (Persero). Meskipun putusan PN tersebut dibatalkan Mahkamah Agung (MA) dalam tingkat banding, namun pertimbangan Majelis Hakim PN Jakarta Pusat mengenai pemaknaan Pasal 70 UU Arbitrase tidak dikoreksi ataupun ditentang oleh Mahkamah Agung (vide: Putusan MA No. 1/Banding/Wasit.Int/2002).
Alasan lain yang dapat menyebabkan putusan arbitrase dibatalkan antara lain adalah karena putusan arbitrase melanggar ketentuan hukum, keadilan dan kepatutan. Hal itu merujuk pada adanya ketentuan Pasal 56 ayat (1) UU Arbitrase yang mengatur:
“Arbiter atau majelis arbitrase mengambil putusan berdasarkan ketentuan hukum, atau berdasarkan keadilan dan kepatutan”.
Menjadi permasalahan ialah, pengadilan negeri mana yang memiliki kompetensi relatif memeriksa dan memutus pembatalan putusan arbitrase? Terhadap sengketa ini, Majelis Hakim Pengadilan Negeri kemudian membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa Pasal 72 ayat (2) dari undang-undang tersebut mengatur bahwa : “Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri”;
“Menimbang, bahwa sedangkan Pasal 1 angka 4, 5 dan 6 menentukan tentang yang dimaksud dengan pengertian “Pengadilan Negeri”, “Pemohon” dan “Termohon”;
• Angka 4 : “Pengadilan Negeri adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal Termohon”’;
• Angka 5 : “Pemohon adalah pihak yang mengajukan permohonan penyelesaian sengketa melalui arbitrase”;
• Angka 6 : “Termohon adalah pihak lawan dari Pemohon dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase”;
“Menimbang, bahwa berdasarkan Bukti P-1, Bukti T-3 dan Bukti TT-1 yang adalah sama yaitu berupa: Putusan Arbitrase BANI Nomor 624/X/ARB BANI/2014 tanggal 18 Februari 2016, telah terbaca bahwa yang berkedudukan sebagai Pemohon adalah PT Paramitra Mulia Langgeng, sedangkan yang berkedudukan sebagai Termohon adalah PT Inhutani V (Persero) yang beralamat di ... , Jalan Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat;
“Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 4 dan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dapat ditarik kesimpulan bahwa permohonan pembatalan putusan arbitrase diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal Termohon (dalam sengketa arbitrase), oleh karena itu apabila Termohon arbitrase sebagai pihak yang kalah merasa keberatan dengan putusan arbitrase, maka pihaknya dapat mengajukan permohonan pembatalan kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan wilayah hukum atau yurisdiksi yang meliputi tempat tinggalnya sendiri;
“Menimbang, bahwa karena itu majelis berpendapat, sudah benar jika permohonan pembatalan putusan arbitrase a quo diajukan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sebagai pengadilan yang mewilayahi alamat Termohon;
“Menimbang, bahwa selain mempermasalahkan kompetensi relatif, turut Termohon juga berpendapat bahwa Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) tidak tepat jika dijadikan sebagai pihak dalam perkara ini, sebab BANI sebagai suatu lembaga arbitrase dalam menjalankan tugas dan fungsinya tidak dapat dijadikan sebagai pihak dalam segala upaya hukum yang mempersoalkan putusannya tersebut;
“Bahwa menurut turut Termohon ada kekebalan (hak imunitas) yang diberikan kepada arbiter, yaitu sebagaimana disebut dalam Pasal 21 UU Arbitrase yang mengatakan : “Arbiter dan majelis arbiter tidak dapat dikenakan tanggungjawab hukum apapun atas segala tindakan yang diambil selama proses persidangan berlangsung untuk menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau majelis arbitrase, kecuali dapat dibuktikan adanya itikad tidak baik dari tindakan tersebut”;
“Bahwa menurut turut Termohon, kekebalan arbiter tersebut sama dengan kekebalan yang diberikan pada Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 9 Tahun 1976 tanggal 16 Desember 1976, yang antara lain menyebutkan :
1. Hakim atau pejabat yang bertindak sebagai hakim tidak dapat dipertanggungjawabkan dan digugat di depan pengadilan perdata, asal hakim itu beriktikad baik;
2. Menghadapi gugatan perdata yang demikian, pengadilan harus menolak gugatan tersebut;
“Menimbang, bahwa menurut turut Termohon kekebalan yang diberikan kepada Arbiter atau majelis arbiter di dalam praktek hukum telah diterima di dunia internasional, di dalam Pasal 34 International Chambers of Commerce Rules of Arbitration menyatakan : “Neither the arbitrators nor the court and its members, nor the ICC and its employess, nor the ICC National Commitees shall be liable to any person for any act commission in connection with arbitration”;
“Menimbang, bahwa di samping itu sesuai dengan putusan Mahkamah Agung RI No. 41 K/Pdt/1990 tanggal 27 Februari 1992 tentang hak imunitas pengadilan menentukan :
“Aparat Badan Peradilan dalam melaksanakan tugas teknis peradilannya maka tidak dapat diajukan gugatan perdata terhadapnya …”;
“Suatu tindakan teknis peradilan yang mengandung cacat hukum, dapat diajukan gugatan perdata untuk pembatalannya, dengan menarik pihak yang memperoleh hak dari tindakan teknis peradilan tersebut sebagai Tergugatnya dan bukan mengajukan gugatan perdata kepada hakim, panitera, jurusita pengadilan negeri yang bersangkutan;
“Menimbang, bahwa benarkah alasan-alasan yang diajukan oleh Turut Termohon tersebut, atau sejauh mana permohonan pembatalan putusan arbitrase yang dialamatkan kepada BANI dapat ditolak, oleh karena BANI menurut Turut Termohon mempunyai hak imunitas, untuk hal ini akan dipertimbangkan sebagai berikut :
“Bahwa di dalam praktek peradilan, banyak contoh di mana BANI dijadikan salah satu pihak dalam sebuah perkara, yang berkaitan dengan permohonan pembatalan putusan BANI, di antaranya :
• Putusan Nomor : 24/Pdt.G/Arb/2015/PN.Jkt.Pst. di mana pihak-pihaknya : Nyonya Siti Hardiyanti Rukmana, dkk. sebagai Pemohon melawan BANI, dkk., sebagai Termohon;
• Putusan Nomor : 207/Pdt.G/Arb/2015/PN.Jkt.Pst di mana pihak-pihaknya : PT Asuransi Purna Artanugraha sebagai Pemohon melawan BANI, dkk., sebagai Termohon;
• Putusan Nomor : 305/Pdt.G/Bani/2014/PN.Jkt.Utr. di mana pihak-pihaknya : PT Sea World Indonesia (d/h PT Laras Tropika Nusantara sebagai Pemohon melawan BANI, dkk. sebagai Termohon;
“Menimbang, bahwa di samping itu juga didapatkan di dalam putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 700 PK/Pdt/2008 dalam perkara antara PT. Barata Indonesia (Persero) selaku Pelawan melawan BANI, Dkk selaku Terlawan dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 396 K/Pdt.Sus/2010 antara PT. Cipta Kridatama selaku Pemohon melawan BANI dkk, selaku Termohon;
“Menimbang, bahwa dari beberapa contoh tersebut di atas, jelaslah di situ bahwa BANI dalam persoalan permohonan pembatalan putusan BANI, telah banyak dilibatkan dalam sebuah perkara, karena memang keinginan untuk menempatkan siapa-siapa yang akan digugat, dalam hal ini BANI, semata-mata adalah kewenangan Penggugat untuk menentukannya;
“Menimbang, bahwa persoalannya adalah apakah digugatnya BANI tersebut mengakibatkan BANI menjadi ikut bertanggungjawab secara perdata, untuk hal ini masih akan dikaitkan dengan bukti-bukti yang diajukan oleh kedua belah pihak;
“Menimbang, bahwa dengan mengacu pada putusan Mahkamah Agung RI No. 41 K/Pdt/1990 tanggal 27 Februari 1992 sebagaimana disebutkan di atas, jelaslah bahwa dalam kasus ini, bukan saja BANI yang diajukan sebagai satu-satunya Termohon di dalam perkara ini, tetapi juga melibatkan pihak lain yaitu PT PARAMITRA MULIA LANGGENG sebagai perseroan yang telah memperoleh hak atas tindakan teknis yang dilakukan oleh BANI di dalam putusannya yaitu Putusan BANI No. 624/X/ARB-BANI/2014 tanggal 18 Februari 2016;
“Menimbang, ... , majelis berpendapat bahwa dapatnya BANI dijadikan sebagai salah satu pihak dalam sebuah perkara, oleh karena BANI adalah sebuah badan (bukan Lembaga Peradilan) yang didirikan atas prakarsa Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia. Penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh BANI adalah penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar pengadilan;
“Menimbang, bahwa Majelis akan mempertimbangkan alasan permohonan pembatalan Putusan BANI Nomor : 624/X/ARB.BANI/2016 tanggal 18 Februari 2016 yang didasarkan adanya tipu muslihat yang dilakukan Turut Termohon terkait Berita Acara Pemeriksaan Lapangan yaitu Laporan Penilaian Simanungkalit atas aset berupa Hutan Tanaman Industri (HTI) accacia mangium yang telah rusak di Register 42 Rebang, Way Kanan dan Register 46 Way Hanaku, oleh karena dalam Laporan Penilaian Simanungkalit disebutkan bahwa keberadaan aset tanaman yang telah rusak didasarkan pada dokumen yang telah disediakan oleh PT. PML;
“Menimbang, bahwa BAP tanggal 11 Nopember 2013 di register 46 Way Hanaku adalah Berita Acara Pemeriksaan yang dibuat oleh 2 (dua) orang petugas pemeriksa pada UPT Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Bukit Punggur, Kab. Way Kanan dan pemeriksaan tersebut didampingi oleh Wakil PT. PML dan tidak ada wakil dari PT. Inhutani V (Persero) dan dalam Berita Acara tersebut telah dilakukan pengecekan tanaman ke lokasi lahan HTI Way Hanaku untuk tanah seluas lebih kurang 2.836 Ha. (dua ribu delapan ratus tiga puluh enam hektar), hal ini menurut Pemohon merupakan data kebohongan atau tipu muslihat yang dilakukan oleh PT. PML karena tidak mungkin melakukan pengecekan lahan seluas 2.836 Ha. hanya dalam waktu 1 (satu) hari, sehingga PT. PML telah melakukan kebohongan. Dengan fakta yang semacam itu validitas data yang diperoleh petugas KPHP sudah pasti tidak benar dan penuh kebohongan;
“Bahwa menurut Pemohon, Turut Termohon melakukan tipu muslihat dengan menggunakan pasal 6.4 Akta Kerjasama No. 1 adalah untuk mendegradasi perjanjian kerjasama kemitraan yang dilakukan oleh PT. Inhutani V (Persero) dengan kelompok tani, gabungan kelompok tani atau koperasi;
“Menimbang, bahwa dalam jawabannya Termohon menolak dengan tegas dalil Pemohon dengan alasan yang pada pokoknya:
• Bahwa apabila Pemohon bersikukuh mempermasalahkan ketentuan pasal 6.4 Perjanjian maka sebagaimana yang telah Termohon jelaskan secara tidak langsung Pemohon meminta Majelis Hakim dalam perkara a quo untuk memberikan penilaian dan pertimbangan hukum mengenai pokok perkara dari perkara No. 624/X/ARB-BANI/2014, hal mana tidak diperkenankan oleh pasal 11 ayat (2) jo. Pasal 62 ayat (4) yang menyatakan Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk memeriksa kembali pokok perkara yang sebenarnya telah diperiksa dan diadili oleh Majelis Arbitrase;
• Bahwa walaupun Pemohon menyatakan putusan Arbitrase BANI No. 624/X/ARB-BANI/2014 tertanggal 26 Februari 2016 melanggar ketentuan hukum dan kepatutan namun Pemohon tidak menyebutkan secara jelas hukum serta kepatutan mana yang dilanggar oleh Termohon;
• Bahwa alasan Putusan Arbitrase BANI No. 624/X/ARB BANI/2016 tertanggal 18 Februari 2016 mengandung amar yang melebihi tuntutan Pemohon terkait uang paksa bukan merupakan alasan yang dapat membatalkan putusan arbitrase sebagaimana diatur secara limitatif dalam pasal 70 UUAAPS;
“Menimbang, bahwa atas permohonan Pemohon Turut Termohon telah mengajukan jawaban yang pada pokoknya sebagai berikut:
• Bahwa Turut Termohon menolak dengan tegas permohonan Pemohon;
• Bahwa dalil-dalil Pemohon khususnya tentang tipu muslihat pada dasarnya hanyalah kekeliruan persepsi terhadap bukti bukti yang diajukan Pemohon tersebut. Pemohon telah memaksakan diri untuk mengkategorikan perbedaan pendapat dan kekeliruan, persepsinya sebagai suatu tipu musliat, semata mata hanya untuk mencari alasan agar permohonannya dapat disebut memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan oleh pasal 70 UU Arbitrase;
• Bahwa inti permasalahan antara Pemohon dengan Turut Termohon telah terbukti di dalam persidangan perkara No. 624/X/ARB-BANI/2016. Pemohon telah mengakui kerja sama kemitraan dengan kelompok tani serta koperasi koperasi yang berada di Register 42 dan Register 46 hal tersebut merupakan bukti yang tidak terbantahkan bahwa memang Pemohon telah melakukan kerja sama pengelolaan HTI dengan pihak lain tanpa seijin Turut Termohon diatas objek areal HTI;
“Menimbang, bahwa benarkah alasan-alasan pembatalan putusan arbitrase hanya terbatas kepada 3 (tiga) hal seperti tersebut dalam Pasal 70 UU Arbitrase, sebagaimana dikatakan Termohon dan Turut Termohon, dengan kata lain apakah dimungkinkan ditambahnya alasan-alasan lain selain yang disebut di dalam pasal 70 UU Arbitrase, untuk hal ini akan dipertimbangkan sebagai berikut:
“Bahwa di dalam Penjelasan Umum UU Arbitrase menyatakan: ‘Bab VII mengatur tentang pembatalan putusan arbitrase. Hal ini dimungkinkan karena bebarapa hal, antara lain :
a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan, atau
c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa”;
“Bahwa kata ‘antara lain’ telah diartikan oleh Pemohon untuk menambah alasan-alasan yang baru selain a., b. dan c., sedangkan menurut Termohon dan turut Termohon alasan-alasan yang dimaksud dalam Pasal 70 UU Arbitrase adalah bersifat limitatif, artinya tidak boleh disimpangi;
“Menimbang, bahwa lalu bagaimana mengenai hal ini, menurut M. Yahya Harahap, SH. selaku ahli hukum yang diajukan oleh Pemohon, maka Pasal 70 UU Arbitrase adalah bersifat terbuka, artinya apabila putusan arbitrase mengandung tipu muslihat sehingga melanggar ketertiban umum, maka alasannya pembatalan arbitrase tidak terbatas dalam ketentuan pasal 70 Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999, tetapi bisa diambil sesuai dengan Penjelasan Umum alinea 18 Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999;
“Menimbang, bahwa sebelum Majelis mempertimbangkan hal-hal tersebut, selanjutnya Majelis perlu mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa berkaitan dengan dalil yang dikemukakan oleh Termohon dan Turut Termohon, benar setelah Majelis memperhatikan dan mencermati serta mempelajari bukti surat yang diajukan dalam perkara ini, khususnya bukti surat yang diajukan oleh Pemohon, Majelis Hakim tidak menemukan padanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap sebagai dasar Pemohon untuk mengajukan permohonannya;
“Menimbang, bahwa setelah mencermati pada ketentuan pasal 70 Undang Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tersebut serta penjelasannya, maka keharusan adanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap bukanlah suatu hal yang mutlak, karena pada akhirnya putusan tersebut akan digunakan sebagai alat bukti yang dalam penjelasannya akan disebutkan dengan frase “dapat” sehingga dari keadaan ini Majelis Hakim berpendapat bahwa untuk membuktikan adanya putusan arbitrase (BANI) yang antara lain diambil berdasarkan tipu muslihat sebagaimana yang didalilkan pemohon dalam permohonannya, tidak harus dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, hal ini sesuai dengan pendapat ahli M. YAHYA HARAHAP, SH.;
“Menimbang, bahwa karena permohonan ini adalah merupakan permohonan Pembatalan Putusan Arbitrase maka dikaitkan dengan dalil pokok permohonan Pemohon yang akan dipertimbangkan Majelis Hakim, apakah benar ada unsur tipu muslihat dalam perkara Putusan BANI Nomor 624/X/ARB-BANI/2016 tanggal 18 Februari 2016 yang tidak dipertimbangkan oleh Termohon;
“Menimbang, bahwa tentang hal tipu muslihat yang didalilkan oleh Pemohon tersebut Majelis Hakim akan mempertimbangkannya sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa pengertian tipu muslihat secara yuridis menurut ahli M. YAHYA HARAHAP, SH. yaitu apabila sesuatu hal yang dikemukakan benar seolah olah tidak benar atau dengan rangkaian yang mewujudkan sesuatu tidak benar menjadi benar;
“Menimbang, bahwa pemohon mendalilkan bahwa didalam bukti P-19 dalam perkara Arbitrase Nomor 264/X/ARB-BANI/2016 yaitu berupa Laporan Penilaian yang dibuat oleh Kantor Jasa Penilai Publik PANANGIAN SIMANUNGALIT & Rekan atas Properti milik PT. Paramitra Mulia Langgeng, di dalam laporannya bahwa Simanungkalit tidak pernah menyatakan hasil penilaian atas tanaman accacia mangium yang rusak di areal Register 42 Rebang, Way Kanan dan Register 46 Way Hanaku sebagai kerugian yang diderita PT. PML ;
“Bahwa di dalam laporannya tersebut tidak diketemukan satu bagian yang menyatakan bahwa PT. PML mengalami kerugian sebesar Rp. 30.526,068,000,- (tiga puluh milyar lima ratus dua puluh enam juta enam puluh delapan ripu rupiah) dan nilai sebesar Rp. 30.526.068.000,- (tiga puluh milyar lima ratus dua puluh enam juta enam puluh delapan ribu rupiah) tersebut jelas dikatakan merupakan perkiraan biaya membangun baru (reproduction cost new) pada saat tanggal penilaian yaitu tanggal 1 Oktober 2015.
“Bahwa bukti P-19 yang diajukan oleh PT. PML pada saat pemeriksaan sengketa di BANI tersebut secara tegas menyatakan PT. PML telah mengalami kerugian akibat tindakan wanprestasi yang dilakukan oleh PT. Inhutani V (persero) sebagai nilai yang tertuang hasil Laporan Penilaian Simanungkalit. Tindakan PT. PML tersebut jelas sebagai bentuk kebohongan atau tipu muslihat yang sangat nyata karena nilai pasar yang disampaikan Simanungkalit bukan biaya dan kerugian nyata atas tanaman yang rusak tetapi semata mata hanya perkiraan biaya jika akan membangun kembali pada saat tanggal penilaian (1 Oktober 2015);
“Menimbang, bahwa berdasarkan berdasarkan Berita Acara tertanggal 11 Nopember di Register 46 di Way Hanaku telah dilakukan pengecekan tanaman ke lokasi lahan HTI di Way Hanaku untuk tanah seluas lebih kurang seluas 2.836 (dua ribu delapan ratus tiga puluh enam) Ha;
Menimbang, bahwa menurut Majelis Hakim berpendapat kalau PT. PML telah melakukan pengecekan lahan seluas lebih kurang 2.836 (dua ribu delapan ratus tiga puluh enam) Ha apalagi dengan menghitung jumlah kerugian apalagi ditambah dengan menghitung jumlah kerusakan hutan yang hanya dilakukan dalam waktu 1 (satu) hari menurut hemat Majelis adalah tidak mungkin, karena itu maka alasan pembatalan putusan arbitrase yang diajukan oleh Pemohon adalah dapat dibenarkan, sehingga menurut hemat Majelis unsur adanya tipu muslihat yang dilakukan oleh PT. PML dapatlah dibuktikan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas Majelis berpendapat putusan Arbitrase BANI Perkara Nomor 624/X/ARB-BANI/2014, tidak dapat dipertahankan lagi dan harus dibatalkan;
“Menimbang, bahwa oleh karena salah satu alasan pembatalan putusan arbitrase yang ketiga yang diajukan oleh Pemohon telah dapat dibuktikan maka alasan alasan alternatif lainnya tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut;
“Menimbang, bahwa dengan demikian Pemohon telah dapat membuktikan dalil-dalil permohonannya, karena itu maka permohonan Pemohon harus dikabulkan;
M E N G A D I L I :
DALAM POKOK PERKARA .
1. Mengabulkan permohonan Pemohon seluruhnya;
2. Menyatakan Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia Nomor 624/X/ARB-BANI/2014 tanggal 18 Februari 2016 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
3. Membatalkan Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia tanggal 18 Februari 2016 berikut segala akibat hukumnya;
4. Memerintahkan Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk mencoret Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia Nomor: 624/X/ ARB.BANI/ 2016 dari Regiser Pendaftaran Putusan Arbitrase di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat;
5. Menguhukum Termohon dan untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 416.000,- (empat ratus enam belas ribu rupiah);”
Maksud hati menghindari proses persidangan banding ataupun kasasi bila menempuh penyelesaian sengketa pada Pengadilan Negeri, pemilihan arbitrase justru berbuah kontraproduktif ketika putusan arbitrase sama sekali tak dapat dieksekusi pelaksanaannya.
Seburuk-buruknya lembaga Pengadilan Negeri, masih terdapat filter terakhir pada Mahkamah Agung RI. Terbukti pula dalam perkara diatas, betapa ceroboh arbiter dalam memutus, kalah derajat ketelitian dan pertimbangan hukum dengan Majelis Hakim Pengadilan Negeri, disamping tidak sebanding dengan mahalnya biaya arbitrase yang tidak masuk diakal.
SHIETRA & PARTNERS tetap tidak merekomendasikan choise of forum arbitrase, baik lembaga arbitrase lokal terlebih arbitrase asing.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.